Anda di halaman 1dari 35

Referat

Diagnosis dan Penatalaksanaan Kegawatan Respirasi pada Anak


dan Terapi Oksigen

Oleh

Ayu Sri Mega Astuti

0910311021

Andika Budhi Rahmawan

1110312118

Marta Dedi Usdeka

1110313020

Elfani Lisa Alvionita Ifada

1110313080

Rosintchi Mirsal

1110312074

Felicia Octofinna

1210313069

Istiya Putri

1210313053

Atikah Ramadhani

1210313079

Rizki Ismi Arsyad

1110313014

Residen Pmbimbing
Dr. Handre Putra
Preseptor
Dr Mayetti, Sp.A (K)
Dr. Indra Ihsan, Sp.A (K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2016

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang..........................................................................................4

1.2.

Batasan Masalah........................................................................................5

1.3.

Tujuan Penulisan.......................................................................................5

1.4.

Manfaat Penulisan.....................................................................................5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1

Penyakit Kegawadaruratan Pernapasan.....................................................6

2.1.1

Asma Bronkial...................................................................................6

2.1.2

Pneumonia..........................................................................................9

2.1.3

Sindrom Croup.................................................................................10

2.1.4

Abses Peritonsil................................................................................11

2.1.5

Abses Retrofaring............................................................................13

2.1.6

Difteri...............................................................................................14

2.1.7

Bronkiolitis.......................................................................................15

2.2

Terapi Oksigen........................................................................................17

2.2.1

Definisi Terapi Oksigen...................................................................17

2.2.2

Indikasi Terapi Oksigen...................................................................17

2.2.3

Tujuan Terapi Oksigen.....................................................................17

2.2.4

Teknik Pemberian Oksigen28,29.........................................................17

2.2.5

Sistem Aliran Rendah 28,29................................................................18

2.2.6

Sistem Aliran Tinggi 28,29..................................................................22

2.2.7

Pedoman Klinis Pemberian Terapi Oksigen25..................................25

2.2.8

Pemantauan Terapi Oksigen26..........................................................25

2.2.9

Kontra kasi Pemberian Terapi Oksigen30.........................................26

2.2.10

Risiko Terapi Oksigen28...................................................................26

2.2.11

Lama pemberian oksigen 27..............................................................27

BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan..................................................................................................28
3.2. Saran............................................................................................................29

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

Gagal napas merupakan masalah utama kegawatdaruratan pada anak


yang harus ditatalaksana dengan segera. Gagal napas pada anak
terjadi bila sistem pernapasan tidak dapat mempertahankan oksigenasi
dan atau ventilasi ditandai dengan penurunan PaO2 <50 mmHg dan
peningkatan PaCO2 >45 mmHg ditandai dengan gejala takipnea
(napas cepat), napas cuping hidung, retraksi interkostal, sianosis, dan
apnea (henti napas).

Penyebab gagal napas pada anak terdiri dari

acute repiratory distress syndrome (ARDS), bronkiolitis, sindrom croup,


bronkopneumonia,

abses

retrofaring,

difteri,

asma

bronkial

dan

penyakit lainnya.1,2

Menurut WHO tahun 2015, terdapat 6,6 juta kasus kematian pada anak
dibawah usia 5 tahun akibat gagal napas. Dua pertiga dari kasus gagal napas
terjadi pada anak usia <1 tahun dan setengahnya terjadi pada masa neonatus. Hal
ini disebabkan karena organ-organ pernapasan yang belum matang .3
Gagal napas pada anak menyebabkan penurunan oksigen dalam darah
(hipoksemia) sehingga oksigen tidak cukup untuk menyuplai ke dalam jaringan
(hipoksia). Kekurangan oksigen dapat menyebabkan disfungsi sistem organ dan
kematian sel. Oleh karena itu, hipoksia dan hipoksemia adalah kondisi yang
mengancam jiwa yang memerlukan deteksi dini dan tatalaksana segera.4
Salah satu tatalaksana awal gagal napas pada anak yang penting adalah
dengan menggunakan terapi oksigen. Terapi oksigen merupakan suatu tindakan
untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen pada inspirasi, dengan cara
meningkatkan kadar oksigen inspirasi/fraksi oksigen (FiO2) (Orthobarik) atau
meningkatkan tekanan oksigen (Hiperbarik). Tujuan terapi oksigen ini adalah
mengatasi hipoksemia, menurunkan usaha napas, dan mengurangi kerja dari
miokardium. Terapi oksigen dapat dilakukan pada anak apabila saturasi oksigen di
dalam darah (SpO2) <94%.4,5
Pada prinsipnya, dalam penggunaan terapi oksigen pada anak dibutuhkan
keahlian dan pemahaman khusus tentang fungsi dan manfaat alat-alat terapi
oksigen. Oleh karena itu, penulis tertarik membuat referat dengan judul

Diagnosis dan Penatalaksanaan kegawatan Respirasi pada Anak dan Terapi


Oksigen.
1.2.

Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka didapatkan batasan masalah yang akan dibahas
pada referat ini, yaitu mengenai diagnosis dan tatalaksana kegawatan respirasi
pada anak dan terapi oksigen.
1.3.

Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :


1.

Mengetahui diagnosis dan tatalaksana kegawatan respirasi pada anak

2.

Mengetahui definisi, indikasi, kontra indikasi, cara penggunaan, prinsip


kerja, efektivitas, dan kendala pemakaian dari terapi oksigen.

1.4.

Manfaat Penulisan

1.

Menambah pengetahuan mengenai diagnosis dan tatalaksana kegawatan


respirasi pada anak

2.

Menambah pengetahuan mengenai penggunaan dan prinsip kerja dari


terapi oksigen

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Kegawadaruratan Pernapasan

2.1.1

Asma Bronkial

Asma bronkial adalah kelainan yang ditandai dengan inflamasi kronis pada
saluran

pernapasan.

