Anda di halaman 1dari 12

REFLEKSI KASUS

SEPSIS + STATUS
EPILEPTIKUS + INVAGINASI

OLEH:
MAGHFIRAH ABD. RASYID
09 777 021
Pembimbing:
dr. Nurhaedah T, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
RSUD UNDATA PALU
2014

BAB I
PENDAHULUAN

Tetanus adalah rahang terkunci (lokjaw) adalah paralitik spastic yang


disebabkan oleh tetanospasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani.1
Port dentre (tempat masuknya bakteri) tidak dapat selalu diketahui dengan
pasti namun diduga melalui luka, otitis media, karies gigi, pemotongan tali pusat
yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk
kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya
spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus neonatorum.
1,2,3,4

Tetanus terjadi diseluruh dunia dan endemik pada 90 negara yang sedang
berkembang, tetapi insidensnya sangat bervariasi. Bentuk yang paling sering
adalah tetanus neonatorum, membunuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi setiap
tahunnya.3
Manifestasi klinis dari tetanus adalah, kekakuan otot, risus sardonikus,
opistotonus, otot dinding perut kaku, bilakekakuan makin berat, akan timbul
spasme umum yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang dan pada tetanus
yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme yang terusmenerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia
dan kematian. Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk
menghisap dan cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku
sehingga bayi tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya,
badan menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten. 1,2,3
Penatalaksanaan pada tetanus dibagi menjadi tatalaksana umum dan
tatalaksana khusus.Dimana pada tatalaksana khusus diberikan antibiotic dengan
lini pertama metronidazol dan ATS (antiserum).2
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Tetanus adalah rahang terkunci (lokjaw) adalah paralitik spastic yang
disebabkan oleh tetanospasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani.1
Menurut UKK infeksi tropis dan pediatric tropis IDAI, Tetanus adalah
penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan
kesadaraan.Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai
dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan olehClostridium tetanipada
sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular
(neuro muscular junction) dan saraf otonom.2
ETIOLOGI
Bakteri yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman
berbentuk batang (basil) dengan sifat1,2,3,4:

Basil gram positif


Berspora (spora terminal) (pada ujungnya terbentuk spora, sehingga

secara mikroskopis tampak seperti pukulan genderang).


Spora yang dihasilkan mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan
dan desinfektans, tetapi tidak didalam autoklaf dan sel vegetatife mati

dengan antibiotic.
Obligat anaerob (berbentuk vegetatife apabila berada dalam lingkungan

anaerob)
Bergerak dengan menggunakan flagella
Menghasilkan eksotosin

Port dentre (tempat masuknya bakteri) tidak dapat selalu diketahui dengan
pasti namun diduga melalui1,2,3,4:

1. Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka


bakar yang luas
2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debri demant) dengan baik
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat
dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan
merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat
yang menyebabkan terjadinya kasus neonatorum.
Clostridium tetani, hidup di tanah dan di dalam saluran pencernaan
binatang, terutama pada tanah didaerah pertanian atau peternakan. Spora yang
dibentuk mampu bertahan lama dalam keadaaan yang tidak menguntungkan
selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob spora dapat berubah
menjadi bentuk yang vegetatitif yang akan menghasilkan eksotosin.1,2,3
EPIDEMIOLOGI
Tetanus terjadi diseluruh dunia dan endemik pada 90 negara yang sedang
berkembang, tetapi insidensnya sangat bervariasi.Bentuk yang paling sering
adalah tetanus neonatorum, membunuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi setiap
tahunnya.Kejadian tetanus pada anak terutama pada daerah resiko tinggi dengan
cakupan imunisasi DTP yang rendah.3
PATHOGENESIS
Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan yang
anaerobic berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak secara cepat
sambil menghasilkan 2 toksin yaitu tetonaspasmin dan tetanolisin. Tetanolisin
menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini, yang berperan
adalah tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat
system syaraf yaitu motor endplate di otot rangka, medulla spinalis, otak dan pada
beberapa kasus pada system saraf simpatis. Pada keadaan jaringan yang anaerobic
terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan
oksigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, atau akibat adanya benda
asing.1,2,3
3

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat
motor endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang
belakang dan menyebar ke seluruh susunan saraf pusat lebih banyak dianut
daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melalui saraf
motorik, terutama serabut motor. Resptor khsusus pada ganglion menyebabkan
fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan
dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ekstra aksional dan
menimbulkan perubahan potensial membrane dan gangguan enzim yang
menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat
tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blockade pada simpul yang
menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus semakin meningkat akan menimbulkan
spasme terutama pada otot yang besar. 1,2,3
Dampak toksin antara lain2:
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh karena
eksotosin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral
ganggliosides diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada
tetanus.
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block atau takikardia.
MANIFESTASI KLINIK
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar antara 5-14 hari.Makin
lama masa inkubasi gejala yang timbul makin ringan.Hal ini secara langsung
berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya bakteri Clostridium tetani
(tempat luka) ke susunan saraf pusat pusat (SSP), secara umum semakin besar
jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi semakin lama. Semakin
pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.
4

Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh
tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran.Kekakuan tetanus sangat khas yaitu
fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada telapak kaki, tubuh
kaku melengkung bagai busur.tingkat derajat penyakit dapat dibagi menjadi
tetanus berat, sedang dan ringan. Tetanus berat bila anak kaku dan sering kejang
spontan yaitu kejang terjadi tanpa rangsangan.Tetanus sedang bila anak kaku
tanpa kejang spontan tetapi masih dijumpai kejang rangsang yaitu kejang yang
terjadi bila dirangsang.Sedangkan tetanus ringan bila kekauan yang tampak jelas
hanya trismus, tanpa disertai kejang rangsang.1,2,3
Diagnosis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain2:

Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka

dengan nanah atau gigitan binatang?


Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
Apakah pernah menderita gigi berlubang?
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang

terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan1,2,3:


Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut
mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis

untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak
dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan

kebawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat

berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.


Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.

Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau
terkena sinar yang kuat. Lambat launmasa istirahatspasme makin pendek

sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.


Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat
spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat
menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan
pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau
berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi
retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan

kompresi tulang belakang.


Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan
cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi
tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan
menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten.

Pada pemeriksaan penunjang

Gambaran gejala klinis pada tetanus4

Risus sardonicus 4
6

Pemeriksaan penunjang:

Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan


menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika
terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif
berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula
memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas

yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).5
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, biasanya normal1,2,3;
a. Jumlah leukosit normal atau sedikit meningkat (dapat akibat dari infeksi
bakteri luka sekunder)
b. Cairan serebrospinal normal
c. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobic.
Selain maha, hasil biakan yang positif tanpa gejala knilis tidak mempunyai
arti.
d. EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus
dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang
diamati setelah potensial aksi.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah sepsis, bronkopneumonia akibat
infeksi sekunder bakteri, kekakuan otot laring dan otot jalan napas, aspirasi
lender/makanan/minuman, patah tulang belakang (fraktur kompresi).2
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari
kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi,
mengatasi spasme, perawatan luka atau portd entree lain yang diduga seperti
karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian
antibiotik dan serum anti tetanus.2

Tatalaksana Umum:2
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi. Pada hari pertama perlu pemberian
cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari
ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi
secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung
untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan
terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi kejang. Diazepam efektif mengatasi
spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam
sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun
adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. kejang
harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk
BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB 10 kg, atau dosis
diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti,
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan
klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis
awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan
bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis
maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai
lagi kejang spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma),
tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah
tercapai namun anak masih kejang atau mengalami spasme laring, sebaiknya
dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot
dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik. Apabila
dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons
klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya
pengurangan dosis dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20% dari dosis

setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat
digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena terdapat
risiko depresi pernapasan.
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port dentree, maka
diperlukan konsultasi dengan dokter gigi/THT.
Tatalaksana Khusus:2
1. Antibiotic
a. Lini pertama adalah metronidazol iv/oral dengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 710 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah bakteri
Clostridium tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan
penisilin prokain 50.000-100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika
terdapat hipersensitifitas terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50
mg/kgBB/hari (untuk anak berumur >8 tahun).
b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia diberikan antibiotic
yang sesuai.
2. Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan
50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada
tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT
setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat diberikan
HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-6.000 IU.
PROGNOSIS
Prognosis tetanus ditentukan oleh masa inkubasi, period of onset, jenis luka
dan keadaan status imuniasai pasien.Makin pendek masa inkubasi makin buruk
prognosis, makin pendek period of onset makin buruk prognosis.Letak, jenis luka
dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis.
Pada tetanus neonatorum harus dianggap sebagai tetanus berat oleh karena
mempunyai prognosis yang buruk.1,2,3
PENCEGAHAN
9

a. Perawatan luka haru segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama perawatan
luka guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda
asing harus dibuang.1,2,3
b. Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka, profilaksis dengan pemberian
ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam).1,2,3
c. Imunisasi aktif, imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT atau toksoid
tetanus. 1,2,3

DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Ank Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi tropis
dan pediatric tropis. Ed. 2. Jakarta: badan penerbit IDAI; 2010.
3. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak. Ed
15. Vol 2. Jakarta: EGC; 2000.
4. Madjid B. Bahan kuliah bakteri penyebab pertusis, tetanus, pioderma dan
tifoid. Palu: Fakultas kedokteran UNISA; 2012.
5. Nitin M. Apte and ilip R. karnad (1995-10)Short report: The spatula test:
Asimple Bedside Test to Diagnose Tetanus [serial-online]. Available from:
URL/http:www.ajtmh.org/cgi/content/abstract/53/4/386).Am J Trop.Med.Hyg.

10

11

Anda mungkin juga menyukai