Anda di halaman 1dari 6

Contoh- contoh penyakit air dan makanan

Demam Tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi.
Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, di topang dengan bakteremia tanpa
terlibat struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam
sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyers patch.
Epidemiologi
Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, serta
berkaitan dengan sanitasi yang buruk terutama negara-negara berkembang. Di negara-negara
berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari 10 sampai 540 per
100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan adanya sanitasi
pembuangan di berbagai negara berkembang, diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35
juta kasus dengan 500.000 kematian terdapat di dunia. Di Indonesia demam tifoid masih
merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Di antara penyakit
yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah
gastroenteritis.
Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan
dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.
Patogenesis
Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada manusia.
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman
berspora, motile, berflagela,berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37C (15C41C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu.
Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4C selama satu jam, dan 60C selama 15 menit,
serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella memunyai karakteristik
fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa dan sukrosa.
Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1) proses
invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan hidup dalam
makrofag dan (3) proses berkembang biaknya kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh
mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh kuman patogen
ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik
secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh
humoral dan selular.
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan
dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai di lambung maka
mula-mula timbul usaha pertahanan non-spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana
asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang
menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman
yang masuk dan (2) kondisi asam lambung. Untuk menimbulkan infeksi diperlukan S.typhi

sebanyak 105-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung
dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan
terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrotektomi, hipoklorhidria atau
aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut S.typhi
lebih mudah melewati pertahanan tubuh.
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme
pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan
kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik
usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan
kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana
asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman
akan melekat pada permukaan usus.
Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria,
berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun
demikian S.typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya
perlindungan oleh kapsul kuman.
Pendekatan Diagnosis Demam Tifoid Demam tifoid pada anak biasanya memberikan
gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi
namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan
saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap
dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia,
letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status
mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu
ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan
sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah,
anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai
depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering
terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm,
dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan
berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda
klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis
bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium
untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
bakteriologis, dan serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan
laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu
(1) isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita,
seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot, (2) uji serologi
untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik
dari Salmonella typhi, dan (3) pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.
Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas,
umumnya ditandai dengan leukopenia, limfositosis realtif dan menghilangnya eosinofil
(aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik yang
penting, namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid mempunyai gambaran tersebut.
Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.
Diagnosis demam tifoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik namun
identifikasi kuman S.typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah seringkali positif pada
awal penyakit sedangkan biakan urin dan tinja, positif setelah terjadi septikemia sekunder.

Biakan sumsum tulang dan kelenjar limfe atau jaringan retikulo endotelial lainnya sering
masih positif setelah darah steril. Pemeriksaan Widal, meskipun kegunaannya masih banyak
diperdebatkan, jika interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan memperdebatkan sensitivitas,
spesifitas, serta perkiraan nilai Widal pada laboratorium dan populasi setempat, maka angka
Widal cukup bermakna.
Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S.typhi dari darah, urin, tinja,
sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan patogenesis, maka
kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif
memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
hasilnya tergantung beberapa faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil,
(2) perbandingan volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah.
Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat
kuman pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan
darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena
1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah.
Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama sakit,
sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10% penderita.
Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bila
terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali.
Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan.
Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah
pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu
pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik.
Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun
memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan
sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap.
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji
Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen
dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H
timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan
antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2
tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh
dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya
tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan
pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal
slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter mengatur pendapat
apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali
maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca
imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa
kuman Salmonella typhi (karier). Meskipun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis
demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi

perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum
ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point). Interpretasi pemeriksaan Widal
harus hati-hati karena banyak faktor yang mempengaruhi antara lain stadium penyakit,
pemberian antibiotik, teknik laboratorium, gambaran imunologis dari masyarakat setempat
(daerah endemis atau non endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi
silang.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid adalah komplikasi intestinal berupa
perdarahan sampai perforasi usus. Perforasi terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan usus yang
berat ditemukan pada 1-10% anak dengan demam tifoid. Komplikasi ini biasanya terjadi pada
minggu ke-3 sakit. Komplikasi ini umumnya didahului dengan suhu tubuh dan tekanan darah
menurun, disertai dengan peningkatan denyut nadi. Perforasi jarang terjadi tanpa adanya
perdarahan sebelumnya dan sering terjadi di ileum bagian bawah. Perforasi biasanya ditandai
dengan peningkatan nyeri abdomen, kaku abdomen, muntah-muntah, nyeri pada perabaan
abdomen, defence muskular, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang
lain.
Adanya komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan
kesadaran, diorientasi, delirium, obtudansi, stupor bahkan koma. Hepatitis tifosa asimtomatik
dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase
yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase maupun
kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita
setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena
pembawa kuman (karies).
Sistitis dan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria
transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai
gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis buruk. Pneumonia sebagai
komplikasi sering dijumpai pada demam tifoid, seringkali akibat infeksi sekunder oleh kuman
lain.
Komplikasi lain yang juga dapat terjadi adalah enselopati, trombosis serebral, ataksia,
dan afasia, trombositopenia, koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome,
fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak,
hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian. Dilaporkan pula komplikasi berupa orkitis,
endokarditis, osteomielitis, artritis, parotitis, pankreatitis, dan meningitis.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang
lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah
penghentian antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid
sebelumnya.
Gambaran Darah Tepi
Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi
pada sumsum tulang jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3000 /l. Apabila
terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000 /l.
Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.
Penatalaksananaan
Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian antibiotik
yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen cairan, serta
pengenalan dini dan tata laksana terhadap adanya komplikasi (perdarahan usus, perforasi dan
gangguan hemodinamik).
Pengobatan akan berhasil dengan baik bila penegakan diagnosis dilakukan dengan
tepat. Demam lebih dari 7 hari disertai gejala gastointestinal, pada anak usia di atas 5 tahun,
tanpa gejala penyerta lain, dapat dicurigai menderita demam tifoid.

Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya infeksi Samonella dapat dilakukan


secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut (1) spektrum sempit, (2) penetrasi ke
jaringan cukup, (3) cara pemberian mudah untuk anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek
samping minimal, dan (6) adanya bukti efikasi klinis.
Saat redanya demam (time of fever defervescence) merupakan parameter keberhasilan
pengobatan, dan saat tersebut menentukan efektifitas antibiotik. Bila suhu turun, berarti
membaik, sedang bila menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi, atau kuman penyebab
adalah MDRST (multidrug resistant S.typhi)
Penggunaan antibiotik yang dianjurkan selama ini adalah sebagai berikut :
1. Lini pertama
a. Kloramfenikol, masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik,
diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari secara intravena dalam 4 dosis selama 10-14
hari. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini masih cukup sensitif untuk Salmonella
typhi namun perhatian khusus harus diberikan pada kasus dengan leukopenia (tidak
dianjurkan pada leukosit <2000/ul)>
b. Ampisilin dengan dosis 150-200 mg/kgBB/hari diberikan peroral/iv selama 14 hari,
atau
c. Kotrimoksazol dengan dosis 10 mg/kgBB/hari trimetoprim, dibagi 2 dosis, selama
14 hari. 2. Lini ke dua, diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S.typhi
yang resisten terhadap berbagai obat (MDR=multidrug resistance), yang terdiri atas :
a. Seftriakson dengan dosis 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 10 hari .
Penyembuhan sampai 90% juga dilaporkan pada pengobatan 3-5 hari.
b. Sefiksim dengan dosis 10-12 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama
14 hari, adalah alternatif pengganti seftriakson yang cukup handal.
c. Florokinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin diatas, dengan
angka penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan kinis dan bakteriologis, di samping
kemudahan pemberian secara oral. Namun pemberian obat ini masih kontroversial dalam
pemberian untuk anak mengingat adanya pengaruh buruk terhadap pertumbuhan kartilago.
Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, sudah dipakai untuk pengobatan. Demam
biasanya turun dalam 5 hari. Lama pemberian obat dianjurkan 2-10 hari. Penggunaan obatobat ini dianjurkan pada kasus demam tifoid dengan MDR.
d. Asitromisin dengan pemberian 5-7 hari juga telah dicoba dalam beberapa penelitian
dengan hasil baik, berupa penurunan demam sebelum hari ke 4. Aztreonam juga diuji pada
beberapa kasus demam tifoid pada anak dengan hasil baik, namun tidak dianjurkan sebagai
pengobatan lini pertama.
Pengobatan suportif akan sangat sangat menentukan keberhasilan pengobatan demam
tifoid dengan antibiotik. Pemberian cairan dan kalori yang adekuat sangat penting. Penderita
demam tifoid sering menderita demam tinggi, anoreksia dan diare, sehingga keseimbangan
cairan sangat penting diperhatikan. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak
demam diperlukan untuk efektifitas respons imun dan pemantauan keberhasilan pengobatan,
namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang dan kenyamanan anak terganggu,
sering membutuhkan pemberian antipiretik. Dianjurkan pemberian antipiretik bila suhu di
atas 38,5C.
Terapi dietetik pada anak dengan demam tifoid tidak seketat penderita dewasa.
Makanan bebas serat dan mudah dicerna dapat diberikan. Setelah demam turun, dapat
diberikan makanan lebih padat dengan kalori yang adekuat.
Pengobatan terhadap demam tifoid dengan antibiotik memerlukan acuan data adanya
angka kejadian demam tifoid yang bersifat MDR. Pemberian kortikosteroid juga dianjurkan
pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma,

ataupun syok. Deksametason diberikan dengan dosis awal 3 mg/kbBB, diikuti dengan 1
mg/kgBB setiap 6 jam selama 2 hari.
Pencegahan terhadap demam tifoid dilakukan dengan memperbaiki sanitasi
lingkungan dan perilaku sehari-hari, serta imunisasi secara aktif dengan vaksin terhadap
demam tifoid. Beberapa jenis vaksin telah beredar di Indonesia saat ini. Pencegahan Secara
umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus
memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di
dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C untuk beberapa menit atau dengan proses
iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga
dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah
tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah
serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu
menekan angka kejadian demam tifoid.
Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang
berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin
yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga
kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini
diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella
typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3
tahun.

Anda mungkin juga menyukai