Anda di halaman 1dari 14

DERMATITIS KONTAK

Billy Peter Manawan


Pembimbing: dr. Inda Astri, Sp.KK
Bagian/Departemen DermatoVenerologi
FK UNSRI / RSUP Moh. Hoesin Palembang
2016

PENDAHULUAN
Dermatitis adalah reaksi inflamasi yang ditandai dengan lesi polimorfik yang
melibatkan epidermis dan dermis. Dermatitis kontak merupakan istilah umum yang digunakan
untuk menjelaskan reaksi inflamasi akut atau kronis terhadap substansi yang mengalami
kontak dengan kulit.1 Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu : dermatitis kontak alergi
(DKA) dan dermatitis kontak iritan (DKI).2
Dermatitis kontak alergi merupakan reaksi inflamasi pada kulit yang disebabkan
kontak ulang terhadap alergen eksogen spesifik yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi,
sehingga memicu timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat). 3 Sementara
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi inflamasi pada kulit yang disebabkan oleh paparan
bahan kimia yang bersifat iritan terhadap kulit, dan dapat terjadi akut ataupun kronis.2
Angka kejadian DKA di Amerika dilaporkan sebanyak 7% kasus yang berat
sedangkan diperkirakan sebenarnya terdapat 10 sampai 50 kali lipat kejadian, namun tidak
dilaporkan, sedangkan untuk kejadian DKI ditemukan hingga 80% dari seluruh kecelakaan
akibat kerja disebabkan oleh bahan iritan.2
Dalam praktek klinis, DKI dan DKA cukup sulit dibedakan karena banyak bahan
kimia yang dapat bersifat sebagai iritan maupun alergen namun perbedaan yang kontras
antara DKA dan DKI yaitu pada DKI tidak perlu adanya kontak sebelumnya terhadap bahan
tersebut untuk terjadinya DKI.9 Penanganan pada dermatitis kontak terbagi dua yaitu dengan
cara preventif atau pencegahan paparan dengan pengobatan. Kompetensi dokter umum dalam
menangani DKA adalah 3A, sementara untuk DKI adalah 4 sehingga dokter harus mampu
mendiagnosis dan memberi tatalaksana hingga tuntas.4 Makalah ini akan membahas mengenai
dermatitis kontak mulai dari etiologi sampai dengan prognosis sehingga diharapkan dapat
menjadi

salah satu sumber bacaan yang

berguna bagi masyarakat

untuk

mencegah

terjadinya dermatitis kontak.

DERMATITIS KONTAK ALERGI


Etiologi
Dermatitis kontak alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau reaksi
hipersensitifitas tipe IV, reaksi ini dimediasi terutama oleh limfosit menyebabkan peradangan
dan edema pada kulit.1 Penyebab DKA adalah alergen yang telah mengalami sensitisasi.
Alergen ini beraneka ragam. Diketahui lebih dari 3700 bahan kimia dapat menyebabkan
dermatitis kontak alergi.3 Penyebab DKA paling sering adalah bahan-bahan yang mengandung
metal, bahan kosmetik, bahan-bahan pakaian atau sepatu, obat-obatan dan tanaman. 5
Beberapa agen alergen tersering yang menjadi penyebab DKA di Amerika Serikat dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Sumber Bahan Alergen6
Alergen

Sumber kontak alergen

Nikel sulfat

Logam, logam pada pakaian, perhiasan,

Neomisin sulfat

biasanya terdapat pada sediaan krim atau salep

dWewangian

Parfum,kosmetik

Timerosal

antiseptik

formaldehide

disenfektan,plastik

Quantemium-15

disenfektan

Bacitracin

Salep,bedak tabur

kobal kloride

Aspal,bahan industri

campuran karba

Karet,latex

Para-penilendiamine

debu industri

Thiuram

karet

Parahidroksibenzoid acid ester

bahan pengawet, kosmetik

Propiline glikol

anastesi lokal

prokain,benzokain

obat

Sulfonamide

pelarut bahan industri, semir sepatu, tinta printer

Turpentine

disenfektan

Merkuri

aspal, minyak industri,korek, jaket kulit

Kromat

bahan pengawet

parabenes

parfum

Patogenesis
Proses patogenesis DKA meliputi, fase primer/sensitisasi (induksi dan proses
sensitisasi) dan fase sekunder/elisitasi. DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV atau
delayed type (diperantarai limfosit-T). Proses ini diawali dengan proses sensitisasi yaitu reaksi
2

