Anda di halaman 1dari 43

Pemberlakuan UU No.

23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

PEMBERLAKUAN UU
NO. 23/2014 DAN
DESENTRALISASI
Kajian di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan


Sumber Daya Alam
@copyright HuMa 2016

Penulis
Rikardo Simarmata dan Asep Yunan Firdaus

Disain dan Tata Letak


Tim HuMa
Foto Sampul
Adrian Mulya

Cetakan Pertama, Februari 2016

Penerbit
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum
Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)
Jl. Jati Agung No. 8, Jati Padang - Pasar Minggu
Jakarta 12540 - Indonesia
Telp. +62 (21) 788 45871, 780 6959
Fax. +62 (21) 780 6959
Email. huma@huma.or.id - huma@cbn.net.id
Website. http://www.huma.or.id

Publikasi ini diterbitkan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan
Ekologis (HuMa) atas dukungan dari Program Representasi USAid. Opini yang diekspresikan oleh
penulis/pembuatnya bukan merupakan cerminan ataupun pandangan dari Program Representasi
USAid.

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Daftar Isi

Kata Pengantar ..............................................................................

Pendahuluan ..................................................................................

Pengaturan Desentralisasi Pengelolaan SDA ....................................

10

Analisis dampak Pemberlakuan UU Pemda .....................................

37

Rekomendasi ..................................................................................

39

Bahan Bacaan ..................................................................................

41

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Kata Pengantar

Kita menyadari, konflik terkait sumber daya alam sepanjang tiga tahun terakhir
menyita perhatian publik luas mengingat intensitas ledakannya yang cukup sering.
Ada tren cukup kuat, konflik yang dulu bersifat laten (tertutup) berubah menjadi
manifes (terbuka). Perbedaan sistem penguasaan lahan antar pihak dalam konflik
agraria tak kunjung ada kepastian. Masyarakat gigih mempertahankan hak
penguasaannya secara turun-temurun dan bersifat informal, sementara perusahaan
dan para pihak lain datang dengan sistem penguasaan aturan formal yang tidak
dikenal dalam kebiasaan masyarakat.
Sementara itu diberlakukannya UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah telah menyebabkan beberapa ketidakpastian hukum dalam pengelolaan
sumber daya alam sehubungan dengan bagaimana pembagian kewenangan fungsi
dalam hukum antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Salah satu fitur
yang berani dari undang-undang baru itu adalah mengambilalih kewenangan
pemerintah kabupaten dalam mengelola urusan kehutanan, kelautan, energi dan
sumber daya alam lainnya. Wewenang itu kemudian ditransfer ke pemerintah pusat
dan provinsi (Pasal 14 dan Pasal 16).
Di sisi lain, karena Indonesia memulai pemerintahan desentralisasi sebagai
bagian dari proyek demokratisasi pada 1999, sebagian besar dari peraturan
perundang-undangan, seperti UU Kehutanan No. 41/1999 dan UU No. 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur otoritas
yang berbeda dalam mengelola sumber daya alam. Menganut prinsip dekonsentrasi
kewenangan dalam perlindungan lingkungan dan sistem manajemen dalam hukum
lingkungan.
Terdapat beberapa konsekuensi dari peraturan UU No 23 tahun 2014 ini,
antara lain; Pertama, terjadi tumpang-tindih manajemen pengelolaan sumber daya
alam, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan
pembuatan kebijakan di tingkat lokal. Kedua, program penggunaan lahan seperti
program pertanian dan pertambangan yang merupakan kebijakan pemerintah pusat
dapat mengabaikan dinamika dan konteks lokal, sehingga membuka kemungkinan
konflik yang muncul. Ketiga, membuka ruang kesejangan dan kemiskinan di tingkat
lokal. Sumber daya alam cenderung menjadi miskin secara ekonomi dan sosial
karena kurangnya pembangunan yang diprakarsai pada tingkat lokal. Situasi ini bisa
memicu konflik sosial seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Ketidakpastian hukum telah menyebabkan kebingungan baik bagi para
pejabat pemerintah daerah dan masyarakat. Bagaimana seharusnya mereka harus
bernaung untuk memperkuat hak mereka dalam pengelolaan sumber daya alamnya.
4

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Terdapat kebutuhan yang jelas untuk menutupi kebingungan tersebut, baik dalam
jangka mengatur pemahaman hukum, maupun bagaimana untuk meminimalisasi
ketidakpastian hak masyarakat yang disebabkan oleh munculnya sebuah produk
hukum baru.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dikhawatirkan membuat birokrasi
pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat semakin kompleks dan
membuka lubang hitam sepanjang garis perjuangan masyarakat. Huma sebagai
lembaga yang bergelut dalam pembaruan hukum berbasis masyarakat dan ekologis
merasa penting untuk menerbitkan sebuah kajian tentang studi (legal review)
terkait Undang-Undang No. 23/2014 dalam kerangka memperkuat hukum dan
peraturan tentang pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu publikasi ini
diterbitkan. Laporan riset ini ditujukan kepada para pengambil kebijakan dan publik
pada umumnya. Untuk memberikan kontribusi bagi masyarakat dalam penguatan
advokasi pengelolaan sumber daya alam terkait peraturan perundang-undangan
dan peraturan pelaksananya, baik di tingkat nasional maupun lokal. Akhirul Kalam.
Selamat Membaca.

Salam Hormat,
Perkumpulan HuMa Indonesia

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sejarah membuktikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam (SDA) selalu
menjadi bagian dari pembentukan dan perubahan peraturan perundang-undangan
atau kebijakan mengenai desentralisasi. Hal tersebut terjadi sekalipun sejumlah
sektor sumberdaya alam yang vital seperti energi dan sumberdaya mineral,
kehutanan dan perikanan dan kelautan, tidak terkait dengan pelayanan dasar atau
bahkan urusan pemerintahan yang bersifat wajib. Penempatan pengelolaan SDA
dalam kebijakan desentralisasi karena itu, tidak terlepas dari kedudukan SDA
sebagai sumberdaya yang mendatangkan kemampuan finansial negara untuk
menyelenggarakan pelayanan dasar. Sebagai produk politik, SDA dalam peraturan
perundang-undangan mengenai desentralisasi juga merupakan hasil dari kompromi
dalam proses pengambilan kebijakan publik (public policy making).
Sebagai negara kesatuan, corak peraturan perundangan yang mengatur
pengelolaan SDA salah satunya dipengaruhi oleh tarik menarik antara kepentingan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Setiap kali sentimen anti pusat menguat
di daerah, pemerintah pusat menjawabnya dengan menerbitkan kebijakan
pengelolaan SDA yang desentralistk. Tindakan tersebut sebagai langkah untuk
mengakomodir tuntutan atau meredam meluasnya sentimen tersebut. Kebijakan
desentralisasi dalam pengelolaan SDA juga bisa merupakan respon pemerintah
pusat atas tindakan rakyat mengambil alih dan menduduki tanah dan sumberdaya
alam lainnya yang sebelumnya diklaim dan dikontrol oleh negara. Metode yang
dipilih pemerintah pusat menanggapi sentimen anti pusat dan gerakan pendudukan
tanah negara oleh rakyat selalu sama yaitu melimpahkan sebagian urusan kepada
pemerintah daerah khususnya mengenai pemberian hak atau izin pemanfaatan.
Dengan kewenangan tersebut, pemerintah daerah diharapkan bisa meredam
gejolak daerah lewat pendistribusian manfaat atas SDA dengan memastikan hak
atau izin diberikan kepada kelompok-kelompok kepentingan di daerah.
Kebijakan pengelolaan SDA yang sentralistik berpotensi untuk kembali
apabila kekuasaan pusat semakin terkonsolidasi dan pada saat yang sama kebijakankebijakan pengelolaan SDA yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam rangka
desentralisasi, mendatangkan bencana sosial dan lingkungan. Pada kasus
pencabutan kewenangan pemerintah daerah untuk memberikan izin pengusahaan
hutan skala kecil pada akhir tahun 1960an, elit birokrasi dan kalangan pengusaha
nasional mengkampanyekan opini bahwa kebijakan sentralistik lebih menjamin
konservasi hutan. Padahal agenda sesungguhnya dari kebijakan resentralisasi
tersebut adalah mencegah penguatan kekuasaan di daerah (Manning 1971;
Magenda 1991; Jemadu 1996).
6

