Oleh
0910311021
1110312118
1110313020
1110313080
Rosintchi Mirsal
1110312074
Felicia Octofinna
1210313069
Istiya Putri
1210313053
Atikah Ramadhani
1210313079
1110313014
Residen Pmbimbing
Dr. Handre Putra
Preseptor
Dr Mayetti, Sp.A (K)
Dr. Indra Ihsan, Sp.A (K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2016
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang..........................................................................................4
1.2.
Batasan Masalah........................................................................................5
1.3.
Tujuan Penulisan.......................................................................................5
1.4.
Manfaat Penulisan.....................................................................................5
2.1.1
Asma Bronkial...................................................................................6
2.1.2
Pneumonia..........................................................................................9
2.1.3
Sindrom Croup.................................................................................10
2.1.4
Abses Peritonsil................................................................................11
2.1.5
Abses Retrofaring............................................................................13
2.1.6
Difteri...............................................................................................14
2.1.7
Bronkiolitis.......................................................................................15
2.2
Terapi Oksigen........................................................................................17
2.2.1
2.2.2
2.2.3
2.2.4
2.2.5
2.2.6
2.2.7
2.2.8
2.2.9
2.2.10
2.2.11
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan..................................................................................................28
3.2. Saran............................................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
abses
retrofaring,
difteri,
asma
bronkial
dan
penyakit lainnya.1,2
Menurut WHO tahun 2015, terdapat 6,6 juta kasus kematian pada anak
dibawah usia 5 tahun akibat gagal napas. Dua pertiga dari kasus gagal napas
terjadi pada anak usia <1 tahun dan setengahnya terjadi pada masa neonatus. Hal
ini disebabkan karena organ-organ pernapasan yang belum matang .3
Gagal napas pada anak menyebabkan penurunan oksigen dalam darah
(hipoksemia) sehingga oksigen tidak cukup untuk menyuplai ke dalam jaringan
(hipoksia). Kekurangan oksigen dapat menyebabkan disfungsi sistem organ dan
kematian sel. Oleh karena itu, hipoksia dan hipoksemia adalah kondisi yang
mengancam jiwa yang memerlukan deteksi dini dan tatalaksana segera.4
Salah satu tatalaksana awal gagal napas pada anak yang penting adalah
dengan menggunakan terapi oksigen. Terapi oksigen merupakan suatu tindakan
untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen pada inspirasi, dengan cara
meningkatkan kadar oksigen inspirasi/fraksi oksigen (FiO2) (Orthobarik) atau
meningkatkan tekanan oksigen (Hiperbarik). Tujuan terapi oksigen ini adalah
mengatasi hipoksemia, menurunkan usaha napas, dan mengurangi kerja dari
miokardium. Terapi oksigen dapat dilakukan pada anak apabila saturasi oksigen di
dalam darah (SpO2) <94%.4,5
Pada prinsipnya, dalam penggunaan terapi oksigen pada anak dibutuhkan
keahlian dan pemahaman khusus tentang fungsi dan manfaat alat-alat terapi
oksigen. Oleh karena itu, penulis tertarik membuat referat dengan judul
Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka didapatkan batasan masalah yang akan dibahas
pada referat ini, yaitu mengenai diagnosis dan tatalaksana kegawatan respirasi
pada anak dan terapi oksigen.
1.3.
Tujuan Penulisan
2.
1.4.
Manfaat Penulisan
1.
2.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Kegawadaruratan Pernapasan
2.1.1
Asma Bronkial
Asma bronkial adalah kelainan yang ditandai dengan inflamasi kronis pada
saluran
pernapasan.
