PEMBERLAKUAN UU
NO. 23/2014 DAN
DESENTRALISASI
Kajian di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Penulis
Rikardo Simarmata dan Asep Yunan Firdaus
Penerbit
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum
Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)
Jl. Jati Agung No. 8, Jati Padang - Pasar Minggu
Jakarta 12540 - Indonesia
Telp. +62 (21) 788 45871, 780 6959
Fax. +62 (21) 780 6959
Email. huma@huma.or.id - huma@cbn.net.id
Website. http://www.huma.or.id
Publikasi ini diterbitkan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan
Ekologis (HuMa) atas dukungan dari Program Representasi USAid. Opini yang diekspresikan oleh
penulis/pembuatnya bukan merupakan cerminan ataupun pandangan dari Program Representasi
USAid.
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Daftar Isi
Pendahuluan ..................................................................................
10
37
Rekomendasi ..................................................................................
39
41
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Kata Pengantar
Kita menyadari, konflik terkait sumber daya alam sepanjang tiga tahun terakhir
menyita perhatian publik luas mengingat intensitas ledakannya yang cukup sering.
Ada tren cukup kuat, konflik yang dulu bersifat laten (tertutup) berubah menjadi
manifes (terbuka). Perbedaan sistem penguasaan lahan antar pihak dalam konflik
agraria tak kunjung ada kepastian. Masyarakat gigih mempertahankan hak
penguasaannya secara turun-temurun dan bersifat informal, sementara perusahaan
dan para pihak lain datang dengan sistem penguasaan aturan formal yang tidak
dikenal dalam kebiasaan masyarakat.
Sementara itu diberlakukannya UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah telah menyebabkan beberapa ketidakpastian hukum dalam pengelolaan
sumber daya alam sehubungan dengan bagaimana pembagian kewenangan fungsi
dalam hukum antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Salah satu fitur
yang berani dari undang-undang baru itu adalah mengambilalih kewenangan
pemerintah kabupaten dalam mengelola urusan kehutanan, kelautan, energi dan
sumber daya alam lainnya. Wewenang itu kemudian ditransfer ke pemerintah pusat
dan provinsi (Pasal 14 dan Pasal 16).
Di sisi lain, karena Indonesia memulai pemerintahan desentralisasi sebagai
bagian dari proyek demokratisasi pada 1999, sebagian besar dari peraturan
perundang-undangan, seperti UU Kehutanan No. 41/1999 dan UU No. 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur otoritas
yang berbeda dalam mengelola sumber daya alam. Menganut prinsip dekonsentrasi
kewenangan dalam perlindungan lingkungan dan sistem manajemen dalam hukum
lingkungan.
Terdapat beberapa konsekuensi dari peraturan UU No 23 tahun 2014 ini,
antara lain; Pertama, terjadi tumpang-tindih manajemen pengelolaan sumber daya
alam, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan
pembuatan kebijakan di tingkat lokal. Kedua, program penggunaan lahan seperti
program pertanian dan pertambangan yang merupakan kebijakan pemerintah pusat
dapat mengabaikan dinamika dan konteks lokal, sehingga membuka kemungkinan
konflik yang muncul. Ketiga, membuka ruang kesejangan dan kemiskinan di tingkat
lokal. Sumber daya alam cenderung menjadi miskin secara ekonomi dan sosial
karena kurangnya pembangunan yang diprakarsai pada tingkat lokal. Situasi ini bisa
memicu konflik sosial seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Ketidakpastian hukum telah menyebabkan kebingungan baik bagi para
pejabat pemerintah daerah dan masyarakat. Bagaimana seharusnya mereka harus
bernaung untuk memperkuat hak mereka dalam pengelolaan sumber daya alamnya.
4
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Terdapat kebutuhan yang jelas untuk menutupi kebingungan tersebut, baik dalam
jangka mengatur pemahaman hukum, maupun bagaimana untuk meminimalisasi
ketidakpastian hak masyarakat yang disebabkan oleh munculnya sebuah produk
hukum baru.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dikhawatirkan membuat birokrasi
pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat semakin kompleks dan
membuka lubang hitam sepanjang garis perjuangan masyarakat. Huma sebagai
lembaga yang bergelut dalam pembaruan hukum berbasis masyarakat dan ekologis
merasa penting untuk menerbitkan sebuah kajian tentang studi (legal review)
terkait Undang-Undang No. 23/2014 dalam kerangka memperkuat hukum dan
peraturan tentang pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu publikasi ini
diterbitkan. Laporan riset ini ditujukan kepada para pengambil kebijakan dan publik
pada umumnya. Untuk memberikan kontribusi bagi masyarakat dalam penguatan
advokasi pengelolaan sumber daya alam terkait peraturan perundang-undangan
dan peraturan pelaksananya, baik di tingkat nasional maupun lokal. Akhirul Kalam.