Diagnosis

ditegakan

berdasarakan

anamnesis

dan

pemeriksaan fisik. Pada anamnesis didapatkan data mengenai gejala batuk dan
atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari
(nokturnal atau morning drip), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya
riwayat atopi pada pasien atau keluarga.6 Anak dengan asma biasanya memiliki
lebih dari satu gejala tersebut dan beberapa gejala mungkin muncul pada waktu
yang berbeda dan dalam intensitas yang berbeda. Perjalanan klinis, pengobatan
yang telah diberikan (reliever dan controler), penggunaan steroid sistemik dan
penggunaan steroid selama setahun terakhir, faktor pencetus (termasuk infeksi
saluran repirasi atas, alergi, perokok pasif) juga perlu diketahui. Riwayat keluarga
dengan asma, rinitis alergi, eksema dan merokok mendukung diagnosis. 7,8,9,10
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital mampu memberikan informasi tentang
status respirasi. Anak dengan eksaserbasi akut yang berat memberikan gambaran
takipnea dan takikardia. Penggunaan Pediatric assesment measure (PRAM) dan
Acute asthma intensity research score (AAIRS) dapat digunakan untuk sistem
skoring yang mudah digunakan.8 Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan retraksi
dinding dada (infraklavikula maupun supraklavikula) yang menggambarkan
Forced expiratory volume (FEV1) atau volume ekspirasi paksa dalam satu menit
<50% dan merupakan suatu tanda bahaya akan keadaan yang lebih berat. Pada
Auskultasi, didapatkan wheezing pada ekspirasi atau wheezing bifasik. Silent
chest merupakan tanda obstruksi yang hebat.8
Pada anak lebih dari 6 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan faal paru. Uji
fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap
dengan spirometer. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai penunjang untuk
menegakkan diagnosis asma jika didapatkan 11:

Variabilitas pada Peak flow rate (PFR) atau FEV1 15%.

Peningkatan 15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi

bronkodilator.
Penurunan 15% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
PFR atau FEV dapat digunakan untuk memantau gejala dan penting namun

belum sering digunakan karena bukan hanya berfungsi untuk diagnosis namun
dapat digunakan untuk penilaian keberhasilan tatalaksana asma. 7,11 Pasien dengan
PFR lebih dari 70% diklasifikasikan pada eksaserbasi ringan, 40%-60%
diklasifikasikan pada eksaserbasi sedang dan >70% diklasifikasikan pada
eksaserbasi berat.6
2.1.1.1 Tatalaksana
Prinsip utama penenganan asma adalah mengendalikan gejala dan mengurangi
risiko kegawatan.4 Penanganan awal terhadap pasien asma adalah -agonis secara
nebulisasi. Garam fisiologis dan mukolitik dapat ditambahkan dalam cairan
nebulisasi. Nebulisasi dapat diulangi dua kali dengan selang 20 menit. Pada
pemberian ketiga dapat diberikan antikolinergik. Penanganan awal ini dapat juga
dijadikan sebagai penapis untuk menentukan derajat asma11.
Prinsip penatalaksanaan asma eksaserbasi akut adalah 9:
Nilai tingkat keparahan eksasebasi seiring dengan pemberian (short acting agonis) SABA dan oksigen. Nilai dyspnea (apakah pasien mampu berbicara
beberapa kalimat atau hanya kata), frekuensi prnapasan, nadi, saturasi oksigen
dan fungsi paru (dengan PEF).
Pertimbangkan penyebab lain dari sesak napas (misalnya gagal jantung,
disfungsi pernapasan atas, benda asing pada saluran pernapasan atau emboli
pernapasan)
Rujuk pada fasilitas yang lebih lengkap jika didapatkan gejala eksaserbasi
berat, atau pada rawatan intensif jika pasien mudah mengantuk, apatis, atau
tidak ada pergerakan dinding dada. Pada pasien ini, segera berikan inhalasi
SABA, inhalasi ipratropium bromida, oksigen dan kortikosteroid sistemik
Mulai terapi dengan pemberian SABA, kortikosteroid oral dan perhatikan
aliran oksigen. Nilai respon terapi berdasarkan gejala dan saturasi secara
berkala, dan setelah 1 jam.

Eksaserbasi berat, berikan ipratorium bromida dan sebera berikan nebulisasi


SABA. Pada fasilitas kesehatan yang lengkap, magnesium sufat dapat diberika
jika pasin tidak respon dengan tatalaksana awal.

Gambar 2.1 Alur tatalaksana asma bronkhial 8

2.1.2

Pneumonia

Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Insiden pneumonia


pada anak 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan di
negara

berkembang

mencapai

10-20

kasus/100

anak/tahun.

Pneumonia

menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara
berkembang. Usia pasien memberi peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi
pengobatan.
Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus
grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella
sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita, pneumonia sering disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus,
sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumoniae.2 Penyebab utama virus adalah Respiratory syncytial
virus (RSV) yang mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B,
parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus.12, 13
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara
ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil
yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga
memerlukan perawatan dirumah sakit. Dalam menentukan beratnya pneumonia
perlu diperhatikan adanya tanda bahaya (danger signs), yaitu takipnea dan tarikan
dinding dada bagian bawah ke arah dalam (retraksi epigastrik), napas cepat (umur
<2 bulan: 60 kali/menit, umur 211 bulan : 50 kali/menit, umur 1 5 tahun: 40
kali/menit, umur 5 tahun: 30 kali/menit), suara merintih (grunting) pada bayi muda,
terdapat crackles (ronki), suara pernapasan menurun, dan suara pernapasan bronkial.
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai anak tidak dapat menyusu,
minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,
distres pernapasan berat.12,13

2.1.2.1 Tatalaksana 12
Untuk tatalaksana pneumonia, dapat diberikan antibiotik oral pilihan pertama
(kotrimoksazol) bila tersedia. Obat ini dipilih karena sangat efektif, cara
pemberiannya mudah dan murah. Antibiotik pilihan kedua adalah amoksisilin

10

yang diberikan apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau pemberian obat
pilihan pertama tidak memberi hasil yang baik.
Tabel 2.1 Pemberian Antibiotik Oral 13
Umur/Berat
Badan

2-<4 bulan
4-<6 kg
4-<12 bulan
6-<10 kg
1-<3 tahun
10-<16 kb
3-<5 tahun
16-<19 kg

2.1.3

Kotrimoksazol

Amoksisilin

Tablet dewasa
80 mg TMP
400 mg SMZ

Tablet anak
20 mg TMP
100 mg SMZ
1

Sirup/5 ml
40 mg TMP
200 mg SMZ
25 ml

Kaplet
500 mg

Sirup
125 mg/5ml

5 ml

5 ml

10 ml

2,5

7,5 ml

2/3

12,5 ml

10 ml

15 ml

Sindrom Croup

Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus yang


menyerang saluran pernapasan atas. Penyebab terbanyak adalah Para-influenza
tipe 1 (HPIV-1) 60%, HPIV-2, 3 dan 4, influenza A dan, adenovirus, Respiratory
syncytial virus (RSV) dan virus campak. Selain itu, sindrom croup dapat pula
disebabkan oleh bakteri yaitu Corynebacterium diphtheria, Staphylococcus aures,
Streptococcus pneumonia, Hemophilus influenza, dan Catarrhalis Moraxella.
Derajat keparahan penyakit pada sindrom croup dapat dilihat dari tampilan klinis
anak.
Tabel 2.2 Derajat keparahan sindrom croup berdasarkan tampilan klinis. 13
Tampilan
Klinis
Batuk berat