Diagnosis
ditegakan
berdasarakan
anamnesis
dan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis didapatkan data mengenai gejala batuk dan
atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari
(nokturnal atau morning drip), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya
riwayat atopi pada pasien atau keluarga.6 Anak dengan asma biasanya memiliki
lebih dari satu gejala tersebut dan beberapa gejala mungkin muncul pada waktu
yang berbeda dan dalam intensitas yang berbeda. Perjalanan klinis, pengobatan
yang telah diberikan (reliever dan controler), penggunaan steroid sistemik dan
penggunaan steroid selama setahun terakhir, faktor pencetus (termasuk infeksi
saluran repirasi atas, alergi, perokok pasif) juga perlu diketahui. Riwayat keluarga
dengan asma, rinitis alergi, eksema dan merokok mendukung diagnosis. 7,8,9,10
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital mampu memberikan informasi tentang
status respirasi. Anak dengan eksaserbasi akut yang berat memberikan gambaran
takipnea dan takikardia. Penggunaan Pediatric assesment measure (PRAM) dan
Acute asthma intensity research score (AAIRS) dapat digunakan untuk sistem
skoring yang mudah digunakan.8 Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan retraksi
dinding dada (infraklavikula maupun supraklavikula) yang menggambarkan
Forced expiratory volume (FEV1) atau volume ekspirasi paksa dalam satu menit
<50% dan merupakan suatu tanda bahaya akan keadaan yang lebih berat. Pada
Auskultasi, didapatkan wheezing pada ekspirasi atau wheezing bifasik. Silent
chest merupakan tanda obstruksi yang hebat.8
Pada anak lebih dari 6 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan faal paru. Uji
fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap
dengan spirometer. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai penunjang untuk
menegakkan diagnosis asma jika didapatkan 11:
bronkodilator.
Penurunan 15% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
PFR atau FEV dapat digunakan untuk memantau gejala dan penting namun
belum sering digunakan karena bukan hanya berfungsi untuk diagnosis namun
dapat digunakan untuk penilaian keberhasilan tatalaksana asma. 7,11 Pasien dengan
PFR lebih dari 70% diklasifikasikan pada eksaserbasi ringan, 40%-60%
diklasifikasikan pada eksaserbasi sedang dan >70% diklasifikasikan pada
eksaserbasi berat.6
2.1.1.1 Tatalaksana
Prinsip utama penenganan asma adalah mengendalikan gejala dan mengurangi
risiko kegawatan.4 Penanganan awal terhadap pasien asma adalah -agonis secara
nebulisasi. Garam fisiologis dan mukolitik dapat ditambahkan dalam cairan
nebulisasi. Nebulisasi dapat diulangi dua kali dengan selang 20 menit. Pada
pemberian ketiga dapat diberikan antikolinergik. Penanganan awal ini dapat juga
dijadikan sebagai penapis untuk menentukan derajat asma11.
Prinsip penatalaksanaan asma eksaserbasi akut adalah 9:
Nilai tingkat keparahan eksasebasi seiring dengan pemberian (short acting agonis) SABA dan oksigen. Nilai dyspnea (apakah pasien mampu berbicara
beberapa kalimat atau hanya kata), frekuensi prnapasan, nadi, saturasi oksigen
dan fungsi paru (dengan PEF).
Pertimbangkan penyebab lain dari sesak napas (misalnya gagal jantung,
disfungsi pernapasan atas, benda asing pada saluran pernapasan atau emboli
pernapasan)
Rujuk pada fasilitas yang lebih lengkap jika didapatkan gejala eksaserbasi
berat, atau pada rawatan intensif jika pasien mudah mengantuk, apatis, atau
tidak ada pergerakan dinding dada. Pada pasien ini, segera berikan inhalasi
SABA, inhalasi ipratropium bromida, oksigen dan kortikosteroid sistemik
Mulai terapi dengan pemberian SABA, kortikosteroid oral dan perhatikan
aliran oksigen. Nilai respon terapi berdasarkan gejala dan saturasi secara
berkala, dan setelah 1 jam.
2.1.2
Pneumonia
berkembang
mencapai
10-20
kasus/100
anak/tahun.
Pneumonia
menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara
berkembang. Usia pasien memberi peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi
pengobatan.
Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus
grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella
sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita, pneumonia sering disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus,
sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumoniae.2 Penyebab utama virus adalah Respiratory syncytial
virus (RSV) yang mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B,
parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus.12, 13
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara
ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil
yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga
memerlukan perawatan dirumah sakit. Dalam menentukan beratnya pneumonia
perlu diperhatikan adanya tanda bahaya (danger signs), yaitu takipnea dan tarikan
dinding dada bagian bawah ke arah dalam (retraksi epigastrik), napas cepat (umur
<2 bulan: 60 kali/menit, umur 211 bulan : 50 kali/menit, umur 1 5 tahun: 40
kali/menit, umur 5 tahun: 30 kali/menit), suara merintih (grunting) pada bayi muda,
terdapat crackles (ronki), suara pernapasan menurun, dan suara pernapasan bronkial.