Selamat Membaca.
Salam Hormat,
Perkumpulan HuMa Indonesia
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sejarah membuktikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam (SDA) selalu
menjadi bagian dari pembentukan dan perubahan peraturan perundang-undangan
atau kebijakan mengenai desentralisasi. Hal tersebut terjadi sekalipun sejumlah
sektor sumberdaya alam yang vital seperti energi dan sumberdaya mineral,
kehutanan dan perikanan dan kelautan, tidak terkait dengan pelayanan dasar atau
bahkan urusan pemerintahan yang bersifat wajib. Penempatan pengelolaan SDA
dalam kebijakan desentralisasi karena itu, tidak terlepas dari kedudukan SDA
sebagai sumberdaya yang mendatangkan kemampuan finansial negara untuk
menyelenggarakan pelayanan dasar. Sebagai produk politik, SDA dalam peraturan
perundang-undangan mengenai desentralisasi juga merupakan hasil dari kompromi
dalam proses pengambilan kebijakan publik (public policy making).
Sebagai negara kesatuan, corak peraturan perundangan yang mengatur
pengelolaan SDA salah satunya dipengaruhi oleh tarik menarik antara kepentingan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Setiap kali sentimen anti pusat menguat
di daerah, pemerintah pusat menjawabnya dengan menerbitkan kebijakan
pengelolaan SDA yang desentralistk. Tindakan tersebut sebagai langkah untuk
mengakomodir tuntutan atau meredam meluasnya sentimen tersebut. Kebijakan
desentralisasi dalam pengelolaan SDA juga bisa merupakan respon pemerintah
pusat atas tindakan rakyat mengambil alih dan menduduki tanah dan sumberdaya
alam lainnya yang sebelumnya diklaim dan dikontrol oleh negara. Metode yang
dipilih pemerintah pusat menanggapi sentimen anti pusat dan gerakan pendudukan
tanah negara oleh rakyat selalu sama yaitu melimpahkan sebagian urusan kepada
pemerintah daerah khususnya mengenai pemberian hak atau izin pemanfaatan.
Dengan kewenangan tersebut, pemerintah daerah diharapkan bisa meredam
gejolak daerah lewat pendistribusian manfaat atas SDA dengan memastikan hak
atau izin diberikan kepada kelompok-kelompok kepentingan di daerah.
Kebijakan pengelolaan SDA yang sentralistik berpotensi untuk kembali
apabila kekuasaan pusat semakin terkonsolidasi dan pada saat yang sama kebijakankebijakan pengelolaan SDA yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam rangka
desentralisasi, mendatangkan bencana sosial dan lingkungan. Pada kasus
pencabutan kewenangan pemerintah daerah untuk memberikan izin pengusahaan
hutan skala kecil pada akhir tahun 1960an, elit birokrasi dan kalangan pengusaha
nasional mengkampanyekan opini bahwa kebijakan sentralistik lebih menjamin
konservasi hutan. Padahal agenda sesungguhnya dari kebijakan resentralisasi
tersebut adalah mencegah penguatan kekuasaan di daerah (Manning 1971;
Magenda 1991; Jemadu 1996).
6
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Lihat
dalam
http://www.depkes.go.id/resources/download/rakerkesnas2015/DEPDAGRI.pdf (diunduh 14 Desember 2015).
7
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Metode
Dalam rangka memahami desentralisasi pengelolaan SDA setelah
pemberlakuan UU No. 23/2014, kajian ini menggunakan pendekatan doktrinal.
Pendekatan ini mengandalkan UU 23/2014, UUPPLH, sejumlah UU sektoral dan
peraturan pelaksana sebagai bahan utama. Dari bahan-bahan tersebut akan
diperiksa norma hukum mengenai desentralisasi di bidang pengelolaan SDA baik
dalam bidang hukum pemerintahan maupun pengelolaan SDA. Peraturan
perundang-undangan tersebut juga menjadi bahan untuk membandingkan UU
No.23/2014, UUPLH dan UU sektoral dalam pengaturan desentralisasi pengelolaan
SDA. Maksud peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan desentralisasi
pengelolaan SDA juga diperiksa lewat dokumen-dokumen baik yang dibuat oleh
pemerintah maupun organisasi-organisasi non pemerintah.