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Proses pembuatan dan muatan tiga undang-undang mengenai


pemerintahan daerah selama era reformasi dipengaruhi oleh latar belakang
sebagaimana digambarkan di atas. UU No. 22/1999, yang merupakan jawaban atas
salah satu tunturan agenda reformasi, berisi desentralisasi yang dianggap paling
liberal di dunia. Besarnya skala urusan pemerintahan yang dilimpahkan ke daerah
menyebabkan UU tersebut dianggap mendekatkan Indonesia ke sistem
pemerintahan federasi. Kementerian Dalam Negeri menganggap UU No. 22/1999
dominan dengan desentralisasi.1 Pada saat yang sama desentralisasi di bidang
pemberian izin pemanfaatan hutan dan usaha pertambangan dianggap menjadi
penyebab banjir dan pencemaran air di sejumlah tempat di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku dan Papua. Alasan-alasan di atas kemudian melatari penggantian
UU No. 22/1999 dengan No. 32/2004. UU yang terakhir ini dianggap memulai proses
menarik kembali urusan pemerintahan yang sudah dilimpahkan ke daerah.
Kementerian Dalam Negeri menganggap UU No. 32/2004 menghadirkan
keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi.
UU No. 23/2014 yang diundangkan pada Oktober 2014, dianggap sebagai
penyempurna proses sentralisasi yang sudah dimulai sejak UU No. 32/2004. Dalam
bidang pengelolaan SDA UU 23/2014, menarik banyak urusan pemerintahan yang
pernah dilimpahkan kepada kabupaten/kota lewat UU No. 2 dramatis terjadi pada
kewenangan kabupaten/kota di sektor kehutanan dan perikanan&kelautan,
mengakibatkan titik berat otonomi daerah di kabupaten/kota menjadi hapus.
Kementerian Dalam Negeri beragumen bahwa sentralisasi tersebut ditujukan untuk
mencapai pemerintahan yang efektif.
Kemunculan UU No. 23/2014 (selanjutnya UU Pemda) dengan corak
sentralistiknya menyisakan tanda tanya mengenai dampaknya terhadap undangundang di bidang sumberdaya alam seperti UU Kehutanan, UU Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UUPWP&PPK), UU Pertambangan Mineral dan
Batubara (UU Pertambangan Minerba) dan UU Perikanan. Keempat UU tersebut
dinamai sebagai UU Sektoral. Selain terhadap UU Sektoral, UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup , juga menerima dampak dari pemberlakuan UU
Pemda. Sejak tahun 1999, UU Sektoral dan UUPPLH telah menyesuaikan diri dengan
UU No. 22/1999 dan No. 32/2004 dengan mengatur mengenai pembagian
kewenangan. Pada saat yang sama, kementerian-kementerian yang melaksanakan
undang-undang tersebut juga sudah menundukan diri pada peraturan pelaksana UU
No. 22/1999 dan No. 32/2004 yang mengatur mengenai pembagian urusan

Lihat
dalam
http://www.depkes.go.id/resources/download/rakerkesnas2015/DEPDAGRI.pdf (diunduh 14 Desember 2015).
7

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

pemerintahan antara pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi dan


pementahan daerah kabupaten/kota.
Kajian ini, yang menitikberatkan pada review peraturan perundangundangan, bermaksud menggambarkan pengaruh pemberlakuan UU Pemda
terhadap UU Sektoral, termasuk terhadap UU UU PPLH. Pengaruh tersebut
diasumsikan ada karena UU Pemda harus menjadi acuan bagi UU sektoral dalam
mengatur pembagian kewenangan dalam mengurus SDA masing-masing.
Selain memeriksa pengaruhnya terhadap sejumlah undang-undang sektoral,
kajian ini juga mencaritahu dampak pemberlakuan UU Pemda pada pemerintahan
daerah pada 2 hal yaitu: (i) kelembagaan pengelolaan hutan; dan (ii) hak masyarakat
hukum adat terhadap sumberdaya hutan.
1.2. Fokus dan metode kajian
Fokus
Kajian ini menganalisa desentralisasi di bidang pengelolaan SDA setelah
diberlakukannya UU No. 23/2014. Dengan asumsi bahwa UU No. 23/2014 harus
diikuti oleh undang-undang sektoral di bidang SDA sepanjang mengenai pengaturan
penyerahan urusan pemerintahan, kajian ini hendak memeriksa seberapa jauh
kesesuaian dan ketidaksesuaian UU sektoral dengan UU N. 23/2014. Aspek yang
akan diperiksa mencakup jenis-jens urusan pemerintahan dan kelembagaan untuk
pengurusan atau pengelolaan SDA pada sektor tertentu. Selain memeriksa UU
sektoral, kajian ini juga melakukan pemeriksanaan pada UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungn Hidup, pada aspek yang sama.
Hal lain yang diperiksa oleh kajian ini adalah dampak pemberlakuan UU No.
23/2014 dengan fokus pada dua hal yaitu: (i) organisasi pemerintahan di tingkat
daerah; dan (ii) hak masyarakat atas sumberdaya hutan. Dampak pada organisasi
pemerintahan di daerah menunjuk pada perubahan-perubahan berupa
penghapusan/pembubaran, penggabungan atau pembentukan yang terjadi pada
organsasi perangkat daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Perubahan tersebut sebagai akibat dari penghapusan ataupun penyerahan
kewenangan. Adapun dampak pada hak-hak masyarakat atas sumberdaya hutan
berkenaan dengan pengaruh resentralisasi terhadap peluang masyarakat mengelola
hutan. Karena alasan pemberlakuan UU No. 23/2014 masih relatif baru dan
kunjungan lapangan sangat terbatas, maka pemeriksaan atas dampak bersifat
terbatas.

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Metode
Dalam rangka memahami desentralisasi pengelolaan SDA setelah
pemberlakuan UU No. 23/2014, kajian ini menggunakan pendekatan doktrinal.
Pendekatan ini mengandalkan UU 23/2014, UUPPLH, sejumlah UU sektoral dan
peraturan pelaksana sebagai bahan utama. Dari bahan-bahan tersebut akan
diperiksa norma hukum mengenai desentralisasi di bidang pengelolaan SDA baik
dalam bidang hukum pemerintahan maupun pengelolaan SDA. Peraturan
perundang-undangan tersebut juga menjadi bahan untuk membandingkan UU
No.23/2014, UUPLH dan UU sektoral dalam pengaturan desentralisasi pengelolaan
SDA. Maksud peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan desentralisasi
pengelolaan SDA juga diperiksa lewat dokumen-dokumen baik yang dibuat oleh
pemerintah maupun organisasi-organisasi non pemerintah.
Adapun pemeriksaan terhadap dampak pemberlakuan UU No. 23/2014
dilakukan dengan metode pengumpulan dokumen dan FGD. Dokumen tersebut
meliputi laporan media, laporan pemerintah, laporan lembaga swadaya masyarakat
dan laporan penelitian. FGD dilakukan di dua daerah yaitu Pontianak (15/12/2015)
dan Makassar (17/12/2015) dengan peserta mewakli unsur pemerintah daerah,
LSM, perguruan tinggi dan masyarakat.
1.3. Struktur laporan
Laporan kajian ini terdiri atas 5 bagian. Bagian pertama adalah Pendahuluan
yang meliputi latar belakang (1.1) dan fokus dan metode kajian (1.2.) Bagian
berikutnya adalah paparan mengenai pengaturan desentralisasi pengelolaan SDA
baik yang terdapat dalam sejumlah UU Sektoral (2.1), UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidupa (2.3) serta dalam UU No. 23/2014 (2.3). Bagian ini
juga membandingkan ketentuan desentralisasi pengelolaan SDA dalam UU Pemda
dan UU sekotral (2.4). Sebagian bagian yang mencoba memaparkan aspek normatif
desentralisasi pengelolaan SDA, bagian ini melakukan pendalaman dengan
memeriksa sejumlah peraturan pelaksana dalam rangka mengimplementasikan UU
No. 23/2014 (2.5).
Bagian selanjutnya dari laporan kajian ini adalah paparan mengenai dampak
pemberlakuan UU No. 23/2014 yang mencakup organisasi perangkat daerah (3.1)
dan hak masyarakat atas sumberdaya hutan (3.2, 3.3). Laporan ditutup dengan
sejumlah rekomendasi (IV).