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai anak tidak dapat menyusu,
minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,
distres pernapasan berat.12,13
2.1.2.1 Tatalaksana 12
Untuk tatalaksana pneumonia, dapat diberikan antibiotik oral pilihan pertama
(kotrimoksazol) bila tersedia. Obat ini dipilih karena sangat efektif, cara
pemberiannya mudah dan murah. Antibiotik pilihan kedua adalah amoksisilin
10
yang diberikan apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau pemberian obat
pilihan pertama tidak memberi hasil yang baik.
Tabel 2.1 Pemberian Antibiotik Oral 13
Umur/Berat
Badan
2-<4 bulan
4-<6 kg
4-<12 bulan
6-<10 kg
1-<3 tahun
10-<16 kb
3-<5 tahun
16-<19 kg
2.1.3
Kotrimoksazol
Amoksisilin
Tablet dewasa
80 mg TMP
400 mg SMZ
Tablet anak
20 mg TMP
100 mg SMZ
1
Sirup/5 ml
40 mg TMP
200 mg SMZ
25 ml
Kaplet
500 mg
Sirup
125 mg/5ml
5 ml
5 ml
10 ml
2,5
7,5 ml
2/3
12,5 ml
10 ml
15 ml
Sindrom Croup
Ringan
Sedang
Berat
Jarang
Sering
Sering
Stridor
Retraksi
suprasternal
dan
/
interkostal
Agitasi
kadang-kadang
ada
Ada,
terdengar
ketika sedang
beristrirahat
ada, terlihat
pada
saat
istirahat
Terdengar
ketika
insipirasi
dan ekspirasi
Berat
Letargi
Tidak
adaagitasi ringan
-
Agitasi
ringan-berat
Letargi
Sianosis
tidak ada
11
Impending respiratory
failure
sering, tetapi tidak terlalu
menonjol
terdengar saat istirahat,
tapi mungkin tenang atau
sulit untuk mendengar
ada/tidak ada
(bukan penanda)
Letargi atau penurunan
kesadaram
Sianosis tanpa pemberian
oksigen
2.1.3.1 Tatalaksana
Algoritma
tatalaksana
berdasarkan
derajat
keparahan
gangguan
12
13
2.1.4
Abses Peritonsil
Abses peritonsil (Quinsy) merupakan infeksi kepala dan leher bagian dalam yang
paling sering terjadi pada anak usia lebih dari 12 tahun. Abses ini biasanya
disebabkan infeksi bakteri aerob dan anaerob. Bakteri aerob yang paling sering
adalah Streptococcus pyogenes (Streptokokus hemolitikus grup A), sedangkan
bakteri anaerob yang paling berperan adalah Fusobacterium.15 Abses peritonsil
pada anak menyebabkan gangguan obstruksi jalan napas yang dapat menyebar ke
parafaring hingga rongga retrofaring.16
Anak yang menderita abses peritonsil biasanya mengeluhkan demam
tinggi, rasa sakit di tenggorokan, otalgia ipsilateral, trismus (sukar membuka
mulut), dan disatria. Anak mengalami kesulitan bicara, suara menjadi suara
hidung, membesar (hot potato voice). Selain itu, anak juga mengeluh mulut
berbau, nyeri menelan hebat, muntah (regurgitasi), dan ketidakmampuan menelan
ludah.15
Abses peritonsil menyebabkan derajat trismus yang bervariasi karena efek
massa dan inflamasi pada dinding faring dan otot pterigoid interna sehingga
menimbulkan spasme pada otot tersebut. Tonsil terlihat membesar, uvula
terdorong ke arah kontralateral dan adenopati servikal ipsilateral. Pernapasan
terganggu biasanya akibat pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Bila
kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak napas lebih berat. 17 Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukositosis dan terjadi peningkatan neutrofil.18
2.1.4.1 Tatalaksana
Penatalaksanaan abses peritonsil meliputi hidrasi, terapi antibiotik, insisi,
drainase, dan tonsilektomi. Needle aspiration merupakan penanganan yang paling
efektif pada 75% kasus abses peritonsil pada anak-anak, sehingga dianjurkan
sebagai terapi utama, kecuali jika terdapat riwayat tonsilitis rekuren atau abses
sebelumnya maka indikasi untuk tonsilektomi segera.15 Tonsilektomi pada abses
peritonsil dapat dilakukan pada fase akut maupun fase tenang pasca drainase (6-12
minggu pasca drainase).17 Terapi antibiotik yang digunakan adalah penisilin dan
14
sefalosporin. Penisilin dapat digunakan pada anak dengan abses peritonsil yang
diduga disebabkan oleh bakteri aerob. Klindamisin saat ini dipertimbangkan
