berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang
berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga
puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak
jelas proporsi konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang
berbeda sejak anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang
pertama berkembang adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan
sinus frontal. (Walsh WE, 2002)
1.2 Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan
yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung
luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung
(bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4)
ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat
dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi
anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
1.3 Anatomi hidung dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. (Ballenger
JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)
1.3.1 Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista
sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
1.3.2 Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. . (Ballenger JJ,1994)
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju
bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. . (Ballenger
JJ,1994)
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus
medial. . (Ballenger JJ,1994)
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut
meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang
teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis
os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994)
1.3.3 Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. (Ballenger
JJ,1994)
1.3.4 Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,
sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang
berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura
yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid
yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan
sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret
akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan
sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media (Nizar NW, 2000).
1.5 Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,
di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial
dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan
hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai besar maksimal
pada usia antara 15-18 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D.
2007)
2.2.2 Sinus maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang
terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus
tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume
6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997)
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan
ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa
celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi
tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah
ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm,
yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut
setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap
tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia
12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan
kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga.
Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan
maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah
dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh
lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka
inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan
dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia,
ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4- 6 mm dan untuk usia 15
tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan
infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang
terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk
dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang
sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus. (Ballenger
JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar
(P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar
(M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup
oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya
dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus,
hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini
dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan
pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan
mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto
D. 2007)
2.2.3 Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat berbeda
bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus
yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu
lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang
lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3
cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita
dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah
ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
2.2.4 Sinus etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinussinus
lainnya.
(Mangunkusumo
E.,
Soetjipto
D.
2007)
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus
superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan
posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai
dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa
bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya
dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian
anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior
ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus
frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada
hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel
kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas
dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa
olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak
mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,membran basalis
dan lamina propia( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).
Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang
bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat
macam sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified columnar
epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki
banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja
silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai
mikrovili). (Watelet, 2002).
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada
daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang
vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan
rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan
menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan ujung
septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan berbentuk
torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media dan inferior yang
terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan tersusun rapi. (Ballenger,
1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)
Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili
yang berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah
nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing
pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya 1/3 silia dan
mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan fungsinya
mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan diantara sel-sel.
Disamping itu juga memperluas permukaan sel ( Ballenger;1994; Waguespack,1995)
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya
memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau selsel goblet yang telah mati. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997; Weir , 1997)
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering
terkena aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi
metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah
merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan selsel goblet. (Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya
lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat dengan
periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium, gerakannya akan
mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa juga banyak
ditemukan didekat ostium (Ballenger;1994; Waguespack,1995 ; Levine,2002).
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa
macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk
kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah
kontrol saraf parasimpatis. (Ballenger;1994)
2.3.2 Sel goblet (kelenjar mukus)
Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan
endoskopis tampak berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein
polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet
yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak dijumpai didaerah nasofaring
(Ballenger;1994 ; Waguespack,1995; Levine,2002 )
2.3.3 Silia hidung
Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia)
memiliki mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya
yang bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200 silia tiap selnya. Silia merupakan
struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari permukaan sel dan berperan dalam
membersihkan kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran
sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap selnya.
Panjang silia antara 5-7 m dengan diameter 0,3 m. Denyut silia kira-kira 9- 15 Hz
pada manusia, dengan beragam variasi pada mamalia. Struktur silia terbentuk dari dua
mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar.
Masing - masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastik yang
disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang
letaknya di bawah permukaan sel. Pada gambar 2.3 tampak anatomi molekuler silia.
(Cohen NA. 2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger
JJ,1994)
Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian
membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan silia
kira-kira 700-1000 siklus permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi berupa
adenosine triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia. Gerak maju dan
mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400 kali/menit. Silia ini
dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat mengalirkan lapisan mukus yang
menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang disampaikan oleh silia-silia
yang di belakangnya. Gerakan silia ini merupakan gerakan yang berkesinambungan
bukan gerakan sinkron.
Gerak silia, berdasarkan sejarahnya pertama kali diterangkan oleh Sharpey,
pada tahun 1835, dalam penelitiannya tentang konsep pembersihan mukosiliar secara
aktif dengan manfaat fisiologiknya terhadap hidung dan sinus paranasal. Kemudian
dilajutkan oleh Hilding ,tahun 1932, dengan melakukan penelitian pada hewan anjing,
terhadap pembersihan mukosiliar pada sinus yang juga memperlihatkan perbaikan
mukosa hidung . Kemudian Sewall dan Boyden melanjutkan untuk mempelajari
pentingnya lapisan mukosa terhadap tulang hidung. Dan berikutnya , Messerklinger
memperkenalkan alat diagnostik, endoskopik nasal. Penemuannya ini adalah sebagai
pendekatan sistemik yang pertama dalam mendiagnosa dan mengobati penyakit sinus
pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan elastik yang
disebut neksin. (Ballenger;1994 ; Waguespack 1995 ; Cohen , 1996)
Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan
lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak
mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1: 3 .
Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang
perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino
( metachronical waves) pada satu area arahnya sama. (Ballenger;1994)
2.3.4 Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini
diproduksi oleh kelenjar mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa.
Pada keadaan sehat mempunyai PH 7 atau sedikit asam, dan lebih kurang
komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air 95%. Mukus ini juga
mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum), sinus,
telinga dan lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini,
bersamaan dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya, secara
berkesinambungan ke arah faring dan esophagus untuk kemudian ditelan atau
dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar, yang menyelimuti batang
sillia, lebih tipis dan kurang lengket ; dan lapisan kedua terletak di atasnya adalah
lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat diatasnya (superfisialis) terdapat lendir
yang lebih kental yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya.
Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan
yang menumpang keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. Lapisan
perisiliar sangat berperan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang
silia berada dalam lapisan ini. . Secara keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut
lendir. (Ballenger JJ,1994 ; Lindberg, 1997 ; Sakakura, 1997 ; Waguespack R,1995)
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan protein
sekresi dengan molekul yang lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting pada
gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan
denyutan silia didalam cairan ini. Keseimbangan cairan diatur oleh elektrolit .
keseimbangan antara kedua elektrolit ini, dan derajat permukaan ini menentukan
kekentalan palut lendir (Ballenger,1994; Weir,1994; Hilger 1997)
Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung glikoprotein
mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan
dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi
sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aeosol yang
terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger, 1994;
Weir,1994; Waguespack,1995)
Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia dan palut
lendir, serta sangat menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk kedalam
ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisiliar, maka ujung
silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan kekuatan
aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal permukaan
cairan perisiliar sedikit lebih rendah dibanding ujung silia. Kedua keadaan ini sangat
mengganggu transport mukosiliar (Hilger, 1994; Weir,1995)
Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus
medius untuk berfungsi sebagai pengatur kondisi udara yang utama(Ballenger , 1994;
Sakakura ;1994)
Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel goblet dan
palut lendir membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan penting
dalam sistem respiratori dikenal sebagai sistem mukosiliar. (Ballenger JJ,1994 ;
Sakakura, 1997)
2.4 Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung
untuk membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang
terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan
local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar
berfungsi
sebagai
ruang
tambahan
untuk
memanaskan
dan
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media,
tempat yang paling strategis.
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar
dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di
infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir
yang
berasal
dari
kelompok
sinus
posterior
bergabung
dengan
resesus
RINOSINUSITIS
DEFENISI
Rinosinusitis merupakan inflamasi pada organ hidung dan sinus paranasal, yang
karakteristiknya ditandai oleh dua faktor mayor atau kombinasi dari satu faktor mayor
dan dua faktor minor. Faktor mayor termasuk obstruksi nasal, nyeri di daerah wajah,
nasal discharge/purulance/discolored postnasal drainage, hyposmia/anosmia. Faktor
minor ialah nyeri kepala, demam, halitosis, sakit gigi, batuk dan nyeri di telinga/terasa
penuh pada telinga (EP3OS,2007)
EPIDEMIOLOGI
Rinosinusitis telah menginfeksi sekitar 14 % atau 31 juta orang dewasa per-tahun
(Assish,2008). Rata-rata orang menderita 2-4 kali rinosinusitis akut pertahun
(Fergurson,2005). EP3OS(2007) juga memaparkan berdasarkan penelitian di Belanda
pada tahun 1999, sekitar 8,4 % populasi pernah menderita satu episode rinosinusitis
akut per tahunnya. Rinosinusitis kronis di Amerika pada tahun 1997, sekitar 14,7 %
atau 31 juta kasus per tahun dan dengan angka kejadian yang terus meningkat dalam
kurun waktu 11 tahun terakhir. (GLORIA, 2009). Data dari RSUD. Dr. Pirngadi
Medan pada tahun 2010 terdapat 3201 kasus rinosinusitis kronis.