Ringan

Sedang

Berat

Jarang

Sering

Sering

Stridor

tidak ada, hilang


dengan istrihat

Retraksi
suprasternal
dan
/
interkostal
Agitasi

kadang-kadang
ada

Ada,
terdengar
ketika sedang
beristrirahat
ada, terlihat
pada
saat
istirahat

Terdengar
ketika
insipirasi
dan ekspirasi
Berat

Letargi

Tidak
adaagitasi ringan
-

Agitasi
ringan-berat
Letargi

Sianosis

tidak ada

11

Impending respiratory
failure
sering, tetapi tidak terlalu
menonjol
terdengar saat istirahat,
tapi mungkin tenang atau
sulit untuk mendengar
ada/tidak ada
(bukan penanda)
Letargi atau penurunan
kesadaram
Sianosis tanpa pemberian
oksigen

2.1.3.1 Tatalaksana
Algoritma

tatalaksana

berdasarkan

derajat

keparahan

gangguan

pernapasan dapat digunakan sebagai panduan pengelolaan sindrom croup pada


anak-anak.

12

13

Gambar 2.2 Alur tatalaksana sindrom croup14

2.1.4

Abses Peritonsil

Abses peritonsil (Quinsy) merupakan infeksi kepala dan leher bagian dalam yang
paling sering terjadi pada anak usia lebih dari 12 tahun. Abses ini biasanya
disebabkan infeksi bakteri aerob dan anaerob. Bakteri aerob yang paling sering
adalah Streptococcus pyogenes (Streptokokus hemolitikus grup A), sedangkan
bakteri anaerob yang paling berperan adalah Fusobacterium.15 Abses peritonsil
pada anak menyebabkan gangguan obstruksi jalan napas yang dapat menyebar ke
parafaring hingga rongga retrofaring.16
Anak yang menderita abses peritonsil biasanya mengeluhkan demam
tinggi, rasa sakit di tenggorokan, otalgia ipsilateral, trismus (sukar membuka
mulut), dan disatria. Anak mengalami kesulitan bicara, suara menjadi suara
hidung, membesar (hot potato voice). Selain itu, anak juga mengeluh mulut
berbau, nyeri menelan hebat, muntah (regurgitasi), dan ketidakmampuan menelan
ludah.15
Abses peritonsil menyebabkan derajat trismus yang bervariasi karena efek
massa dan inflamasi pada dinding faring dan otot pterigoid interna sehingga
menimbulkan spasme pada otot tersebut. Tonsil terlihat membesar, uvula
terdorong ke arah kontralateral dan adenopati servikal ipsilateral. Pernapasan
terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Bila
kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak napas lebih berat. 17 Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukositosis dan terjadi peningkatan neutrofil.18
2.1.4.1 Tatalaksana
Penatalaksanaan abses peritonsil meliputi hidrasi, terapi antibiotik, insisi,
drainase, dan tonsilektomi. Needle aspiration merupakan penanganan yang paling
efektif pada 75% kasus abses peritonsil pada anak-anak, sehingga dianjurkan
sebagai terapi utama, kecuali jika terdapat riwayat tonsilitis rekuren atau abses
sebelumnya maka indikasi untuk tonsilektomi segera.15 Tonsilektomi pada abses
peritonsil dapat dilakukan pada fase akut maupun fase tenang pasca drainase (6-12
minggu pasca drainase).17 Terapi antibiotik yang digunakan adalah penisilin dan

14

sefalosporin. Penisilin dapat digunakan pada anak dengan abses peritonsil yang
diduga disebabkan oleh bakteri aerob. Klindamisin saat ini dipertimbangkan
sebagai antibiotik pilihan untuk bakteri yang memproduksi laktamase.15 Insisi
pada abses peritonsil bertujuan untuk mendapatkan drainase abses yang adekuat
dan terlokalisir secara cepat. Umumnya setelah drainase, nyeri akan segera
berkurang.19
2.1.5

Abses Retrofaring

Abses retrofaring merupakan suatu infeksi pada leher bagian dalam yang disertai
pembentukan pus pada daerah retrofaring, biasanya terjadi pada anak usia 2-6
tahun. Pada umumnya, sumber infeksi berasal dari proses infeksi di hidung,
adenoid, nasofaring, dan sinus paranasal yang menyebar ke kelenjar limfe
retrofaring.15 Penyebab tersering adalah Staphylococcus aureus dan Streptococus
hemolitikus grup A, tetapi dapat juga disebabkan oleh bakteri anaerob
(Bacteroicdes dan Veillonella) atau bakteri Gram negatif (Haemophilus
parainfluenzae dan Bartonella henselae). Sharma (2016) menemukan
infeksi

campuran

Staphylococcus

aureus,

Haemophilus

sp,

dan

Streptococus hemolitikus pada abses retrofaring.20


Anak yang menderita abses retrofaring biasanya didahului oleh infeksi
saluran napas atas. Keluhan biasanya tidak spesifik, seperti adanya demam tinggi
yang mendadak, sukar dan nyeri menelan, suara sengau. Dinding posterior faring
membengkak (bulging) dan hiperemis pada satu sisi. Pada kondisi lanjut, keadaan
umum anak menjadi lebih buruk dan bisa dijumpai kekakuan otot leher (neck
shiffness) disertai nyeri pada pergerakan (tortikolis), air liur menetes (drooling),
dan obstruksi saluran napas yang ditandai dengan stridor, mengorok, atau dispnea.
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan leukositosis.15
2.1.5.1 Tatalaksana15, 16, 20
Penatalaksanaan abses retrotonsil meliputi mempertahankan jalan napas yang
adekuat, yaitu dengan memposisikan anak supine dengan leher ekstensi,
pemberian oksigen, intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung/intubasi fiber
optic, atau trakeostomi/krikotirotomi. Pemberian antibiotik secara parenteral
sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Pilihan utama
adalah klindamisin atau dikombinasikan dengan sefalosporin generasi kedua

15

(seperti cefuroxime) atau laktamase resisten penisilin. Pemberian antibiotik


biasanya dilakukan selama kurang lebih 10 hari. Tindakan operatif yang dapat
dilakukan yaitu aspirasi pus (needle aspiration) atau insisi dan drainase.15

