Anda di halaman 1dari 8

Kebijakan Energi Indonesia: Solusi Kebutuhan Energi dan Pengaruhnya

terhadap Keuangan Negara


Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang di dunia terus mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan tersebut menimbulkan
berbagai dampak terhadap aspek kehidupan manusia. Salah satu aspek yang cukup
terpengaruh dengan adanya pertambahan jumlah penduduk adalah penggunaan energi untuk
menunjang kebutuhan hidup yang meliputi sektor industri, transportasi, rumah tangga, dan
lain sebagainya. Semakin banyak penduduk yang berada di sebuah negara, semakin banyak
pula energi yang dibutuhkan dan digunakan oleh negara tersebut.

Sumber: BPPT Outlook Energi Indonesia 2013


Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa konsumsi energi final per sektor di
Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Konsumsi energi meningkat sebesar 764
juta Setara Barel Minyak (SBM) dari tahun 2000 sampai 2011. Sektor dengan konsumsi
energi terbesar juga mengalami perubahan. Pada tahun 2000 sektor rumah tangga
mendominasi konsumsi energi sebesar 38,8% yang kemudian disusul sektor industri sebesar
36,5%. Sedangkan pada tahun 2011 sektor industri menduduki posisi teratas yaitu sebesar
37,2% dan kemudian sektor rumah tangga sebesar 30,7%.
Sektor-sektor yang terdapat dalam grafik di atas menggunakan berbagai jenis energi,
seperti bahan bakar minyak atau BBM (avtur, avgas, bensin, minyak tanah, minyak solar,
minyak diesel, dan minyak bakar), batubara, gas, elpiji (LPG), listrik, dan biomasa. Energi
tersebut digunakan manusia untuk melakukan berbagai aktivitas yang menunjang kebutuhan
hidupnya. Menurut Adiarso, Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, konsumsi energi final yang meningkat sebesar
3% selama tahun 2000-2011 ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk, ekonomi, dan
kebijakan dari pemerintah. Berikut ini adalah grafik konsumsi energi final per jenis pada
tahun 2000-2011 dalam juta SBM.

Sumber: BPPT Outlook Energi Indonesia 2013


Berdasarkan grafik di atas, konsumsi energi terbesar dari tahun 2000 sampai 2011
ialah jenis BBM. BBM yang berasal dari fosil ini paling banyak digunakan oleh masyarakat
di Indonesia, baik itu dalam sektor industri (untuk bahan bakar mesin), transportasi (bensin
dan solar), rumah tangga (minyak tanah), dan lain sebagainya. Selain BBM, batubara juga
merupakan energi yang berasal dari fosil. Ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar
fosil sudah mencapai angka 97% .
Pemanfaatan BBM sebagai energi di Indonesia sudah melewati batas wajar. Tiap
tahun negara ini harus mengimpor BBM karena kebutuhan masyarakatnya yang tinggi
sehingga memberi pengaruh yang kurang baik terhadap neraca perdagangan. Pada tahun 2011
neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit akibat impor migas yang tidak terkendali
sebesar US$ 0,7 miliar, kemudian semakin parah pada tahun 2012 yaitu sebesar US$ 5,1
miliar. Bahkan pada Januari-Juli 2013 defisit migas sudah mencapai US$ 7,6 miliar. Pada
tabel di bawah ini dapat diketahui bahwa ekspor migas di tahun 2012 lebih kecil daripada
impor migas, demikian pula pada Januari-Juli tahun 2013. Ekspor migas juga masih kalah
jauh jika dibandingkan dengan ekspor nonmigas yang berhasil mencapai surplus.