sebagai antibiotik pilihan untuk bakteri yang memproduksi laktamase.15 Insisi
pada abses peritonsil bertujuan untuk mendapatkan drainase abses yang adekuat
dan terlokalisir secara cepat. Umumnya setelah drainase, nyeri akan segera
berkurang.19
2.1.5
Abses Retrofaring
Abses retrofaring merupakan suatu infeksi pada leher bagian dalam yang disertai
pembentukan pus pada daerah retrofaring, biasanya terjadi pada anak usia 2-6
tahun. Pada umumnya, sumber infeksi berasal dari proses infeksi di hidung,
adenoid, nasofaring, dan sinus paranasal yang menyebar ke kelenjar limfe
retrofaring.15 Penyebab tersering adalah Staphylococcus aureus dan Streptococus
hemolitikus grup A, tetapi dapat juga disebabkan oleh bakteri anaerob
(Bacteroicdes dan Veillonella) atau bakteri Gram negatif (Haemophilus
parainfluenzae dan Bartonella henselae). Sharma (2016) menemukan
infeksi
campuran
Staphylococcus
aureus,
Haemophilus
sp,
dan
15
2.1.6
Difteri
16
Tabel 2.2 Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit.23
Tipe Difteria
Difteria hidung
Difteria tonsil
Difteria faring
Difteria laring
Kombinasi
Difteria + bullneck
Terlambat berobat
dimana saja
(>72
jam),
lokasi
Dosis ADS
20.000
40.000
40.000
40.000
80.000
80.000-120.000
80.000-120.000
Cara Pemberian
i.m.
i.m. atau i.v.
i.m. atau i.v.
i.m. atau i.v.
i.v.
i.v.
i.v.
Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah inflamasi saluran napas bawah akibat infeksi virus, biasanya
mengenai bayi atau anak di bawah usia 2 tahun. Penyebab tersering adalah
respiraratory syncytial virus, tetapi dapat juga disebabkan oleh influenza virus,
parainfluenza virus dan adenovirus.22
Gejala klinis diawali dengan gejala umum infeksi virus diikuti takipnu,
takikardi, mengi, retraksi, batuk, dan ronki kasar. Bayi dengan bronkiolitis
berisiko mengalami kelelahan dan apnu. Risiko kematian lebih tinggi pada anak
dengan penyakit dasar kardiovaskuler, seperti penyakit jantung bawaan, displasia
bronkopulmonal, dan gangguan sistem imun. Manifestasi awal seringkali
menyerupai gejala flu dengan rinorhea dan kadang-kadang batuk yang kuat. Bayi
dengan bronkiolitis lebih berat seringkali datang dalam keadaan dehidrasi akibat
tidak mau minum dan kelelahan, sementara bayi berusia kurang dari 3 bulan dapat
dibawa ke rumah sakit karena apnu.
Pada pemeriksaan fisik umumnya ditemukan ronki dan mengi/wheezing.
Bronkiolitis sulit dibedakan dari asma bronkial yang terjadi pada usia muda.
17
Wheezing umumnya tidak membaik dengan tiga dosis bronkodilator kerja cepat,
ekspirasi memanjang, dan dapat disertai penurunan suara inspirasi. Pemeriksaan
analisis
18
2.2
2.2.1
Terapi Oksigen
Definisi Terapi Oksigen
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen pada konsentrasi di atas kadar oksigen udara
bebas (21%) untuk mengatasi dan mencegah gejala dan menifestasi hipoksia.25
2.2.2
2.2.3
Tujuan pemberian terapi oksigen adalah mengatasi hipoksemia, mengurangi usaha napas
dalam mempertahankan tekanan oksigen alveolar dan penurunan kerja miokardium dalam
mempertahankan tekanan oksigen arteri.27
2.2.4
Pada anak yang bernapas spontan, oksigen dapat diberikan dengan berbagai cara
tergantung keadaan klinik dan kebutuhan konsentrasi oksigen. Alat pemberian oksigen
dibedakan antara sistem aliran rendah (low flow) dan aliran tinggi (high flow). Pada
sistem aliran rendah, udara terpakai karena aliran oksigen tidak cukup untuk memenuhi
19
aliran udara inspirasi, sementara pada sistem aliran tinggi, aliran oksigen dan kapasitas
reservoir cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan aliran udara inspirasi. Sistem aliran
rendah akan memberikan konsentrasi oksigen 23-60%, sedangkan sistem aliran tinggi
akan meberikan konsentrasi oksigen sesuai dengan konsentrasi yang diatur baik rendah
ataupun tinggi.