hipersensitivitas yang terjadi apabila antigen presenting cells (APC) di epidermis (contohnya
sel Langerhans dendrit) berikatan dengan antigen terhadap protein major histocompatibility
complex (MHC) class II. Sebelum seseorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergi,
terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini
terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang akan
terikat dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh
makrofag dan sel Langerhans, selanjutnya dipresentasikan ke sel T. APC akan melalui
kelenjar-kelenjar getah bening dan akan mengaktivasi Sel T dengan cara mempresentasikan
kompleks ini. Sel T yang telah memperoleh informasi mengenai kompleks tersebut akan
melepaskan sitokin (seperti IL-2) untuk meaktifkan makrofag serta proses proliferasi dari
allergen-specific memory T cells. Proses ini berlangsung selama 14-21 hari.
Apabila terjadi paparan ulang oleh antigen (alergen) yang sama, maka sel langerhans
akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2
akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan
limfosit T dan lekosit, serta sekresi prostalglandin. Prostalglandin akan mengaktifkan sel mast
dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas
yang meningkat. Mekanisme inflamasi ini yang menyebabkan muncul lesi pada permukaan
kulit. Proses ini disebut proses elisitasi.2
Manifestasi Klinis
Penderita DKA umumnya mengeluh gatal hebat bahkan dapat timbul rasa nyeri dan
rasa seperti ditusuk-tusuk pada reaksi yang berat namun pada kejadian erupsi akut tanda
utama pada pasien DKA dapat berupa eritema, papul, papulovesikel, maupun bulla yang akan
terjadi hingga 48 jam setelah proses sensitisasi atau beberapa hari setelah kontak dengan
alergen, sebaliknya tanda khas pada kulit pasien DKA kronik yaitu kulit menjadi kering,
berisisik dan menebal sebagai hasil dari ankantosis, hiperkeratosis, infiltrasi sel hingga ke
dermis, dan Iikenifikasi. Paparan ulang akan memberikan gambaran reaksi crescendo yaitu
reaksi yang menyebabkan erupsi semakin memburuk.2
Manifestasi klinis juga dapat dilihat berdasarkan lokasi lesi kulit, karena sebaran
dermatitis merupakan kunci terpenting untuk mendiagnosis DKA. Area yang mengalami lesi
dermatitis kontak biasanya merupakan area yang terpapar alergen.

Lokasi lesi menjadi salah satu kunci menemukan bahan-bahan yang dapat menjadi penyebab
DKA misalnya pada dermatitis atau lesi kulit yang terjadi di garis rambut atau di belakang
telinga.3 Gambar 1.

Gambar 1. Dermatitis kontak alergi terhadap pewarna rambut8

Lesi ini (gambar1) menunjukkan bahwa alergen penyebab dermatitis yang berasal dari
produk rambut (meliputi : pewarna rambut, shampoo, conditioner) atau anting yang
mengandung nikel atau bahan metal tertentu.
Lesi kulit pada daerah muka, lipat mata, bibir, dan leher patut dicurigai akibat alergen
dari produk kosmetik. Selain itu dapat pula terjadi didaerah ketiak diakibatkan karena bahan
dari antideodorant dan antiperspirant. Dermatitis pada tangan, 80% pada penyakit kulit yang
berhubungan dengan pekerjaan, terutama pekerjaan wet work seperti tenaga kesehatan,
pembuat makanan, dan lain lain. Contoh lain, pada penata rias rambut dapat mengalami
sensitisasi terhadap produk perawatan rambut yang mengandung para-fenilendiamina (PPD),
monothioglycolate, atau cocamidopropyl betaine (bahan detergen yang sering ditemukan
dalam shampo).
DERMATITIS KONTAK IRITAN
Dermatitis kontak iritan disebabkan oleh agen kimia, fisik, dan biologi. 10,11 DKI
merupakan reaksi inflamasi non-imunologi kulit. Daerah yang terkena sesuai dengan daerah
yang terpapar dengan bahan iritan dan menimbulkan iritasi baik akut maupun kronis. Bahan
iritan kuat dapat menyebabkan iritasi berat dalam waktu yang singkat. Sebagian besar kasus
DKI merupakan kasus kronik dimana terjadi paparan terhadap bahan iritan lemah lebih dari
satu kali dan dalam waktu yang lama. Predileksi tersering adalah daerah tangan terutama
telapak tangan.12 Respon terhadap kulit biasanya berupa keluhan subjektif seperti rasa panas
4