2.3.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
a. Virus
Virus
yang
biasanya
menyebabkan
rinosinusitis
adalah
rhinovirus,
virus
parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Tiap-tiap virus
mempunyai banyak serotype, yang mana semuanya berpotensi untuk memperparah
infeksi tersebut. Rhinovirus merupakan penyebab tersering pada orang dewasa dan
memuncak pada musim gugur. RSV dan virus influenza lebih merusak silia
pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi. (Fergurson, 2005)
b. Bakteri
Bakteri patogen yang paling sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut yaitu S.
pneumoniae dan H. influenzae. Patogen ini telah menyebabkan rinosinusitis sejak
pertama kali dilakukan penelitian dan menjadi organisme penyebab yang paling
utama. Sedangkan patogen yang sering muncul pada rinosinusitis bakteri kronis
adalah S. aureus, staphylococcus koagulase negatif, bakteri anaerob dan bakteri gram
negatif. (Fergurson, 2005 ; Brown, 2008)
c. Jamur
Aspergilosis merupakan salah satu jamur yang paling banyak ditemui pada infeksi
sinus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang bewarna hijau kecoklatan.
Mukormikosis merupakan infeksi oportunistik yang ganas yang dapat menjadi
patogenik pada manusia yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Dijumpai
sekret yang berwarna pekat, gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwana hitam
atau merah bata. Kandida bersama histoplasmosis, koksidiomilosis, sporotrikosis,
serokosporamikosis dan blastomikosis jarang yang mengenai hidung. (Boeis, 1997)
d. Alergi
Rinitis merupakan suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin. Reaksi
ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat
pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast, basofil,
eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik
dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan enzimatik
menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien.
Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul , misalnya edema.
Selain itu juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi akibat
pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan
trombosit. (Boeis, 1997).
Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan
bakteri anaerob akan semakin berkembang. Apabila keadaan ini terus berlanjut maka
hal ini akan menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista. (Casiano,1999; Mangunkusumo E, 2007; Meltzer,
2011)
KLASIFIKASI
Secara klinis rinosinusitis terbagi atas:
Rinosinusitis akut
Rinosinusitis subakut
Rinosinusitis kronis
Rinosinusitis rekuren
: durasi terkena rinosinusitis dibawah 4 minggu
: durasi terkena rinosinusitis dari 4 minggu 12 minggu.
: durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu
: menderita sama dengan atau lebih dari 4 kali menderita episode rinosinusitis, tia
episode lebih kurang durasinya 7-10 hari.
(Osguthorpe, 2001; Meltzer, 2011) Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis terbagi
atas:
Sinusitis rinogen
Sinusitis dentogen
GEJALA KLINIS
: penyebabnya adalah kelainan atau masalah Di hidung. Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
: penyebabnya adalah kelainan gigi yang sering menyebabkan sinusitis sepert infeksi
pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). (Mangunkusumo E, 2007).
Setiap gejala-gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi. The
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)
membuat kriteria mayor dan minor untuk mendiagnosa rinosinusitis. Rinosinusitis
didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor
ditambah dua atau lebih kriteria minor. Gejala-gejalanya adalah:
Gejala Mayor :
- Obstruksi hidung
Gejala Minor:
- Sakit kepala
- Sakit gigi
- Lemah
Gejala Subjektif
Nyeri
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan aktif
sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada
sinus yang letaknya lebih dalam seperti sinus etmoid posterior dan sfenoid, nyeri
terasa jauh di dalam kepala, tak jelas letaknya atau disebarkan ke perifer kepala di
daerah yang tidak ada hubungan dengan lokasi sinus.
Sakit kepala
Sakit kepala pada penyakit sinus lebih sering unilateral atau lebih terasa di satu
sisi atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit
kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan ke
depan dan jika badan tibatiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat. Sakit
kepala akibat penyakit di sinus frontal dinyatakan sebagai nyeri yang tajam, menusuknusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang biasanya menetap.
Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit
sinus yang berhubungan dengan permukaaan wajah seperti sinus frontal, sinus etmoid
anterior dan sinus maksila. Nyeri tekan pada os frontal apabila ada penekanan di sudut
medial rongga orbita. Pada pemeriksaan sel-sel etmoid anterior, tekanan dilakukan
pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoid. Pada pemeriksaan sinus
maksila, harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksila superior.
Gangguan Penciuman
2.
Sekret Nasal
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya
peradangan di sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan tanda terkenanya
sinus frontal, sinus etmoid anterior atau sinus maksila, karena sinus-sinus ini
bermuara ke dalam meatus medius. Jika pus terletak di fisura olfaktorius maka sel-sel
etmoid posterior atau sfenoid yang mungkin terkena, karena sel-sel tersebut
berdrainase ke dalam meatus superior di atas konka medius.