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

II. Pengaturan Desentralisasi Pengelolaan SDA


Sejumlah UU sektoral di bidang SDA dan UU PPLH dibuat sebelum UU No
23/2014 (UU Pemda) diberlakukan. UU sektoral dimaksud adalah UU No. 41/1999
(UU Kehutanan),UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sebagaimana telah diubah oleh UU No. 1/2014 (UU PWP&PPK), UU No.
4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), UU No.
31/2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah oleh UU No. 45/2009 (UU
Perikanan). Dalam banyak hal, UU tersebut masih memuat semangat
mendesentralisasi urusan pengelolaan SDA sebagai bagian dari kebijakan memberi
otonomi kepada daerah untuk mengurus dan mengatur berdasarkan prakarsa
sendiri. Pemberlakuan UU Pemda yang membawa semangat mengambil kembali
urusan pemerintahan yang pernah dilimpahkan kepada kabupaten kota, tentu saja
membawa pengaruh pada UU sektoral tersebut dengan cara memintanya
menyesuaikan diri. Pengaruh UU Pemda terhadap UU sektoral dan UUPLH tidak
hanya yang terkait dengan jenis-jenis urusan pemerintahan tetapi juga bentuk
organisasi pemerintahan daerah.
Bagian ini memaparkan ketentuan mengenai desentralisasi bidang pengelolaan
SDA sebagaimana diatur di dalam UU sektoral, UUPLH dan UU Pemda sendiri. Selain
mendeskripsikan, bagian ini juga membuat analisis perbandingan antara UU Pemda
dengan UU Sektoral dan UU PPLH. Tidak hanya sampai disitu, bagian ini juga
menggambarkan implementasi UU Pemda sejauh ini sebagaimana tergambar surat
edaran yang dibuat dan disebarluaskan oleh beberapa kementerian.
2.1. Undang-undang sektoral
A. UU Kehutanan
Undang-Undang (UU) Kehutanan merupakan undang-undang yang menjadi
pionir dalam mengimplementasikan sistem desentralisasi dalam pengelolaan
sumber daya alam khususnya penyelenggaraan kehutanan. Kurang dari 5 (lima)
bulan sejak pengesahan Undang-Undang (UU) No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Pemda), Pemerintah bersama DPR RI mengesahkan UU
Kehutanan.
Suasana euphoria otonomi daerah pada tahun 1999 sangat mempengaruhi
pembentuk Undang-Undang Kehutanan. Otonomi daerah yang diartikan sebagai
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat,
menjadi fondasi dalam aturan penyerahan sebagian kewenangan pusat kepada
daerah dalam penyelenggaraan kehutanan. Meski demikian, pelaksanaannya harus
berdasarkan perundang-undangan.
10

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Sebagaimana diketahui, substansi pengaturan utama dari UU Kehutanan, selain


aspek pembangunan keberlanjutan dan aspek sosial, juga mengenai aspek
desentralisasi kewenangan pengurusan hutan. Pasal 66 mengatur bahwa
Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah.
Tujuan dari penyerahan sebagian kewenangan tersebut adalah untuk meningkatkan
efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa kewenangan yang diserahkan adalah pelaksanaan
pengurusan hutan yang bersifat operasional.
Saat itu, sesuai dengan UU 22 Tahun 1999, Daerah otonom yang dimaksud dalam
hal ini adalah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten / Kota yang berdiri
sendiri dan tidak memiliki hubungan hierarkis. Dipengaruhi pengertian daerah
otonom sebagaimana disebut di atas, kewenangan daerah provinsi dan
kabupaten/kota terbilang sangat besar. Sebagai tindaklanjutnya, diterbitkan
Peraturan Pemerintah (PP) No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Dalam PP 25 Tahun 2000 telah
ditentukan dengan tegas apa saja kewenangan Pemerintah dan Pemerintah
Provinsi, dan diluar yang telah ditentukan menjadi kewenangan Pemerintah
Kabupaten Kota. Dengan kata lain, UU 22 Tahun 1999 dan PP 25 Tahun 2000
menganut konsep otonomi seluas-luasnya berbasis di Kabupaten/Kota.
Tahun 2004, diterbitkan pengganti UU 22 Tahun 1999, yaitu Undang-Undang
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disusun kemudian dengan
Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
Dengan perubahan ini, pemerintah kabupaten/kota tidak lagi diberikan otonomi
seluas-luasnya, tetapi sudah dibatasi oleh sejumlah urusan yang menjadi
kewenangannya.
Secara umum, penyerahan sebagian kewenangan dalam pengurusan hutan
kepada daerah otonom berdasarkan UU Kehutanan, UU 32 Tahun 2004 dan
dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan, terdapat 59 urusan sub bidang kehutanan yang diatur
pembagian kewenangannya baik untuk Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota (Tabel 1).
Tabel 1. Sub bidang pengurusan hutan menurut PP No. 38/2007
SUB BIDANG PENGURUSAN HUTAN
1. Inventarisasi Hutan
2. Pengukuhan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam,
Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru
3. Penunjukan Kawasan Hutan, Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam,
Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru

11

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

4. Penataan Batas dan Pemetaan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan
Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru
5. Penetapan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam,
Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru
6. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus
7. Penatagunaan Kawasan Hutan
8. Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
9. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Unit Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP)
10. Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (Lima Tahunan) Unit KPHP
11. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHP
12. Rencana Kerja Usaha Dua Puluh Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi
13. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi
14. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan
Produksi
15. Penataan Batas Luar Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi
16. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung (KPHL)
17. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHL
18. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit KPHL
19. Rencana Kerja Usaha (Dua Puluh Tahunan) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung
20. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit Usaha Pemanfaatan
Hutan Lindung
21. Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindun
22. Penataan Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung
23. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan
Hutan Konservasi (KPHK)
24. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan
(Jangka Menengah) Unit KPHK
25. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHK
26. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru
27. Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru
28. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Wisata Alam dan Taman Buru
29. Penataan Blok (Zonasi) Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman
Wisata Alam dan Taman Buru
30. Pengelolaan Taman Hutan Raya
31. Rencana Kehutanan
32. Sistem Informasi Kehutanan (Numerik dan Spasial)
33. Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi
34. Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi
35. Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi
36. Industri Pengolahan Hasil Hutan

12

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

37. Penatausahaan Hasil Hutan


38. Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung
39. Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Kehutanan
40. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove
41. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
42. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove
43. Reklamasi Hutan pada Areal yang Dibebani Izin Penggunaan Kawasan Hutan
44. Reklamasi Hutan Areal Bencana Alam
45. Pemberdayaan Masyarakat Se-tempat di Dalam dan di Sekitar Hutan
46. Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan
47. Hutan Kota
48. Perbenihan Tanaman Hutan
49. Pengusahaan Pariwisata Alam pada Kawasan Pelestarian Alam, dan Pengusahaan
Taman Buru, Areal Buru dan Kebun Buru
50. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru
51. Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar
52. Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
53. Lembaga Konservasi
54. Perlindungan Hutan
55. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
56. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kehutanan
57. Penyuluhan Kehutanan
58. Pembinaan dan Pengendalian Bidang Kehutanan
59. Pengawasan Bidang Kehutanan

Dari 59 urusan di bidang kehutanan, hanya pada urusan-urusan di bawah ini


dimana daerah provinsi dan kabupaten/kota yang tidak memiliki kewenangan, yatu:

Pengukuhan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan


Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru (urusan
sub bidang no.2)
Penataan Batas dan Pemetaan Kawasan Hutan Produksi, Hutan
Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan
Taman Buru (urusan sub bidang no.4)
Penetapan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan
Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru (urusan
sub bidang no.5)
Penataan Blok (Zonasi) Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman
Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru (urusan sub bidang
no.29)
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan
Taman Buru (urusan sub bidang no.50)
Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar (urusan sub bidang no.51)
13

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kehutanan (urusan sub bidang


no.56)

Pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan sebagai leading sector kemudian


menerbitkan sejumlah peraturan pemerintah (PP) sebagai tindak lanjut dari UU
Kehutanan. Peraturan pemerintah yang mengatur pembagian kewenangan dan
urusan kehutanan antara lain:
1) PP 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan
Hutan, yang kemudian diganti dengan PP 6 Tahun 2007 tentang
Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan PP No.3
Tahun 2008;
2) PP 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan;
3) PP 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan sebagaimana telah
diubah dengan PP 60 Tahun 2009;
4) PP 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota;
5) PP 58 Tahun 2007 tentang Dana Reboisasi;
6) PP 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan;
7) PP 36 Tahun 2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman
Wisata Alam;
8) PP 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan,
sebagaimana telah diubah dengan PP 61 Tahun 20012
9) PP 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan PP 60 Tahun
2012
10) PP 43 Tahun 2009 Tentang Pembinaan, Pembiayaan dan
Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Berbagai peraturan pemerintah terkait kehutanan yang diterbitkan
pemerintah tersebut pada dasarnya mengatur:
(1)
(2)
(3)
(4)

jenis-jenis urusan yang kewenangannya diserahkan;


tatacara dan tata hubungan kerja;
mekanisme pertanggungjawaban; dan
pengawasan dan pengendalian;

Kewenangan yang cukup nyata bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang


kehutanan diwujudkan dalam bentuk antara lain:
- kewenangan dalam penerbitan izin antara lain IUPK, IUPJL,
IUPHHBK, IPHHK, IPHHBK
14

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

kewenangan pemberian rekomendasi misalnya untuk IUPHHK


kewenangan mengesahkan perencanaan kehutanan untuk wilayah
kabupaten kota
membentuk struktur satuan kerja perangkat daerah (dinas
kehutanan)
menyusun peraturan daerah (Perda) yang berhubungan dengan
kehutanan.

B. UU PWP&PPK
Tabel 2 di bawah ini memberi gambaran umum mengenai kewenangan yang
didesentralisasikan kepada dearah provinsi dan kabupaten/kota untuk urusan
PWP&PPK menurut UU No. 27/2007 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 1/2014:
Tabel 2. Desentralisasi dalam bidang pesisir&pulau-pulau kecil menurut UUNo.
27/2007
No
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Kewenangan daerah
Menyusun rencana PWP&PPK yang meliputi Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
Pengelolaan data dan informasi mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar
Pengelolaan kawasan konservasi d wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Menetapkan batas sempadan pantai
Merehabilitasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Menyelenggarakan program akreditasi program PWP&PPK
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan PWP&PPK
Menyelenggarakan mitigasi bencana wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat
Memberikan izin lokasi dan izin pemanfaatan untuk masyarakat lokal dan masyarakat
tradisional

Kesebelas urusan yang terdapat dalam tabel di atas diselenggarakan oleh


pemerintah provinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masingmasing. Pemerintah provinsi berwenang mengurusi sepanjang bersifat lintas
kabupaten/kota. Berdasarkan tabel di atas maka kewenangan pemerintah daerah
dalam urusan PWP&PPK mencakup perencanaan, pemanfaatan (termasuk

15

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

pemberian izin), konservasi dan perlindungan, monitoring dan evaluasi, penelitian


dan pengembangan, dan pemberdayaan masyarakat.
C. UU Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Pertambangan Minerba, terbit setelah 42 tahun sejak pertama
kali urusan pertambangan diatur dalam UU No.11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan. Sama seperti UU PPLH, UU Pertabangan Minerba cukup lambat
melakukan penyesuaian dengan UU Pemda.
Sebagai pengganti dari UU Pertambangan No.11 Tahun 1997, UU Pertambangan
Minerba menegaskan bahwa 1). Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang
tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya
dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku
usaha; 2). Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha
yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat
setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin,
yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing; 3). Dalam
rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan
pemerintah daerah; 4). Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan
sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia; 5). Usaha
pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong
kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong
tumbuhnya industri penunjang pertambangan; 6). Dalam rangka terciptanya
pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan
dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi
masyarakat.
UU Pertambangan Minerba, mengatur pembagian kewenangan pemerintah,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sebagai berikut: (Pasal 6,
Pasal 7 dan Pasal 8)

1) Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral


dan batubara, antara lain, adalah:
a. penetapan kebijakan nasional;
b. pembuatan peraturan perundang-undangan;
c. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria;

16

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

d. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan


batubara nasional;
e. penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan
pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia;
f. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat,
dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas
wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas)
mil dari garis pantai;
g. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat,
dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi
penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau
wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
h. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat,
dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang
berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam
wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
i. pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;
j. pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan
lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan
yang baik;
k. penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan
konservasi;
l. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan
masyarakat;
m. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari
hasil usaha pertambangan mineral dan batubara;
n. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah;
o. pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di
bidang pertambangan;
p. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta
eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi
mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan WUP dan
WPN;
q. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya
mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada
tingkat nasional;
r. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan
pascatambang;
17

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

s. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat


nasional;
t. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha
pertambangan; dan
u. peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah, pemerintah
provinsi,
dan
pemerintah
kabupaten/kota
dalam
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
2) Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan
mineral dan batubara, antara lain, adalah:
a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
b. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat
dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah
kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai
dengan 12 (dua belas) mil;
c. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat
dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang
kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota
dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua
belas) mil;
d. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat
dan pengawasan usaha pertambangan yang berdampak
lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah
laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
e. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta
eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi
mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya;
f. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya
mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada
daerah/wilayah provinsi;
g. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada
daerah/wilayah provinsi;
h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha
pertambangan di provinsi;
i. pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam
usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan;
j. pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan
peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannya;
k. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum,
dan penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan
bupati/walikota;
18

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

l.

penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri,


serta ekspor kepada Menteri dan bupati/walikota;
m. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan
pascatambang; dan
n. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan
pemerintah
kabupaten/kota
dalam
penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan.
3) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah
kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat)
mil;
c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi
produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota
dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta
eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi
mineral dan batubara;
e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan
batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah
kabupaten/kota;
f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada
wilayah kabupaten/kota;
g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam
usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan;
h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat
kegiatan usaha pertambangan secara optimal;
i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum,
dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri
dan gubernur;
j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri,
serta ekspor kepada Menteri dan gubernur;
k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan
pascatambang; dan
l. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. (2)
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana
19

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.
Kewenangan yang cukup nyata bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
bidang Pertambangan Mineral dan Batubara diwujudkan dalam bentuk antara lain:
- kewenangan dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) dan
izin usaha pertambangan rakyat (IUPR)
- membentuk struktur satuan kerja perangkat daerah (dinas
pertambangan)
- menyusun peraturan daerah (Perda) yang berhubungan dengan
pertambangan.
D. UU Perikanan
Menurut UU No. 31/2004 urusan perikanan dapat dilaksanakan oleh pemerintah
daerah dengan penyerahan urusan (desentralisasi) dan tugas pembantuan. Dalam
UUNo. 49/2009 yang merubah UU No. 31/2004, penyerahan urusan tersebut
dihapuskan dan menyisakan tugas pembantuan. Penyerahan urusan di bidang
perikanan diatur lebih lanjut dalam PP No.38/2007 sebagai peraturan pelaksana dari
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tabel 3 berikut berisi gambaran
urusan perikanan yang diserahkan kepada daerah menurut PP tersebut:
Tabel 3. Desentralisasi di bidang perikanan menurut PP 38/2007
No
1

Kewenangan provinsi
Pelaksanaan dan koordinasi pencegahan
pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan
serta lingkungannya
Pelaksanaan kebijakan rehabilitasi dan
peningkatan sumberdaya ikan serta
lingkungannya antar kabupaten/kota di
wilayah laut provinsi

Pelaksanaan dan koordinasi penetapan


jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,
dimasukkan dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik
Indonesia

Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis


ikan yang dilindungi
Pelaksanaan koordinasi pengelolaan dan
konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di
wilayah laut kewenangan provinsi

Kewenangan kabupaten/kota
Pelaksanaan pencegahan pencemaran dan
kerusakan sumberdaya ikan serta
lingkungannya
Pelaksanaan koordinasi antar
kabupaten/kota
dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan
peningkatansumberdaya ikan serta
lingkungannya
Pelaksanaan penetapan jenis ikan yang
dilarang
untuk diperdagangkan, dimasukkan dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik
Indonesia
Pelaksanaan perlindungan jenis ikan yang
dilindungi
Pengelolaan dan konservasi plasma nutfah
spesifik lokasi di wilayah laut
kewenangankabupaten/kota
20

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pelaksanaan koordinasi eksplorasi, eksploitasi,


konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan
danau, sungai, rawa dan wilayah perairan
lainnya di wilayah provinsi

Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan


konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan
sumberdaya ikan kewenangan provinsi

Pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi,


konservasi
dan pengelolaan kekayaan perairan danau,
sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya
di wilayah kabupaten/kota
Pelaksanaan pengelolaan konservasi
sumberdaya ikan dan lingkungan
sumberdaya
ikan kewenangan kabupaten/kota

2.2. UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


UU PPLH dibentuk setelah satu dekade UU Pemda No.22 Tahun 1999 diterbitkan.
Meskipun terhitung lambat melakukan penyesuaian terhadap perubahan sistem
pemerintahan yang berbasis pada konsep otonomi daerah, UU PPLH memiliki waktu
yang lebih banyak dibanding kementerian lainnya dalam hal mencermati berbagai
aspek dalam perumusan UU PPLH.
Dibandingkan pendahulunya yaitu UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, terdapat perbedaan mendasar yaitu adanya penguatan terkait
prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan
pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan
dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian
aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.
UU PPLH yang sudah mengatur dengan cukup lengkap apa saja yang menjadi
kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Tidak seperti UU Kehutanan yang mendelegasikan pengaturan rinci mengenai
penyerahan kewenangan pengurusan hutan kepada peraturan pemerintah.
UU PPLH, mengatur pembagian kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota sebagai berikut: (Pasal 63)

(2) Tugas dan kewenangan Pemerintah yaitu:


a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
nasional;
21

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;


e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan
UKL-UPL;
f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan
emisi gas rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan
dan
melaksanakan
pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber
daya alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati,
sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa
genetik;
j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan
ozon;
k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah,
serta limbah B3;
l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
perlindungan lingkungan laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas
negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala
daerah;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
p. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian
sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan
pengaduan masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional
v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan
pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
22

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan


penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan
hidup;
y. menerbitkan izin lingkungan;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan
aa. melakukan penegakan hokum lingkungan hidup.
(3) Tugas dan kewenangan Pemerintah Provinsi yaitu:
a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
provinsi;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan
UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi
gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengoordinasikan
dan
melaksanakan
pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas
kabupaten/kota;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah
kabupaten/kota;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antarkabupaten/antarkota serta
penyelesaian sengketa;
l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada
kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan;
m. melaksanakan standar pelayanan minimal;
n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi;
p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi
ramah lingkungan hidup;
23

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan


penghargaan;
r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan
s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat
provinsi.
(4) Tugas dan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu:
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan
UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi
gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi
lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota.

Dengan pembagian sedemikian rupa terdapat kewenangan yang cukup


nyata bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang lingkungan hidup yang
diwujudkan dalam bentuk antara lain:
- kewenangan menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan
lingkungan hidup;

24

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

kewenangan dalam penerbitan izin lingkungan, apabila Keputusan


Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL diterbitkan
oleh bupati/walikota.
membentuk struktur satuan kerja perangkat daerah (badan
linkungan hidup daerah)
menyusun peraturan daerah (Perda) yang berhubungan dengan
lingkungan hidup.

Namun amat disayangkan karena belum banyak peraturan pemerintah (PP)


yang diterbitkan sebagai pelaksana dari UU PPLH. Peraturan pemerintah yang cukup
mendasar seperti PP tentang Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan PP tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis masih dalam
bentuk draft peraturan.
2.3. UU Pemerintahan Daerah
Sebagaimana dijelaskan pada bagian Pendahuluan, UU No. 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda) bercorak sentralistik. Sekalipun Kementerian
Dalam Negeri menyebut UU ini memiliki tujuan menciptakan penyelenggaraan
pemerintahan yang efektif, ketentuan dan penjelasan di dalamnya menyiratkan
kehendak untuk memusatkan kembali penyelenggaraan pemerintahan. Untuk
menjustifikasi penyelenggaraan pemerintahan sentralistk tersebut, UU ini
membangun sejumlah argumen mengenai asal-usul kekuasaan pemerintahan. UU
ini berargumen bahwa dalam negara kesatuan, pemerintah pusat lah yang pertama
kali mendapatkan kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut kemudian dibagibagi ke pemerintah daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah berada di bawah
pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan. Dikatakan juga bahwa tanggungjawab akhir penyelenggaraan
pemerintahan ada pada pemerintah pusat sebagai sumber asal kekuasaan
pemerintahan.
UU Pemda secara konsisten menampakan ekspresi sentralisme
penyelenggaraan pemerintahan ketika merumuskan ketentuan-ketentuan
mengenai penyerahan kewenangan (desentralisasi). Secara umum, UU Pemda
menarik secara signifikan kewenangan pengelolaan SDA dari kabupaten/kota.
Dalam bidang kehutanan, hanya pengelolaan taman hutan raya yang masih tersisa
di daerah. Sebagian kewenangan ditarik ke pusat atau dilimpahkan ke provinsi.
Perubahan lebih drastis terjadi pada sektor kelautan. UU Pemda tidak menyisakan
satu kewenangan pun kepada kabupaten/kota untuk pengelolaan sumberdaya laut.
Desentralisasi pengelolaan sumberdaya laut hanya sampai di tingkat provinsi. Tidak
seperti di sektor kelautan, pada sektor perikanan, kabupaten/kota masih memiliki
kewenangan sekalipun lebih banyak untuk urusan pemberdayaan nelayan kecil.
25

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Urusan lainnya adalah pengelolaan dan penyelanggaraan Tempat Pelelangan Ikan


(TPI) dan menerbitkan izin perikanan budidaya. Kewenangan yang diberikan ke
provinsi banyak menyangkut perizinan selain pengawasan sumberdaya perikanan.
Untuk bidang energi dan sumberdaya mineral, UU Pemda masih memberikan
kewenangan kepada provinsi dan kabupaten/kota sepanjang tidak mengenai
minyak dan gas bumi. Gambaran lengkap pembagian kewenangan dalam bidang
sumberdaya alam menurut UU Pemda seperti terlihat dalam Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Desentralisasi bidang SDA menurut UU No.23/2014
Sektor
Kelautan
dan
perikanan

Povinsi
Kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil
Pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil
di luar minyak dan gas bumi.
2. Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di
bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi.
3. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulaupulau kecil.
Perikanan tangkap
1. Pengelolaan penangkapan ikan
di
wilayah laut sampai dengan 12 mil.
2. Penerbitan
izin usaha perikanan tangkap
untuk kapal perikanan berukuran di atas 5 GT
sampai dengan 30 GT.
3. Penetapan lokasi pembangunan serta
pengelolaan pelabuhan perikanan provinsi.
4. Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap
ikan dan kapal pengangkut ikan dengan
ukuran di atas 5 GT sampai dengan 30
GT.
5. Pendaftaran kapal perikanan di atas 5 GT sampai
dengan 30 GT.
Perikanan budidaya

Kabupaten/kota

1.

1.

2.

1.

Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang


usahanya lintas Daerah kabupaten/kota
dalam
1 (satu) Daerah provinsi.
2.

3.

Pemberdayaan
nelayan kecil dalam
Daerah
kabupaten/kota.
Pengelolaan
dan penyelenggaraan
Tempat Pelelangan
Ikan (TPI)

Penerbitan IUP di
bidang
pembudidayaan ikan
yang usahanya
dalam
(satu)
Daerah
kabupaten/kota.
Pemberdayaan
usaha kecil
pembudidayaan ikan.
Pengelolaan
pembudidayaan ikan

26

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Kehutanan

Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan


sampai dengan 12 mil
Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil
perikanan lintas Daerah kabupaten/kota
dalam
1 (satu) Daerah provinsi
Pengelolaan hutan
1. Pelaksanaan tata hutan kesatuan pengelolaan
hutan kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan
konservasi (KPHK).
2. Pelaksanaan rencana pengelolaan
kesatuan
pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan
pengelolaan hutan konservasi (KPHK).
3. Pelaksanaan pemanfaatan hutan
di
kawasan hutan produksi
dan
hutan
lindung, meliputi:
a. Pemanfaatan kawasan hutan;
b. Pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu;
c. Pemungutan hasil hutan;
d. Pemanfaatan jasa lingkungan
kecuali
pemanfaatan penyimpanan dan/atau
penyerapan karbon
4. Pelaksanaan rehabilitasi di luar
kawasan
hutan negara.
5. Pelaksanaan perlindungan hutan di hutan
lindung, dan hutan produksi.
6. Pelaksanaan pengolahan hasil hutan bukan
kayu.
Pelaksanaan pengolahan hasil hutan
kayu
dengan kapasitas produksi < 6000 m/tahun.
7.