2.2.5
Alat oksigen aliran rendah cocok untuk pasien stabil dengan pola napas, frekuensi dan
volume ventilasi normal.
a)
Nasal Prong
20
oksigen yang dapat dialirkan adalah 24-40%. Aliran oksigen lebih dari 4 L per menit akan
menyebabkan ketidaknyamanan (iritasi dan dermatitis).
Keuntungannya adalah pemasangannya mudah, nyaman untuk pemakaian jangka
panjang, dan lebih cost effective, tidak berisiko menyebabkan distensi lambung. Anak
bebas makan, minum, bergerak, dan berbicara. Kerugiannya tidak dapat memberikan
konsentrasi oksigen lebih dari 40%,.Suplai oksigen berkurang bila anak bernapas melalui
mulut, mudah lepas karena kedalaman kanul hanya 1/1.5 cm, tidak dapat diberikan pada
pasien dengan obstruksi nasal. Dapat menyebabkan
mengiritasi hidung.
b)
Kateter Nasal
Gambar 2. Nasal
Kateter29
Kateter
atau
berukuran
8
FG
yang
dimasukkan ke dalam
satu
lubang
hidung
sampai ke daerah faring. Kateter ditempatkan dengan jarak dari sisi cuping hidung hingga
ke bagian tepi dalam dari alis anak. Dapat memberikan oksigen secara kontinu dengan
aliran 1 6 liter/menit dengan konsentrasi 24% - 45%. Kateter dapat tersumbat oleh
lendir, yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas atas. Alat ini tidak dianjurkan
karena tidak lebih unggul dari kanul oksigen. Pemasangannya juga lebih sulit dari pada
kanula nasal. Fiksasi kateter akan memberi tekanan pada lubang hidung, sehingga kateter
harus diganti tiap 8 jam. Insersi yang sangat dalam dapat menimbulkan sumbatan aliran
udara dan distensi lambung.
c)
Kateter Nasofaring
Gambar 3.
Kateter
Nasofaring27
Merupakan
suatu
21
alat
sederhana berupa kateter hidung tipis atau pipa fleksibel ukuran 6 atau 8 FG dimasukkan
ke dalam faring tepat di bawah uvula. Jika alat ini diletakkan terlalu ke bawah, anak dapat
tersedak, muntah dan kadang-kadang dapat timbul distensi lambung. Pemberian aliran
oksigen sebanyak 12 liter/menit, yang memberikan kadar-oksigen inspirasi 45-60%.
Perlu diperhatikan kecepatan aliran tidak berlebih karena dapat menimbulkan risiko
distensi lambung. Perlu dilakukan pelembapan. Lepaskan serta bersihkan prongs atau
kateter sedikitnya dua kali sehari.
d)
22
23
mengeringkan
oksigen konsentrasi rendah, kantong oksigen bisa terlipat atau terputar atau mengempes,
apabila ini terjadi dan aliran yang rendah dapat menyebabkan pasien akan menghirup
sejumlah besar karbondioksida. Pasien tidak memungkinkan makan minum atau batuk,
bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah.
24
f.
25
aspirasi bila pasien muntah terutama pada pasien tidak sadar dan anak-anak. Tidak
dianjurkan untuk pengunaan jangka panjang.
2.2.6
Sistem aliran tinggi adalah memberikan aliran dengan frekuensi cukup tinggi untuk
memberikan 2 atau 3 kali volume inspirasi pasien. Suatu teknik pemberian oksigen
dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe pernapasan pasien, suhu dan
kelembabannys dapat dikontrol, dan FiO2 yang diberikan mudah dan dapat diukur,
sehingga dengan teknik ini dapat menambahkan konsentrasi oksigen yang lebih tepat dan
teratur.
Contoh sistem aliran tinggi adalah sebagai berikut:
26
a)
27
udara ruangan bercampur dengan aliran oksigen yang telah ditetapkan. Metode ini
memungkinkan konsentrasi oksigen yang konstan untuk dihirup yang tidak tergantung
pada kedalaman dan kecepatan pernapasan. Konsentrasi oksigen yang dapat dberikan
yaitu antara 24-50%.
