Anda di halaman 1dari 38

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL DISCOVERY LEARNING

TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI


PENGARUH MANUSIA DIDALAM EKOSISTEM
(Penelitian Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lakbok)

PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mengikuti Ujian Seminar Proposal

Oleh :
OVI SOPIAH
NIM. 2119100067

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH
CIAMIS
2014

I.

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL DISCOVERY


LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA
MATERI
II.
PENGARUH MANUSIA DIDALAM EKOSISTEM

III.

(Penelitian Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lakbok)


IV.

A. Latar Belakang Penelitian


V. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi
perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan
bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara
kebudayaan tersebut mengenal, menghargai dan memanfaatkan sumber daya
manusia dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan
kepada peserta didik.
VI. Menurut Horne (Mulyasana, 2011: 5) menyatakan bahwa:
VII.
Pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari
penyesuaian yang lebih tinggi bagi manusia yang telah berkembang
secara fisik dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti
termanifestasi dalam alam sekitar instelektual, emosional, dan
kemanusiaan dari manusia.
VIII.
IX. Pemaparan di atas sesuai dengan yang diungkapkan oleh Yunus
(dalam Ririn: 2012) menyatakan bahwa:
X. Pendidikan adalah usaha-usaha yang sengaja dipilih untuk
mempengaruhi dan membantu anak dengan tujuan peningkatan
keilmuan, jasmani dan akhlak sehingga secara bertahap dapat
menghantarkan anak kepada tujuannya yang paling tinggi.
XI.
XII.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya
dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani dan jasmani.

XIII.

Sesuai dengan ketentuan pasal 37 UU No. 20 tahun 2003

menyatakan bahwa pendidikan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik


menjadi warga negara yang baik, untuk menjadikan bangsa yang berkarakter.
Dalam menjalankan misi sosio akademisnya, pendidikan berperan menumbuh
kembangkan kopetensi siswa dalam aspek kecakapan akademisnya terutama
dalam pengembangan

kemampuan berpikir kritis, analisis,

reflektif,

menemukan sendiri dan memecahkan masalah serta bertanggung jawab yang


berkaitan dengan pengembangan kesadaran hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
XIV.

Dalam menjalankan misi sosio kulturalnya pendidikan

berkewajiban memberikan fasilitas kepada siswa untuk mempraktekan


pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan yang telah dimilikinya untuk dapat
disumbangkan pada berbagai bentuk partisipasi sosial kemasyarakatan sesuai
dengan tingkat perkembangan dan kemampuan siswa. Siswa dalam hal ini
dapat berpartisipasi aktif dalam beberapa bentuk pengabdian kepada
masyarakat. Pendidikan juga dapat membentuk diri yang beragam dari segi
agama, sosio, cultural, bahasa, usia, untuk menjadi warga negara yang cerdas,
terampil dan berkarakter. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Depdiknas (2005:34), bahwa :
XV.
Pendidikan secara umum bertujuan untuk mengembangkan
potensi individu, sehingga memiliki wawasan, sikap, dan keterampilan
yang memadai dan memungkinkan untuk berpartisipasi secara cerdas
dan bertanggung jawab dalam berbagai kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
XVI.

XVII.

Jelas bagi kita bahwa pendidikan bertujuan untuk

mengembangkan potensi individu warganegara. Dalam proses pendidikan kita


harus melihat berbagai aktivitas pembelajaran yang dilakukan. Teroptimalnya
peran kegiatan pembelajaran akan menentukan suksesi proses pendidikan.
Ketika menjalankan aktivitas pembelajaran perlu rencana dan strategi serta
panduan agar berjalan sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan.
Panduan dan rencana yang disusun harus dalam komposisi yang matang.
Panduan dan rencana itu dinamakan kurikulum.
XVIII.
Penyempurnaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) merupakan upaya untuk menyesuaikan pembelajaran dalam
kurikulum nasional dengan keadaan lingkungan setempat (lingkungan alam,
sosial dan budaya) agar proses dan hasil belajar dapat dicapai secara efektif
dan efisien sesuai dengan tujuan pendidikan. Penyempurnaan tersebut
menghendaki adanya perbaikan penyelenggaraan pendidikan pada proses
pembelajaran dimana peserta didik harus dijadikan sebagai subjek
pembelajaran, bukan menjadi objek pembelajaran.
XIX.
Isi kurikulum pendidikan dasar memuat beberapa mata
pelajaran, salah satu pelajaran tersebut yaitu pendidikan IPA Biologi, yang
secara harfiah dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan tentang alam atau
mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.
XX.
Pendidikan biologi merupakan suatu bentuk upaya yang
membuat berbagai pengalaman menjadi suatu sistem pola pikir yang logis atau
disebut juga pola pikir ilmiah. Biologi tidak hanya dipandang sebagai
kumpulan pengetahuan tetapi juga dapat dipandang sebagai suatu metode.

Metode ini berkaitan dengan upaya berupa observasi, eksperiman, penggunaan


alat dan berbagai perhitungan matematik. Hal ini sejalan dengan pendapat
Carin and Sund (dalam Djuanda 2010 : 242 ) mengemukakan bahwa :
XXI.
Science is the system of knowing about the universe
through data collected by observation and controlled experimentation.
As data are collected, theories are advanced to explain and account for
what has been observed.
XXII.
XXIII.
Berdasarkan pendapat di atas, biologi merupakan sistem
untuk mengetahui alam, dan juga dianggap sebagai suatu kumpulan
pengetahuan yang berfungsi untuk menjelaskan apa yang diperoleh.
Pendidikan Biologi di sekolah diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa
untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan
lebih lanjut dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
XXIV.
Untuk dapat memberikan pengalaman belajar yang
memadai, pembelajaran perlu diciptakan sedemikian rupa sehingga potensi
siswa dapat berkembang optimal. Pembelajaran harus memfasilitasi terjadinya
diskusi, serta mendorong siswa untuk aktif memberikan ide dan pendapat.
XXV.
Untuk mencapai visi, misi, dan tujuan pendidikan, seorang
guru hendaknya mampu merancang pembelajaran di kelas secara aktif, kreatif,
dan inovatif. Namun dalam realitanya selama ini guru hanya menggunakan
metode ceramah dan cenderung berorientasi pada konsep-konsep yang
sifatnya sangat teoritis, di samping itu guru cenderung monoton tanpa
memperhatikan media dan model pembelajaran yang tepat digunakan untuk
dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa sehingga siswa
menganggap bahwa pembelajaran biologi sangat membosankan.