Transiluminasi
Transiluminasi sinus memberikan informasi objektif atas kondisi sinus maksila dan
frontal, tetapi tidak untuk sinus lainnya. Pada transiluminasi sinus, di dalam kamar
gelap, suatu sumber cahaya diletakkan dalam mulut pasien dengan mata pasien
terbuka. Apabila refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit tidak ada maka
kemungkinan sinus maksila terkena. Transiluminasi pada sinus frontal, cahaya
diletakkan di bawah dasar sinus frontal pada sudut atas dan dalam orbita, dan kedua
sisi dibandingkan,
Cairan radioopak
Untuk sinus maksila dan sfenoid hal ini mempunyai arti yang besar. Dengan adanya
cairan itu, rongga sinus tampak jelas tergambar, sehingga penebalan mukosa dan
adanya polip dapat diketahui dan ketidaksamaan ukuran dapat tergambar dengan jelas.
(Ballanger ,2002)
DIAGNOSA
1.
Rinoskopi anterior
Rinoskopi anterior merupakan alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling spesifik
yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinonasal. Rinoskopi adalah
pemeriksaan yang paling tepat untuk mengevaluasi pasien, sebelum atau sesudah
pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi
permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat
divisualisasi secara jelas. (Meltzer, 2004).
2.
Endoskopi nasal
Endoskopi nasal tidak hanya memainkan peran yang penting untuk diagnosis
rinosinusitis tetapi juga dapat membantu untuk terapi yang tepat. Alasan mengapa
banyak dokter menggunakan endoskopi nasal:
spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena.
Seringkali dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membasmi
mikroorganisme untuk penyakit ini. (Brown, 2008)
4.
1.
Penebalan mukosa,
2.
3.
Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat
dilihat pada foto waters. Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa foto polos ini
memiliki kekurangan dimana foto polos gagal menunjukkan anatomi sinus yang
diperlukan dan gagal menunjukkan peradangan yang meluas. (Meltzer, 2004).
5.
CT scan
CT scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan
adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya tulang yang relevan untuk
mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut.
Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT scan menggunakan dosis radiasi yang
sangat besar yang berbahaya bagi mata.(Meltzer, 2004).
6. MRI
Walaupun MRI tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasal seperti CT
scan, namun MRI dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan baik.
(Meltzer,2004)
TERAPI
Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis Subakut
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,
yaitu diatermi atau pencucian sinus. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika
berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga
diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan
analgetika, anti histamin dan mukolitik. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar
gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah
yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka
dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi.
Pada sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat
dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz. (EP30S,2007)
Rinosinusitis Kronis
Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan
diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 1014 hari. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut
lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan
antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik
mencukupi 10- 14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan
naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi
kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis. Pada sinusitis maksila
dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid
dilakukan tindakan pencucian Proetz. (Mangunkusumo,2007 ; EP30S,2007)
KOMPLIKASI
1. Kelainan pada orbitaTerutama disebabkan oleh sinusitis ethmoidalis karena
letaknya yang berdekatan dengan mata. Komplikasi dapat melalui 2 jalur :
1.
2.
Peradangan atau analgetik reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita
akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada
anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering
kali merekah pada kelompok umur ini.
Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk.
Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang
lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis
konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin
bertambah.
2.
Kelainan intrakranial
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis
akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis
atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering
kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya
mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan
tekanan intra kranial. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan
arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura, yaitu
nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tanda-tanda rangsangan
meningen. Gejala utama tidak timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau
sebelum abses memecah kedalam ruang subarachnoid.
c. Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Namun, abses otak
4.
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.
2.2. Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,
Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).
2.3. Etiologi rinitis alergi
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti
IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed
Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan
lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah
tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
2.5. Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat
kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu
proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila
terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tandatanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung
termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung
hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat
(allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai
dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata,
kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada
telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari
hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada
pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid
dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya
kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.
Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman,
2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge
Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja
secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan
agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh
untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase
lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan
triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel
efektor (Mulyarjo, 2006).
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang
gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan
(Mulyarjo, 2006).
Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T
CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga
sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob
dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi
mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat
sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).
B. Rinitis Non-Alergi
1.
Rinitis Infeksi
Rinitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, parasit, atau protozoa.
Rinitis simpleks mengacu pada common cold, yaitu rhinitis yang disebabkan oleh
virus (rhinovirus, coxsackie virus).
2.
