Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, konsumsi energi final yang meningkat sebesar
3% selama tahun 2000-2011 ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk, ekonomi, dan
kebijakan dari pemerintah. Berikut ini adalah grafik konsumsi energi final per jenis pada
tahun 2000-2011 dalam juta SBM.
kebutuhan energi nasional sampai 21%. Saat ini EBT baru memenuhi 5% dari seluruh
kebutuhan energi masyarakat di Indonesia.
Kebijakan lain yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia sejak lama dan sering
menimbulkan pro-kontra dari banyak pihak ialah subsidi bagi masyarakat yang kurang
mampu. Subsidi merupakan alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lembaga
yang memproduksi dan menjual barang serta jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak
(Nota Keuangan dan RAPBN 2014). Kebijakan subsidi ini juga turut melaksanakan fungsi
distribusi pemerintah dalam RAPBN 2014. Fungsi tersebut bertujuan untuk meratakan
kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya subsidi energi,
harga jual lebih dapat dijangkau masyarakat. Namun dalam memberikan subsidi pun
pemerintah juga harus mempertimbangkan kemampuan keuangan negara terlebih dahulu.
Subsidi dari pemerintah dibagi menjadi dua, yaitu subsidi energi dan subsidi
nonenergi. Pada tahun 2014 alokasi belanja subsidi energi sebesar 284,7 triliun rupiah, yang
terdiri atas subsidi listrik 89,8 triliun rupiah dan subsidi BBM 194,9 triliun rupiah. Sedangkan
belanja subsidi nonenergi hanya sebesar 51,6 triliun rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah tanggap akan kebutuhan energi masyarakat yang besar dan daya beli masyarakat
yang masih rendah.
BBM merupakan energi yang perlu disubsidi karena harga BBM ini sangat
dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu harga minyak mentah di pasar dunia. Subsidi BBM
dari pemerintah yang disalurkan Pertamina ini masih terbatas pada jenis minyak tanah, solar,
dan premium sebagai energi yang menyangkut kehidupan orang banyak. Harga BBM yang
disubsidi ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan bertujuan untuk menstabilkan hargaharga barang sebagai dampak terhadap harga BBM.
Kebijakan subsidi listrik, yang merupakan subsidi energi terbesar kedua setelah BBM,
dialokasikan oleh pemerintah karena harga jual tenaga listrik (HJTL) lebih rendah daripada
biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Subsidi ini bertujuan supaya harga jual listrik dapat
dijangkau oleh masyarakat golongan tertentu (Nota Keuangan dan RAPBN 2014). Dengan
demikian, ketersediaan listrik untuk sektor industri maupun sarana dan prasarana masyarakat
akan terjamin.
Pelaksanaan kebijakan subsidi energi ini menuai opini dari masyarakat dan pengamat
publik, baik itu pro maupun kontra. Namun dibalik semua opini tersebut, kebijakan ini
memiliki manfaat dan kelemahan yang harus dikaji lebih matang guna tindaklanjutnya di
masa mendatang. Manfaat subsidi secara umum ialah membantu kegiatan ekonomi bagi
masyarakat. Apabila pendapatan yang diterima kecil sedangkan harga-harga kebutuhan
semakin mahal, subsidi sangat berguna bagi masyarakat karena merasa terbantu dengan harga
BBM yang didapat dengan harga lebih murah. Sedangkan bagi produsen yang keuntungan
produksinya melemah, bahan bakar mesin atau listrik yang lebih murah dapat mengurangi
biaya produksi.
Subsidi energi memang dapat membantu masyarakat, tetapi masih ada kelemahan dari
kebijakan ini. Harga yang telah disubsidi otomatis menjadi lebih murah sehingga dapat
membuat konsumen cenderung tidak berhemat dalam menggunakannya. Barang atau jasa
yang disubsidi juga kadang-kadang tidak tepat sasaran. Subsidi yang seharusnya diterima
oleh warga yang kurang mampu malah dinikmati oleh golongan yang tidak berhak. Selain itu,
anggaran belanja pemerintah yang dialokasikan untuk subsidi cenderung membengkak
karena kuota subsidi melebihi target yang ditetapkan di awal.
2014 besok hingga mencapai tarif keekonomian. Pencabutan subsidi ini jelas tidak
berpengaruh pada pelanggan kecil, yaitu sektor rumah tangga.
Meskipun pemerintah telah melakukan usaha untuk menurunkan alokasi subsidi,
khususnya subsidi energi, anggaran belanja pada RAPBN 2014 yang paling besar tetaplah
alokasi subsidi. Alokasi subsidi sebesar 27,33% dari belanja pemerintah keseluruhan,
kemudian disusul oleh belanja pegawai sebesar 22,49%. Hal ini berarti kenaikan harga
subsidi BBM dan pencabutan subsidi listrik masih belum cukup untuk mengatasi besarnya
alokasi subsidi energi yang harus dikeluarkan pemerintah.
Konsumsi energi oleh masyarakat Indonesia yang cukup besar, terutama BBM,
menimbulkan permasalahan pada keuangan negara. Pemerintah harus mengimpor migas
untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat. Impor migas yang tidak terkendali ini malah
cenderung membuat neraca perdagangan menjadi defisit. Untuk mengatasinya, DEN telah
membuat R-KEN dengan memanfaatkan EBT lebih optimal lagi.
Kebijakan energi lain dari pemerintah ialah subsidi energi, berupa subsidi BBM dan
listrik. Subsidi ini membantu perekonomian masyarakat yang kurang mampu. Namun
sayanganya kebijakan subsidi ini memiliki kelemahan, yaitu tidak tepat sasaran dan kuota
subsidi yang membengkak. Permasalahan tersebut membuat anggaran belanja pemerintah
banyak dialokasikan untuk belanja subsidi yang seharusnya bisa dialokasikan untuk bidang
yang lainnya.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko
Listiyanto, solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan energi di Indonesia
ialah dengan mengendalikan impor migas, mematok target kuota subsidi secara konsisten,
dan kebijakan kenaikan harga BBM. Namun semua saran dan opini mengenai kebijakan
energi hanya akan menjadi bahan pertimbangan saja. Mengutip dari pernyataan Jero Wacik,
Menteri ESDM, bahwa semua keputusan yang terkait tetaplah berada di tangan presiden.
Sumber:
Outlook Energi Indonesia 2013, Pengembangan Energi dalam Mendukung Sektor
Transportasi
dan
Industri
Pengolahan
Mineral.
Munawar, Dungtji. 2013. Memahami Pengertian dan Kebijakan Subsidi dalam APBN.
Penyesuaian Harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Siaran Pers Nomor: 30/HUMAS
KESDM/2013 tanggal 21 Juni 2013