XXVI.

Berdasarkan observasi awal di lapangan bahwa terjadi

permasalahan terkait dengan hasil belajar siswa khususnya siswa kelas VII
SMP Negeri 1 Lakbok yakni KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) untuk
pelajaran Biologi di kelas VII adalah 70 akan tetapi nilai-nilai rata-rata siswa
yang diperoleh adalah 62.34. Mencermati tentang rendahnya nilai yang
dicapai oleh siswa berada di bawah standar ketuntasan minimal yang
ditentukan yaitu dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) menunjukan
sebagian siswa masih di bawah standar. Bahwa dari 25 siswa masih banyak
siswa memperoleh nilai di bawah 70.
XXVII. Berkenaan dengan keadaan tersebut, guru dituntut untuk
memulihkan situasi pembelajaran dengan harapan mampu memenuhi KKM
yang ditentukan. Masalah di atas dapat menjadi salah satu penyebab mengapa
pembelajaran biiologi di sekolah belum memenuhi harapan didalam hasil yang
diperolehnya. Menyikapi permasalahan di atas diperlukan metode atau model
pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran biologi, salah satunya dengan menggunakan model discovery
learning.
XXVIII.

Model pembelajaran penemuan (Discovery Learning)

sebagaimana diungkapkan oleh Moedjiono (1991: 86 ) yang mengemukakan


bahwa:
XXIX.
Model pembelajaran penemuan merupakan suatu prosedur
yang menekankan belajar secara individual, manipulasi objek atau
pengaturan atau pengkondisian objek dan eksperimentasi lain oleh
siswa sebelum generalisasi atau penarikan kesimpulan dibuat.
XXX.
Berdasakran pendapat di atas, model pembelajaran
penemuan (discovery learning) memungkinkan para siswa menemukan sendiri

informasi-informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan intruksional. Hal


ini berimplikasi terhadap peranan guru sebagai penyampai informasi ke arah
peran guru sebagai pengelola interaksi belajar mengajar di kelas.
XXXI.
Moedjiono (1992: 87) menjelaskan bahwa
XXXII. Model pembelajaran penemuan (discovery learning)
memberikan peluang diperhatikannya proses dan hasil kegiatan belajar
siswa, karena model pembelajaran penemuan (discovery learning)
memilikitujuan yaitu meningkatkan keterlibatan siswa secara aktif
dalam memperoleh dan memproses perolehan belajar; mengarahkan
para siswa sebagai pelajar seumur hidup; mengurangi ketergantungan
kepada guru sebagai satu-satunya sumber informasi yang diperlukan
oleh para siswa; serta melatih para siswa mengeksplorasi atau
memanfaatkan lingkungannya sebagai sumber informasi yang tidak
akan pernah tuntas digali.
XXXIII.
XXXIV. Berdasarlam pendapat di atas, model pembelajaran
penemuan (discovery learning) menempatkan peserta didik sebagai subyek
belajar yang aktif. Oleh karena itu discovery learning menuntut peserta didik
untuk berpikir kreatif. Model ini melibatkan peserta didik dalam kegiatan
intelektual, sikap, keterampilan psikomotorik dan menuntut peserta didik
memproses pengalaman belajar menjadi sesuatu yang bermakna dalam
kehidupan nyata.
XXXV. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan mengenai
hasil belajar biologi yang diperoleh siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lakbok
serta dengan memperhatikan kelebihan-kelebihan yang dimiliki dari model
pembelajaran discovery learning yang diungkapkan oleh Suryosubroto
(2002:200), yaitu: (1) metode discovery learning mampu membantu siswa
untuk

mengembangkan

memperbanyak

kesiapan

serta

penguasaan

keterampilan dalam proses kognitif atau pengenalan siswa, (2) siswa

memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi atau individual


sehingga dapat kokoh atau mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut, (3)
dapat membangkitkan kegairahan belajar pada siswa, karena penulis
menganggap model discovery learning mampu memberikan kesempatan
kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya
masing-masing, (4) mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih
memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat, (5) membantu siswa
untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan
proses penemuan sendiri, (6) model discovery learning berpusat pada siswa
tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja, membantu bila
diperlukan.
XXXVI.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai penggunaan model discovery learning


terhadap hasil belajar siswa yang penulis tuangkan dalam bentuk karya ilmiah
dengan judul Pengaruh Penggunaan Model Discovery Learning Terhadap
Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pengaruh Manusia Didalam Ekosistem
(Penelitian Pada Siswa Kelas Vii Smp Negeri 1 Lakbok).
XXXVII.
B. Rumusan Masalah
XXXVIII.Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan
masalah yang akan diungkapkan dalam penelitian ini adalah: apakah
penggunaan model discovery learning berpengaruh terhadap hasil belajar
siswa pada materi pengaruh manusia didalam ekosistem?.

C. Tujuan Penelitian
XXXIX. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh
penggunaan model discovery learning terhadap hasil belajar siswa pada
materi pengaruh manusia didalam ekosistem.
XL.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
XLI.

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat

berguna sebagai pengetahuan/wawasan baru dan sebagai dasar kajian lebih


lanjut tentang pengaruh penggunaan model discovery learning terhadap
hasil belajar siswa pada materi pengaruh manusia didalam ekosistem.
XLII.
2. Secara Praktis
XLIII. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
berguna bagi :
a. Bagi guru bidang studi, hasil penelitian ini merupakan sebuah
informasi yang penting bagi guru untuk menerapkan pembelajaran
yang efektif di kelas dan menambah literatur guru tentang model
pembelajaran.
b. Bagi sekolah, diharapkan dari penelitian ini dapat meningkatkan mutu
atau kualitas pembelajaran di sekolah khususnya di SMP Negeri 1
Lakbok.

c. Bagi siswa, dengan diterapkannya model pembelajaran ini diharapkan


akan mampu meningkatkan hasil belajar siswa, khususnya bagi siswa
kelas VII.
d. Bagi penulis, sebagai sarana aplikasi dalam berfikir untuk memperluas
pengetahuan tentang pembelajaran.
XLIV.
E. Tinjauan Teoretis
1. Definisi Belajar
XLV.

Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan

unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan


jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian
tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa,
baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau
keluarganya sendiri. Oleh karenanya, pemahaman yang benar mengenai arti
belajar dengan segala aspek, bentuk dan manifestasinya mutlak diperlukan
oleh para guru sebagai pengajar. Kekeliruan atau ketidaklengkapan persepsi
mereka terhadap proses belajar dan hal-hal yang berkaitan dengannya
mungkin mengakibatkan kurang bermutunya hasil pembelajaran yang dicapai
peserta didik.
XLVI.

Menurut Syah (2010: 87) mengemukakan bahwa Belajar

adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat


fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Berdasarkan pendapat tersebut bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian
tujuan pendidikan tergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik

10

ketika berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya


sendiri.
XLVII.
XLVIII.
2. Model Discovery Learning
a. Pengertian Model Discovery Learning
XLIX. Penemuan
pembelajaran

yang

(discovery)

merupakan

dikembangkan

berdasarkan

suatu

model

pandangan

konstruktivisme. Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur


atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan
siswa ssecara aktif dalam proses pembelajaran.
L.

Wilcox (dalam Slavin, 2010: 126) menjelaskan bahwa

LI.
Dalam pembelajaran dengan penemuan (discovery
learning) siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui
keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki
pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
LII.
LIII. Berdasarkan pendapat di atas, bahwa discovery learning
dapat mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik
kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contohnya pengalaman, dan
yang mendasari dari hal tersebut yaitu siswa harus berperan secara aktif
didalam belajar di kelas. Untuk itu, apa yang disebutnya discovery
learning, yaitu dimana murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari
dengan suatu bentuk akhir.

11

LIV.

Menurut Bell (dalam Slavin, 2010: 137) menjelaskan

bahwa belajar penemuan adalah belajar yang terjadi sebagia hasil dari
siswa memanipulasi, membuat struktur dan mentransformasikan informasi
sedemikian sehingga ia menemukan informasi baru. Dalam belajar
penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjucture), merumuskan
suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan prose
induktif atau proses dedukatif, melakukan observasi dan membuat
ekstrapolasi.
LV.

Pembelajaran penemuan merupakan salah satu model

pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan konstruktivis modern.


Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar
sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsipprinsip. Guru mendorong siswa agar mempunyai pengalaman dan
melakukan eksperimen dengan memungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri.
LVI.

Pembelajaran

discovery

learning

merupakan

model

pembelajaran yang mengatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh


pengetahuan yang belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan,
sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam pembelajaran
discovery learning, mulai dari strategi sampai dengan jalan dan hasil
penemuan ditentukan oleh siswa sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat

12

Maier (dalam Winddiharto: 2004) yang menyatakan bahwa apa yang


ditemukan, jalan, atau proses semata-mata ditemukan oleh siswa sendiri.
LVII. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran

discovery

learning

adalah

suatu

model

untuk

mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri,


menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama
dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa. Dengan belajar
penemuan, anak juga bisa belajar berfikir analisis dan mencoba
memecahkan sendiri problem yang dihadapi. Kebiasaan ini akan di
transfer dalam kehidupan bermasyarakat.
LVIII.
b. Tujuan Pembelajaran Discovery Learning
LIX.

Menurut Bell (dalam Slavin, 2010: 140) mengemukakan

beberapa tujuan spesifik dari pembelajaran dengan penemuan, yakni


sebagai berikut:
1. Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat
secara aktif dalam pembelajaran. Kenyataan menunjukan
bahwa partisipasi banyak siswa dalam pembelajaran meningkat
ketika penemuan digunakan.
2. Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar
menemukan pola dalam situasi konkrit mauun abstrak, juga
siswa banyak meramalkan (extrapolate) informasi tambahan
yang diberikan
3. Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak
rancu dan menggunakan tanya jawab untuk memperoleh
informasi yang bermanfaat dalam menemukan.
4. Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk
cara kerja bersama yang efektif, saling membagi informasi,
serta mendengar dan mneggunakan ide-ide orang lain.

13

5. Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa


keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip
yang dipelajari melalui penemuan lebih bermakna.
6. Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan
dalam beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktifitas
baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru.
LX.
c. Strategi-strategi dalam Pembelajaran Discovery Learning
LXI.

Dalam pembelajaran dengan penemuan dapat digunakan

beberapa strategi, strategi-strategi yang dimaksud yaitu :


LXII.
LXIII.
1) Strategi Induktif
LXIV.

Strategi ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian

data atau contoh khusus dan bagian generalisasi (kesimpulan). Data


atau contoh khusus tidak dapat digunakan sebagai bukti, hanya
merupakan

jalan

menuju

kesimpulan.

Mengambil

kesimpulan

(penemuan) dengan menggunakan strategi induktif ini selalu


mengandung resiko, apakah kesimpulan itu benar ataukah tidak.
Karenanya kesimpulan yang ditemukan dengan strategi induktif
sebaiknya

selalu

mengguankan

perkataan

barangkali

atau

mungkin.
2) Strategi deduktif
LXV.

Dalam pembelajaran biologi metode deduktif

memegang peranan penting dalam hal pembuktian, karena dalam


biologi berisi argumentasi deduktif yang saling berkaitan, maka
metode deduktif memegang peranan penting dalam pengajaran

14

matematika. Dari konsep biologi yang bersifat umum yang sudah


diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat diarahkan untuk menemukan
konsep-konsep lain yang belum ia ketahui sebelumnya.
LXVI.
d. Peranan Guru dalam Pembelajaran Discovery Learning
LXVII.Dahar (1989: 168) mengemukakan beberapa peranan guru
dalam pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut:
1. Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran
itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki
para siswa.
2. Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar
bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya
materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah
yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan
menggunakan fakta-fakta yang berlawanan.
3. Guru juga harus memperhatikan cara penyajian yang enaktif,
ikonik, dan simbolik.
4. Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara
teoritis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing
atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebuh
dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia
hendaknya memberikan saran-saran bilamana diperlukan.
Sebagai tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada
waktu yang tepat.
5. Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar
penemuan. Secara garis besar tujuan belajar penemuan ialah
mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan
generalisai-generalisasi itu.
LXVIII.
e. Kelemahan dan Kelebihan Model Discovery Learning
1) Kelebihan discovery learning
a) Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan
masalah (problem solving)
b) Dapat meningkatkan motivasi
c) Mendorong keterlibatan keaktifan siswa