atau rasa seperti terbakar. Manifestasi klinis lain yang ditemukan dari DKI adalah polimorfik,
eritema, bersisik, likenifikasi, hiperkeratosis, dan mungkin akan ditemukannya fisura pada
kasus kronis.
Etiologi
Iritan adalah bermacam agen, baik itu fisik ataupun kimiawi, yang mampu megiritasi
ke tingkat seluler jika terpapar dalam waktu dan konsentrasi yang cukup. 12 Dermatitis terjadi
saat pertahanan kulit sudah mulai melemah, atau ketika penetrasi yang dilakukan oleh agen
yang menghasilkan respons inflamasi.
Bahan yang dapat menyebabkan DKI dibagi menjadi dua, yaitu iritan kuat dan iritan
lemah. Bahan iritan kuat dapat menyebabkan kerusakan kulit dalam hitungan menit hingga
jam sedangkan bahan iritan lemah bekerja lambat. Reaksi akan muncul setelah kontak
beberapa pekan atau bulan, bahkan dalam hitungan tahun.Bahan iritan kuat dapat
menyebabkan reaksi klinis DKI pada hampir semua individu, sedangkan iritan yang lebih
lemah akan menyebabkan dermatitis hanya pada kondisi dan situasi terjadi paparan berulang
terhadap iritan tersebut.12 Bahan iritan kuat antara

lain asam sulfat, asam

hidroklorid

sedangkan yang termasuk bahan iritan lemah antara lain detergen, sabun, pelarut solven.6
Tabel 1. Kelompok bahan yang paling sering menyebabkan iritasi.6

Sabun, deterjen, antiseptik


Bahan bahan yang bersifat asam dan alkali hydrofluoric acid, cement, chromic acid,
phosphorus, ethylene oxide, phenol, dan metal salt
Pelarut industri petroleum, hidrokarbon klorin, dioxane
Tumbuhan merica, capsaicin, buttercup
Bahan bahan lain fiberglass, dan bahan wol

*Tabel 1 menunjukan kelompok bahan yang paling sering menyebabkan iritasi adalah kelompok bahan
pembersih seperti sabun, deterjen, antiseptik. Namun, sabun, deterjen, dan antiseptik merupakan bahan iritan
lemah dimana bisa menyebabkan iritasi jika terpapar dalam jangka waktu yang lama.

Patogenesis
Mekanisme terjadinya DKI tidak diketahui secara pasti, terdapat banyak bukti yang
menunjukkan bahwa keratinosit yang teraktivasi merupakan imunoregulator kunci sebagai
respons terhadap rangsangan eksogen. Mediator inflamasi lain seperti prostaglandin,
leukotrin, dan neuropeptida memiliki peran dalam patogenesi terjadinya DKI.11 Salah satu
teori yang hingga saat ini dipercayai sebagai mekanisme dalam terjadinya DKI menyebutkan
terdapat empat mekanisme yang saling berinteraksi dalam kejadian DKI yaitu, kehilangan
5

lipid dan substansi pengikat air di epidermis, kerusakan membran sel, denaturasi keratin pada
epidermis, dan efek sitotoksik langsung.10
Pada DKI pajanan pertama terhadap iritan telah mampu menyebabkan respons iritasi
pada kulit. Sistem imun nonspesifik berperan dalam patogenesis DKI.
1

Gambar 2. (a-d) mekanisme imunologis terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI). (1-a) bahan iritan
fisik dan kimia memicu pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang disebut sinyal bahaya. (1-b) sel
epidermis dan dermis merespon sinyal bahaya tersebut. (1-c) setelah itu, sitokin inflamasi dikeluarkan dari sel
residen dan sel inflamasi yang sudah terinfiltrasi. Sitokin utama pada proses ini adalah CXCL 8 (bentuk yang
dikelan adalah IL-8) (1-d) sebagai akibatnya, dari produksi sitokin inflamasi, banyak sel inflamasi termasuk
neutrofil diserang dan dibawa pengaruh picuan inflamasi mengeluarkan mediator inflamasi. Hasilnya dapat
dilihat secara klinis pada DKI.10