Adapun pemeriksaan terhadap dampak pemberlakuan UU No. 23/2014
dilakukan dengan metode pengumpulan dokumen dan FGD. Dokumen tersebut
meliputi laporan media, laporan pemerintah, laporan lembaga swadaya masyarakat
dan laporan penelitian. FGD dilakukan di dua daerah yaitu Pontianak (15/12/2015)
dan Makassar (17/12/2015) dengan peserta mewakli unsur pemerintah daerah,
LSM, perguruan tinggi dan masyarakat.
1.3. Struktur laporan
Laporan kajian ini terdiri atas 5 bagian. Bagian pertama adalah Pendahuluan
yang meliputi latar belakang (1.1) dan fokus dan metode kajian (1.2.) Bagian
berikutnya adalah paparan mengenai pengaturan desentralisasi pengelolaan SDA
baik yang terdapat dalam sejumlah UU Sektoral (2.1), UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidupa (2.3) serta dalam UU No. 23/2014 (2.3). Bagian ini
juga membandingkan ketentuan desentralisasi pengelolaan SDA dalam UU Pemda
dan UU sekotral (2.4). Sebagian bagian yang mencoba memaparkan aspek normatif
desentralisasi pengelolaan SDA, bagian ini melakukan pendalaman dengan
memeriksa sejumlah peraturan pelaksana dalam rangka mengimplementasikan UU
No. 23/2014 (2.5).
Bagian selanjutnya dari laporan kajian ini adalah paparan mengenai dampak
pemberlakuan UU No. 23/2014 yang mencakup organisasi perangkat daerah (3.1)
dan hak masyarakat atas sumberdaya hutan (3.2, 3.3). Laporan ditutup dengan
sejumlah rekomendasi (IV).
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
11
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
4. Penataan Batas dan Pemetaan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan
Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru
5. Penetapan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam,
Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru
6. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus
7. Penatagunaan Kawasan Hutan
8. Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
9. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Unit Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP)
10. Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (Lima Tahunan) Unit KPHP
11. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHP
12. Rencana Kerja Usaha Dua Puluh Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi
13. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi
14. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan
Produksi
15. Penataan Batas Luar Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi
16. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung (KPHL)
17. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHL
18. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit KPHL
19. Rencana Kerja Usaha (Dua Puluh Tahunan) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung
20. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit Usaha Pemanfaatan
Hutan Lindung
21. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindun
22. Penataan Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung
23. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan
Hutan Konservasi (KPHK)
24. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan
(Jangka Menengah) Unit KPHK
25. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHK
26. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru
27. Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru
28. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Wisata Alam dan Taman Buru
29. Penataan Blok (Zonasi) Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman
Wisata Alam dan Taman Buru
30. Pengelolaan Taman Hutan Raya
31. Rencana Kehutanan
32. Sistem Informasi Kehutanan (Numerik dan Spasial)
33. Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi
34. Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi
35. Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi
36. Industri Pengolahan Hasil Hutan
12
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
B. UU PWP&PPK
Tabel 2 di bawah ini memberi gambaran umum mengenai kewenangan yang
didesentralisasikan kepada dearah provinsi dan kabupaten/kota untuk urusan
PWP&PPK menurut UU No. 27/2007 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 1/2014:
Tabel 2. Desentralisasi dalam bidang pesisir&pulau-pulau kecil menurut UUNo.
27/2007
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kewenangan daerah
Menyusun rencana PWP&PPK yang meliputi Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
Pengelolaan data dan informasi mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar
Pengelolaan kawasan konservasi d wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Menetapkan batas sempadan pantai
Merehabilitasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Menyelenggarakan program akreditasi program PWP&PPK
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan PWP&PPK
Menyelenggarakan mitigasi bencana wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat
Memberikan izin lokasi dan izin pemanfaatan untuk masyarakat lokal dan masyarakat
tradisional
15
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
16
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
l.