15

d) Siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Sebab ia berpikir


dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
e) Menimbulakan rasa puas bagi siswa. Kepuasan batin ini
mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat
belajarnya meningkat
f) Siswa akan dapat mentransfer pengetahuannya keberbagai
konteks.
g) Melatih siswa belajar mandiri
2) Kekurangan discovery learning
a) Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalah
fahaman antara guru dengan siswa
b) Menyita waktu banyak. Guru dituntut mengubah kebiasaan
mengajar yang umumnya sebagai pemberi informasi menjadi
fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa dalam belajar. Untuk
seorang guru ini bukan pekerjaan yang mudah karena itu guru
memerlukan waktu yang banyak. Dan sering kali guru merasa
belum puas kalau tidak banyak memberi motivasi dan
membimbing siswa belajar dengan baik.
c) Menyita pekerjaan guru.
d) Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan
e) Tidak berlaku untuk semua topik .
LXIX.
f. Aplikasi Pembelajaran Discovery Learning di Kelas
1) Tahap Persiapan dalam Aplikasi Model Discovery Learning
LXX.

Seorang guru bidang studi, dalam mengaplikasikan

metode discovery learning di kelas harus melakukan beberapa


persiapan. Berikut ini tahap perencanaan menurut Bruner (dalam
Budiningsih, 2005: 50), yaitu:

16

a) Menentukan tujuan pembelajaran.


b) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan
awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
c) Memilih materi pelajaran.
d) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara
induktif (dari contoh-contoh generalisasi).
e) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contohcontoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari
siswa.
f) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke
kompleks, dari yang konkrit ke abstrak, atau dari tahap
enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
LXXI.
2) Prosedur aplikasi discovery learning
LXXII.
Syah (2004:244) menjelaskan bahwa :
LXXIII. Dalam mengaplikasikan model discovery learning
di kelas diperlukan beberapa tahapan atau prosedur yang harus
dilakukan, tahapan atau prosedur tersebut diantaranya adalah
tahap stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan), tahap
problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah); tahap
data collection (pengumpulan data); tahap data processing
(pengolahan
data);
tahap
verification
(pentahkikan/pembuktian); serta tahap generalization (menarik
kesimpulan/generalisasi).
LXXIV.
a) Tahap stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan).
LXXV.Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan
pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian
dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul
keinginan untuk menyelidiki sendiri (Taba dalam Affan, 1990:
198). Tahap ini Guru bertanya dengan mengajukan persoalan, atau
menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian yang
memuat permasalahan. Stimulation pada tahap ini berfungsi untuk
menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan

17

dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini


Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik
bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong
eksplorasi.
b) Tahap problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah).
LXXVI.

Setelah

dilakukan

stimulation

langkah

selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk


mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang
relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih
dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah) (Syah 2004:244).
c) Tahap data collection (pengumpulan data).
LXXVII.

Ketika eksplorasi berlangsung guru juga

memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan


informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan
benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini
berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar
tidak hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan
untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan,
membaca literature, mengamati objek, wawancara dengan nara

18

sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya (Djamarah,


2002:22).
d) Tahap data processing (pengolahan data).
LXXVIII.

Menurut Syah (2004:244) data processing

merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah


diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan
sebagainya, lalu ditafsirkan.
LXXIX.
Data processing
pengkodean

coding/

kategorisasi

disebut

yang

juga

dengan

berfungsi

sebagai

pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut


siswa akan mendapatkan penegetahuan baru tentang alternatif
jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara
logis.
e) Tahap Verification (pentahkikan/pembuktian).
LXXX.

Verification menurut Bruner, bertujuan agar

proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu
konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang
ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
f) Tahap generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
LXXXI.

Tahap generalitation/ menarik kesimpulan

adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan


prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah

19

yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah,


2004:244). Atau tahap dimana berdasarkan hasil verifikasi tadi,
anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu
(Djamarah, 2002:22). Akhirnya dirumuskannya dengan kata-kata
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi (Affan, 1990: 198).
LXXXII.
3. Hasil Belajar
a. Pengertian Hasil Belajar
LXXXIII.

Hasil belajar merupakan Kemampuan siswa yang

didapat setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar


mencakup tiga ranah yaitu : Ranah kognitif, ranah afektif dan ranah
psikomotor (Sudjana, 2010:22). Ranah kognitif berkaitan dengan
pengetahuan konsep siswa, afektif berkaitan dengan sikap siswa.
Sedangkan psikomotor berkaitan dengan gerak tubuh siswa.
LXXXIV.

Stimulus

merupakan

agen

lingkungan

yang

berperan sebagai penyebab belajar, sedangkan respons merupakan


perubahan perilaku yang terjadi dalam diri organisme sebagai hasil
stimulus. Dengan demikian, maka belajar dapat disimpulkan sebagai suatu
pengalaman yang akan mengubah perilaku suatu organisme. Perubahan
perilaku ini yang disebut sebagai hasil belajar. Hasil belajar dapat
dikategorikan sesuai dengan perubahan perilakunya. Menurut Gegne
(dalam Sudjana, 2004: 22) ada 5 kategori hasil belajar, yaitu:

20

a. Informasi verbal adalah tingkat kemampuan yang hanya


meminta siswa untuk mengenal atau mengetahui adanya
konsep, fakta, tanpa harus memahami, menilai dan
menggunakan.
b. Keterampilan intelektual adalah tingkat kemampuan yang
mengharapkan siswa mampu untuk memahami dan mengerti
tentang arti konsep, fakta yang diketahuinya.
c. Strategi kognitif adalah tingkat kemampuan yang
mengharapkan siswa dapat menggunakan suatu teknik untuk
memahami atau mengerti suatu masalah.
d. Sikap adalah suatu kemampuan yang mengharapkan siswa
mampu mencerminkan pengetahuan yang diperolehnya melalui
tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari.
e. Keterampilan motoris adalah berkenaan dengan keterampilan
atau kemampuan bertindak setelah menerima pengalaman
belajar tertentu.
LXXXV.
LXXXVI.
Perubahan belajar ditandai dengan adanya
perubahan pola-pola sambutan baru dalam tingkah laku individu.
Perubahan tingkah laku ini merupakan manifestasi perbuatan belajar. Hal
ini berarti bahwa seseorang yang telah mengalami perubahan tingkah
lakunya secara keseluruhan dan individu akan sadar merasakan perubahan
itu. Secara implisit dari keterangan di atas, Syah (2008:117) menjelaskan
ciri perubahan hasil belajar adalah sebagai berikut :
a. Perubahan intensional, dalam arti pengalaman atau latihan itu
dengan sengaja dan disadari dilakukannya dan bukan secara
kebetulan ; dengan demikian perubahan karena kemantapan
dan kematangan atau keletihan atau karena penyakit tidak dapat
dipandang sebagai perubahan hasil belajar.
b. Perubahan bersifat positif aktif dalam arti sesuai seperti yang
diharapkan (normatif) atau kriteria keberhasilan baik dipandang
dari segi siswa (bakat khusus, tugas perkembangan) maupun
dari segi guru (tuntutan masyarakat orang dewasa sesuai
dengan tingkatan standar kulturalnya).
c. Perubahan bersifat efektif fungsional dalam arti membawa
pengaruh dan makna tertentu bagi pelajar itu relatif tetap dan
setiap saat dapat dipergunakan dalam pemecahan masalah, baik

21

dalam ujian dan sebagainya maupun dalam penyesuaian diri


dalam kehidupannya.
LXXXVII.
LXXXVIII. Sudjana (2009:50) menyatakan bahwa
LXXXIX.
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan
pendidikan baik dalam kurikulum maupun instruksional
menggunakan klasifikasi hasil belajar dari yang secara garis besar
dibagi menjadi tiga ranah yaitu :
a. Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang
terdiri dari enam aspek yaitu : pengetahuan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
b. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima
aspek yaitu penerimaan, jawaban, penilaian, organisasi dan
karakteristik nilai.
c. Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan
bergerak dan keterampilan ekspresi verbal dan non verbal.
Terdapat enam ranah psikomotor, yaitu :
1. Gerakan refleks
2. Keterampilan gerakan dasar
3. Keterampilan perseptual
4. Keharmonisan
5. Gerakan keterampilan kompleks
6. Gerak ekspresif dan interpretatif
XC.
XCI. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa
hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya dan mempunyai perubahan kearah yang
lebih baik.
XCII.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
XCIII. Sujana (2009:39) menyebutkan beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil belajar, yaitu : faktor dari dalam diri sendiri dan
faktor yang datang dari luar atau faktor lingkungan. Faktor yang datang
dari dalam terutama kemampuan yang dimiliki, faktor kemampuan besar

22

sekali pengaruhnya terhadap kesuksesan belajar yang dicapai. Selameto


(2003:54) menggolongkan faktor yang dapat mempengaruhi belajar
kedalam dua golongan, yaitu :
1) Faktor internm yaitu faktor yang ada dalam diri individu siswa
yang sedang belajar, dalam faktor ini meliputi:
a) Faktor jasmaniah: berupa faktor kesehatan, cacat tubuh.
b) Faktor psikologis: berupa intelegensi, perhatian, minat,
bakat, morif, kematangan dan kesiapan.
c) Faktor kelelahan
2) Faktor ekstern yaitu faktor yang ada di luar individu, dibedakan
menjadi tiga faktor yaitu:
a) Faktor keluarga, akan diterima oleh siswa yang akan belajar
dapat berupa: cara orang tua mendidik, relasi antara
anggota keluarga, keadaan ekonomi keluarga, perhatian
serta pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan dan
latar belakang pendidikan orang tua.
b) Faktor sekolah, yang dapat mempengaruhi proses belajar
siswa yaitu: metode mengajar, kurikulum, relasi guru
dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah,
alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas
ukuran, keadaan gedung dan tugas rumah.
c) Lingkungan masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap
belajar siswa. Hal-hal yang mempengaruhi yaitu: kegiatan
siswa dalam kegiatan sosial masyarakat, media masa yang
berada di masyarakat, teman bergaul dan bentuk kehidupan
masyarakat.
XCIV.
XCV. Menurut Pupuh (2007:115) berbagai faktor yang
mempengaruhi keberhasilan belajar adalah :
1) Tujuan
XCVI.
Tujuan merupakan muara dan pangkal dari proses
belajar mengajar. Oleh karena itu, tujuan menjadi pedoman
arah dan sekaligus sebagai suasana yang akan dicapai dalam
kegiatan belajar mengajar.
2) Guru
XCVII. Faktor latar belakang pendidikan dan pengalaman
mengajar merupakan dua aspek yang mempengaruhi
kompetensi profesi guru dalam mengajar. Guru pemula dan
latar belakang pendidikan keguruan, sekalipun sama dalam

23

kemampuan mengajar, tetapi yang berlatar belakang keguruan


memiliki landasan teori sehingga tindakannya dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik dan metodologis.
3) Peserta Didik
XCVIII. Peserta didik dengan segala perbedaannya seperti
motivasi, minat, bakat, perhatian, harapan, latar belakang sosiokultural, tradisi keluarga, menyatu dalam sebuah sistem belajar
di kelas. Perbedaan-perbedaan inilah yang wajib dikelola,
diorganisir guru, untuk mencapai pembejaran optimal.
4) Kegiatan Pengajaran
XCIX.
Pola umum kegiatan pengajaran adalah terjadinya
interaksi antara guru dan peserta didik dengan bahan
pengajaran sebagai perantaranya. Guru yang menciptakan
lingkungan belajar yang baik maka kepentingan belajar anak
didik terpenuhi. Perserta didik merupakan subjek belajar yang
memasuki atmosfer suasana belajar yang diciptakan oleh guru.
5) Evaluasi
C. Evaluasi memiliki cakupan bukan saja pada bahan ajar,
tetapi pada keseluruhan proses belajar mengajar, bahkan pada
alat dan bentuk evaluasi itu sendiri, artinya evaluasi yang
dilakukan sudah benar-benar mengevaluasi tujuan yang telah
ditetapkan, bahan yang diajarkan dan proses yang dilakukan.
CI.
CII. Poerwanto (2010:102) mengemukakan bahwa :
CIII. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah faktor yang
ada pada diri organisme itu sendiri yang disebut faktor individual,
dan faktor yang ada di luar individu yang kitasebut faktor sosial.
Yang termasuk ke dalam faktor individual antara lain: faktor
kematangan/pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi dan faktor
pribadi. Sedangkan yang termasuk faktor sosial antara lain faktor
keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alatalat yang dipergunakan dalam belajar mengajar, lingkungan dan
kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial.
CIV.
CV. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dijelaskan bahwa
dalam

kegiatan

belajar

banyak

sekali

faktor

yang

sangat

mempengaruhinya, baik faktor yang berasal dari dalam diri individu siswa
(faktor intern) yang berupa keadaan jasmaniah siswa, keadaan psikologis
siswa, dan faktor kelelahan yang dialami siswa. Maupun faktor dari luar

24

individu (faktor ekstern) yaitu berupa kondisi keluarga dari siswa, keadaan
sekolah dimana siswa belajar, dan keadaan masyarakat dimana siswa
bersosialisasi, apabila kedua faktor tersebut sinergis keberhasilan belajar
akan tercapai dengan hasil yang maksimal.
CVI.
F. Kerangka Pemikiran
CVII.