Pajanan terhadap iritan memicu pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya
yang disebut sinyal bahaya lalu, sel epidermis dan dermis merespon sinyal bahaya tersebut.
Setelah itu, sitokin inflamasi dikeluarkan dari sel residen dan sel inflamasi yang sudah
terinfiltrasi. Sitokin utama pada proses ini adalah CXCL 8 (bentuk yang dikenal sebagai IL),
sebagai akibatnya, dari produksi sitokin inflamasi, banyak sel inflamasi termasuk neutrofil
diserang dan dibawa pengaruh picuan inflamasi mengeluarkan mediator inflamasi. Reaksi
inflamasi berupa vasodilatasi dan infiltrasi sel pada dermis dan epidermis akibat pelepasan
sitokin proinflamatorik IL-1 sebelum terjadi kerusakan kulit. Sel yang berperan dalam proses
ini adalah keratin, makrofag, netrofil, eosinofil, dan sel T naive.10
.

Manifestasi Klinis
6

Jalur patogenik yang terjadi pada fase akut DKI terjadi karena paparan berbagai iritan,
dimulai dari penetrasi melalui barrier pada kulit, kerusakan ringan pada keratinosit, dan
pelepasan mediator inflamasi yang merangsang pada aktivasi sel T.11
DKI akut biasanya ditemukan akibat kecelakaan kerja, timbul ketika kulit terpapar
iritan poten. Reaksi iritan terjadi dalam beberapa menit hingga jam setelah paparan, dan
kemudian mulai terjadi perbaikan (fenomena decrescendo).11
Pada DKI akut keluhan subjektif yang sering dikeluhkan berupa rasa panas seperti
terbakar dan nyeri. Sensasi nyeri dapat terjadi beberapa detik setelah terpapar bahan iritan
bersifat asam seperti kloroform dan metanol Reaksi ini disebut immediate-type stinging.
Delayed type stinging terjadi kisaran 1-2 menit, puncaknya pada 5-10 menit dan menghilang
dalam 30 menit.4,6,10
Pada DKI akut keluhan objektif muncul pada 24 jam atau >24 jam. Lesi yang
muncul dapat berupa makula eritema yang dapat menjadi nekrosis dan ulserasi, selain itu
dapat timbul vesikel hingga krusta. Distrisbusi lesi dapat terlalisasi pada satu regio atau
menyeluruh, tergantung daerah yang terpapar dengan bahan iritan. 4 Bahan iritan kuat dapat
menyebabkan kerusakan kulit dalam hitungan menit hingga jam sedangkan bahan iritan
lemah bekerja lambat. Reaksi akan muncul setelah kontak beberapa pekan atau bulan, bahkan
dalam hitungan tahun. Bahan iritan kuat dapat menyebabkan reaksi klinis DKI seperti pada
gambar 3.

Gambar3. Dermatitis kontak iritan akibat bahan kimia6

Dermatitis kontak iritan (DKI) kronik


Dermatitis kontak iritan kronik disebut juga sebagai DKI traumiteratif. Karena
biasanya disebabkan paparan berulang terhadap bahan iritan yang bersifat lemah. Iritaniritan lemah ini sering digunakan sebagai bahan-bahan di rumah tangga, yaitu seperti sabun,
deterjen, surfaktan, pelarut organik, dan minyak. DKI kosmetik kronik tidak sering ditemukan
pada wanita.10

Keluhan subjektif yang muncul biasanya berupa rasa nyeri, terbakar, dan gatal. Lesi
yang dapat ditemukan pada DKI kronis adalah xerosis yang dapat menyebabkan
hiperkeratosis dan fisura, selain itu dapat dijumpai likenifikasi, vesikel, pustul, dan erosi.
Predileksi DKI kronik biasanya terdapat di tangan mulai dari sela jari tangan, sebagian atau
seluruh telapak tangan, ataupun dimulai dari ujung jari.1 Gambar 3.