Keuntungan masker venturi yaitu konsentrasi oksigen yang diberikan konstan /
tepat sesuai dengan petunjuk pada alat. FiO2 tidak dipengaruhi oleh pola ventilasi, serta
dapat diukur dengan O2 analiser. Tidak terjadi penumpukan CO2, serta mudah dalam
penggunaan. Kerugiannya adalah kurang nyaman dalam penggunaan, mahal, dan tidak
memungkinkan makan atau batuk, masker harus dilepaskan bila pasien makan, minum,
atau minum obat.
28
Tabel 2.3 Hubungan antara besar aliran udara (flow) dan konsentrasi O2 inspirasi (FiO2)
Teknik
pemberian
Flow
(L/menit)
FiO2
Keterangan
Komplikasi
1-6
24-40%
Memberikan 4%/L,
nyaman, baik untuk %
rendah, murah, pasien
dapat akan dan bicara
Kateter nasal
1-6
24-45%
Sungkup
oksigen
5-10
35-50%
Memberikan 4%/L,
FiO2 bervariasi,
panas/tidak nyaman,
mangganggu
makan/bicara
Partial
rebreathing
mask
6-10
40-70%
Non
rebreathing
mask
10
60-80%
Bervriasi
24-50%
Konsentrasi O2 tepat,
dapat digunakan
untuk pemberian
aerososl, alat pilihan
untuk pasien yang
perlu O2
O2%
Rasio
udara/O2
O 2%
24%
28%
30%
35%
40%
25/l
10/l
8/l
5/l
3/l
50%
60%
70%
80%
Rasio
udara/O
2
29
1,7/l
1/l
0,6/l
0,3/l
2.2.7
Pada keadaan sakit akut, oksigen diberikan sebagai bagian dari usaha untuk
mempertahankan bebasnya jalan napas. Pada keadaan henti jantung, distres pernapasan
atau hipotensi, dosis oksigen diberikan secara empiris, selanjutnya segera lakukan
pemeriksaan analisis gas darah untuk menilai derajat hipoksemia, tekanan parsial CO 2
(PaCO2), dan status asam basa.
Untuk memilih jenis alat yang akan dipakai dalam terapi oksigen perlu dipertimbangkan
faktor sebagai berikut: (a) kenyamanan pasien, (b) FiO 2 yang diinginkan, (c) perlu
tidaknya pengontrolan FiO2, dan (d) perlu tidaknya gas inspirasi dilembabkan. 25
Tabel 2.4 Petunjuk dosis awal pemberian oksigen25
FiO2 (%)
Henti jantung dan napas
Hipoksemia dengan PaCO2 < 40 mmHg
Hipoksemia dengan PaCO2 > 40 mmHg
100
40-60
Mulai dari 24
Tabel 2.5 Indikasi pemberian oksigen berdasarkan perlu tidaknya kontrol FiO 225
Tidak memerlukan terapi
oksigen terkontrol
Asma
Pneumonia
Bronkiolitis
Distres pernapasan
Henti jantung dan napas
Emboli paru
Syok
Septik
Hipovolemik
Gagal jantung
Infark miokardium
Intoksikasi karbon monoksida
Penyakit paru obstruktif kronis
Bayi premature
2.2.8
Untuk menilai apakah terapi oksigen sudah adekuat dan efektif diperlukan pemantauan
klinis dan laboratorium yang teliti. Pemantauan terus menerus dari oksigenasi selama
terapi oksigen sangat direkomendasikan. Pemantauan klinis termasuk observasi tingkat
kesadaran, pemantauan kardiorespirasi seperti laju pernapasan, pola pernapasan, warna
kulit dan mukosa, frekuensi nadi, dan lain-lain. Pulse oximetry (SpO2) adalah yang paling
umum digunakan sebagai teknik non-invasif, Pemantauan SpO 2 juga dapat dilakukan
30
secara berkala dengan standar emas pemeriksaan PaO2 dan SaO 2 dari gas darah arteri
untuk menilai oksigenasi jaringan.