2.1.6

Difteri

Difteria adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium


diphtheriae. Difteria merupakan penyakit yang sangat menular dan ditandai
dengan pembentukan pseudo-membran pada kulit dan atau mukosa. Difteri
umumnya mengenai anak usia kurang dari 5 tahun.21 Anak yang menderita difteri
biasanya mengalami demam tidak tinggi yang terjadi tidak akut, anoreksia, dan
malaise. Pembesaran kelenjar getah bening servikal akan mengakibatkan
pembengkakan leher yang dikenal dengan istilah bull neck. Tonsil dan faring
dapat diliputi membran keabu-abuan yang sulit diangkat dan mudah berdarah.
Pembengkakan jaringan lunak saluran napas atas dan pseudomembran dapat
mengakibatkan obstruksi mendadak. Obstruksi yang berat ditandai dengan stridor,
retraksi suprasternal, subkostal, supraklavikula, dan sianosis.
Toksin difteri dapat menyebabkan komplikasi miokarditis yang terjadi
pada minggu kedua, gangguan neurologis berupa paralisis yang terjadi pada
minggu ketiga, hingga gangguan ginjal yang terjadi pada minggu kedua dan
ketiga.22
2.1.6.1 Tatalaksana
Tatalaksana difteri meliputi tatalaksana umum obstruksi jalan napas, pemberian
antitoksin segera, antibiotik, serta tatalaksana komplikasi. Oksigen diberikan jika
terjadi obstruksi saluran respiratorik. Sedangkan trakeostomi dilakukan oleh ahli
berpengalaman jika terjadi tanda obstruksi jalan napas yang berat, seperti tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat dan gelisah. Intubasi orotrakeal
merupakan alternatif lain tetapi bisa menyebabkan terlepasnya membran.
Penggunaan antitoksin yang berasal dari serum kuda harus didahului
dengan uji kulit. Dosis Anti Difteri Serum (ADS) disesuaikan dengan tipe
difteri.13, 22

16

Tabel 2.2 Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit.23
Tipe Difteria
Difteria hidung
Difteria tonsil
Difteria faring
Difteria laring
Kombinasi
Difteria + bullneck
Terlambat berobat
dimana saja

(>72

jam),

lokasi

Dosis ADS
20.000
40.000
40.000
40.000
80.000
80.000-120.000
80.000-120.000

Cara Pemberian
i.m.
i.m. atau i.v.
i.m. atau i.v.
i.m. atau i.v.
i.v.
i.v.
i.v.

Pemberian antibiotik dilakukan bukan sebagai pengganti antitoksin,


melainkan untuk mengeradikasi kuman penyebab difteria yaitu C. diphtheriae.
Dengan demikian, produksi toksin dapat dihentikan dan penularan kuman dengan
cara droplet dapat dicegah. Antibiotik yang diberikan adalah Penisilin prokain
dengan dosis 50.000-100.000 IU/ kgBB/ hari selama 10 hari. Sebelum pemberian
antibiotik penisilin prokain, juga harus dilakukan skin test terlebih dahulu. Apabila
terjadi reaksi hipersensitivitas, antibiotik yang diberikan adalah eritromisin
dengan dosis 40 mg/kgBB/hari. 23
2.1.7

Bronkiolitis

Bronkiolitis adalah inflamasi saluran napas bawah akibat infeksi virus, biasanya
mengenai bayi atau anak di bawah usia 2 tahun. Penyebab tersering adalah
respiraratory syncytial virus, tetapi dapat juga disebabkan oleh influenza virus,
parainfluenza virus dan adenovirus.22
Gejala klinis diawali dengan gejala umum infeksi virus diikuti takipnu,
takikardi, mengi, retraksi, batuk, dan ronki kasar. Bayi dengan bronkiolitis
berisiko mengalami kelelahan dan apnu. Risiko kematian lebih tinggi pada anak
dengan penyakit dasar kardiovaskuler, seperti penyakit jantung bawaan, displasia
bronkopulmonal, dan gangguan sistem imun. Manifestasi awal seringkali
menyerupai gejala flu dengan rinorhea dan kadang-kadang batuk yang kuat. Bayi
dengan bronkiolitis lebih berat seringkali datang dalam keadaan dehidrasi akibat
tidak mau minum dan kelelahan, sementara bayi berusia kurang dari 3 bulan dapat
dibawa ke rumah sakit karena apnu.
Pada pemeriksaan fisik umumnya ditemukan ronki dan mengi/wheezing.
Bronkiolitis sulit dibedakan dari asma bronkial yang terjadi pada usia muda.

17

Wheezing umumnya tidak membaik dengan tiga dosis bronkodilator kerja cepat,
ekspirasi memanjang, dan dapat disertai penurunan suara inspirasi. Pemeriksaan
analisis

gas darah sering menunjukkan hipoksemia. Respons terhadap

bronkodilator juga dapat terjadi pada bronkiolitis karena infeksi Respiratoray


syncytial virus (RSV) dapat mengakibatkan spasme bronkus reaktif.24
2.1.7.1 Tatalaksana
Bila terdapat napas cepat, pasien dapat dirawat jalan dan diberikan kotrimoksazol
(4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari atau amoksisilin (25 mg/kgBB/kali) 2 kali
sehari selama 3 hari, sedangkan bila terdapat tanda distress pernapasan tanpa
sianosis tetapi anak masih bisa minum, anak dirawat di rumah sakit dan beri
ampisilin/amoksisilin 25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam, yang harus
dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respon yang
baik, terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (25
mg/kgBB/kali, dua kali sehari) untuk 3 hari berikutnya.
Pada keadaan yang memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang
berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya,
kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat), ditambahkan
kloramfenikol (25mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam) sampai keadaan
membaik, dilanjutkan per oral 4 kali sehari sampai total 10 hari. Pasien yang
datang dalam keadaan klinis berat (pneumonia berat) diberikan oksigen segera
dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamicin.
Sebagai alternatif, dapat diberikan seftriakson (80-100 mg/kgBB/kali IM atau IV
sekali sehari).
Oksigen diberikan pada semua anak dengan wheezing dan distress
pernapasan berat. Metode yang direkomendasikan, yaitu dengan nasal prongs atau
kateter nasal. Bisa juga dengan kateter nasofaringeal. Pemberian oksigen terbaik
untuk bayi muda adalah dengan nasal prongs. Terapi oksigen diteruskan sampai
tanda hipoksia menghilang. Jika anak gagal memberikan respon terhadap terapi
oksigen atau keadaan anak memburuk secara tiba-tiba, lakukan pemeriksaan foto
dada untuk melihat kemungkinan pneumotoraks.13