Hakikat hasil belajar adalah untuk menghantarkan siswa

menguasai konsep-konsep materi pembelajaran dan keterkaitannya untuk


dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Kata menguasai di
sini mengisyaratkan bahwa harus menjadikan siswa tidak sekedar tahu
(knowing) dan hafal (memorizing) tentang konsep-konsep pada materi
pembelajaran, melainkan harus menjadikan siswa untuk mengerti dan
memahami (to understand) konsep-konsep tersebut dan menghubungkan
keterkaitan suatu konsep dengan konsep lain.
CVIII.

Seseorang akan lebih efektif dalam proses belajar jika

kognitifnya secara aktif mengalami rekonstruksi, baik ketika berbenturan


dengan suatu fenomena maupun kondisi sosial. Sebagai implikasinya,
pembelajaran seharusnya memperhatikan pengembangan hand-on dan mindon yaitu pelajaran yang secara langsung yang dialami dan dapat diingat oleh
siswa. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam menerapkan handon dan mind-on yaitu guru bertindak sebagai fasilitator sekaligus motivator
yang tercermin dalam kegiatan yang dikembangkan dalam pembelajaran;
pembelajaran memungkinkan siswa belajar dalam kelompok; serta guru

25

senantiasa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan


kemampuan dan gagasannya, baik melalui lisan, performance, maupun tulisan.
CIX.

Untuk mewujudkan keefektifan belajar diperlukan suatu

model pembelajaran yang mampu meningkatkan hasil belajar siswa dan


menekankan pada keaktifan siswa dalam pembelajaran sehingga terjadi
interaksi multi arah yang secara tidak langsung dapat meningkatkan hasil
belajar siswa yaitu dengan menerapkan model discovery learning.
CX.

Proses belajar pada model discovery learning, siswa

mengalami sendiri apa yang dipelajarinya melalui pengalaman nyata sehingga


kemampuan berpikir siswa dapat terbangun. Oleh sebab itu siswa perlu
dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna
bagi dirinya serta menemukan konsep, prinsip dan pemecahan masalah untuk
menjadi miliknya lebih daripada sekedar menerimanya atau pendapatnya dari
seorang guru atau sebuah buku. Hal ini sesuai dengan teori belajar
kontruktrivisme yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai
(Trianto 2007: 13).
CXI.

Model discovery learning bukanlah merupakan kajian yang

baru dalam pendidikan. Beberapa penelitian sebelumnya telah meneliti tentang


model tersebut. Nellya Elyta (2008) mengungkapkan bahwa penerapan model
discovery learning dalam pembelajaran Biologi dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada ranah kognitif. Peningkatan hasil belajar tersebut terutama

26

disebabkan adanya peningkatan aktivitas belajar, sebagai salah satu faktor


yang mempengaruhi hasil belajar siswa, akibat penerapan model discovery
learning. Sedangkan hasil penelitian Kuswanto (2009) dengan judul penelitian
Penerapan Model Discovery Learning untuk Meningkatkan Kemampuan
Kerja Ilmiah dan Prestasi Belajar Fisika, menyatakan bahwa penerapan model
discovery learning dapat meningkatkan prestasi belajar dan kemampuan kerja
ilmiah siswa.
CXII.

Berdasarkan hasil paparan di atas, maka penulis meneliti

tentang model discovery learning seperti yang tertera dalam bagan kerangka
pemikiran di bawah ini.
CXIII.

Pembelajaran

Hasil

Biologi Pada Materi Pengaruh Manusia Didalam


Ekosistem
Penerapan
Model Discovery Learning

CXV.

Belajar Siswa

CXIV.
Gambar 1
Bagan Kerangka Pemikiran

G. Hipotesis
CXVI.

Berdasarkan

kerangka

pemikiran

di

atas,

penulis

merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: penggunaan model


discovery learning berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada materi
pengaruh manusia didalam ekosistem
CXVII.

27

H. Metode Penelitian
1.

Waktu dan Tempat Penelitian


CXVIII.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2014.

Sedangkan tempat penelitian yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah
di Kelas VII SMP Negeri 1 Lakbok.
CXIX.
2. Populasi dan Sampel Penelitian
CXX.

Populasi yang dijadikan objek penelitian adalah siswa

Kelas VII SMP Negeri 1 Lakbok yang terdiri dari 9 kelas yaitu sebanyak 229
siswa. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII-C SMP Negeri 1
Lakbok sebanyak 26 siswa. Teknik yang digunakan dalam pengambilan
sampel adalah purposive sampling.
CXXI.
3. Metode dan Desain Penelitian
CXXII.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

eksperimen semu dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas


terhadap variabel terikat. Variabel bebas pada penelitian ini adalah penerapan
metode discovery learning, sedangkan variabel terikatnya adalah hasil belajar
siswa.
CXXIII.

Penelitian ini menggunakan satu kelompok sampel yang

dipilih secara random. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah the
one group pre test post test design.
CXXIV. Tabel 3.1

28

CXXV.

Desain Penelitian the one group pre test post test design
CXXVI.

CXXVII. P
RETES
T
CXXX.

CXXVIII. INSTRUMENT

CXXXI.

CXXIX. P
OST
TES
T
CXXXII. T

CXXXIII.
CXXXIV. Keterangan :
CXXXV. T1
CXXXVI. T2
CXXXVII.X

=
=
=

Pre-test
Post-test
Pembelajaran

dengan

menggunakan

model

discovery learning
CXXXVIII.
4.