Pelaksanaan pengelolaan KHDTK untuk


kepentingan religi.
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
1. Pelaksanaan perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan secara lestari taman hutan raya
(TAHURA) lintas Daerah kabupaten/kota.
2. b. Pelaksanaan perlindungan tumbuhan dan
satwa liar yang
tidak dilindungi dan/atau
tidak masuk dalam lampiran (Appendix) CITES.
3. Pelaksanaan pengelolaan kawasan bernilai
ekosistem penting dan daerah
penyangga
4. kawasan suaka alam dan kawasam pelestarian
alam.

Pelaksanaan
pengelolaan TAHURA
kabupaten/kota

27

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pendidikan dan Pelatihan, Penyuluhan dan


Pemberdayaan Masyarakat di bidang Kehutanan
1. Pelaksanaan penyuluhan kehutanan
provinsi.
2. Pemberdayaan masyarakat di bidang
kehutanan.
Pengelolaan
Daerah
Aliran Sungai (DAS)
Pelaksanaan pengelolaan DAS lintas Daerah
kabupaten/kota dan dalam Daerah kabupaten/kota
dalam 1 (satu) Daerah provinsi

2.4. Perbandingan UU Pemda dengan UU Sektoral

Dengan diterbitkan pengganti UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah oleh UU 23 Tahun 2014, pembagian urusan pemerintahan menjadi salah
topik penting dan menarik perhatian banyak pihak.
Pembagian urusan pemerintahan menjadi penting bagi Pemerintah
Kabupaten/Kota karena menyangkut kewenangan apa saja yang masih dipegang
dengan terbitnya UU Pemda yang baru tersebut. Dalam suatu acara seminar
nasional di Bulan Maret 2015, di Kalimantan Timur, dengan topik bahasan adalah
materi UU Pemda yang baru, mengundang banyak komentar utamanya dari
Pemerintah Kabupaten/Kota. Pokok argumentasinya, adalah bakal hilangnya
sebagian bersar kewenangan pemerintah kabupaten/kota khususnya pada bidang
kehutanan, pertambangan dan kelautan. Nada kekecewaan begitu tampak dari
komentar dan pertanyaan para wakil pemerintah kabupaten/kota.
Khusus pada bidang kehutanan dan pertambangan, implikasi penerapan UU 32
Tahun 2014 akan menyebabkan hilangnya dinas kehutanan dan dinas
pertambangan. Sebab, tidak signifikan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk
membentuk SKPD Kehutanan dan Pertambangan jika wewenang atau hal yang
diurus hanya 1 (satu) urusan. Misalnya di bidang kehutanan, Pemerintah
kabupaten/kota hanya berwenang mengurus Taman Hutan Raya (Tahura),
sedangkan di bidang energy dan sumber daya mineral hanya mengurus penerbitan
izin pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota.

28

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Paparan berikut membandingkan ketentuan UU Pemda dengan beberapa UU


sektoral (UU Kehutanan, UU PWP&PPK, UU Pertambangan Minerba, UU Perikanan)
dan UU PPLH terkait dengan desentralisasi pengelolan SDA.

A.

UU Pemda dengan UU Kehutanan

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya, UU Kehutanan telah


mengatur penyerahan sebagian kewenangan pengurusan hutan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota. Dari 59 kewenangan yang diatur di dalam PP 38 Tahun 2007, hanya
7 diantaranya yang tidak diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Hal ini
menegaskan bahwa orientasi otonomi daerah pada bidang kehutanan masih berada
di pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota, selain pemerintah
provinsi.
Akan tetapi, dengan dicabutnya UU 32 Tahun 2004 beserta perubahanperubahannya, terjadi perubahan yang sangat drastis terkait kewenangan
pemerintah kabupaten/kota dalam urusan kehutanan. Seperti sudah disebutkan
sebelumnya, UU Pemda menentukan bahwa untuk bidang kehutanan,
kabupaten/kota hanya memiliki 1 kewenangan yaitu Pelaksanaan Pengelolaan
Taman Hutan Raya (Tahura).
Pelaksanaan dan pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) menjadi bagian
dari sub urusan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam bidang kehutanan tersebut,
menjadi satu-satunya kewenangan yang dimiliki berdasar UU 23 Tahun
2014.Dengan kata lain, urusan kehutanan kembali menjadi tersentralisasi, kendati
ada pemerintah provinsi yang masih memiliki kewenangan yang cukup besar.
Namun, pemerintah provinsi sejatinya merupakan kepanjangan tangan pemerintah
pusat melalui konsep dekonsentrasi.
Hal ini berbanding terbalik dengan orientasi pengurusan hutan yang diatur
dalam UU Kehutanan yang tegas menyatakan bahwa Pemerintah menyerahkan
sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. Dengan kewenangan yang
diserahkan tersebut, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk
antara lain:
-

kewenangan dalam penerbitan izin antara lain IUPK, IUPJL,


IUPHHBK, IPHHK, IPHHBK
kewenangan pemberian rekomendasi misalnya untuk IUPHHK

29

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

kewenangan mengesahkan perencanaan kehutanan untuk wilayah


kabupaten kota
membentuk struktur satuan kerja perangkat daerah (dinas
kehutanan)
menyusun peraturan daerah (Perda) yang berhubungan dengan
kehutanan

Dicabutnya berbagai kewenangan pemerintah daerah dalam urusan


kehutanan oleh UU 23 tahun 2014 akan mengakibatkan berkurangnya anggaran
secara drastis pada APBD kabupaten/kota, tidak adanya SKPD yang mengurusi
kehutanan secara khusus pada tingkat kabupaten/kota, hilangnya kewenangan
pemerintah kabupaten/kota untuk menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur
pengelolaan hutan di wilayahnya, dan hilangnya kewenangan dalam penerbitan
berbagai perizinan.
B. UU Pemda dengan UU PWP&PPK
Dalam UU Pemda tidak secara eksplisit diatur kewenangan pada bidang pesisir
dan pulau-pulau kecil. Akan tetapi untuk pesisir, karena secara geografis terletak di
kawasan laut dan tempat berhuni ikan-ikan, maka ketentuan mengenai kewenangan
kelautan dan perikanan dapat diterapkan.
Bila dibandingkan UU Pemda dengan UU PWP&PPK terdapat perbedaaan
signifikan. UU PWP&PPK berspirit memberikan kewenangan kepada daerah
(provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengurus pesisir dan pulau-pulau kecil secara
komprehensif. Kewenangan yang dilimpahkan mulai dari perencanaan,
pemanfaatan (termasuk pemberian izin), konservasi dan perlindungan, monitoring
dan evaluasi, penelitian dan pengembangan sampai pemberdayaan masyarakat.
Untuk perencanaan, daerah diberikan kewenangan untuk menyusun Rencana
Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan dan Rencana Aksi.
Sementara itu UU Pemda tidak memberikan kewenangan perencanaan baik
kepada provinsi maupun kabupaten/kota. Kewenangan yang diberikan meliputi
pengelolaan, pemberian izin dan pemberdayaan. Ini menunjukan bahwa
kewenangan yang diberikan relatif tidak sekomprehensif UU PWP&PPK.
Satu catatan penting dari aspek sinkronisasi antar peraturan perundangan, UU
Pemda lalai karena tidak menetapkan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai salah
urusan. Padahal dengan adanya UUP PWP&PPK, secara hukum pesisir dan pulaupulau kecil sudah menjadi urusan yang menjadi obyek pengaturan.