Sumber: Berita Resmi Statistik No. 58/09/Th. XVI


Penyebab meningkatnya impor migas juga berasal dari lifting minyak di Indonesia
yang berkurang. Lifting minyak merupakan proses memproduksi, mengolah, dan
menggunakan minyak untuk keperluan dalam negri. Pemerintah pesimis dengan target lifting
minyak pada tahun 2014 yang menargetkan 870 ribu barel per hari (bph) sehingga direvisi
menjadi 820 ribu bph. Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral
(ESDM), menjelaskan bahwa sumur minyak di Indonesia sudah tua sehingga tidak optimal
lagi dalam memproduksi. Realisasi lifting pada tahun 2013 kemarin juga meleset dari target,
yang mulanya ditarget 840 ribu bph hanya direalisasi 826 ribu bph saja.
Penggunaan energi yang tidak terkendali ini membuat pemerintah turut campur
tangan. Sudah banyak kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi
permasalahan di bidang energi. Baru-baru ini Dewan Energi Nasional (DEN) dan Komisi VII
DPR RI telah menyepakati Rancangan Kebijakan Energi Nasional atau R-KEN untuk
diproses lebih lanjut menjadi Kebijakan Energi Nasional (KEN). KEN ini bertujuan untuk
pengelolaan dan sasaran penyediaan energi nasional sampai tahun 2050 mendatang yang
mengacu pada energi baru terbarukan (EBT), bauran energi, pengelolaan batubara, gas bumi,
harga subsidi energi, dan juga ketentuan pengurangan subsidi energi.
Menurut pandangan Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional, KEN masih dinilai
kurang cerdas karena energi yang terdapat di Indonesia hanya digunakan dan dijual ke luar
negeri tanpa adanya penambahan nilai. KEN seharusnya mampu mendorong percepatan
kemandirian dan ketahanan energi bangsa. Oleh karena itu, DEN sudah merencanakan
pemanfaatan EBT, yaitu energi surya, angin, air, dan biomassa, yang mampu memenuhi

kebutuhan energi nasional sampai 21%. Saat ini EBT baru memenuhi 5% dari seluruh
kebutuhan energi masyarakat di Indonesia.
Kebijakan lain yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia sejak lama dan sering
menimbulkan pro-kontra dari banyak pihak ialah subsidi bagi masyarakat yang kurang
mampu. Subsidi merupakan alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lembaga
yang memproduksi dan menjual barang serta jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak
(Nota Keuangan dan RAPBN 2014). Kebijakan subsidi ini juga turut melaksanakan fungsi
distribusi pemerintah dalam RAPBN 2014. Fungsi tersebut bertujuan untuk meratakan
kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya subsidi energi,
harga jual lebih dapat dijangkau masyarakat. Namun dalam memberikan subsidi pun
pemerintah juga harus mempertimbangkan kemampuan keuangan negara terlebih dahulu.

Subsidi dari pemerintah dibagi menjadi dua, yaitu subsidi energi dan subsidi
nonenergi. Pada tahun 2014 alokasi belanja subsidi energi sebesar 284,7 triliun rupiah, yang
terdiri atas subsidi listrik 89,8 triliun rupiah dan subsidi BBM 194,9 triliun rupiah. Sedangkan
belanja subsidi nonenergi hanya sebesar 51,6 triliun rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah tanggap akan kebutuhan energi masyarakat yang besar dan daya beli masyarakat
yang masih rendah.

Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 2014

BBM merupakan energi yang perlu disubsidi karena harga BBM ini sangat
dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu harga minyak mentah di pasar dunia. Subsidi BBM
dari pemerintah yang disalurkan Pertamina ini masih terbatas pada jenis minyak tanah, solar,
dan premium sebagai energi yang menyangkut kehidupan orang banyak. Harga BBM yang
disubsidi ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan bertujuan untuk menstabilkan hargaharga barang sebagai dampak terhadap harga BBM.
Kebijakan subsidi listrik, yang merupakan subsidi energi terbesar kedua setelah BBM,
dialokasikan oleh pemerintah karena harga jual tenaga listrik (HJTL) lebih rendah daripada
biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Subsidi ini bertujuan supaya harga jual listrik dapat
dijangkau oleh masyarakat golongan tertentu (Nota Keuangan dan RAPBN 2014). Dengan
demikian, ketersediaan listrik untuk sektor industri maupun sarana dan prasarana masyarakat
akan terjamin.
Pelaksanaan kebijakan subsidi energi ini menuai opini dari masyarakat dan pengamat
publik, baik itu pro maupun kontra. Namun dibalik semua opini tersebut, kebijakan ini
memiliki manfaat dan kelemahan yang harus dikaji lebih matang guna tindaklanjutnya di
masa mendatang. Manfaat subsidi secara umum ialah membantu kegiatan ekonomi bagi
masyarakat. Apabila pendapatan yang diterima kecil sedangkan harga-harga kebutuhan
semakin mahal, subsidi sangat berguna bagi masyarakat karena merasa terbantu dengan harga
BBM yang didapat dengan harga lebih murah. Sedangkan bagi produsen yang keuntungan

produksinya melemah, bahan bakar mesin atau listrik yang lebih murah dapat mengurangi
biaya produksi.
Subsidi energi memang dapat membantu masyarakat, tetapi masih ada kelemahan dari
kebijakan ini. Harga yang telah disubsidi otomatis menjadi lebih murah sehingga dapat
membuat konsumen cenderung tidak berhemat dalam menggunakannya. Barang atau jasa
yang disubsidi juga kadang-kadang tidak tepat sasaran. Subsidi yang seharusnya diterima
oleh warga yang kurang mampu malah dinikmati oleh golongan yang tidak berhak. Selain itu,
anggaran belanja pemerintah yang dialokasikan untuk subsidi cenderung membengkak
karena kuota subsidi melebihi target yang ditetapkan di awal.

Pemerintah telah berusaha membuat kebijakan baru sebagai kelanjutan kebijakan


subsidi BBM. Mulai tanggal 22 Juni 2013 kemarin, pemerintah menaikkan harga jual BBM
bersubsidi. Harga premium yang mulanya Rp4.500,00 naik menjadi Rp6.500,00, sedangkan
solar seharga Rp4.500,00 naik menjadi Rp5.500,00. Kenaikan harga tersebut dimaksudkan
untuk mengurangi alokasi subsidi pada anggaran belanja pemerintah dan mengalihkannya
untuk alokasi belanja yang lain.
Alokasi untuk subsidi listrik juga berusaha dikurangi dengan cara pencabutan subsidi
bagi perusahaan besar. Jika subsidi listrik bagi kelompok pelanggan I3 yang berstatus
perusahaan terbuka dan kelompok pelanggan I4 dicabut, potensi penghematan subsidi bisa
mencapai 8,9 triliun rupiah, jelas Jarman, Direktur Jenderal Kelistrikan Kementrian ESDM,
yang diliput oleh Kompas hari Senin, 20 Januari 2014. Komisi VII DPR RI juga telah
menyetujui kenaikan tarif listrik setiap 2 bulan bagi pelanggan industri mulai tanggal 1 Mei

2014 besok hingga mencapai tarif keekonomian. Pencabutan subsidi ini jelas tidak
berpengaruh pada pelanggan kecil, yaitu sektor rumah tangga.
Meskipun pemerintah telah melakukan usaha untuk menurunkan alokasi subsidi,
khususnya subsidi energi, anggaran belanja pada RAPBN 2014 yang paling besar tetaplah
alokasi subsidi. Alokasi subsidi sebesar 27,33% dari belanja pemerintah keseluruhan,
kemudian disusul oleh belanja pegawai sebesar 22,49%. Hal ini berarti kenaikan harga
subsidi BBM dan pencabutan subsidi listrik masih belum cukup untuk mengatasi besarnya
alokasi subsidi energi yang harus dikeluarkan pemerintah.

Konsumsi energi oleh masyarakat Indonesia yang cukup besar, terutama BBM,
menimbulkan permasalahan pada keuangan negara. Pemerintah harus mengimpor migas
untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat. Impor migas yang tidak terkendali ini malah
cenderung membuat neraca perdagangan menjadi defisit. Untuk mengatasinya, DEN telah
membuat R-KEN dengan memanfaatkan EBT lebih optimal lagi.
Kebijakan energi lain dari pemerintah ialah subsidi energi, berupa subsidi BBM dan
listrik. Subsidi ini membantu perekonomian masyarakat yang kurang mampu. Namun
sayanganya kebijakan subsidi ini memiliki kelemahan, yaitu tidak tepat sasaran dan kuota
subsidi yang membengkak. Permasalahan tersebut membuat anggaran belanja pemerintah
banyak dialokasikan untuk belanja subsidi yang seharusnya bisa dialokasikan untuk bidang
yang lainnya.

Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko
Listiyanto, solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan energi di Indonesia
ialah dengan mengendalikan impor migas, mematok target kuota subsidi secara konsisten,
dan kebijakan kenaikan harga BBM. Namun semua saran dan opini mengenai kebijakan
energi hanya akan menjadi bahan pertimbangan saja. Mengutip dari pernyataan Jero Wacik,
Menteri ESDM, bahwa semua keputusan yang terkait tetaplah berada di tangan presiden.
Sumber:
Outlook Energi Indonesia 2013, Pengembangan Energi dalam Mendukung Sektor
Transportasi

dan

Industri

Pengolahan

Mineral.

Munawar, Dungtji. 2013. Memahami Pengertian dan Kebijakan Subsidi dalam APBN.
Penyesuaian Harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Siaran Pers Nomor: 30/HUMAS
KESDM/2013 tanggal 21 Juni 2013

Anda mungkin juga menyukai