18

2.2
2.2.1

Terapi Oksigen
Definisi Terapi Oksigen

Terapi oksigen adalah pemberian oksigen pada konsentrasi di atas kadar oksigen udara
bebas (21%) untuk mengatasi dan mencegah gejala dan menifestasi hipoksia.25

2.2.2

Indikasi Terapi Oksigen

Rekomendasi pemberian terapi oksigen menurut American College of Chest Physician


adalah pada keadaan cardiac-respiratory arrest, hipoksemia (PaO2 <60 mmHg, SaO2
<90%, hipotensi (tekanan darah sistolik <100mmHg), curah jantung rendah dan asidosis
metabolik (bikarbonat <18 mmol/l), distress respirasi.24
Berdasarkan pedoman terbaru dari Pediatric advance life support (PALS)
suplementasi oksigen dengan konsentrasi tinggi dapat dijadikan terapi awal pada kondisi
kegawatan kardiorespirasi dan menjaga saturasi oksigen >94% untuk sebagian besar
situasi klinis setelah sirkulasi kembali spontan. Hipoksia dapat merupakan efek dari
berbagai kondisi akut seperti anemia berat, sepsis berat, trauma berat, intervensi bedah
dan anestesi. Semua keadaan tersebut membutuhkan terapi oksigen karena hipoksia
jaringan meskipun PaO2 yang normal/atau dikenal dengan normoxemic hypoxia. Terapi
oksigen juga harus dipertimbangkan pada beberapa kasus seperti kegagalan pernapasan
kronis dan penyakit jantung bawaan.26
Kondisi klinis lain, seperti kejang berkepanjangan, koma, masalah neurologis,
juga dapat dikaitkan dengan hipoksemia akibat terhambat napas atau gangguan usaha
ventilasi. Bayi usia <2 bulan dengan tanda-tanda kesulitan pernapasan harus selalu
diberikan oksigen, karena hipoksemia meningkatkan risiko mereka untuk apnea dan
kematian. Oksigen diberikan terus-menerus sampai saturasi normal dipertahankan tanpa
oksigen.27

2.2.3

Tujuan Terapi Oksigen

Tujuan pemberian terapi oksigen adalah mengatasi hipoksemia, mengurangi usaha napas
dalam mempertahankan tekanan oksigen alveolar dan penurunan kerja miokardium dalam
mempertahankan tekanan oksigen arteri.27

2.2.4

Teknik Pemberian Oksigen28,29

Pada anak yang bernapas spontan, oksigen dapat diberikan dengan berbagai cara
tergantung keadaan klinik dan kebutuhan konsentrasi oksigen. Alat pemberian oksigen
dibedakan antara sistem aliran rendah (low flow) dan aliran tinggi (high flow). Pada
sistem aliran rendah, udara terpakai karena aliran oksigen tidak cukup untuk memenuhi

19

aliran udara inspirasi, sementara pada sistem aliran tinggi, aliran oksigen dan kapasitas
reservoir cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan aliran udara inspirasi. Sistem aliran
rendah akan memberikan konsentrasi oksigen 23-60%, sedangkan sistem aliran tinggi
akan meberikan konsentrasi oksigen sesuai dengan konsentrasi yang diatur baik rendah
ataupun tinggi.

2.2.5

Sistem Aliran Rendah 28,29

Alat oksigen aliran rendah cocok untuk pasien stabil dengan pola napas, frekuensi dan
volume ventilasi normal.
a)

Nasal Prong

Gambar 1. Nasal Prong29


Nasal prong atau kanula nasal adalah pipa pendek yang dimasukkan ke dalam cuping
hidung (sekitar 1 cm). Laju aliran standar melalui cabang nasal adalah 0,5-1 L / min
untuk neonatus, 1-2 L / menit untuk bayi, 1-4 L / menit untuk anak-anak. Konsentrasi

20

oksigen yang dapat dialirkan adalah 24-40%. Aliran oksigen lebih dari 4 L per menit akan
menyebabkan ketidaknyamanan (iritasi dan dermatitis).
Keuntungannya adalah pemasangannya mudah, nyaman untuk pemakaian jangka
panjang, dan lebih cost effective, tidak berisiko menyebabkan distensi lambung. Anak
bebas makan, minum, bergerak, dan berbicara. Kerugiannya tidak dapat memberikan
konsentrasi oksigen lebih dari 40%,.Suplai oksigen berkurang bila anak bernapas melalui
mulut, mudah lepas karena kedalaman kanul hanya 1/1.5 cm, tidak dapat diberikan pada
pasien dengan obstruksi nasal. Dapat menyebabkan

mukosa hidung kering dan

mengiritasi hidung.
b)

Kateter Nasal
Gambar 2. Nasal
Kateter29
Kateter
atau

berukuran
8

FG

yang

dimasukkan ke dalam
satu

lubang

hidung

sampai ke daerah faring. Kateter ditempatkan dengan jarak dari sisi cuping hidung hingga
ke bagian tepi dalam dari alis anak. Dapat memberikan oksigen secara kontinu dengan
aliran 1 6 liter/menit dengan konsentrasi 24% - 45%. Kateter dapat tersumbat oleh
lendir, yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas atas. Alat ini tidak dianjurkan
karena tidak lebih unggul dari kanul oksigen. Pemasangannya juga lebih sulit dari pada
kanula nasal. Fiksasi kateter akan memberi tekanan pada lubang hidung, sehingga kateter
harus diganti tiap 8 jam. Insersi yang sangat dalam dapat menimbulkan sumbatan aliran
udara dan distensi lambung.
c)

Kateter Nasofaring
Gambar 3.
Kateter
Nasofaring27
Merupakan
suatu

21

alat

sederhana berupa kateter hidung tipis atau pipa fleksibel ukuran 6 atau 8 FG dimasukkan
ke dalam faring tepat di bawah uvula. Jika alat ini diletakkan terlalu ke bawah, anak dapat
tersedak, muntah dan kadang-kadang dapat timbul distensi lambung. Pemberian aliran
oksigen sebanyak 12 liter/menit, yang memberikan kadar-oksigen inspirasi 45-60%.
Perlu diperhatikan kecepatan aliran tidak berlebih karena dapat menimbulkan risiko
distensi lambung. Perlu dilakukan pelembapan. Lepaskan serta bersihkan prongs atau
kateter sedikitnya dua kali sehari.
d)

Sungkup Oksigen (Simple Oxygen Mask)