Gambar 3. DKI bilateral kronik pada kaki yang disebabkan oleh penggunaan alas kaki yang oklusif.1

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu tes tempel (patch test) dengan
menempelkan

bahan yang diduga menimbulkan reaksi alergi pada kulit. Bahan ini

ditempelkan dengan memakai Finn Chamber, kemudian dibiarkan sekurangnya 48 jam. 9


Setelah 48 jam, Finn Chamber dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah
dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.9
Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama tes tempel (patch test) yaitu tidak
dilakukan pada keadaan akut, tetapi pada keadaan tenang, Finn Chamber di buka setelah dua
hari, tes minimal dilakukan satu pekan setelah berhenti pemakaian kortikosteroid, penderita
dilarang melakukan aktifitas yang menyebabkan uji tempel (patch test) menjadi longgar
selama 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka sampai pembacaan
terakhir selesai.9
Tabel. 2 Interpretasi Patch test9
Interpretasi pada kulit
Reaksi negative
+
+

Reaksi yang timbul meragukan, hanya macula eritematosa


Reaksi lemah, eritema, infiltrate, dan papul

++
+++

Reaksi kuat, eritema, infiltrate, papul, vesikel


Reaksi sangat kuat, eritema intense, infiltrate, bula atau

IR

ulkus
Reaksi iritasi tipe lain (seperti terbakar, pustul, atau

NT

purpura)
Tidak diuji

Bila hasilnya meragukan uji tempel dapat diulang, reaksi alergi biasanya memberikan
hasil positif yang sama sedangkan reaksi iritasi tidak. Reaksi yang posistif menunjukkan
pasien sudah mengalami kontak dan sensitisasi dengan bahan alergen yang di uji. Jika
hasilnya negatif sedangkan pasien diduga kuat menderita dermatitis kontak alergik maka perlu
penelitian lebih lanjut dan dilakukan uji ulang dengan lebih memperhatikan detil-detil
prosedur testnya. Kesimpulan dari hasil yamg positif dapat menjelaskan bahwa reaksi
berhubungan dengan dermatitis kontak yang pernah diderita atau sekarang diderita, dan
pasien diinformasikan secara jelas penyebabnya agar dapat dihindari.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi sekunder pada lesi DKA terutama oleh
bakteri Streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Selain infeksi bakteri,
perilaku menggaruk dapat menciptakan lingkungan yang ramah bagi jamur. Dapat
menimbulkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan perubahan warna kulit, tebal,
kasar yang disebut neurodermatitis.9
Diagnosis
Diagnosis DKI dan DKA dapat ditegakkan berdasarkan jenis paparan dengan jenis
iritan atau alergen. Apabila kontak dengan iritan kuat, dapat menimbulkan reaksi DKI akut
yang dapat terjadi dalam beberapa menit. Pajanan iritan lemah dapat bermanifestasi klinis
menjadi DKI kronik.
Untuk penegakan diagnosis DKI dan DKA berdasarkan keluhan subjektif dan keluhan
objektif yang dialami pasien. Keluhan subjektif mayor dapat muncul dalam beberapa menit
sampai dengan jam setelah paparan. Pada DKI keluhan nyeri, rasa terbakar, kesemutan,
rasa tidak nyaman disertai gatal sedangkan keluhan subjektif minor dapat muncul dalam 2
pekan setelah

paparan. Kriteria objektif mayor yang dapat ditemui pada DKI adalah

ditemukannya lesi berupa makula, eritem, fisura disertai vesikel. Kriteria objektif minor