Instrumen Penelitian
CXXXIX. Instrument yang digunakan dalam penelitian
ini berupa perangkat pembelajaran, instrumen penelitian
dalam bentuk test objektif dengan 4 pilihan sebanyak 20 soal.
Soal yang digunakan pada test akhir sama dengan test awal.
Test

awal

diberikan

untuk

mengukur

kemampuan

awal

sedangkan test akhir digunakan untuk mengukur kemajuan dan


tingkat hasil belajar siswa setelah dilakukan pembelajaran.
CXL.

Sebelum

digunakan

butir-butir

soal

diujicobakan terlebih dahulu untuk mengetahui validitas,


reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran, dengan
cara sebagai berikut :

29

CXLI.
1. Indeks Validitas :
CXLII. Validitas adalah suatu ukuran yang mewujudkan
tingkat kavali dan suatu instrument untuk uji validitas
instrument dengan cara menggunakan persamaan kolerasi
product moment menurut pearson (Arikunto, 1996: 160)

r xy
CXLIII.

N XY ( X ) ( Y )
{N X 2 ( X ) 2 }{N Y 2 ( Y ) 2 }

CXLIV.

Keteangan :

CXLV. rxy
variabel y
CXLVI.

= Kofisien korelasi antara variabel x dan


N

= Jumlah siswa

x = Skor soal
y

CXLVII.

CXLVIII.
= Skor total
CXLIX.
CL. Kriteria validitas soal :
CLI.
CLII.
CLIII.
CLIV.
CLV.

0.00
0.21
0.41
0.71
0.91

0.20
0.40
0.70
0.90
1.00

:
:
:
:
:

sangat rendah
rendah
sedang
tinggi
sangat tinggi

2. Realiabilitas soal instrument


CLVI. Untuk menguji releabilitas menggunakan rumus K-R
20 dalam Suharsini Arikunto (1997 : 89)

CLVII.
CLVIII.

n 1

s 2 q

r11

Keterangan :

s2

30

CLIX. r11
= Reliabilitas secara keseluruhan
CLX. n = Banyaknya soal
CLXI. S = Standar deviasi
CLXII. P = Proporsi subjek yang menjawab item dengan benar

Pq
CLXIII.
q = Proporsi subjek yang menjawab item dengan
salah
CLXIV. = Jumlah perkalian antara P dan q
CLXV. Kriteria reliabilitas soal :

CLXVI. 0.00 0.20 : sangat rendah


CLXVII. 0.21 0.40 : rendah
CLXVIII. 0.41 0.70 : sedang
CLXIX. 0.71 0.90 : tinggi
CLXX.0.91 1.00 : sangat tinggi
3. Daya Pembeda :

CLXXI.
CLXXII.

BA BB

JA
JB

Dimana :

CLXXIII.
CLXXIV.
menjawab
CLXXV.
menjawab
CLXXVI.
CLXXVII.
CLXXVIII.
CLXXIX.

D
= Daya pembeda
BA
= Banyak peserta kelompok atas yang
soal benar
BB
= Banyak peserta kelompok atas yang
soal salah
JA
= Banyak peserta kelompok atas
JB
= Banyak peserta kelompok bawah

CLXXX.
CLXXXI.
CLXXXII.
CLXXXIII.

0.00
0.21
0.41
0.71

Kriteria daya pembeda :

0.20
0.40
0.70
0.91

:
:
:
:

sangat rendah
rendah
sedang
tinggi

4. Tingkat Kesukaran

CLXXXIV.
CLXXXV.

B
jS

= Indek kesukaran

31

CLXXXVI. B
= Jumlah siswa yang menjawab benar
CLXXXVII. J5
= Jumlah seluruh peserta test
CLXXXVIII.
CLXXXIX. Klasifikasi :
CXC. P
CXCI. P
CXCII.P

= 0.00 samapi 0.30 adalah soal sukar


= 0.31 samapi 0.70 adalah soal sedang
= 0.71 samapi 1.00 adalah soal mudah

CXCIII.
CXCIV.
5.

Analisis Data
CXCV.

Data yang diperoleh dari penelitian melalui pre-

test maupun post test merupakan hasil pengukuran aspek


keterlibatan berfikir rasional berupa skor total. Analisis
kuantitatif yang dilakukan dengan langkah-langkah yang
ditempuh adalah :
a. N-Gain
CXCVI.

N-Gain

S post tess Pre test


S makS pretes

Skor Pos tes - Skor Pre test


Skor Maksimal - Skor Pre test
CXCVII.
CXCVIII.
CXCIX.
CC.
b. Uji normalitas

dengan kriteria :
N gain > 0,7
tinggi
0,3 < N gain < 0,7 sedang
N gain < 0,3
rendah (Stainert, 2007)

32

CCI.

Pengujian normalitas untuk mengetahui apakah data nilai tes hasil

belajar berdistribusi normal atau tidak. Pengujian ini menggunakan rumus


uji Chi Kuadrat (2). Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut
(Sugiyono, 2009 : 199-200):
1. Menentukan rentang kelas
CCII.

R = data tertinggi - data terendah

2. Menentukan banyaknya kelas interval


CCIII.

Banya kelas (k) = 1 + log n

3. Menentukan panjang kelas interval

CCIV.

( P)

Rentang
Banyak kelas

CCV.
4. Membuat daftar distribusi frekuesi
CCVIII.
CCVII.Inter Frekuens CCX. Tanda
CCVI.
val Nama
i
Kelas Interval
No
Siswa
CCIX. (fi (xi)

CCXI. CCXII.CCXIII.
fixi

xi2

fi.xi2

)
CCXIV.
CCXV.

CCXXI. Ju
mlah
CCXXVII.
5. Menentukan rata-rata

CCXVI.

CCXVII.

CCXXII. CCXXIII.

CCXVIII.
CCXIX.
CCXX.

CCXXIV.
CCXXV.
CCXXVI.

33

X =

CCXXVIII.

fixi

fi

6. Menentukan simpanagan baku (standar deviasi)

n f i X i f i X i
2

sd

n n 1

CCXXIX.

7. Menentukan batas kelas interval untuk menghitung luas daerah kurva


normal bagi tiap kelas interval
8. Menentukan nilai standar Z
CCXXX.