Gambar 4. Sungkup Oksigen Sederhana30


Sungkup oksigen biasa akan memberikan oksigen dengan konsentrasi 40-60% dengan
aliran 5-6 sampai 7-8 Liter/menit. Karena sistem ini menggunakan udara ruangan, aliran
oksigen harus diberikan sedikitnya 6 L/menit untuk mendapat konsentrasi oksigen yang
diinginkan dan mencegah CO2 dihisap kembali.
Sungkup digunakan jika dibutuhkan oksigen tingkat sedang (0,35-0,50, tergantung
ukuran dan minute ventilation) dan untuk jangka pendek (misalnya selama tindakan,
untuk transport, keadaan darurat). Digunakan untuk konsentrasi oksigen rendah sampai
sedang. Masker ini dikontraindikasi pada pasien dengan retensi karbondioksida karena
akan memperburuk retensi. Aliran O2 tidak boleh kurang dari 5 liter/menit untuk
mendorong CO2 keluar dari masker.
Keuntungan sungkup muka sederhana adalah konsentrasi oksigen yang dapat
diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal. Sistem humidifikasi dapat
ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlubang besar. Sedangkan kerugian metode ini
adalah dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.. Tidak memberikan rasa
nyaman pada sebagian besar anak, tidak memungkinkan anak untuk makan, bicara, dan
batuk.Bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah.

22

e. Sungkup Muka dengan Kantong Rebreathing (Rebreathing Mask)

Gambar 5. Sungkup muka dengan kantong rebreathing30


Suatu teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi yaitu 40 70% dengan aliran
6 10 liter/menit , serta dapat meningkatkan nilai PaCO2. Udara ekspirasi sebagian
tercampur dengan udara inspirasi, sesuai dengan aliran O2, kantong akan terisi saat
ekspirasi dan hampir menguncup waktu inspirasi. Sebelum dipasang ke pasien isi O2 ke
dalam kantong dengan cara menutup lubang antara kantong dengan sungkup minimal 2/3
bagian kantong reservoir.
Keuntungan sungkup muka dengan kantong rebreathing adalah konsentrasi
oksigen yang diberikan lebih tinggi dari sungkup muka sederhana dan tidak

23

mengeringkan

selaput lendir. Sedangkan kerugiannya yaitu tidak dapat memberikan

oksigen konsentrasi rendah, kantong oksigen bisa terlipat atau terputar atau mengempes,
apabila ini terjadi dan aliran yang rendah dapat menyebabkan pasien akan menghirup
sejumlah besar karbondioksida. Pasien tidak memungkinkan makan minum atau batuk,
bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah.

24

f.

Sungkup Muka dengan Kantong Non Rebreathing (Non Rebreathing Mask)

Gambar 6. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing30


Teknik sungkup muka dengan kantong non rebreathing merupakan pemberian oksigen
dengan konsentrasi oksigen yang paling tinggi mencapai 60-80% dengan aliran 10 15
liter/mnt. Pada prinsipnya udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi, udara
ekspirasi dikeluarkan langsung ke atmosfer melalui satu atau lebih katup, sehingga dalam
kantong konsentrasi oksigen menjadi tinggi.
Keuntungannya konsentrasi oksigen yang diperoleh dapat mencapai 95%, tidak
mengeringkan selaput lendir. Biasanya efektif untuk mengatasi hipoksia berat.
Kerugiannya adalah mahal, tidak memungkinkan makan, minum atau batuk, bisa terjadi

25

aspirasi bila pasien muntah terutama pada pasien tidak sadar dan anak-anak. Tidak
dianjurkan untuk pengunaan jangka panjang.

2.2.6

Sistem Aliran Tinggi 28,29

Sistem aliran tinggi adalah memberikan aliran dengan frekuensi cukup tinggi untuk
memberikan 2 atau 3 kali volume inspirasi pasien. Suatu teknik pemberian oksigen
dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe pernapasan pasien, suhu dan
kelembabannys dapat dikontrol, dan FiO2 yang diberikan mudah dan dapat diukur,
sehingga dengan teknik ini dapat menambahkan konsentrasi oksigen yang lebih tepat dan
teratur.
Contoh sistem aliran tinggi adalah sebagai berikut:

26

a)

Sungkup Muka dengan Venturi / Masker Venturi (High Flow Concentration).

Gambar 7. Masker Venturi30


Merupakan metode yang paling akurat dan dapat diandalkan untuk konsentrasi yang tepat
melalui cara non invasif. Masker dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan aliran

27

udara ruangan bercampur dengan aliran oksigen yang telah ditetapkan. Metode ini
memungkinkan konsentrasi oksigen yang konstan untuk dihirup yang tidak tergantung
pada kedalaman dan kecepatan pernapasan. Konsentrasi oksigen yang dapat dberikan
yaitu antara 24-50%.
Keuntungan masker venturi yaitu konsentrasi oksigen yang diberikan konstan /
tepat sesuai dengan petunjuk pada alat. FiO2 tidak dipengaruhi oleh pola ventilasi, serta
dapat diukur dengan O2 analiser. Tidak terjadi penumpukan CO2, serta mudah dalam
penggunaan. Kerugiannya adalah kurang nyaman dalam penggunaan, mahal, dan tidak
memungkinkan makan atau batuk, masker harus dilepaskan bila pasien makan, minum,
atau minum obat.

28

Tabel 2.3 Hubungan antara besar aliran udara (flow) dan konsentrasi O2 inspirasi (FiO2)

Teknik
pemberian

Flow
(L/menit)

FiO2

Keterangan

Komplikasi

Sistem low flow


Kanul oksigen

1-6

24-40%

Memberikan 4%/L,
nyaman, baik untuk %
rendah, murah, pasien
dapat akan dan bicara

FiO2menurun jika VE meningkat


butuh patensi nasal, kering bila
flow>4L/menit, mudah lepas dan
iritasi

Kateter nasal

1-6

24-45%

Sama dengan kanul


oksigen

Sama dengan kanul oksigen,


ditambah harus digati tiap 8 jam,
mudah tersumbat, distensi
abdomen

Sungkup
oksigen

5-10

35-50%

Memberikan 4%/L,
FiO2 bervariasi,
panas/tidak nyaman,
mangganggu
makan/bicara

Butuh minimal 5 L/menit untuk


menghilangkan CO2 dari amsker,
iritasi kulit>>, % kurang rendah
untuk PPOM

Partial
rebreathing
mask

6-10

40-70%

Memberi % tinggi sama


seperti sungkup oksigen
FiO2bervariasi

Flow harus cukup supaya


kantong reservoir> 1/3-1/2
penuh saat inspirasi

Non
rebreathing
mask

10

60-80%

Sama dengan partial


rebreathing mask

Sama dengan partial rebreathing


mask

Sistem high flow


Sungkup
venturi

Bervriasi

24-50%

Konsentrasi O2 tepat,
dapat digunakan
untuk pemberian
aerososl, alat pilihan
untuk pasien yang
perlu O2
O2%