30

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

C. UU Pemda dengan UU Pertambangan Minerba


Hadirnya UU 23 Tahun 2014 memberi dampak signifikan terhadap pembagian
urusan pemerintahan dibidang pertambangan minerba. Berdasarkan UU
Pertambangan Minerba, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan sebagai
berikut:
a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah
kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat)
mil;
c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi
produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota
dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta
eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi
mineral dan batubara;
e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan
batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah
kabupaten/kota;
f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada
wilayah kabupaten/kota;
g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam
usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan;
h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat
kegiatan usaha pertambangan secara optimal;
i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum,
dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri
dan gubernur;
j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri,
serta ekspor kepada Menteri dan gubernur;
k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan
pascatambang; dan
l. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. (2)
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
31

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Sedangkan berdasarkan UU 23 Tahun 2014, pemerintah kabupaten/kota


tidak akan memiliki lagi satu kewenangan pun dalam urusan pertambangan
minerba. Hal ini tentu mengundang reaksi dan kontroversi terutama dari kalangan
pemerintah kabupaten/kota. Dengan kata lain, dalam urusan pertambangan
minerba, maka telah terjadi sentralisasi 100%.
Dengan berlakunya UU 23 Tahun 2014, maka pemerintah kabupaten/kota
tidak memiliki:
-

membentuk struktur satuan kerja perangkat daerah (dinas


pertambangan)
kewenangan menyusun peraturan daerah (Perda) yang
berhubungan dengan pertambangan
kewenangan dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) dan
izin usaha pertambangan rakyat (IUPR)

D. UU Pemda dengan UU Perikanan


Jika ukurannya adalah bentuk penyerahan dan skala cakupan wewenang UU
Pemda lebih maju dibanding UU Perikanan. Penyerahan kewenangan dalam UU
Pemda lewat desentralisasi sementara UU Perikanan lewat tugas pembantuan.
UU Pemda masih memberikan kewenangan menerbitkan izin kepada daerah
terutama provinsi sementara UU Perikanan memberikannya hanya bila
menyangkut pengelolaan danau, sungai dan rawa. Kewenangan yang diserahkan
kepada daerah dalam UU Perikanan berfokus pada perlindungan dan konservasi.

2.5 UU Pemda dengan UU PPLH


Pembagian urusan pemerintahan dalam bidang lingkungan hidup merupakan
urusan bersifat konkuren yang masuk kategori urusan wajib. Dengan demikian,
pemerintah kabupaten/kota akan diserahi kewenangan untuk mengurus bidang
lingkungan hidup. Berbeda dengan urusan pemerintahan bidang kehutanan yang
masuk kategori pilihan. Artinya tidak selalu ada di setiap kabupaten/kota.
Bila mencermati pembagian urusan pemerintahan berdasarkan UU 23 Tahun
2014, maka rincian sub urusannya seperti terlihat dalam Tabel 5 berikut:

32

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Tabel 5. Sub urusan dalam bidang LH menurut UU N. 23/2014


No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Sub Urusan Pemerintah/


Pemerintah Provinsi/Kabupaten-Kota
Perencanaan lingkungan hidup
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
Keanekaragaman hayati
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Limbah B3)
Pembinaan danpengawasan terhadapizin lingkungan dan izinperlindungan
danpengelolaan lingkunganhidup (PPLH)
Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat (MHA), kearifan lokal dan hak MHA
yang terkait dengan PPLH
Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Lingkungan Hidup Untuk Masyarakat
Penghargaan Lingkungan Hidup Untuk Masyarakat
Pengaduan Lingkungan Hidup
Persampahan

Secara umum, pembagian urusan bidang lingkungan hidup antara


Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota relatif merata.
Hal ini tidak terlalu berbeda bila dibandingkan dengan pembagian urusan
berdasarkan UU PPLH, yaitu:
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas
rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum
adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup pada tingkat kabupaten/kota;
33

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;


m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi
lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota.
Dengan begitu, perbincangan dan perdebatan pembagian urusan
dibidang lingkungan hidup tidak terangkat ke permukaan dan
kontroversial. Tidaknya adanya implikasi yang signifikan terhadap
kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam urusan lingkungan
hidup menyebabkan urusan lingkungan hidup akan berjalan seperti
biasanya.

2.5. Implementasi UU Pemda

UU Pemda menghendaki perubahan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat


daerah. Penyelenggaraan pemerintahan dengan pembagian kewenangan seperti
yang diinginkan oleh UU Pemda, ditargetkan harus sudah berjalan dua tahun setelah
UU tersebut diberlakukan. Masa waktu dua tahun digunakan untuk mempersiapkan
pelaksanaan UU Pemda secara penuh. Untuk memastikan persiapan tersebut
berjalan dengan baik dan sesuai target waktu, sejumlah Menteri mengeluarkan
surat edaran yang ditujukan kepada pemerintah daerah. Tujuannya untuk
mengingatkan ketentuan-ketentuan dalam UU Pemda yang menginginkan Pemda
melakukan langkah-langkah persiapan, dan memberikan arahan mengenai tindakan
dan perubahan-perubahan yang perlu dilakukan dalam rangka menyambungkan
antara situasi/perbuatan yang sudah dilakukan sebelumnya dengan ketentuan
dalam UU Pemda. Bagian-bagian berikut akan memaparkan
perbuatan
administratif oleh sejumlah kementerian (pemerintah pusat) dalam rangka
melaksanakan UU Pemda dalam bentuk membuat surat edaran.
Sebagai kementerian yang bertanggung jawab atas pelaksanaan UU Pemda,
Kementerian Dalam Nageri yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri, membuat dan
menyebarkan Surat Edaran yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota

34

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

se-Indonesia. Surat Edaran tersebut bertanggal 16 Januari 2015.2 Pada intinya surat
edaran tersebut mengatur mengenai 4 hal yaitu: (i) langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam rangka penyerahan penyelenggaraan urusan pemerintahan; (ii)
bagaimana melaksanakan tindakan-tindakan masa transisi; (iii) tindakan-tindakan
sementara menunggu terbentuknya perangkat di tingkat daerah yang permanen.
Tindakan-tindakan yang disarankan dilakukan untuk penyerahan
penyelenggaraan urusan pemerintahan misalnya serah terima personil, pendanaan,
saran dan prasarana serta dokumen (P3D) yang harus dituntaskan dalam dua tahun.
Surat edaran menyarankan untuk melakukan inventarisasi P3D sebelum melakukan
serah terima. Saran lainnya agar Gubernur dan Bupati/Walikota melakukan
koordinasi diantara mereka termasuk koordinasi DPRD dan Kementerian relevan.
Dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan umum, surat edaran
memberi petunjuk agar Badan/Kantor Kesbangpol dan atau biro/bagian di
sekretariat daerah yang membidangi urusan pemerintahan menanganinya,
sementara menunggu terbentuknya instansi vertikal yang akan membantu gubernur
dan bupati/walikota. Adapun saran untuk menyelenggarakan tugas dan wewenang
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, surat edaran memberi petunjuk untuk
menugaskan SKPD provinsi menunggu terbentuknya perangkat Gubernur.
Sekitar empat bulan setelah surat edaran Menteri Dalam Negeri, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membuat dan menyebarluaskan sebuah surat
edaran yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati/walkota dan kepala dinas yang
membidangi urusan kehutanan provinsi dan kabupaten/kota.3 Dengan menyebut
ulang sejumlah ketentuan dalam UU Pemda, surat edaran tersebut memperjelas
implikasi pemberlakuan UU Pemda pada kewenangan penyelenggaraan izin dan
pelayanan publik. Kewenangan-kewenangan tersebut yang menurut peraturan
perundangan sebelumnya (PP 38/2007) menjadi milik kabupaten/kota, beralih
kepada provinsi menurut UU Pemda. Hal menarik dari surat edaran tersebut bahwa
peralihan penyelenggaraan kewenangan tersebut secara otomatis terjadi dengan
pemberlakuan UU Pemda.

Surat Edaran Nomor 120/253/S tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah


Ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
3

Surat Edaran No. SE. 5/MenLHK-II/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di


Bidang Kehutanan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

35

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Salah satu contoh yang disebutkan dalam surat edaran tersebut bahwa
peralihan tersebut bersifat otomatis adalah pemberian izin perhutanan sosial yaitu
izin usaha hutan kemasyarakatan, hak pengelolaan hutan desa dan izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman rakyat. Surat edaran tersebut
menentukan bahwa bagi yang sudah ada penetapan areal oleh Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, izin diberikan oleh Bupati dengan mempertimbangkan
tahapan dan proses yang sudah dilakukan oleh Bupati/walikota.