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Kewenangan provinsi
Pelaksanaan dan koordinasi pencegahan
pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan
serta lingkungannya
Pelaksanaan kebijakan rehabilitasi dan
peningkatan sumberdaya ikan serta
lingkungannya antar kabupaten/kota di
wilayah laut provinsi
Kewenangan kabupaten/kota
Pelaksanaan pencegahan pencemaran dan
kerusakan sumberdaya ikan serta
lingkungannya
Pelaksanaan koordinasi antar
kabupaten/kota
dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan
peningkatansumberdaya ikan serta
lingkungannya
Pelaksanaan penetapan jenis ikan yang
dilarang
untuk diperdagangkan, dimasukkan dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik
Indonesia
Pelaksanaan perlindungan jenis ikan yang
dilindungi
Pengelolaan dan konservasi plasma nutfah
spesifik lokasi di wilayah laut
kewenangankabupaten/kota
20
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
24
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Povinsi
Kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil
Pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil
di luar minyak dan gas bumi.
2. Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di
bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi.
3. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulaupulau kecil.
Perikanan tangkap
1. Pengelolaan penangkapan ikan
di
wilayah laut sampai dengan 12 mil.
2. Penerbitan
izin usaha perikanan tangkap
untuk kapal perikanan berukuran di atas 5 GT
sampai dengan 30 GT.
3. Penetapan lokasi pembangunan serta
pengelolaan pelabuhan perikanan provinsi.
4. Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap
ikan dan kapal pengangkut ikan dengan
ukuran di atas 5 GT sampai dengan 30
GT.
5. Pendaftaran kapal perikanan di atas 5 GT sampai
dengan 30 GT.
Perikanan budidaya
Kabupaten/kota
1.
1.
2.
1.
3.
Pemberdayaan
nelayan kecil dalam
Daerah
kabupaten/kota.
Pengelolaan
dan penyelenggaraan
Tempat Pelelangan
Ikan (TPI)
Penerbitan IUP di
bidang
pembudidayaan ikan
yang usahanya
dalam
(satu)
Daerah
kabupaten/kota.
Pemberdayaan
usaha kecil
pembudidayaan ikan.
Pengelolaan
pembudidayaan ikan
26
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Kehutanan
Pelaksanaan
pengelolaan TAHURA
kabupaten/kota
27
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
28
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
A.
29
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
30
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
32
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
34
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
se-Indonesia. Surat Edaran tersebut bertanggal 16 Januari 2015.2 Pada intinya surat
edaran tersebut mengatur mengenai 4 hal yaitu: (i) langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam rangka penyerahan penyelenggaraan urusan pemerintahan; (ii)
bagaimana melaksanakan tindakan-tindakan masa transisi; (iii) tindakan-tindakan
sementara menunggu terbentuknya perangkat di tingkat daerah yang permanen.
Tindakan-tindakan yang disarankan dilakukan untuk penyerahan
penyelenggaraan urusan pemerintahan misalnya serah terima personil, pendanaan,
saran dan prasarana serta dokumen (P3D) yang harus dituntaskan dalam dua tahun.
Surat edaran menyarankan untuk melakukan inventarisasi P3D sebelum melakukan
serah terima. Saran lainnya agar Gubernur dan Bupati/Walikota melakukan
koordinasi diantara mereka termasuk koordinasi DPRD dan Kementerian relevan.
Dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan umum, surat edaran
memberi petunjuk agar Badan/Kantor Kesbangpol dan atau biro/bagian di
sekretariat daerah yang membidangi urusan pemerintahan menanganinya,
sementara menunggu terbentuknya instansi vertikal yang akan membantu gubernur
dan bupati/walikota. Adapun saran untuk menyelenggarakan tugas dan wewenang
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, surat edaran memberi petunjuk untuk
menugaskan SKPD provinsi menunggu terbentuknya perangkat Gubernur.
Sekitar empat bulan setelah surat edaran Menteri Dalam Negeri, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membuat dan menyebarluaskan sebuah surat
edaran yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati/walkota dan kepala dinas yang
membidangi urusan kehutanan provinsi dan kabupaten/kota.3 Dengan menyebut
ulang sejumlah ketentuan dalam UU Pemda, surat edaran tersebut memperjelas
implikasi pemberlakuan UU Pemda pada kewenangan penyelenggaraan izin dan
pelayanan publik. Kewenangan-kewenangan tersebut yang menurut peraturan
perundangan sebelumnya (PP 38/2007) menjadi milik kabupaten/kota, beralih
kepada provinsi menurut UU Pemda. Hal menarik dari surat edaran tersebut bahwa
peralihan penyelenggaraan kewenangan tersebut secara otomatis terjadi dengan
pemberlakuan UU Pemda.