Port mudah tersumbat

Rasio
udara/O2

O 2%

24%
28%
30%
35%
40%

25/l
10/l
8/l
5/l
3/l

50%
60%
70%
80%

Rasio
udara/O
2

29

1,7/l
1/l
0,6/l
0,3/l

2.2.7

Pedoman Klinis Pemberian Terapi Oksigen25

Pada keadaan sakit akut, oksigen diberikan sebagai bagian dari usaha untuk
mempertahankan bebasnya jalan napas. Pada keadaan henti jantung, distres pernapasan
atau hipotensi, dosis oksigen diberikan secara empiris, selanjutnya segera lakukan
pemeriksaan analisis gas darah untuk menilai derajat hipoksemia, tekanan parsial CO 2
(PaCO2), dan status asam basa.
Untuk memilih jenis alat yang akan dipakai dalam terapi oksigen perlu dipertimbangkan
faktor sebagai berikut: (a) kenyamanan pasien, (b) FiO 2 yang diinginkan, (c) perlu
tidaknya pengontrolan FiO2, dan (d) perlu tidaknya gas inspirasi dilembabkan. 25
Tabel 2.4 Petunjuk dosis awal pemberian oksigen25
FiO2 (%)
Henti jantung dan napas
Hipoksemia dengan PaCO2 < 40 mmHg
Hipoksemia dengan PaCO2 > 40 mmHg

100
40-60
Mulai dari 24

Tabel 2.5 Indikasi pemberian oksigen berdasarkan perlu tidaknya kontrol FiO 225
Tidak memerlukan terapi
oksigen terkontrol

Asma
Pneumonia
Bronkiolitis
Distres pernapasan
Henti jantung dan napas
Emboli paru
Syok
Septik
Hipovolemik
Gagal jantung
Infark miokardium
Intoksikasi karbon monoksida
Penyakit paru obstruktif kronis
Bayi premature

Memerlukan terapi oksigen terkontrol

2.2.8

Pemantauan Terapi Oksigen26

Untuk menilai apakah terapi oksigen sudah adekuat dan efektif diperlukan pemantauan
klinis dan laboratorium yang teliti. Pemantauan terus menerus dari oksigenasi selama
terapi oksigen sangat direkomendasikan. Pemantauan klinis termasuk observasi tingkat
kesadaran, pemantauan kardiorespirasi seperti laju pernapasan, pola pernapasan, warna
kulit dan mukosa, frekuensi nadi, dan lain-lain. Pulse oximetry (SpO2) adalah yang paling
umum digunakan sebagai teknik non-invasif, Pemantauan SpO 2 juga dapat dilakukan

30

secara berkala dengan standar emas pemeriksaan PaO2 dan SaO 2 dari gas darah arteri
untuk menilai oksigenasi jaringan.
Jika memungkinkan, lakukan pemeriksaan PaO 2 dan saturasi sebelum pemberian
terapi oksigen. Setelah dilakukan terapi oksigen, pemeriksaan gas darah atau oksimeter
harus diulang untuk menentukan FiO2 yang akan diberikan untuk mencapai PaO 2 > 59
mm Hg atau SaO2 > 90%. Oksimetri dapat memantau saturasi oksigen secara
berkesinambungan dan sangat bermanfaat apabila analisis gas darah sukar diperiksa atau
tidak tersedia.26

2.2.9

Kontra kasi Pemberian Terapi Oksigen30

Tidak ada kontraindikasi spesifik jika terdapat indikasi pemberian oksigen. Kanul oksigen
dan kateter nasal tidak boleh diberikan pada pasien dengan obstruksi nasal (misalnya
polip nasal, choanal atresia, dll). Kateter nasal tidak boleh diberikan pada pasien dengan
trauma maksilofasial, pasien dengan atau dicurigai fraktur basis crania, atau terdapat
gangguan koagulasi. Tujuan terapi oksigen adalah untuk mencapai oksigenasi jaringan
yang memadai menggunakan FiO2 serendah mungkin. Beberapa cacat jantung bawaan
dapat menyebabkan sirkulasi yang tidak seimbang menjadi lebih buruk oleh pemberian
oksigen karena paru mengalami vasodilatasi dan iskemia.

2.2.10 Risiko Terapi Oksigen28


Salah satu risiko terapi oksigen adalah keracunan oksigen. Hal ini dapat terjadi bila
oksigen diberikan dengan fraksi lebih dari 50% terus-menerus selama 1-2 hari. Kerusakan
jaringan paru terjadi akibat terbentuknya metabolik oksigen yang merangsang sel PMN
dan H2O2 untuk melepaskan enzim proteolotik dan enzim lisosom yang dapat merusak
alveoli. Sedangkan risiko yang lain seperti retensi gas karbondioksida dan atelektasis.
Apabila oksigen 80-100% diberikan kepada manusia selama 8 jam atau lebih, saluran
pernapasan akan teriritasi, menimbulkan distres substernal, kongesti hidung, nyeri
tenggorokan dan batuk. Pemajanan selama 24-48 jam mengakibatkan kerusakan jaringan
paru.
Sejumlah bayi dengan sindroma gawat napas yang diterapi dengan O 2, selanjutnya
mengalami gangguan menahun yang ditandai dengan kista dan pemadatan jaringan paru
(displasia bronkopulmonal). Pemberian Oksigen 100% pada tekanan yang lebih tinggi
berakibat tidak hanya iritasi trakeobronkial, telinga mendenging, rasa pening, kejang dan
koma. Pajanan terhadap O2 tekanan tinggi (oksigenasi hiperbarik) dapat menghasilkan
peningkastan jumlah O2 terlarut dalam darah.

31

2.2.11 Lama pemberian oksigen 27


Pemberian oksigen dilanjutkan hingga anak mampu menjaga nilai saturasi
oksigen (SaO2) > 90% pada suhu ruangan. Bila anak sudah stabil dan membaik,
lepaskan oksigen selama beberapa menit. Jika nilai SaO2 tetap berada di atas 90%
hentikan pemberian oksigen, namun periksa kembali setengah jam kemudian dan
setiap 3 jam berikutnya pada hari pertama penghentian pemberian oksigen untuk
memastikan anak benar-benar stabil. Bila pulse oxymetry tidak tersedia, lama
waktu pemberian oksigen dapat dipandu melalui tanda klinis yang timbul pada
anak, walaupun hal ini tidak begitu dapat diandalkan.

