Pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan terkait satu sama lain-dan karena itu harus dijalankan secara
simultan. Jelas hanya dengan pertumbuhan ekonomi yang disertai pemerataan dan keadilan dapat dilakukan
pembangunan sosial-budaya, khususnya pendidikan.
Hanya dengan peningkatan pendidikan, pembangunan ekonomi dapat berkelanjutan guna mewujudkan
kesejahteraan guna menggapai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur
Akibatnya sektarianisme takfiri seolah mendominasi wacana dan praksis Islam. Tak kurang pentingnya, ketiadaan
ormas Islam yang sekaligus merupakan organisasi masyarakat madani berbasis Islam, membuat absennya
kekuatan penengah dalam kontestasi dan pertarungan politik.
Keadaan ini membuat kontestasi, konflik dan kekerasan meruyak tanpa bisa dihentikan.
Lihatlah satu masalah saja. Kekacauan politik dan kekerasan yang terus berlanjut di Libya, Suriah, Irak, dan
Afghanistan membuat jutaan orang di masing-masing negara menjadi pengungsi lokal (displaced people) dan
ratusan ribu-jika tidak jutaan pula-menjadi pengungsi (refugees) di banyak negara Eropa.
Sebagian mereka-dalam jumlah lebih terbatas-ditampung di Australia dan AS misalnya. Banyak mereka yang
mencoba mengungsi dan menjadi migran di negara-negara Barat itu tidak pernah sampai dengan selamat.
Mereka tenggelam di Laut Tengah sebelum mencapai pulau-pulau tertentu di selatan Yunani atau Turki. Atau
meninggal dalam perjalanan darat. Tapi isu kritikal-yang menimbulkan keadaan kritis-di banyak wilayah Dunia
Islam lebih dari sekadar jutaan warga Muslim yang terhempas dan terkandas baik di negeri mereka sendiri maupun
di wilayah dunia lain.
Terdapat sejumlah isu kritikal lain menyangkut peningkatan: (1), instabilitas politik, ekonomi, dan sosial; (2),
sektarianisme politik, budaya dan agama; dan (3), konflik internal dan eksternal.
Isu-isu kritikal itu menjadi tema pokok pembahasan 'Konsultasi Tindak Lanjut Asian Muslim Action Network (AMAN)
Pasca-Assembly' yang diselenggarakan di Bangkok (30-31 Juli 2016).
Dengan tema utama "The Critical Issues and Challenges Faced by the Muslim World from Within and Beyond"
konsultasi melibatkan aktivis LSM tidak hanya Muslim, tapi juga non-Muslim. Selain dari negara-negara Asia
Tenggara, beberapa peserta juga datang dari Jerman, Mesir, Pakistan, Bangladesh, dan Srilanka.
Memberikan orasi kunci dalam Konsultasi AMAN, penulis Resonansi ini diminta berbicara tentang penyebab dan
dampak ekstrimisme, sektarianisme dan fobia Islam yang menunjukkan gejala peningkatan. Lalu tentang cara-cara
mengatasinya guna menuju pembentukan masyarakat inklusif.
Lagi-lagi peningkatan ekstrimisme dan sektarianisme di kalangan masyarakat Muslim dan penguatan fobia Islam di
lingkungan masyarakat Barat merupakan satu lagi masalah kritikal yang dihadapi Dunia Muslim dewasa ini.
Isu kritikal ini jelas tidak berdiri sendiri; sebaliknya terkait dengan sejumlah isu kritikal lain yang ada di antara
negara-negara Dunia Muslim. Tak kurang pentingnya, berbagai isu kritikal itu terkait dengan realitas dan dinamika
sejarah masing-masing negara Muslim, khususnya sejak selesainya Perang Dunia II.
Berakhirnya Perang Dunia II memberikan kesempatan bagi banyak wilayah di Dunia Muslim untuk mewujudkan
kemerdekaan. Tetapi kemerdekaan dari penjajahan Eropa tidak serta merta dapat menghasilkan kemajuan dalam
kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama.
Sebaliknya ada sejumlah faktor historis yang bekerja mengarahkan perkembangan dan dinamika sejarah
masyarakat dan negara Muslim tertentu ke arah tertentu apakah positif atau negatif.
Sejauh ini ada berbagai faktor dominan yang mengarahkan negara atau masyarakat Muslim ke arah
perkembangan tidak menguntungkan bagi Islam dan kaum Muslimin secara keseluruhan.
Faktor pertama adalah bangkitnya kekuasaan otoriter-baik sipil maupun militer-di banyak negara berpenduduk
mayoritas Muslim. Keadaan ini bisa terlihat di Indonesia dengan Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan Presiden
Soekarno sejak 1959 sampai 1965.
Keadaan yang sama juga terjadi Mesir dengan Nasserisme dalam masa Presiden Mayor Jenderal Gamal Abdel
Nasser, yang berkuasa melalui kudeta penumbangan monarki pada 1956 sampai wafat pada 1970.
Baik Demokrasi Terpimpin maupun Nasserisme masing-masing menampilkan otoritarianisme sipil dan militer.
Keadaan yang sama juga terjadi di banyak negara Muslim lain sejak dari Pakistan, Irak, Suriah, Tunisia dan Libya.
Perkembangan ini kian tidak kondusif dengan adopsi ideologi yang tidak selalu bersahabat dengan agama-dalam
hal ini Islam. Ini terlihat pada ideologi Baathisme di Irak dan Suriah atau sekularisme-Kemalisme di Turki yang
dipertahankan dengan cara apapun oleh militer-khususnya kudeta demi kudeta.
Karena itu, baik rezim yang berkuasa maupun ideologi negara tidak bersahabat dengan agama (religiously
unfriendly). Semua keadaan ini menjadi alasan pokok (raison d'etre) organisasi dan kelompok Muslim tertentuyang kini populer disebut sebagai 'Islamis'-berusaha menumbangkan rezim dan mengganti ideologi negara dengan
cara apapun, termasuk kekerasan yang lazim disebut non-state terrorism.
Rezim penguasa tak jarang pula melakukan kekerasan atau state-sponsored terrorism. Indonesia dalam konteks itu
sedikit lebih beruntung dibandingkan negara-negara Muslim lain yang disebutkan di atas.
Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar atau ideologi negara, yang bisa disebut sebagai bersahabat dengan
agama (religiously friendly basis of the state).