yang dapat ditemukan pada DKI yaitu lesi dermatitis dengan batas tegas, adanya vesikel di
sekitar bercak eritem,dan erosi.6,10
Diagnosis Banding
Dalam praktek klinis, DKI dan DKA cukup sulit dibedakan karena banyak bahan
kimia yang dapat bersifat sebagai iritan maupun alergen. Untuk beberapa jenis iritan, akan
terjadi perubahan histopatoogi yang terlihat nyata dan kadang-kadang memiliki karakteristik
tersendiri. Misalnya, secara umum, spongiosis dapat ditemukan sebagai manifestasi dari
reaksi alergi, sedangkan nekrosis epidermis, akantolisis, dan timbulnya pustul umumnya
ditemukan sebagai respons terhadap suatu iritan. Penelitian terbaru menunjukkan sedikit
sekali bukti perbedaan pelepasan sitokin pada kedua jenis dermatitis kontak ini.
Pada DKI dan DKA keluhan subjektif yang dapat ditemukan berupa rasa panas
seperti terbakar , kesemutan dan nyeri. Lesi yang dapat ditemukan pada DKI akut berupa
eritem, vesikel, erosi, krusta dan skuama sedangkan pada DKI kronik dapat ditemukan
papul, fisura, skuama dan krusta. Lesi pada DKA berupa eritema, vesikel, erosi, krusta,
skuama, papul, fisura serta krusta.13
Tabel 3. Perbedaan DKI dan DKA12

10

Gejala

Akut

DKI
DKA
Perih, rasa terbakar, rasa Rasa gatal, kesemutan
menyengat,

hingga rasa nyeri

Kronik Kesemutan atau nyeri


Kesemutan atau nyeri
Akut
Eritema, vesikel, erosi, Eritema, vesikel, erosi,

Lesi

krusta, skuama
Kronik Papul,

fisura,skuama, Papul

krusta
Batas lesi

krusta, skuama

Akut
ill-defined

halus,

fisura,

skuama, krusta
Batas
tegas

sesuai

dengan

Kronik

tempat

yang

terpapar namun meluas


kearah pinggir

Perkembanga

Akut

Hitungan

Kronik terpapar
Bulan

jam

ill-defined
setelah 12-72
jam
paparan

hingga

dengan

dengan paparan berulang


Tergantung
konsentrasi Tidak

penyebab

bahan iritan dan fungsi konsentrasi


penyebab
bergantung

Insiden

Umumnya

bisa

agen

tahun penyebab

Agen

sawar kulit

setelah

tergantung
agen
namun
pada

seberapa besar sensitisasi


terjadi Hanya pada orang yang

Selain
DKI
dan
DKA,
jenis

pada semua orang


ada atopi
kelainan kulit lainnya juga dapat dipertimbangkan sebagai diagnosa banding yaitu, dermatitis
atopik, dermatitis numularis, dermatitis dishidrotik, dermatomikosis, dermatitis seboroik.
Pencegahan
Penatalaksanaan umum untuk DKA dan DKI difokuskan pada pencegahan kontak
terhadap Alergen dan Iritan. Pasien diedukasi untuk menghindari faktor alergen dan faktor
iritan yang berpengaruh. Untuk DKA pasien diberikan pemahaman bahwa alergi tidak akan
hilang setelah lesi dermatitis sembuh serta risiko berulang pada kontak selanjutnya terhadap
alergen tersebut sepanjang hayat harus dijelaskan kepada pasien.
Tatalaksana
11

Pada DKI dan DKA, penatalaksaan utama adalah mengidentifikasi dan menghindari
bahan iritan yang dicurigai sebagai penyebab DKI maupun DKA. Terapi medikamentosa
sistemik berupa prednison 20 mg (3 hari) dan untuk topikal bila lesi basah dapat dikompres
terbuka dengan larutan NaCl 0.9% dan bila kering beri krim kortikosteroid dengan potensi
sedang(DKI) dan potensi kuat (DKA). Pada fase kronis dapat diberikan steroid topikal, yaitu
betametason dipropionate atau clobetasol propionate dan emolien yang adekuat.4,6
Prognosis
Prognosis DKA dan DKI bergantung dari kemampuan individu dalam mencegah
paparan terhadap allergen atau iritan itu sendiri. Salah satu tolak ukur hasil keberhasilan
tatalaksana penderita DKA adalah dengan melihat adanya gangguan saat bekerja, kemampuan
untuk dapat kembali kerja, dan perbaikan lesi kulit. 9 Proses penyembuhan DKI biasanya
terjadi dalam 2 pekan, pada kasus kronik biasanya pasien mengalami penyembuhan setelah 6
pekan. Pada pasien yang memiliki riwayat atopi maka prognosis menjadi lebih buruk.4,6
SIMPULAN
Dermatitis kontak adalah istilah umum untuk menjelaskan reaksi inflamasi akut dan
kronik yang terjadi di kulit akibat paparan iritan atau alergen. Dermatitis kontak dibagi
menjadi dua yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak
iritan disebabkan oleh agen-agen yang bersifat iritan. Iritan ini terbagi menjadi 2 kelompok,
iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat dapat menyebabkan terjadinya DKI akut, sedangkan
pajanan berulang terhadap iritan lemah dapat menyebabkan terjadi DKI kronik.
DKA dan DKI dapat dibedakan berdasarkan riwayat terpajan iritan atau allergen yang
pada manifestasi klinisnya dapat dibedakan melalui gejala, jenis lesi, batas lesi, penyebab, dan
insiden.. Manajemen DKA yaitu dengan pencegahan paparan kembali terhadap alergen baik
menggunakan alat pelindung atau menghentikan kontak dengan alergen. Pemeriksaan
penunjang untuk membedakan DKA hdan DKI dan untuk menegakkan diagnosis
menggunakan patch test.
Pengidentifikasian dan penghindaran terhadap iritan maupun alergen merupakan hal
yang paling utama dalam penatalaksanaan DKI dan DKA. Pasien dapat diberikan Prednison
20mg/hari dalam jangka pendek(3 hari) dan untuk topikal bila lesi basah dapat dikompres
terbuka dengan larutan NaCl 0.9% dan bila kering beri krim kortikosteroid dengan potensi
sedang(DKI) dan potensi kuat(DKA). Apabila terdapat komplikasi infeksi sekunder dapat

12

digunakan antibiotik topikal. Prognosis DKA dan DKI bergantung dari kemampuan individu
dalam mencegah paparan terhadap allergen atau iritan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bourke J. Contact dermatitis and drug eruption. In: James WD, Berger TG, Elston
DM, editors. Andrews disease of the skin clinical dermatology 11th edition. London :
Elsevier; 2011. p. 91-106
2. Johnson RA..Allergic contact dermatitis. In Wolff K Johnson RA, Saavedra AP,
editor. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology 7th edition. New
York: McGraw Hill, 2012. p. 24-31
3. Chowdhury MU. Cutaneus allergy. In Mahbub MU, Katugampola RP, Finlay AY,
editors. Dermatology at a glance 2nd edition. Chicester: John Wiley & Sons; 2013. p.
65-6

4. Holgate S, Church MK, Lichtenstein LM. Allergy. 3rd ed. Philadelphia: Mosby
lsevier; 2006. p.118-127.
5. Beck MH, Wilkinson SM. Contact dermatitis: allergic. In: Burns T, Breathnach S, Cox
N, Gritithiss C, editor. Rookss Textbook of dermatology 7 th edition. Massachusetts :
Blackwell publishing. 2006. p 808-23.
6. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatricks
Dermatologic in general medicine. Edisi ke-7. NewYork: Mc Graw Hill medical 2008;
3(13): 135-146.
7. Helfrich YR, Sachs DL, Voorhees JJ. Overview of skin aging and photoaging. J Derm
Nursing 2008; 20(3): 177-83.
8. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. Andrews Disease of The Skin. Edisi ke-11.
2011. Elsevier. Canada.
9. Khanna N. Alergic contact dermatitis. In Dutta S, editor. Ilustrated synopsis of
dermatology and sexually transmitted diseases 4th edition. Delhi : Elsevier, 2011.
p.101-4

10. Amado A, Taylor JS, Sood A. Irritant contact dermatitis. In: wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatricks Dermatologic in general
medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw Hill medical 2008; 3(46): 395-401.
13

11. Cohen , David. Papulosquamous And Eczematous Dermatoses: Irritant Contact


Dermatitis. In: Bolognia, Jean L, Joseph L Jorizzo, dan Ronald P Rapini.
Dermatology. 2008. 2nd ed. USA: Mosby Elsevier. p. 243-257
12. Wilkinson, S.M., et al. Contact Dermatitis: Irritant. In: Burns, Tony., et al. Rooks
Textbook of Dermatology, 8th edition. Willey Blackwell. 2010. P. 1071-1086.
13. Scalf LA, Shenefelt PD. Contact dermatitis: diagnosing and treating skin conditions
in elderly. J Geriatrics. 2007; 62(6): 14-9

14

Anda mungkin juga menyukai