Z=

batas kelas ervalratarata


standar deviasi

9. Menentukan luas setiap kelas interval (L) dengan daftar Z (daftar luas
di bawah lengkungan normal standar)
10. Menentukan frekuensi yang diharapkan (Ei), Ei = luas daerah tiap
interval (L) x n
11. Menentukan frekuensi pengamatan (Oi), yaitu frekuensi yang telah
diperoleh dari hasil observasi.
12. Membuat daftar distribusi frekuensi yang diharapkan dan frekuensi
pengamatan.
CCXXXI. CCXXXIII.
CCXXXV.
CCXXXVI.
CCXXXVII.
F
Batas
Z Untuk
Luas untuk
Frekuensi yang
rekuensi
CCXXXII. CCXXXIV.
Tiap Interval diharapkan (E) Pengamatan (Oi)
Kelas (*) Batas Kelas
CCXXXVIII.CCXXXIX.
CCXL.
CCXLI.
CCXLII.

CCXLIII.

CCXLIV.

CCXLV.

CCXLVI.

CCXLVII.

34

CCXLVIII.
13. Menentukan nilai Chi Kuadrat
14. Menentukan derajat kebebasan untuk distribusi Chi Kuadrat dk
(derajat kebebasan) = banyak kelas (k) 3
15. Membandingkan nilai 2hitung dengan 2tabel dalam taraf kepercayaan 5%
atau 1%.
CCXLIX. Jika 2hitung < 2 (l-a), (k-l), maka populasi berdistribusi
normal.
CCL.

Jika 2hitung > 2 (l-a), (k-l), maka populasi tidak

berdistribusi normal.
c. Uji Z
CCLI. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji z (Sugiyono, 2009: 28)
dengan rumus :

CCLII. Z =

x
p
n

( p(1p)
)
n

CCLIII.

Keterangan:

CCLIV.
CCLV. n
CCLVI.

x
= banyak data yang termasuk ketegori hipotesis
= banyak data
p
= proporsi

CCLVII.

Selanjutnya menghitung nilai Ztabel untuk taraf kepercayaan

= 5% atau 1% dengan rumus :


CCLVIII.

Ztabel = 0,5 tt

CCLIX.

Jika Zhitung > Ztabel, maka hipotesis diterima.

35

CCLX. Jika Zhitung < Ztabel, maka hipotesis ditolak.


6.

Agenda Kegiatan
CCLXI.
CCLXII.
No

Kegiatan

CCLXX.
CCLXXI.
Pengajuan judul/
1
persiapan
CCLXXVI.
CCLXXVII. Observasi
2
CCLXXXII.
CCLXXXIII. Penyusunan propposal
3
Penelitian
CCLXXXVIII.
CCLXXXIX. Bimbingan
4
CCXCIV.
CCXCV.
Seminar Usulan
5
Penelitian
CCC. CCCI. Penyusunan skripsi
6
CCCVI.
CCCVII.
Pelaksanaan Penelitian
7
CCCXII.
CCCXIII.
Pengumpulan Data
8
CCCXVIII.
CCCXIX.
Pengolahan Data
9
CCCXXIV.
CCCXXV.
Penulisan laporan
10
hasil penelitian
CCCXXX.
CCCXXXI. Sidang Skripsi
11
CCCXXXVI.
CCCXXXVII.

CCLXIII.
Bulan
CCLXVI.
CCLXVII.
CCLXVIII.
CCLXIX.
Jan.
Feb.
Mar. Apr.
CCLXXII.
CCLXXIII.
CCLXXIV.
CCLXXV.
CCLXXVIII.
CCLXXIX.
CCLXXX.
CCLXXXI.
CCLXXXIV.
CCLXXXV.
CCLXXXVI.
CCLXXXVII.
CCXC. CCXCI.CCXCII.
CCXCIII.
CCXCVI.
CCXCVII.
CCXCVIII.
CCXCIX.
CCCII. CCCIII.CCCIV.CCCV.
CCCVIII.
CCCIX.CCCX. CCCXI.
CCCXIV.
CCCXV.CCCXVI.
CCCXVII.
CCCXX.CCCXXI.
CCCXXII.
CCCXXIII.
CCCXXVI.
CCCXXVII.
CCCXXVIII.
CCCXXIX.
CCCXXXII.
CCCXXXIII.
CCCXXXIV.
CCCXXXV.

36

CCCXXXVIII.

DAFTAR PUSTAKA

CCCXXXIX.
CCCXL. Affan, Junimar. 1990. Psikologi Dari Zaman Ke Zaman, Jemmars,
Bandung.
CCCXLI. Arikunto, Suharsimi. 1996, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
CCCXLII.
_____________. 1997. Prosedur Penelitian. Edisi Revisi
V. Jakarta: Rineka. Cipta.
CCCXLIII. Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
CCCXLIV. Dahar, R.W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
CCCXLV.Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
CCCXLVI. Djuanda, Dadan. 2010. Model Pembelajaran di Sekolah.
Sumedang: Universitas Pendidikan Indonesia
CCCXLVII. Moedjiono dan Dimyati. 1992. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Depdikbud
CCCXLVIII. Moedjiono. 1991. Pemilihan dan Penggunaan Media
Instruksional. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang.
CCCXLIX. Mulyasana, Dedy. 2011. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing.
Bandung: PT. Remaja
CCCL. Pupuh, F. 2007. Strategi Belajar Mengajar; Melalui Penanaman
Konsep Umum dan Konsep Islami. Bandung: PT. Refika Aditama
CCCLI. Purwanto. 2010. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
CCCLII. Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang mempengaruhinya.
Jakarta: Rineka Cipta
CCCLIII. Slavin, Robert E. 2010. Cooperative Learning. Teori, Riset dan Praktik.
Bandung: Nusa Media.
CCCLIV.
Stainert, J. J. 2007. Normalized Gain and Sat Score. [Online]
Tersedia: http://www.n-gain.com. diakses tanggal 26 Januari 2014.
CCCLV. Sudjana, Nana. 2004. Landasan Psikologi Pendidikan. Jakarta: Remaja
Rosdakarya
CCCLVI. _____________. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
CCCLVII.
_____________. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.
(Cet. XV). Bandung: PT. Ramaja Rosdakarya.
CCCLVIII.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
Alfabeta.
CCCLIX. Suryosubroto, B. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta:
Rineka Cipta.
CCCLX. Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

37

CCCLXI. Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi


Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
CCCLXII.
Widdiharto, Rahmadi, 2004. Model-Model Pembelajaran.
Yogyakarta: P3G Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai