Anda di halaman 1dari 53

1.

Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal


1. Anatomi hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali
tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat
kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut
menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
1.1 Embriologi hidung
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan
anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala
berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah
bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat,
yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut
sebagai sinus. (Walsh WE, 2002)
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan
embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung
sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus
maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian
depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan
menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah
posterior frontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah
maksilaris.(Walsh WE, 2002)
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai
terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih
sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu
membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu,
mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media. Dan
pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis yang
membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris. Pada usia kehamilan
empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel etmoidalis anterior yang

berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang
berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga
puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak
jelas proporsi konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang
berbeda sejak anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang
pertama berkembang adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan
sinus frontal. (Walsh WE, 2002)
1.2 Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan
yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung
luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung
(bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4)
ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat
dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi
anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
1.3 Anatomi hidung dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut

meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. (Ballenger
JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)
1.3.1 Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista
sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
1.3.2 Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. . (Ballenger JJ,1994)
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju
bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. . (Ballenger
JJ,1994)
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus
medial. . (Ballenger JJ,1994)

Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut
meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang
teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis
os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994)
1.3.3 Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. (Ballenger
JJ,1994)
1.3.4 Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,
sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang
berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura
yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid
yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan
sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-

kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.


(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
1.3.5 Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
1.3.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares
posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam
oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh
lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks
prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ; Hilger
PA,1997)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan
bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita
dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar
epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga
hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet
(Sobol SE, 2007).
1.4 Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal

gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret
akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan
sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media (Nizar NW, 2000).
1.5 Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,
di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial
dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan
hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

1.6 Persarafan hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum
selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto D &
Wardani RS,2007
2. Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi
penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk
resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D &
Wardani RS,2007)

2.2. Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah
pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan
dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut
Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini
dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan
semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. (Ballenger JJ,1994;
Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian
anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau
di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior
sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media
terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka
media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor
berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber
lender yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung.
(Ballenger JJ,1994)
2.2.1 Embriologi sinus paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2
bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus.
Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir,
saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih
rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun perkembangannya ke
bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari
sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi

sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai besar maksimal
pada usia antara 15-18 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D.
2007)
2.2.2 Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang
terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus
tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume
6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997)
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan
ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa
celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi
tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah
ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm,
yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut
setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap
tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia
12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan
kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga.
Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan
maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah
dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh
lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka
inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan
dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila

berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia,
ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4- 6 mm dan untuk usia 15
tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan
infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang
terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk
dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang
sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus. (Ballenger
JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar
(P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar
(M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup
oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya
dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus,
hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini
dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan
pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan
mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007)
2.2.3 Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat berbeda
bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus
yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu
lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang
lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3
cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita
dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah
ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.4 Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinussinus

lainnya.

(Mangunkusumo

E.,

Soetjipto

D.

2007)

Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus
superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan
posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai
dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa
bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya
dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian
anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior
ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus
frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.

Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis


frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.5 Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan
evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan
lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan
dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun
sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15
tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi.
Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang
letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi
lainnya. (Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah
superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah
atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis
interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons. ( Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.6 Fisiologi sinus paranasal


Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini adalah
organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku Maori dari
Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki
rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh Proetz , bahwa
binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga
sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal
adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi
sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal .
Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa,
karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. (Passali ; Lund
VJ.1997 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah :
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati
pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran
udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas,
sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa
hidung. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinussinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)\

(3) Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan
tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(4) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi
antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(6) Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,
tempat yang paling strategis. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi oleh
mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu mukosa
penghidu (mukosa olfaktorius). dan sebahagian besar mukosa pernafasan (mukosa
respiratori) . Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan
dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas
epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada
hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel
kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas
dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa
olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak
mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,membran basalis
dan lamina propia( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).
Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang
bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat
macam sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified columnar
epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki
banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja
silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai
mikrovili). (Watelet, 2002).
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada
daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang
vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan
rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan
menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan ujung
septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan berbentuk
torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media dan inferior yang
terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan tersusun rapi. (Ballenger,
1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)
Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili
yang berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah
nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing
pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya 1/3 silia dan
mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan fungsinya
mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan diantara sel-sel.
Disamping itu juga memperluas permukaan sel ( Ballenger;1994; Waguespack,1995)

Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya
memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau selsel goblet yang telah mati. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997; Weir , 1997)
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering
terkena aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi
metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah
merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan selsel goblet. (Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya
lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat dengan
periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium, gerakannya akan
mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa juga banyak
ditemukan didekat ostium (Ballenger;1994; Waguespack,1995 ; Levine,2002).
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa
macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk
kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah
kontrol saraf parasimpatis. (Ballenger;1994)
2.3.2 Sel goblet (kelenjar mukus)
Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan
endoskopis tampak berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein
polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet
yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak dijumpai didaerah nasofaring
(Ballenger;1994 ; Waguespack,1995; Levine,2002 )
2.3.3 Silia hidung

Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia)
memiliki mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya
yang bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200 silia tiap selnya. Silia merupakan
struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari permukaan sel dan berperan dalam
membersihkan kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran
sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap selnya.
Panjang silia antara 5-7 m dengan diameter 0,3 m. Denyut silia kira-kira 9- 15 Hz
pada manusia, dengan beragam variasi pada mamalia. Struktur silia terbentuk dari dua
mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar.
Masing - masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastik yang
disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang
letaknya di bawah permukaan sel. Pada gambar 2.3 tampak anatomi molekuler silia.
(Cohen NA. 2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger
JJ,1994)
Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian
membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan silia
kira-kira 700-1000 siklus permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi berupa
adenosine triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia. Gerak maju dan
mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400 kali/menit. Silia ini
dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat mengalirkan lapisan mukus yang
menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang disampaikan oleh silia-silia
yang di belakangnya. Gerakan silia ini merupakan gerakan yang berkesinambungan
bukan gerakan sinkron.
Gerak silia, berdasarkan sejarahnya pertama kali diterangkan oleh Sharpey,
pada tahun 1835, dalam penelitiannya tentang konsep pembersihan mukosiliar secara
aktif dengan manfaat fisiologiknya terhadap hidung dan sinus paranasal. Kemudian
dilajutkan oleh Hilding ,tahun 1932, dengan melakukan penelitian pada hewan anjing,
terhadap pembersihan mukosiliar pada sinus yang juga memperlihatkan perbaikan
mukosa hidung . Kemudian Sewall dan Boyden melanjutkan untuk mempelajari
pentingnya lapisan mukosa terhadap tulang hidung. Dan berikutnya , Messerklinger
memperkenalkan alat diagnostik, endoskopik nasal. Penemuannya ini adalah sebagai
pendekatan sistemik yang pertama dalam mendiagnosa dan mengobati penyakit sinus

yang mengalami inflamasi. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack


R,1995 ; Cohen NA, 2006)
Fungsi utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring. Mukus
hidung adalah berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari udara
inspirasi, juga untuk memindahkan panas; normalnya mukus menghangatkan udara
inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta melembabkan udara inspirasi
dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya. Namun, dengan jumlah uap
demikian seringkali tidak memadai untuk melembabkan udara yang sangat kering
yang dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan hidung.
Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar
seromukosa pada submukosa hidung. Silia dapat berdenyut berkisar antara 10-20 kali
permenit pada temperatur tubuh. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack
R,1995)
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga
hidung. (Ballenger JJ,1994 ; Cohen NA.2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ;
Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)
Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar yang dikenal dengan konfigurasi 9+2. Maksudnya
adalah ultra struktur silia dibentuk oleh 2 mikrotubulus sentral dan sebelah luarnya
dikelilingi oleh 9 pasang mikrotubulus(outer double microtubulus). Pada outer double
mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi subfibril A dan subfibril B . Subfibril A
memiliki struktur dynein arms (lengan dynein) sedangkan subfibril B tidak. Pasangan
mikrotubulus luar ini berhubungan dengan tubulus sentral melalui radial spokes
(Lang,1989; Waguespack, 1995; McCaffrey,1997)
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.
Sumber energinya adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari
pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dynein yang menghubungkan
mikrotubulus dengan pasangannya dan menimbulkan aksi-reaksi. Sedangkan antara

pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan elastik yang
disebut neksin. (Ballenger;1994 ; Waguespack 1995 ; Cohen , 1996)
Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan
lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak
mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1: 3 .
Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang
perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino
( metachronical waves) pada satu area arahnya sama. (Ballenger;1994)
2.3.4 Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini
diproduksi oleh kelenjar mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa.
Pada keadaan sehat mempunyai PH 7 atau sedikit asam, dan lebih kurang
komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air 95%. Mukus ini juga
mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum), sinus,
telinga dan lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini,
bersamaan dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya, secara
berkesinambungan ke arah faring dan esophagus untuk kemudian ditelan atau
dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar, yang menyelimuti batang
sillia, lebih tipis dan kurang lengket ; dan lapisan kedua terletak di atasnya adalah
lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat diatasnya (superfisialis) terdapat lendir
yang lebih kental yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya.
Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan
yang menumpang keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. Lapisan
perisiliar sangat berperan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang
silia berada dalam lapisan ini. . Secara keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut
lendir. (Ballenger JJ,1994 ; Lindberg, 1997 ; Sakakura, 1997 ; Waguespack R,1995)
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan protein
sekresi dengan molekul yang lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting pada
gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan
denyutan silia didalam cairan ini. Keseimbangan cairan diatur oleh elektrolit .

keseimbangan antara kedua elektrolit ini, dan derajat permukaan ini menentukan
kekentalan palut lendir (Ballenger,1994; Weir,1994; Hilger 1997)
Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung glikoprotein
mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan
dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi
sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aeosol yang
terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger, 1994;
Weir,1994; Waguespack,1995)
Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia dan palut
lendir, serta sangat menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk kedalam
ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisiliar, maka ujung
silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan kekuatan
aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal permukaan
cairan perisiliar sedikit lebih rendah dibanding ujung silia. Kedua keadaan ini sangat
mengganggu transport mukosiliar (Hilger, 1994; Weir,1995)
Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus
medius untuk berfungsi sebagai pengatur kondisi udara yang utama(Ballenger , 1994;
Sakakura ;1994)
Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel goblet dan
palut lendir membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan penting
dalam sistem respiratori dikenal sebagai sistem mukosiliar. (Ballenger JJ,1994 ;
Sakakura, 1997)
2.4 Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung
untuk membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang
terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan
local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar

atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya. (Ballenger JJ,1994 ; Waguespack


R.1995 ; Sakakura, 1997 ; Huang HM. 2000)
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu
gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus gumpalan
mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing yang terperangkap
di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus mengikuti pola tertentu.
Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari dasar yang kemudian
menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus alami. Kecepatan kerja
pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan menggunakan suatu partikel yang
tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim
(muramidase), dimana enzim ini dapat merusak bakteri . Enzim tersebut sangat mirip
dengan immunoglobulin A (Ig A) , dengan ditambah beberapa zat imunologik yang
berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan
pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam
keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya
ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan
perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kea rah posterior oleh aktivitas silia, tetapi
mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar yang bergerak
secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja
secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lender akan menembus
mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS sangatlah bervariasi, pada
orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm / menit. (Ballenger JJ,1994 ;
Sakakura, 1997 ;Nizar, 2000 ; Cohen ; 2006)
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka
gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik
lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan
silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan
gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah
ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit (Ballenger
JJ,1994 ; Higler, 1997).
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung
dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat

infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan


dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan
sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior
orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun
kebawah oleh gerakan menelan (Soetjipto D & Wardani RS,2007 )
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian hidung.
Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen
posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit (Heilger PA , 1997)
2.5 Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar
Beragam cara yang digunakan untuk menilai TMS. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun yang tidak larut
dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi ;
sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um allumunium
disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, Teflon, bismuth trioxide.
Waktu atau Kecepatan yang didapat pada pemeriksaan disebut sebagai waktu /
kecepatan TMS. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Scott Brown,1997 ; Sun SS.
2002 ; Waguespack R,1995)
Uji Sakarin (atau lebih dikenal dengan Waktu transport Sakarin atau Waktu
TMS) dapat digunakan sebagai pengganti partikel yang telah digunakan secara luas
pada beragam penelitian sebagai indikator untuk menilai fungsi pembersihan pada
rongga hidung manusia. Uji sakarin ini juga telah digunakan pada beberapa penelitian
untuk menilai efektivitas pada pemakaian cuci hidung, mengetahui tingkat kecepatan,
radiasi, dan ragam bahan yang dapat menimbulkan siliotoksik pada mukosa hidung.
Banyak penelitian membuktikan bahwa waktu sakarin ini adalah sebagai indikator
langsung terhadap fungsi mukosiliar hidung dan pada penelitian yang lain telah
dilaporkan bahwa waktu sakarin ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian untuk
memperlihatkan fisiologik hidung yang multifaktorial. (Havas T, 1999 ; Jorissen M,
1998 ; Talbot AR, 1998 Waguespack R,1995)

Secara klinis pengukuran waktu TMS dengan sakarin pertama kali


diperkenalkan oleh Anderson dan kawan-kawan pada tahun 1974 dan sampai
sekarang telah banyak digunakan pada pemeriksaan rutin, bahkan oleh banyak para
ahli di berbagai kota di dunia oleh karena biayanya relatif murah dan mudah dalam
penggunaannya. Uji sakarin juga cukup ideal untuk penggunaan di klinik. (Ballenger
JJ,1994; Jorissen M, 1998; Jorissen M , Boeck , 2000 ; Waguespack R,1995)
Pemeriksaan pasien diawali dengan penderita dalam kondisi sadar dan
diharapkan untuk tidak menghirup, makan dan minum. Penderita duduk dengan
kepala posisi fleksi 10 derajat. Bubuk sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas
anterior konka inferior. Kemudian subjek diminta untuk menelan secara periodik kan
manis. Waktu pada saat sakarin mulai diletakkan di bawah konka inferior sampai
merasakan manis di lakukan pencatatan dan ini disebut sebagai TMS atau waktu
sakarin. Rata-rata nilai normal adalah 12-15 menit (Jorissen M, 1998 ; Jorissen M,
Willems T, Boeck KD, 2000)
2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Transportasi Mukosiliar
Menurut Sakakura bahwa yang dapat mempengaruhi TMS ada tiga faktor
yaitu silia, mukus dan interaksi antara silia dan mukus. Dengan adanya silia yang
normal, mukus, dan interaksi antara silia dan mukus maka TMS dapat berfungsi
dengan baik, sebaliknya bila hanya satu saja yang terganggu maka disfungsi
mukosiliar dapat terjadi. Selain itu beliau juga melaporkan bahwa disfungsi
mukosiliar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu berupa kelainan primer yaitu :
diskinesia silia primer, fibrosis kistik, sindroma kartagener dan sindroma silia yang
immotile; sedangkan kelainan sekunder antara lain adalah : common cold, sinusitis
kronik, rinitis atropi, rinitis vasomotor, septum deviasi nasal, sindroma Sjorgen, dan
penyakit adenoid. (Sakakura, 1997)
Waquespack mengemukakan bahwa keadaan yang mempengaruhi TMS
adalah faktor fisologik atau fisik, merokok dan polusi udara, kelainan kongenital,
rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan
pengawet, dan tindakan operasi. (Waguespack R,1995)

Proctor, Anderson dan kawan-kawan menyatakan bahwa faktor lingkungan tidak


begitu memperhatikan fungsi mukosiliar. Pada percobaan, perubahan yang mendadak
sedikit perlambatan TMS. Kelembaban yang tinggi amungkin akan menimbulkan rasa
yang kurang nyaman tetapi tidak mengubah dan mempengaruhi TMS. (Ballenger
JJ,1994 ; Scott Brown, 1997 ; Wageuspack, 1995)
Fisiologi Sinus Paranasal
Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) sampai saat ini
belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang
berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus
paranasal antara lain adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus

berfungsi

sebagai

ruang

tambahan

untuk

memanaskan

dan

mengaturkelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus


kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinussinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan
tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap
tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media,
tempat yang paling strategis.
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar
dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di
infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir
yang

berasal

dari

kelompok

sinus

posterior

bergabung

dengan

resesus

sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah


sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum
tentu ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam, 1997).

RINOSINUSITIS
DEFENISI
Rinosinusitis merupakan inflamasi pada organ hidung dan sinus paranasal, yang
karakteristiknya ditandai oleh dua faktor mayor atau kombinasi dari satu faktor mayor
dan dua faktor minor. Faktor mayor termasuk obstruksi nasal, nyeri di daerah wajah,
nasal discharge/purulance/discolored postnasal drainage, hyposmia/anosmia. Faktor
minor ialah nyeri kepala, demam, halitosis, sakit gigi, batuk dan nyeri di telinga/terasa
penuh pada telinga (EP3OS,2007)
EPIDEMIOLOGI
Rinosinusitis telah menginfeksi sekitar 14 % atau 31 juta orang dewasa per-tahun
(Assish,2008). Rata-rata orang menderita 2-4 kali rinosinusitis akut pertahun
(Fergurson,2005). EP3OS(2007) juga memaparkan berdasarkan penelitian di Belanda
pada tahun 1999, sekitar 8,4 % populasi pernah menderita satu episode rinosinusitis
akut per tahunnya. Rinosinusitis kronis di Amerika pada tahun 1997, sekitar 14,7 %
atau 31 juta kasus per tahun dan dengan angka kejadian yang terus meningkat dalam
kurun waktu 11 tahun terakhir. (GLORIA, 2009). Data dari RSUD. Dr. Pirngadi
Medan pada tahun 2010 terdapat 3201 kasus rinosinusitis kronis.
2.3.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
a. Virus
Virus

yang

biasanya

menyebabkan

rinosinusitis

adalah

rhinovirus,

virus

parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Tiap-tiap virus
mempunyai banyak serotype, yang mana semuanya berpotensi untuk memperparah
infeksi tersebut. Rhinovirus merupakan penyebab tersering pada orang dewasa dan
memuncak pada musim gugur. RSV dan virus influenza lebih merusak silia
pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi. (Fergurson, 2005)

b. Bakteri
Bakteri patogen yang paling sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut yaitu S.
pneumoniae dan H. influenzae. Patogen ini telah menyebabkan rinosinusitis sejak
pertama kali dilakukan penelitian dan menjadi organisme penyebab yang paling
utama. Sedangkan patogen yang sering muncul pada rinosinusitis bakteri kronis
adalah S. aureus, staphylococcus koagulase negatif, bakteri anaerob dan bakteri gram
negatif. (Fergurson, 2005 ; Brown, 2008)
c. Jamur
Aspergilosis merupakan salah satu jamur yang paling banyak ditemui pada infeksi
sinus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang bewarna hijau kecoklatan.
Mukormikosis merupakan infeksi oportunistik yang ganas yang dapat menjadi
patogenik pada manusia yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Dijumpai
sekret yang berwarna pekat, gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwana hitam
atau merah bata. Kandida bersama histoplasmosis, koksidiomilosis, sporotrikosis,
serokosporamikosis dan blastomikosis jarang yang mengenai hidung. (Boeis, 1997)
d. Alergi
Rinitis merupakan suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin. Reaksi
ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat
pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast, basofil,
eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik
dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan enzimatik
menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien.
Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul , misalnya edema.
Selain itu juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi akibat
pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan
trombosit. (Boeis, 1997).

e. Kelainan struktur dan anatomi hidung


Kelainan anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara
lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi lebih mendekat atau
bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip,
konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium
sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar. (EP3OS, 2007)
f. Hormonal
Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada trimester
pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesis nya masih belum jelas.
(EP3OS,2007)
g. Lingkungan
Apabila terpapar oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta
kebiasaan merokok yang lama, hal tersebut akan menyebabkan perubahan mukosa
dan merusak silia. (Mangunkusumo E, 2007)
PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens
dari mukosiliar didalam kompleks osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ-organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat
bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan
negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau
penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan
serous. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi
media yang baik untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah
menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi
antibiotik.

Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan
bakteri anaerob akan semakin berkembang. Apabila keadaan ini terus berlanjut maka
hal ini akan menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista. (Casiano,1999; Mangunkusumo E, 2007; Meltzer,
2011)
KLASIFIKASI
Secara klinis rinosinusitis terbagi atas:

Rinosinusitis akut

Rinosinusitis subakut

Rinosinusitis kronis

Rinosinusitis rekuren
: durasi terkena rinosinusitis dibawah 4 minggu
: durasi terkena rinosinusitis dari 4 minggu 12 minggu.
: durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu
: menderita sama dengan atau lebih dari 4 kali menderita episode rinosinusitis, tia
episode lebih kurang durasinya 7-10 hari.
(Osguthorpe, 2001; Meltzer, 2011) Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis terbagi
atas:

Sinusitis rinogen

Sinusitis dentogen
GEJALA KLINIS
: penyebabnya adalah kelainan atau masalah Di hidung. Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.

: penyebabnya adalah kelainan gigi yang sering menyebabkan sinusitis sepert infeksi
pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). (Mangunkusumo E, 2007).
Setiap gejala-gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi. The
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)
membuat kriteria mayor dan minor untuk mendiagnosa rinosinusitis. Rinosinusitis
didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor
ditambah dua atau lebih kriteria minor. Gejala-gejalanya adalah:

Gejala Mayor :

- Obstruksi hidung

- Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering


disebut PND (Postnasal drip)

- Kongesti pada daerah wajah

- Nyeri /rasa tertekan pada wajah

- Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia)

- Demam (hanya pada akut)

Gejala Minor:

- Sakit kepala

- Sakit/ rasa penuh pada telinga

- Halitosis/ nafas berbau

- Sakit gigi

- Batuk dan iritabilitas

- Demam (semua nonakut)

- Lemah
Gejala Subjektif
Nyeri
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan aktif
sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada
sinus yang letaknya lebih dalam seperti sinus etmoid posterior dan sfenoid, nyeri
terasa jauh di dalam kepala, tak jelas letaknya atau disebarkan ke perifer kepala di
daerah yang tidak ada hubungan dengan lokasi sinus.

Sakit kepala
Sakit kepala pada penyakit sinus lebih sering unilateral atau lebih terasa di satu
sisi atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit
kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan ke
depan dan jika badan tibatiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat. Sakit
kepala akibat penyakit di sinus frontal dinyatakan sebagai nyeri yang tajam, menusuknusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang biasanya menetap.
Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit
sinus yang berhubungan dengan permukaaan wajah seperti sinus frontal, sinus etmoid
anterior dan sinus maksila. Nyeri tekan pada os frontal apabila ada penekanan di sudut
medial rongga orbita. Pada pemeriksaan sel-sel etmoid anterior, tekanan dilakukan
pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoid. Pada pemeriksaan sinus
maksila, harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksila superior.
Gangguan Penciuman

Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman.


Gejala Objektif
1.

Pembengkakan dan edema


Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan etmoid anterior) terkena
secara akut, dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat
periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan.
Pembengkakan ini lebih sering ditemukan di daerah sinus frontal.

2.

Sekret Nasal
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya
peradangan di sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan tanda terkenanya
sinus frontal, sinus etmoid anterior atau sinus maksila, karena sinus-sinus ini
bermuara ke dalam meatus medius. Jika pus terletak di fisura olfaktorius maka sel-sel
etmoid posterior atau sfenoid yang mungkin terkena, karena sel-sel tersebut
berdrainase ke dalam meatus superior di atas konka medius.
Transiluminasi
Transiluminasi sinus memberikan informasi objektif atas kondisi sinus maksila dan
frontal, tetapi tidak untuk sinus lainnya. Pada transiluminasi sinus, di dalam kamar
gelap, suatu sumber cahaya diletakkan dalam mulut pasien dengan mata pasien
terbuka. Apabila refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit tidak ada maka
kemungkinan sinus maksila terkena. Transiluminasi pada sinus frontal, cahaya
diletakkan di bawah dasar sinus frontal pada sudut atas dan dalam orbita, dan kedua
sisi dibandingkan,
Cairan radioopak
Untuk sinus maksila dan sfenoid hal ini mempunyai arti yang besar. Dengan adanya
cairan itu, rongga sinus tampak jelas tergambar, sehingga penebalan mukosa dan
adanya polip dapat diketahui dan ketidaksamaan ukuran dapat tergambar dengan jelas.
(Ballanger ,2002)

DIAGNOSA
1.

Rinoskopi anterior
Rinoskopi anterior merupakan alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling spesifik
yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinonasal. Rinoskopi adalah
pemeriksaan yang paling tepat untuk mengevaluasi pasien, sebelum atau sesudah
pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi
permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat
divisualisasi secara jelas. (Meltzer, 2004).

2.

Endoskopi nasal
Endoskopi nasal tidak hanya memainkan peran yang penting untuk diagnosis
rinosinusitis tetapi juga dapat membantu untuk terapi yang tepat. Alasan mengapa
banyak dokter menggunakan endoskopi nasal:

Gejala-Gejala pasien saja tidak dapat menjadi patokan untuk mendiagnosis.

Endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang lebih baik dan dapat


mendeteksi kelainan yang tidak ditemukan pada saat anamnesa, pemeriksaan fisik
maupun pemeriksaan pencritraan.

Perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal

Kultur endoskopik berguna untuk mengetahui organisme yang menyebabkan


rinosinusitis. (Meltzer, 2004).
3. Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat
dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun
demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri

spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena.
Seringkali dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membasmi
mikroorganisme untuk penyakit ini. (Brown, 2008)
4.

Foto polos kavitas nasal dan sinus paranasal Rinosinusitis menunjukkan


gambaran berupa :

1.

Penebalan mukosa,

2.

Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)

3.

Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat
dilihat pada foto waters. Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa foto polos ini
memiliki kekurangan dimana foto polos gagal menunjukkan anatomi sinus yang
diperlukan dan gagal menunjukkan peradangan yang meluas. (Meltzer, 2004).

5.

CT scan
CT scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan
adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya tulang yang relevan untuk
mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut.
Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT scan menggunakan dosis radiasi yang
sangat besar yang berbahaya bagi mata.(Meltzer, 2004).
6. MRI
Walaupun MRI tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasal seperti CT
scan, namun MRI dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan baik.
(Meltzer,2004)
TERAPI
Rinosinusitis Akut

Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik


yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan
yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin
atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan
sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi
antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam,
cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic
diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan
rontgen- polos atau CT scan dan atau endoskopi nasal. Bila dari pemeriksaan tersebut
ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Apabila tidak ada kelainan
maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari
fungsi sinus. (McCort, 2005 ; EP30S,2007)

Rinosinusitis Subakut
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,
yaitu diatermi atau pencucian sinus. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika
berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga
diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan
analgetika, anti histamin dan mukolitik. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar
gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah
yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka
dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi.
Pada sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat
dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz. (EP30S,2007)
Rinosinusitis Kronis

Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan
diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 1014 hari. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut
lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan
antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik
mencukupi 10- 14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan
naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi
kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis. Pada sinusitis maksila
dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid
dilakukan tindakan pencucian Proetz. (Mangunkusumo,2007 ; EP30S,2007)
KOMPLIKASI
1. Kelainan pada orbitaTerutama disebabkan oleh sinusitis ethmoidalis karena
letaknya yang berdekatan dengan mata. Komplikasi dapat melalui 2 jalur :
1.

a) Direk/langsung : melalui dehisensi kongenital


ataupun adanya erosi pada tulang barierterutama lamina
papirasea.

2.

b) Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah


yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus
dan orbita.
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut , namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan
infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan :

Peradangan atau analgetik reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita
akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada

anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering
kali merekah pada kelompok umur ini.

Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk.

Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang


orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang
lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis
konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin
bertambah.

vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis


septik. (Casiano, 1999 ; EP30S,2007)

2.

Kelainan intrakranial
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis
akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis
atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.

b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering
kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya
mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan
tekanan intra kranial. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan
arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura, yaitu
nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tanda-tanda rangsangan
meningen. Gejala utama tidak timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau
sebelum abses memecah kedalam ruang subarachnoid.
c. Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Namun, abses otak

biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan


demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas
menembus dura dan arachnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea
korteks seebri.
3.

Kelainan pada tulang


Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah
infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa
malaise, demam, dan menggigil.
Pembengkakan diatas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk
abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi
tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat
memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus
yang keruh. (EP3OS,2007)

4.

Mukokel dan piokel


Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, Kista
ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi
mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan
sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur
sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau
fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista
dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf
didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara
bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase
yang baik atau obliterasi sinus. (Fergurson, 2005)
Pengertian rinitis alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.
2.2. Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,
Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).
2.3. Etiologi rinitis alergi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik


dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering
adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak- anak. Pada anak-anak
sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab
rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif
terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman
biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti
kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya
karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.

Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.

Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

Patofisiologi rinitis alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti
IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed
Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan
lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf

Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi


pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya
antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1.Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah
tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
2.5. Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat
kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu
proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila
terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tandatanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung
termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung
hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat
(allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai
dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata,
kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada
telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari

hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat


hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan
edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO,
2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah
penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa
orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan
sulit tidur (Harmadji, 1993).
2.6. Diagnosis rinitis alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar
hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadangkadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala
yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan
pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi
faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis
alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala
seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer
lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan
positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa
garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat

hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada
pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid
dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya
kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.
Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).

b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman,
2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge
Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,

jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja
secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan
agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh
untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase
lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan
triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel
efektor (Mulyarjo, 2006).
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang

gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan
(Mulyarjo, 2006).
Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T
CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga
sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob
dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi
mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat
sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).
B. Rinitis Non-Alergi
1.

Rinitis Infeksi
Rinitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, parasit, atau protozoa.

Rinitis simpleks mengacu pada common cold, yaitu rhinitis yang disebabkan oleh
virus (rhinovirus, coxsackie virus).
2.

Rinitis Non-Infeksi
a. Rinitis iritatif-toksik (okupasional)
Rinitis yang berkaiitan dengan paparan iritan atau agen toksik air-borne, seperti

bahan kimia, pelarut, asap rokok. Agen iritatif ini tidak berperan melalui mekanisme
yang

dimediasi imun, namun mengakibatkan iritasi langsung pada mukosa hidung.

b. Rinitis hormonal
Merupakan rhinitis yang berkaitan dengan perubahan hormonal, seperti pada
kehamilan. Estrogen meningkatkan jumlah asam hyaluronat pada mukosa hidng,
sehingga terjadi edema jaringan dan kongesti nasal. Selain itu, juga terjadi
peningkatan kelenjar penghasil sekret pada hidung serta penurunan kerja silia.

Estradiol dan progesteron berperan dalam meningkatkan reseptor histamin-1 pada


mukosa nasal, yang berperan pada kongesti nasal. Umumnya terjadi pada kehamilan
lanjut.
c. Rinitis akibat obat (drug-induced)
Beberapa jenis obat dapat mengganggu efek fisiologis pada hidung, seperti
inhibitor ACE, beta blocker, kontrasepsi oral, psikotropika, dekongestan nasal topikal,
NSAID, dan phosphodiesterase type-5 inhibitor (PDE-5).
Salah satu tipe rhinitis drug-induced adalah rhinitis medikamentosa, yaitu suatu
kondisi yang berkaitan dengan penggunaan spray vasokonstriktor nasal topikal
jangka panjang (seperti oxymetazoline). Pada rhinitis medikamentosa, terjadi rebound
kongesti nasal pada

penghentian penggunaan spray. Oleh karena itu, spray

vasokontriktor hanya direkomendasikan untuk 3 5 hari.


d. Rinitis vasomotor (idiopatik)
Diagnosis rhinitis vasomotor merupakan diagnosis per eksklusionam. Etiologi
rhinitis vasomotor belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan berkaitan
dengan disregulasi autonomik fungsi nasal, yaitu peningkatan stimulasi parasimpatis
tanpa keseimbangan simpatis yang adekuat sehingga menyebabkan kongesti dan
rinorea. Ditandai dengan rinorea jernih, encer, dan dalam jumlah yang banyak.
Namun dapat juga ditandai dengan blokade tanpa rinorea.
e. Rinitis atrofi
Pada rinitis atrofi, mukosa hidung mengalami perubahan secara gradual dari
bentuk mukosa respirasi yang fungsional menjadi non-fungsional, dengan hilangnya
fungsi pembersihan

oleh mukosiliar dan regulasi neurologis. Ditandai dengan

krusta, fetor, atrofi mukosa, dan keluhan kongesti nasal pada cavum nasi yang paten
dan terbuka. Umumnya terjadi pada penyalahgunaan kokain, proses penuaan, postoperasi, defisiensi besi atau vitamin A, sinusitis kronik, dan penyebab infeksius.
f. Rinitis hipertofi
Menunjukkan perubahan mukosa hidung pada konka inferior yang mengalami
hipertrofi karena proses inflamasi kronis yang disebabkan infeksi bakteri primer atau
sekunder. Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala di luar hidung akibat
hidung yang tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala, dan gangguan tidur. Sekret
biasanya banyak dan mukopurulen.
g. Rinitis non-alergi dengan eosinofilia (non-allergic rhinitis with eosinophilia
[NARES])

Merupakan rhinitis yang ditandai dengan rinorea encer, pruritus, epiphora, dan
bersin pada

pasien dengan reaksi alergi negatif atau irelevan terhadap allergen

umum. Sebagaian besar pasien menyangkal adanya pencetus khusus, namun beberapa
mengeluhkan perubahan cuaca atau paparan terhadap bahan kimia iritan dapat
memperburuk gejala. Pemeriksaan sitologi sekret nasal menunjukan eosinofilia;
reaksi eosinofilia seperti itu dapat juga sebagai bagian dari sinusitis kronik, polip
nasal, dan trias Sampter.

Polip nasi
Nasal polip merupakan penyakit inflamasi kronis dari membran mukosa
hidung dan sinus paranasal (maksilarisethmoid) yang ditandai dengan
adanya massa yang edema dan membentuk massa bertangkai. Umumnya polip
terbentuk dari kompleks osteomeatal hingga kavitas nasal yang menyebabkan
obstruksi nasal, sekresi, hiposmia, sakit kepala dan penurunan kualitas hidup.
Polip nasal ditandai oleh edema jaringan masif yang menyebabkan
kebocoran plasma pada pembuluh darah.Umumnya polip disebabkan oleh
inflamasi kronis pada kavitas nasal. Beberapa penyakit yang berhubungan
dengan polip nasal adalah rinitis alergi dan rinitis non alergi, sinusitis gungal
alergi, intoleransi aspirin, asma, churg-strauss syndrome (demam, asma,
vaskulitis

eosinofilik,

granuloma),

sindrom

kartagener

(rinosinusitis,

bronkiektasis, situs inversus), sindrom young (penyakit sinopulmonari,


azoospermia, polip nasal).
Pada polip yang kronik dapat menyebabkan sumbatan pada sinus dan
cavum nasi sehingga menyebabkan kerusakan tulang-tulang sinus.

Patofisiologi
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan

interseluler dan kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya berat.
Polip dapat timbul dari bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan
seringkali bilateral. Polip hidung paling sering berasal dari sinus maksila dapat
keluar melalui ostium sinus maksila dan masuk ke rongga hidung dan
membesar di koana dan nasofaring. Polip ini disebut polip koana. Secara
makroskopik polip terlihat sebagai massa lunak yang berwarna putih keabuabuan. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit di dalam polip dan
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu.

Patogenesis
a. Proses inflamasi yang multifaktorial termasuk familial dan faktor
herediter. Peradangan/ gangguan turbulensi aliran udara menyebabkan
perubahan mukosa hidung sehingga terjadi prolaps submukosa.
Akhirnya terjadi reepitelialisasi dan pembentukan kelenjar baru, lalu
penyerapan natrium pada permukaan sel meningkat sehingga retensi
air mencetuskan timbulnya polip.
b. Aktivasi respon imun lokal
c. Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis
d. Ketidakseimbangan saraf vasomotor mengakibatkan permeabilitas
kapiler

meningkat

dan

gangguan

regulasi

vaskuler. Hal

ini

menyebabkan kebocoran sel-sel inflamasi dan pelepasan sitokin oleh


sel mast sehingga terjadi edema dan terbentuk polip.

Manifestasi klinis

Gejala utama yang ditimbulkan polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada
sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini
menyumbat sinus paranasal, maka komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan

keluhan nyeri kepala dan rinore.Bila penyebabnya adalah alergi maka gejala utama
adalah bersin dan iritasi di hidung.
Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka
hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka
polipoid adalah polip merupakan massa bertangkai seperti buah anggur tanpa kulit,
mudah digerakkan (mobile), konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah
berdarah, pada pemakaian vasokonstriktor tidak mengecil. Sedangkan, konka
hipertrofi yang polipoid umumnya tidak begitu mobile dan dengan pemberian
dekongestan konka hipertrofi akan menciut.

Manajemen

Nasal Polyps Grading (Hadleys clinical scoring)

Grade I :

Polip berukuran kecil, terletak dalam meatus media dan tidak melebihi
batas inferior dari konka media

Grade II : Polip dalam meatus melebihi batas inferior konka media


Grade III : Polip mulai terlihat melalui kavum nasi, melebihi konka media, namun
tidak melewati batas inferior konka inferior
Grade IV : Polip memenuhi kavum nasi

Polip grade 1

Polip grade 2

Polipektomi merupakan tindakan pengangkatan polip menggunakan senar polip


dengan bantuan anestesi lokal. Kategori polip yang diangkat adalah polip yang besar
namun belum memadati rongga hidung.
Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan
tindakan pengangkatan polip sekaligus operasi sinus. Kriteria polip yang diangkat
adalah polip yang sangat besar, berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks
osteomeatal

Anda mungkin juga menyukai