Rinitis Non-Infeksi
a. Rinitis iritatif-toksik (okupasional)
Rinitis yang berkaiitan dengan paparan iritan atau agen toksik air-borne, seperti
bahan kimia, pelarut, asap rokok. Agen iritatif ini tidak berperan melalui mekanisme
yang
b. Rinitis hormonal
Merupakan rhinitis yang berkaitan dengan perubahan hormonal, seperti pada
kehamilan. Estrogen meningkatkan jumlah asam hyaluronat pada mukosa hidng,
sehingga terjadi edema jaringan dan kongesti nasal. Selain itu, juga terjadi
peningkatan kelenjar penghasil sekret pada hidung serta penurunan kerja silia.
krusta, fetor, atrofi mukosa, dan keluhan kongesti nasal pada cavum nasi yang paten
dan terbuka. Umumnya terjadi pada penyalahgunaan kokain, proses penuaan, postoperasi, defisiensi besi atau vitamin A, sinusitis kronik, dan penyebab infeksius.
f. Rinitis hipertofi
Menunjukkan perubahan mukosa hidung pada konka inferior yang mengalami
hipertrofi karena proses inflamasi kronis yang disebabkan infeksi bakteri primer atau
sekunder. Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala di luar hidung akibat
hidung yang tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala, dan gangguan tidur. Sekret
biasanya banyak dan mukopurulen.
g. Rinitis non-alergi dengan eosinofilia (non-allergic rhinitis with eosinophilia
[NARES])
Merupakan rhinitis yang ditandai dengan rinorea encer, pruritus, epiphora, dan
bersin pada
umum. Sebagaian besar pasien menyangkal adanya pencetus khusus, namun beberapa
mengeluhkan perubahan cuaca atau paparan terhadap bahan kimia iritan dapat
memperburuk gejala. Pemeriksaan sitologi sekret nasal menunjukan eosinofilia;
reaksi eosinofilia seperti itu dapat juga sebagai bagian dari sinusitis kronik, polip
nasal, dan trias Sampter.
Polip nasi
Nasal polip merupakan penyakit inflamasi kronis dari membran mukosa
hidung dan sinus paranasal (maksilarisethmoid) yang ditandai dengan
adanya massa yang edema dan membentuk massa bertangkai. Umumnya polip
terbentuk dari kompleks osteomeatal hingga kavitas nasal yang menyebabkan
obstruksi nasal, sekresi, hiposmia, sakit kepala dan penurunan kualitas hidup.
Polip nasal ditandai oleh edema jaringan masif yang menyebabkan
kebocoran plasma pada pembuluh darah.Umumnya polip disebabkan oleh
inflamasi kronis pada kavitas nasal. Beberapa penyakit yang berhubungan
dengan polip nasal adalah rinitis alergi dan rinitis non alergi, sinusitis gungal
alergi, intoleransi aspirin, asma, churg-strauss syndrome (demam, asma,
vaskulitis
eosinofilik,
granuloma),
sindrom
kartagener
(rinosinusitis,
Patofisiologi
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan
interseluler dan kemudian terdorong ke dalam rongga hidung dan gaya berat.
Polip dapat timbul dari bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan
seringkali bilateral. Polip hidung paling sering berasal dari sinus maksila dapat
keluar melalui ostium sinus maksila dan masuk ke rongga hidung dan
membesar di koana dan nasofaring. Polip ini disebut polip koana. Secara
makroskopik polip terlihat sebagai massa lunak yang berwarna putih keabuabuan. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit di dalam polip dan
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu.
Patogenesis
a. Proses inflamasi yang multifaktorial termasuk familial dan faktor
herediter. Peradangan/ gangguan turbulensi aliran udara menyebabkan
perubahan mukosa hidung sehingga terjadi prolaps submukosa.
Akhirnya terjadi reepitelialisasi dan pembentukan kelenjar baru, lalu
penyerapan natrium pada permukaan sel meningkat sehingga retensi
air mencetuskan timbulnya polip.
b. Aktivasi respon imun lokal
c. Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis
d. Ketidakseimbangan saraf vasomotor mengakibatkan permeabilitas
kapiler
meningkat
dan
gangguan
regulasi
vaskuler. Hal
ini
Manifestasi klinis
Gejala utama yang ditimbulkan polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada
sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini
menyumbat sinus paranasal, maka komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan
keluhan nyeri kepala dan rinore.Bila penyebabnya adalah alergi maka gejala utama
adalah bersin dan iritasi di hidung.
Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka
hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka
polipoid adalah polip merupakan massa bertangkai seperti buah anggur tanpa kulit,
mudah digerakkan (mobile), konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah
berdarah, pada pemakaian vasokonstriktor tidak mengecil. Sedangkan, konka
hipertrofi yang polipoid umumnya tidak begitu mobile dan dengan pemberian
dekongestan konka hipertrofi akan menciut.
Manajemen
Grade I :
Polip berukuran kecil, terletak dalam meatus media dan tidak melebihi
batas inferior dari konka media
Polip grade 1
Polip grade 2