35
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Salah satu contoh yang disebutkan dalam surat edaran tersebut bahwa
peralihan tersebut bersifat otomatis adalah pemberian izin perhutanan sosial yaitu
izin usaha hutan kemasyarakatan, hak pengelolaan hutan desa dan izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman rakyat. Surat edaran tersebut
menentukan bahwa bagi yang sudah ada penetapan areal oleh Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, izin diberikan oleh Bupati dengan mempertimbangkan
tahapan dan proses yang sudah dilakukan oleh Bupati/walikota.
36
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pada dasarnya dampak yang sangat nyata dari pemberlakukan UU Perda adalah
terhadap perencanaan pembangunan ditingkat Kabupaten/Kota khususnya terkait
kehutanan (selain pertambangan mineral batubara dan kelautan). Dalam bidang
kehutanan saat ini, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan bahkan desa sudah
enggan memasukan kegiatan terkait kehutanan di dalam dokumen perencanaan.
Berkurang atau tidak adanya anggaran pada bidang kehutanan ditingkat
kabupaten/kota, tentu akan berimbas kepentingan masyarakat khususnya mereka
yang sedang melakukan pengelolaan hutan dengan skema perhutanan social
Hal tersebut diungkapkan oleh dua peserta Focused Group Discussion yang masing-masing
mewakili Dinas Pertambangan, Mineral dan Batubara Provinsi Sulawesi Selatan dan Badan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(17/12/2015).
37
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
38
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
IV. Rekomendasi
Rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan dalam rangka menuju dua hal yaitu:
(i) perubahan UU Kehutanan dalam rangka menyesuaikan dengan UU Pemda; dan
(ii) menciptakan kesiapan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk
melaksanakan ketentuan UU Pemda. Dengan dua tujuan tersebut, rekomendasirekomendasi yang diusulkan adalah sebagai berikut:
Pertama, revisi UU Kehutanan untuk menyesuaikan dengan pengaturan
desentralisasi bidang kehutanan yang terdapat dalam UU No. 23/2014, dengan
poin-poin sebagai berikut:
1. Penegasan ulang pembagian kewenangan bidang kehutanan dan sub
bidang kehutanan seperti yang diatur dalam UU No. 23/2014 dengan
cara membuat pasal tersendiri.
2. Perubahan redaksi pengaturan tentang kewenangan mengakui
keberadaan dan hak masyarakat hukum adat atas hutan yaitu
dengan menentukan bahwa kewenangannya ada pada provinsi dan
kabupaten/kota. Ketentuan seperti itu akan mengakhiri silang tafsir
mengenai istilah peraturan daerah yang terdapat di dalam Pasal 67
Ayat 2UU No. 41/1999.
3. Bahwa pengaturan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat tidak diatur lebih lanjut dengan cara
penerbitan PP tersendiri akan tetapi cukup dengan menyatakan
mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku.
39
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
penyelenggaraan
Pemerintah kabupaten/kota
1. Mengidentifikasi kewenangan-kewenangan atributif dalam bidang
pengelolaan sumberdaya alam
2. Menyusun rancangan organisasi perangkat daerah dengan menyesuaikan
pada pengurangan kewenangan secara signfikan pasca pemberlakuan UU
No.23/2014
3. Penataan distribusi sumberdaya manusia pasca pembubaran atau
penyederhanaan SKPD-SKPD yang mengurus bidang kehutanan
4. Pembuatan regulasi yang mengatur penyelenggaraan kewenangan
pengelolaan SDA yang didasarkan pada kewenangan atributif dan regulasi
mengenai organisasi perangkat daerah.
****
40
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
Bahan Bacaan
Artikel
Manning, Chris (1971), The Timber Boom with Special Reference to East
Kalimantan, Bulletin of Indonesian Economic Studies 7(3): 30-60.
Buku
Jemadu, Aleksius (1996), Sustainable Forest Management in the Context of MultiLevel and Multi-Actor Policy Processes. PhD thesis at Katholieke Universiteit
Leuven.
Magenda, Burhan (1991), East Kalimantan The Decline of a Commercial Aristocracy.
Ithaca New York: Southeast Asia Study Program Cornell University.
Peraturan perundang-undangan
Undang-undang
1.
2.
3.
4.
5.
41
Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
42