Anda di halaman 1dari 7

Mitos Kebijakan Energi

12 01 2009

Persoalan krisis energi di Indonesia adalah tidak sederhana sehingga bisa dituntaskan dengan
satu sentuhan. Masalah sudah terlalu kompleks, salah satu di antaranya adalah persoalan
subsidi energi (khususnya BBM dan Listrik).
Masalah subsidi ini kian rimut karena terkait erat dengan wilayah politik. Maksudnya bergini.
Dalam politik, merebut hati calon pemilih adalah faktor terpenting. Untuk meraih dukungan
calon pemilih, apapun cara akan dilakukan. Salah satu cara menarik bagi incumbent adalah
menurunkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) menjelang pemilu. Caranya ialah
dengan menambah subsidi energi untuk masyarakat.
Di satu sisi, subsidi energi meringankan beban rakyat, dan meringankan beban rakyat
memang sudah semestinya dilakukan pemerintah. Namun di sisi lain, subsidi punya efek
domino yang cukup besar. Akibat negatif dari subsisi antara lain mendorong masyarakat
untuk menghabur-hamburkan pemakaian energi fosil karena murah sebab disubsidi.
Lemahnya budaya hemat energi berakibat pada degradasi lingkungan (peningkatan
konsentrasi CO2 di atmosfer).
Akibat lain dari subsidi bahan bakar fosil adalah menghambat perkembangan energi
terbarukan. Sayang, pemerintah kita belum punya skema subsidi dan insentif finansial
lainnya untuk energi terbarukan. Sebagai akibat, harga energi terbarukan di Indonesia masih
mahal dibanding energi fosil. Masih ada lagi beberapa akibat buruk daripada subsidi energi
fosil, seperti membebani keuangan negara, dll.
Mestinya pemerintah memberikan subsidi bagi energi terbarukan dan mencabut subsidi untuk
energi fosil. Jika ini dilakukan, maka posisi akan terbalik, harga energi fosil akan lebih mahal
dari pada harga energi terbarukan, atau minimal sama.
Lho, mengapa pemerintah mesti kembali berlaku tidak adil dengan cuma memberi subsisi
pada energi tebarukan? Memang sepintas kebijakan seperti ini terlihat tidak adil. Tapi, jika
dilihat keuntungan lingkungannya, sebenarnya inilah yang adil. Konsumsi energi fosil dalam
jumlah besar telah membuat lingkungan kita rusak parah. Tidak sedikit statistik yang
mengatakan bahwa manusia kini bernafas dengan udara tercemar. Kita tidak menyadari ada
bahaya besar di balik kebiasaan kita mengkonsumsi energi fosil dalam jumlah besar.
Tapi kan subsidi BBM dan listrik membuat rakyat senang, dan membuat rakyat senang adalah
bagus? Nah, bingung kan?? Makanya di depan saya katakan masalah ini rumit.
Berikut ini adalah artikel menarik yang ditulis oleh Ir. Ruli Nitranta, M.Eng., dosen di
Universitas Mercu Buana. Artikel ini saya post di sini atas persetujuan penulis artikel.
Beberapa gambar saya tambahkan supaya anda lebih tertarik. Selamat membaca artikel
bagus ini.
Mitos Kebijakan Energi
Oleh: Ruli Nitranta

Sumber: http://bengkeludik.blogspot.com/
Dalam penyusunan kebijakan energi, pemerintah harus memperhatikan masalah-masalah
yang mengganjal yang dapat menyebabkan fokus penyelesaian krisis energi tidak integratif
dan solutif. Perhatian terhadap kebutuhan energi semata akan memberikan pendekatan
kuantitatif yang bersifat penyelesaian di permukaan, cenderung tidak pada substansi masalah
energi di Indonesia. Artinya angka-angka yang didapatkan dilapangan mengenai kebutuhan
energi hanya memposisikan masyarakat pengguna sebagai objek yang harus selalu dipenuhi
kebutuhannya tanpa diajak untuk turut berpartisipasi aktif dalam penyelesaian krisis energi.
Oleh karena itu sangat penting bagi pemerintah maupun masyarakat untuk mengetahui mitosmitos yang menjadikan Indonesia mandeg -tidak bergerak ke depan- dalam penyelesaian
krisis energi tapi selalu berkutat pada masalah penyelesaian sesaat.
Setidaknya ada enam mitos yang diyakini oleh sebagian masyarakat Indonesia, (termasuk
pembuat kebijakan?) dalam melihat kondisi energi dalam negeri. Pertama, sumber energi
fosil Indonesia masih melimpah. Kita semua menyadari bahwa produksi minyak dalam
negeri yang 900-ribuan barel perhari tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan akan
BBM yang sudah mencapai angka 1,4 juta barel perhari. Setidaknya sampai hari ini belum
ditemukan titik-titik baru yang dapat menjadikan Indonesia sebagai penghasil minyak dunia,
bahkan secara ironi pada permulaan tahun 2008 Indonesia keluar dari organisasi pengekspor
minyak (OPEC). Sedangkan bila kita melihat bahwa energi yang didapatkan dari sumber
daya alam fosil berupa batubara dan gas alam, Indonesia memang memiliki cadangan
kekayaan dan produksi yang cukup melimpah. Akan tetapi harus disadari bahwa kedua
sumber energi fosil ini (batubara dan gas alam) tidak dapat dengan serta merta menggantikan
energi minyak yang penggunaannya sangat luas mulai dari penggunaan generik dirumah
tangga, penggunaan transportasi hingga penggunaan di Industri.

Konsumsi BBM kita sudah sampai ke puncak. Di masa depan hanya ada satu pilihan, kita
sedang meluncur menuju jurang yang dalam. Foto: BBC
Kedua, Investasi energi terbarukan masih belum jelas keuntungannya. Kondisi alam
Indonesia yang memberikan keunggulan komparatif berupa mudahnya tanaman penghasil

biodiesel maupun bioetanol tumbuh dengan kondisi musim penghujan yang tetap dibanding
negara-negara lain adalah sebuah modal yang baik untuk pemerintah dalam membuat langkah
kebijakan investasi yang mendukung pengembangan renewable energy. Apalagi data dari
UNEP memperlihatkan kecenderungan kenaikan dalam investasi renewable energy sebesar
rata-rata 30% per tahun. Investasi energi terbarukan memang investasi jangka menengah dan
panjang, akan tetapi basis pengembangan serta investasinya harus dimulai hari ini karena
kebutuhan yang mendesak dan menjadi isu utama yang universal terkait pengurangan kadar
karbon yang menyebabkan pemanasan global dan energy security negara terkait. Termasuk
investasi penting dalam pengembangan energi terbarukan adalah R & D yang dilakukan
secara serius dengan pengalokasian anggaran yang memadai, bukan hanya kegiatan
penelitian yang bersifat particular tetapi integratif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu
yang kanalnya ada di berbagai perguruan tinggi.

Payback time (waktu kembali modal) daripada investasi di bidang energi terbarukan cukup
singkat. Grafik di atas adalah packback time sistem pembangkit energi surya di atas atap
gedung di beberapa kota dunia. Foto: Solar-design
Ketiga, efisiensi energi akan mendatangkan ketidak-nyamanan dalam kehidupan. Filosofi
dasar dari efisiensi energi bukan memotong sesuatu yang sudah baku, tetapi lebih ditekankan
pada membuang sesuatu yang lebih dalam pemakaian. Perbedaan yang mendasar dari
kegiatan audit energi yang menjadi tools efisiensi energi dengan program penghematan
adalah pada identifikasi terhadap bagian-bagian alat dalam sistem energy -skala besar
(Industri) maupun skala kecil (rumah)- yang tidak efisien. Ketidak-efisienan ini bisa
disebabkan diantaranya Karena umur alat yang sudah lama, perawatan yang tidak memenuhi
standar atau perhitungan awal pembebanan energi yang tidak benar hingga waste
(pembuangan) yang masih bisa dimanfaatkan. Sehingga efisiensi energi tidak menyentuh
wilayah manusia sebagai subjek pengguna energi tetapi lebih menekankan pada perangkat
energi yang menjadi objek penghasil energy itu sendiri. Dengan demikian kenyamanan
manusia masih tetap diutamakan.

Makin banyak orang memasang sistem energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi
di rumah. Dengan design yang tepat, sistem energi terbarukan memberikan listrik 24 jam
pada rumah anda. Foto: Alicesolarcity
Keempat, energi surya masih terasa sangat mahal untuk diterapkan di Indonesia.
Walaupun perangkat sel surya masih terbilang mahal (sekitar 2 dolar per watt), kondisi alam
Indonesia yang kaya akan sumber energi matahari menjadikan kita seperti tikus mati di
lumbung padi. Biaya produksi dari sel surya yang mencakup bahan dasar, biaya angkut dan
marketing dari negara produser sel surya seharusnya dapat dialihkan menjadi biaya untuk
membayar kekayaan intelektual dari penemu sel surya saja dan kita melakukan produksi
sendiri. Indonesia harus berani meyakinkan negara produser sel surya bahwa kita adalah
negara yang memiliki kebutuhan yang sangat besar akan sel surya sehingga produksi di
dalam negeri akan memberikan potongan biaya tadi. Banyak produser sel surya di dunia
yang bisa diajak untuk bernegosiasi untuk memenuhi kebutuhan energi matahari ini apabila
para ilmuwan kita belum mampu untuk memproduksi sel surya hasil rekayasa sendiri. Tapi
apa salahnya apabila alokasi anggaran untuk R&D energi surya juga ditingkatkan untuk
kepentingan jangka panjang sekaligus pembelajaran bagi para ilmuwan yang sudah banyak
dikirim oleh Indonesia ke luar negeri untuk menuntut ilmu pada bidang ilmu alam dan
engineering.

Riset di bidang renewable energy telah berhasil menekan harga secara signifikan. Foto:
Indybay
Kelima, Teknologi dapat menyelesaikan semua masalah krisis energi. Secara umum
pemanfaatan teknologi memang memberikan keuntungan yang tidak sedikit bagi
penanggulangan krisis energi. Berbagai pemanfaatan teknologi mulai dari PLTA hingga
PLTN, teknologi solar hingga pemanfaatan teknologi nano digunakan oleh berbagai kalangan
di dunia ini untuk memenuhi kebutuhan akan energi. Akan tetapi yang harus diingat juga
adalah perspektif masyarakat tentang energi itu sendiri, maksudnya masyarakat sebagai
pengguna energi harus berperan aktif dalam tindakan individu maupun kolektif untuk
bersama-sama menghargai energi yang mereka pakai sebagai bagian investasi mereka dalam
kehidupan ini.Biaya energi bagi pribadi sering kali diabaikan karena masyarakat memandang
bahwa biaya itu adalah biaya yang memang harus dikeluarkan ketika kita melakukan sebuah
kegiatan. Masyarakat umumnya tidak mengetahui berapa sesungguhnya prosentase
pengeluaran untuk energi (mulai dari kegiatan penerangan di rumah hingga BBM untuk
kendaraannya) berbanding dengan pendapatan mereka dalam kategori atau disebut efisien
secara energi. Jika saja sinyalir yang dikemukakan oleh seorang pakar energi dari Inggris
-bahwa pengeluaran energi yang lebih dari 10 % pendapatan dikategorikan inefisien / menuju
kemiskinan energi itu benar, maka kita harus mulai menghitung-hitung apakah kita
termasuk boros dalam energi atau tidak. Kesadaran kolektif dari masyarakat akan hal ini akan
memberikan peluang kepada kita untuk berkontribusi dalam menghadapi krisis energi secara
langsung.

Kelestarian energi dan Bumi ada di tangan kita semua. Gunakan energi seperlunya. Foto:
Hubpages
Keenam, Pemanasan global tidak ada hubungan dengan Indonesia secara langsung dan
menjadi urusan negara-negara maju. Bila kita melihat pencemaran udara hasil emisi carbon
an sich saja, mungkin Indonesia belum termasuk kedalam negara dengan kategori pencemar
terbesar di dunia penyebab efek rumah kaca. Akan tetapi posisi Indonesia yang memiliki
hutan yang cukup luas menjadi salah satu modal bagi perlambatan efek rumah kaca yang
berujung pada pemanasan global di dunia akhir-akhir ini. Masalahnya adalah apakah dengan
posisi ini, kita akan selalu menempatkan diri sebagai objek negara-negara lain untuk tetap
menjadi salah satu paru-paru dunia? atau ada jalan lain yang dapat ditempuh oleh Indonesia
sehingga isu pemanasan global dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan energi
di negara kita? semua terpulang pada kita .Walaupun dalam hal ini kita dapat
mengembangkan perdagangan karbon (carbon finance) untuk mendapatkan dana atas hasil
pelestarian hutan kita sebagai paru-paru dunia, akan tetapi untuk jangka panjang kebijakan
carbon finance diarahkan juga pada sektor industri di Indonesia dengan mengembangkan
energi yang ramah lingkungan dan sedikit mengeluarkan karbon. Selain dapat mengurangi
polusi domestik, Industri dalam negeri juga akan mendapatkan insentive yang lebih jelas dari
negara donor / badan dunia yang hasilnya mungkin akan mengurangi alokasi APBN untuk
pencegahan polusi. Hal ini juga penting dikembangkan sebagai langkah antisipatif bagi
ketentuan yang semakin rigid yang kemungkinan akan diberlakukan dalam aturan main
perdagangan bebas dunia (WTO), dimana perusahaan-perusahaan yang melakukan
perdagangan internasional akan diminta komitmennya oleh suatu badan akreditasi masalah
emisi karbon. Isu pemanasan global dan kaitannya dengan perdagangan karbon nampaknya
akan menjadi isu sentral dalam beberapa dekade kedepan yang mau tidak mau harus
diantisipasi oleh dunia Industri di Indonesia.

Perubahan iklim meningkatkan frekuensi banjir. Foto: Risingtide


Dari mitos-mitos diatas, kiranya kita dapat lebih fokus dalam mengarahkan kebijakan energi
nasional jangka pendek, menengah dan panjang. Akan tetapi yang lebih penting dari itu
adalah komitmen kita untuk menjalankan kebijakan sudah dan akan disusun. Dan kita akan
mengucapkan Selamat tinggal mitos..

Anda mungkin juga menyukai