32

BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.
2.

Gagal nafas merupakan masalah utama kegawatdaruratan pada anak.


Gagal nafas ditandai dengan takipnea, nafas cuping hidung, retraksi

3.

interkostal, sianosis dan apnea.


Penyebab gagal nafas pada anak antara lain: ARDS, bronkiolitis, sindrom

4.
5.
6.

croup, bronkopneumonia, abses retrofaring, difteri serta asma bronkial.


Salah satu tatalaksana awal dari gagal nafas pada anak adalah terapi oksigen.
Pemberian terapi oksigen pada anak bila SpO2 < 94%.
Semua anak dengan wheezing dan distress pernafasan berat diberikan

7.
8.

oksigen
Hipoksia merupakan indikasi utama pemberian terapi oksigen.
Terapi oksigen juga harus dipertimbangkan pada beberapa kasus seperti
kegagalan pernapasan kronis dan penyakit jantung bawaan shunt kiri ke
kanan yang besar
Indikasi klinis pemberian terapi oksigen yaitu: sianosis sentral, penurunan

9.

kesadaran, tidak ada respon atau hanya respon terhadap rangsangan nyeri,
merintih pada setiap nafas, nasal flaring, konjungtiva pucat dengan tarikan
dinding dada atau nafas cepat, koma akut atau kejang > 15 menit,
ketidakmampuan untuk makan atau minum, tarikan dinding dada, frekuensi
pernafasan 70 kali per menit, dan head nodding.
10. Terapi oksigen dipantau berdasarkan klinis dan hasil laboratorium.
Pemantauan klinis dapat dilihat dari tingkat kesadaran, pemantauan
kardiorespirasi seperti laju pernapasan, pola pernapasan, warna kulit dan
mukosa, serta frekuensi nadi. Pemantauan laboratorium dilihat dari PaO2 dan
SaO2 dari analisis gas darah.
11. Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk terapi oksigen.
12. Salah satu risiko terapi oksigen adalah keracunan oksigen.

3.2. Saran

Penatalaksanaan kasus gawat darurat respirasi secara cepat dan tepat dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas pada anak

33

DAFTAR PUSTAKA

1. Mahajan P, Btra P, Shah BR, Saha A, Galwankar S, Anggrawal P,

et al. The 2015 academic college of emergency experts in India's


INDO-US joint working group white paper on establishing an
academic department and training pediatric emergency
medicine specialists in India. NCBI. 2015; 5(4): 24755

2. Pujiadi Ah, Latief A. Buku ajar Pediatri Gawat Darurat. Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI). 2013. 54-62
3. WHO. Pneumonia In pediatric. WHO. 2015
4. WHO. Oxygen therapy for children. WHO. 2016:1-7
5. Rohsiswatmo R. Terapi oksigen pada neonatus.

Divisi
Perinatologi Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM FKUI RSCM.
2010: 55-60
6. UKK Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
nasional asma Anak. Jakarta. Sari Pediatri. Vol.2 No.1. 2000.
7. Nasional Clinical Program for Asthma. Emergency pediatric
asthma guideline. Royal College of Physicians of Ireand. 2013
8. Jones BP, Paul A. Management of acute Asthma in the pediatric
patient: An evidenc-based review. EB Medicine. 2013
9. Global Initiative for Asthma. Pocket guide for asthma
management and prevention. 2015
10. National Asthma Council. Infants and children acute
management of asthma. North Sidney. NSW Ministry of Health.
2012
11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Modul tatalaksana
standar pneumonia. 2012
12. World Health Organization. Pocket book of hospital care for
children guidelines for The management of common childhood
illnesses- 2nd ed. 2013.96-9
13. Bjornson CL, Johnson DW. Croup in children. Canadian Medical
Association Journal. 2013; 185(15): 131723.

14. Strange GR, Ahrens WR, Schafermeyer RW, Wiebe R. Pediatric


emergencymedicine,3rdedition.McGrawHillCompanies2009;7478.
15. MacasseyE,DawesPJD.Peritonsillarabscess.TheNewZealandEdical
Journal2011;124:1336
16. BrownNK,HultenKG,MasonEO,KaplanSL.Staphylococcusaureus
retropharyngeal abscess in children. The Pediatric Infectious Disease
Journal.2015;34(4):4546.
17. BraudeDA,ShalitM.Anovelapproachtoenchancevisualizationduring
drainage of peritonsillar abscess. The Journal of Emergency Medicine
200;35:2978.
18. Lehnerdt G, Senska K. Bilateral peritonsillar abscesses. Eur Arc Otol.
2005;262:5735.

34

19. Sharma S. Pediatric retropharyngeal abscess. Global Journal of


Otolaryngology.2016;01(5):13
20. Brown Colin. Public Health Control and Management of
Diphtheria (in English and Wales).Public Health England.
2015;01;16-9
21. Pudjiadi Antonius H, Abdul Latief. Tatalaksana Gawat Napas di
Ruang Gawat Darurat dalam Buku Ajar Pediatric Gawat Darurat.
Cetakan Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2008:82-91.
22. Soedarmo SSP, Herry G, Sri RSH, dan Hindra Irawan Safari. Buku
Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Edisi 2. 2008: 318-9
23. L Shawn, Allan SL, Cody M, Brian KA, Jill EB, Anne MG, et al.
Clinical Practice Guideline: The Diagnosis, Management and
Prevention
of
Bronchiolitis.
American
Academy
of
Pediatrics.2014;134:1474-502
24. Pudjiadi AH, Abdul L, Novik B. Terapi Oksiden dalam Buku Ajar
Pediatri Gawat Darurat. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2013. 5462

25. HaqueA,RizviM,ArifF.PediatricOxygentherapy:aclinicalupdate.
2016;28(3):63034
26. WorldHealthOrganization.Oxygentherapyforchildren.2016.
27. Jindal.Oxygentherapy:importantconsiderations.2008;50:97107
28. Rahajoe NN, Bambang S, Darmawan BS. Prosedur Tindakan pada
Penyakit Respiratorik dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia 2010:613-17

29. SinghCP,NachhattarS,JagrajS,GurmeetKB,GagandeepS.Emergency
medicine:OxygenTherapy.2011;2(3):17984
30. ThomsonL,Guidelinefortheprescriptionandadministrationofoxygenin
children.2014

35

Anda mungkin juga menyukai