Jika memungkinkan, lakukan pemeriksaan PaO 2 dan saturasi sebelum pemberian
terapi oksigen. Setelah dilakukan terapi oksigen, pemeriksaan gas darah atau oksimeter
harus diulang untuk menentukan FiO2 yang akan diberikan untuk mencapai PaO 2 > 59
mm Hg atau SaO2 > 90%. Oksimetri dapat memantau saturasi oksigen secara
berkesinambungan dan sangat bermanfaat apabila analisis gas darah sukar diperiksa atau
tidak tersedia.26
2.2.9
Tidak ada kontraindikasi spesifik jika terdapat indikasi pemberian oksigen. Kanul oksigen
dan kateter nasal tidak boleh diberikan pada pasien dengan obstruksi nasal (misalnya
polip nasal, choanal atresia, dll). Kateter nasal tidak boleh diberikan pada pasien dengan
trauma maksilofasial, pasien dengan atau dicurigai fraktur basis crania, atau terdapat
gangguan koagulasi. Tujuan terapi oksigen adalah untuk mencapai oksigenasi jaringan
yang memadai menggunakan FiO2 serendah mungkin. Beberapa cacat jantung bawaan
dapat menyebabkan sirkulasi yang tidak seimbang menjadi lebih buruk oleh pemberian
oksigen karena paru mengalami vasodilatasi dan iskemia.
31
32
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
oksigen
Hipoksia merupakan indikasi utama pemberian terapi oksigen.
Terapi oksigen juga harus dipertimbangkan pada beberapa kasus seperti
kegagalan pernapasan kronis dan penyakit jantung bawaan shunt kiri ke
kanan yang besar
Indikasi klinis pemberian terapi oksigen yaitu: sianosis sentral, penurunan
9.
kesadaran, tidak ada respon atau hanya respon terhadap rangsangan nyeri,
merintih pada setiap nafas, nasal flaring, konjungtiva pucat dengan tarikan
dinding dada atau nafas cepat, koma akut atau kejang > 15 menit,
ketidakmampuan untuk makan atau minum, tarikan dinding dada, frekuensi
pernafasan 70 kali per menit, dan head nodding.
10. Terapi oksigen dipantau berdasarkan klinis dan hasil laboratorium.
Pemantauan klinis dapat dilihat dari tingkat kesadaran, pemantauan
kardiorespirasi seperti laju pernapasan, pola pernapasan, warna kulit dan
mukosa, serta frekuensi nadi. Pemantauan laboratorium dilihat dari PaO2 dan
SaO2 dari analisis gas darah.
11. Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk terapi oksigen.
12. Salah satu risiko terapi oksigen adalah keracunan oksigen.
3.2. Saran
Penatalaksanaan kasus gawat darurat respirasi secara cepat dan tepat dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas pada anak
33
DAFTAR PUSTAKA
2. Pujiadi Ah, Latief A. Buku ajar Pediatri Gawat Darurat. Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI). 2013. 54-62
3. WHO. Pneumonia In pediatric. WHO. 2015
4. WHO. Oxygen therapy for children. WHO. 2016:1-7
5. Rohsiswatmo R. Terapi oksigen pada neonatus.
Divisi
Perinatologi Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM FKUI RSCM.
2010: 55-60
6. UKK Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
nasional asma Anak. Jakarta. Sari Pediatri. Vol.2 No.1. 2000.
7. Nasional Clinical Program for Asthma. Emergency pediatric
asthma guideline. Royal College of Physicians of Ireand. 2013
8. Jones BP, Paul A. Management of acute Asthma in the pediatric
patient: An evidenc-based review. EB Medicine. 2013
9. Global Initiative for Asthma. Pocket guide for asthma
management and prevention. 2015
10. National Asthma Council. Infants and children acute
management of asthma. North Sidney. NSW Ministry of Health.
2012
11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Modul tatalaksana
standar pneumonia. 2012
12. World Health Organization. Pocket book of hospital care for
children guidelines for The management of common childhood
illnesses- 2nd ed. 2013.96-9
13. Bjornson CL, Johnson DW. Croup in children. Canadian Medical
Association Journal. 2013; 185(15): 131723.
34
25. HaqueA,RizviM,ArifF.PediatricOxygentherapy:aclinicalupdate.
2016;28(3):63034
26. WorldHealthOrganization.Oxygentherapyforchildren.2016.
27. Jindal.Oxygentherapy:importantconsiderations.2008;50:97107
28. Rahajoe NN, Bambang S, Darmawan BS. Prosedur Tindakan pada
Penyakit Respiratorik dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia 2010:613-17
29. SinghCP,NachhattarS,JagrajS,GurmeetKB,GagandeepS.Emergency
medicine:OxygenTherapy.2011;2(3):17984
30. ThomsonL,Guidelinefortheprescriptionandadministrationofoxygenin
children.2014
35