36

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

III. Analisis dampak Pemberlakuan UU Pemda


Berhubung UU Pemda baru berlaku kurang lebih setahun, dampak
pemberlakuan yang dipaparkan dalam laporan ini belum merupakan hal-hal yang
konkrit seperti penambahan jumlah UPTD provinsi atau penghapusan sauan kerja
perangkat daerah tingkat kabupaten/kota. Dengan baru melewati kurang lebih satu
tahun, paparan mengenai dampak lebih menunjuk pada pandangan-pandangan
terhadap UU Pemda dan rencana-rencana mengimplementasikannya. Pandanganpandangan mencakup optimisme dan kekawatiran-kekawatiran mengenai kondisi
dan hasil yang akan muncul.
3.1. Organisasi perangkat daerah
Sekalipun mendapatkan tambahan kewenangan yang banyak dari pemberlakuan
UU Pemda, pemerintah provinsi di tempat tertentu kawatir dengan kemampuan
mereka dengan jumlah sumberdaya manusia yang terbatas. Dicontohkan
kemampuan untuk menangani permohonan izin usaha pertambangan yang
mencapai 700-an. Situasi yang sama juga dibayangkan berpotensi terjadi untuk
penyelenggaraan perizinan di bidang kehutanan. Pemerintah diperkirakan tidak
akan bisa menyediakan pelayanan efektif akibat banyaknya jumlah permohonan
apalagi harus melakukan verifikasi lapangan ke tempat-tempat yang secara jarak
jauh dari ibu kota provinsi. 4 Karena itu, kehadiran Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Kementerian di daerah, dianggap akan bisa mengatasi kelemahan tersebut.
3.2. Pemberian hak pengelolaan hutan kepada masyarakat

Pada dasarnya dampak yang sangat nyata dari pemberlakukan UU Perda adalah
terhadap perencanaan pembangunan ditingkat Kabupaten/Kota khususnya terkait
kehutanan (selain pertambangan mineral batubara dan kelautan). Dalam bidang
kehutanan saat ini, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan bahkan desa sudah
enggan memasukan kegiatan terkait kehutanan di dalam dokumen perencanaan.
Berkurang atau tidak adanya anggaran pada bidang kehutanan ditingkat
kabupaten/kota, tentu akan berimbas kepentingan masyarakat khususnya mereka
yang sedang melakukan pengelolaan hutan dengan skema perhutanan social

Hal tersebut diungkapkan oleh dua peserta Focused Group Discussion yang masing-masing
mewakili Dinas Pertambangan, Mineral dan Batubara Provinsi Sulawesi Selatan dan Badan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(17/12/2015).

37

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

maupun agroforestry. Berkurangnya anggaran juga berimbas pada alokasi anggaran


untuk pengamanan hutan misalnya menjaga hutan dari perambahan dan kebakaran
hutan.
Dampak yang juga nyata adalah beban tugas kabupaten/kota akan beralih
menjadi beban Dinas Kehutanan Provinsi. Sementara, pada saat yang sama jumlah
personil yang dimiliki sangat terbatas. Pengalihan beban ini juga ditegaskan oleh
Surat Edaran Kementerian LHK No.SE.5/MenLHK-II/2015 tentang Penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan di bidang Kehutanan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, dimana salah satunya diktumnya menyatakan bahwa
penyelenggaraan kegiatan hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan tanaman
rakyat yang telah ditetapkan areal kerjanya oleh Menteri LHK, maka penerbitan
IUPHKm, HPHD, dan IUPHHK-HTR diterbitkan oleh Gubernur dengan
mempertimbangkan proses dan tahapan yang sudah dilakukan oleh
Bupati/Walikota serta memperhatikan masa berlakunya penetapan areal kerja.
Daya jangkau Dinas Provinsi untuk melingkupi seluruh kabupaten/kota juga
menjadi tantangan tersendiri dalam memberikan layanan kepada masyarakat baik
dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat,prosedur perizinan
perhutanan sosial, sosialisasi program / kegiatan, dan yang tidak kalah penting
adalah menangani konflik kehutanan.
Pendapat berbeda disampaikan oleh perwakilan dari Kanwil Pertanahan Provinsi
Sulawesi Selatanyang menyatakan bahwa terbitnya UU Pemda mempunyai dampak
positif khususnya dalam hal penyelesaian konflik tanah, karena dianggap akan
mendukung pelaksanaan Peraturan Bersama 4 Menteri (Kehutanan, Dalam Negeri,
Tata Ruang dan BPN) tentang Penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam
kawasan hutan. Bahkan untuk tahun 2016, anggaran yang dialokasikan ditargetkan
untuk menyelesaikan 26.000 bidang tanah.

38

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

IV. Rekomendasi
Rekomendasi-rekomendasi yang diusulkan dalam rangka menuju dua hal yaitu:
(i) perubahan UU Kehutanan dalam rangka menyesuaikan dengan UU Pemda; dan
(ii) menciptakan kesiapan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk
melaksanakan ketentuan UU Pemda. Dengan dua tujuan tersebut, rekomendasirekomendasi yang diusulkan adalah sebagai berikut:
Pertama, revisi UU Kehutanan untuk menyesuaikan dengan pengaturan
desentralisasi bidang kehutanan yang terdapat dalam UU No. 23/2014, dengan
poin-poin sebagai berikut:
1. Penegasan ulang pembagian kewenangan bidang kehutanan dan sub
bidang kehutanan seperti yang diatur dalam UU No. 23/2014 dengan
cara membuat pasal tersendiri.
2. Perubahan redaksi pengaturan tentang kewenangan mengakui
keberadaan dan hak masyarakat hukum adat atas hutan yaitu
dengan menentukan bahwa kewenangannya ada pada provinsi dan
kabupaten/kota. Ketentuan seperti itu akan mengakhiri silang tafsir
mengenai istilah peraturan daerah yang terdapat di dalam Pasal 67
Ayat 2UU No. 41/1999.
3. Bahwa pengaturan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat tidak diatur lebih lanjut dengan cara
penerbitan PP tersendiri akan tetapi cukup dengan menyatakan
mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku.

Kedua, dengan beralihnya titik berat otonomi daerah dari kabupaten/kota ke


provinsi termasuk dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam pasca
pemberlakuan UU No. 23/2014, diperlukan asistensi kepada Pemerintah Provinsi
dan Kabupaten/Kota, untuk keperluan-keperluan sebagai berikut:
Pemerintah provinsi
1. Penyusunan rancangan organisasi perangkat daerah yang menyesuaikan
dengan kewenangan yang baru dan didasarkan pada semangat efisiensi,
efektivitas dan berbasis kebutuhan
2. Penataan distribusi sumberdaya manusia terutama yang sebelumnya
menjadi pegawai pemerintah kabupaten/kota
3. Perancangan sistem data base sebagai hasil dari penggabungan data base
tingkat kabupaten/kota dengan provinsi

39

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

4. Pembuatan regulasi yang mengatur mengenai


kewenangan dan organisasi perangkat daerah.

penyelenggaraan

Pemerintah kabupaten/kota
1. Mengidentifikasi kewenangan-kewenangan atributif dalam bidang
pengelolaan sumberdaya alam
2. Menyusun rancangan organisasi perangkat daerah dengan menyesuaikan
pada pengurangan kewenangan secara signfikan pasca pemberlakuan UU
No.23/2014
3. Penataan distribusi sumberdaya manusia pasca pembubaran atau
penyederhanaan SKPD-SKPD yang mengurus bidang kehutanan
4. Pembuatan regulasi yang mengatur penyelenggaraan kewenangan
pengelolaan SDA yang didasarkan pada kewenangan atributif dan regulasi
mengenai organisasi perangkat daerah.

****

40

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

Bahan Bacaan
Artikel
Manning, Chris (1971), The Timber Boom with Special Reference to East
Kalimantan, Bulletin of Indonesian Economic Studies 7(3): 30-60.
Buku
Jemadu, Aleksius (1996), Sustainable Forest Management in the Context of MultiLevel and Multi-Actor Policy Processes. PhD thesis at Katholieke Universiteit
Leuven.
Magenda, Burhan (1991), East Kalimantan The Decline of a Commercial Aristocracy.
Ithaca New York: Southeast Asia Study Program Cornell University.
Peraturan perundang-undangan
Undang-undang
1.
2.
3.
4.
5.

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan


UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 31/2004 tentang Perikanan
UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
UU No. 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun
2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
6. UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
7. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan pemerintah
PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Surat edaran
1. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/253/S tentang
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SE. 5/MenLHKII/2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Bidang
Kehutanan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

41

Pemberlakuan UU No. 23/2014 dan Desentralisasi di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam

42

Anda mungkin juga menyukai