Anda di halaman 1dari 19

BAB I

1.1.

Latar Belakang Masalah


Sekarang ini pendidikan berada di masa pengetahuan (knowledge age)

dengan percepatan peningkatan pengetahuan yang sangat luar biasa. Percepatan


peningkatan pengetahuan ini didukung oleh berbagai penerapan media dan
teknologi digital yang disebut dengan information super highway (Gates, 1996).
Sejak internet mulai diperkenalkan di dunia komersial pada awal tahun 1970 an,
informasi menjadi semakin cepat terdistribusi ke seluruh penjuru dunia. Di abad
ke 21 ini, pendidikan menjadi semakin penting untuk menjamin peserta didik
memiliki keterampilan belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan
teknologi dan media informasi, serta dapat bekerja, dan bertahan dengan
menggunakan keterampilan untuk hidup (life skills). Tiga konsep pendidikan abad
21 telah diadaptasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia untuk mengembangkan kurikulum baru untuk Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK). Ketiga konsep tersebut adalah 21st Century Skills
(Trilling dan Fadel, 2009), scientific approach (Dyer, et al., 2009) dan authentic
assesment (Wiggins dan McTighe, 2011); Ormiston, 2011; Aitken dan Pungur,
1996; Costa dan Kallick, 1992). Selanjutnya, tiga konsep tersebut diadaptasi
untuk mengembangkan pendidikan menuju Indonesia Kreatif tahun 2045.
Adaptasi dilakukan untuk mencapai kesesuaian konsep dengan kapasitas peserta
didik dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikannya.Pendidikan
memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas dan mampu berkompetensi dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sehingga pendidikan harus dilaksanakan dengan sebaikbaiknyauntuk memperoleh hasil maksimal. Pendidikan hendaknya dikelola baik
secara kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut dapat dicapai dengan terlaksananya
pendidikan yang tepat waktu dan tepat guna untuk mencapai tujuan pembelajaran,
yang dilaksanakan dalam bentuk proses belajar mengajar yang merupakan
pelaksanaan dari kurikulum sekolah melalui kegiatan pengajaran.

Pendidikan matematika juga merupakan salah satu komponen penting


dalam upaya menuju kehidupan yang lebih baik. Hal ini karena matematika
sebenarnya merupakan aktivitas keseharian manusia seperti halnya seni, bahasa,
musik, atau membuat karya yang bagus, yang secara intrinsik berharga. Di sisi
lain, matematika merupakan elemen kunci pada sains dan teknologi serta sangat
vital perannya untuk memahami, mengontrol, dan mengembangkan berbagai
sumberdaya di dunia.Oleh karena itu, pendidikan matematika yang baik harus
menyajikan secara seimbang dua aspek matematika, yaitu matematika murni dan
matematika terapan. Pendidikan matematika akan berhasil dengan baik jika
pendidikan matematika bermutu dan bermakna bagi peserta didik. Salah satu
upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan matematika serta membuat
pendidikan matematika bermakna ialah melalui kegiatan penelitian. Hasil-hasil
penelitian pendidikan matematika akan memperkaya konten, strategi, metode,
teknik evaluasi yang baik bagi pembelajaran matematika. Implementasi hasil-hasil
penelitian di kelas akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran matematika,
yang pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas pendidikan matematika.
Penelitian pendidikan matematika, di satu sisi diperlukan untuk membantu
memecahkan masalah-masalah pembelajaran matematika, di sisi lain juga
merupakan upaya

untuk mengembangkan ilmu pendidikan matematika.

Matematika sebagai alat bagi ilmu yang lain sudah cukup dikenal dan sudah tidak
diragukan lagi. Matematika bukan hanya sekedar alat bagi ilmu, tetapi lebih dari
itu matematika adalah bahasa. Sejalan dengan itu Jujun S. Suriasumantri
(2007:190) mengatakan, matematika merupakan bahasa yang melambangkan
serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang
matematika bersifat artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna
diberikan padanya, tanpa itu matematika hanya merupakan kumpulan rumusrumus yang mati. Hal senada juga disampaikan oleh Evawati Alisah (2007: 23)
matematika adalah sebuah bahasa, ini artinya matematika merupakan sebuah cara
mengungkapkan atau menerangkan dengan cara tertentu. Dalam hal ini yang
dipakai oleh bahasa matematika ialah dengan menggunakan simbol-simbol.
Matematika merupakan bahasa, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu
berfikir, alat untuk menemukan pola, tetapi matematika juga sebagai wahana

komunikasi antar siswa dan komunikasi antara guru dengan siswa. Komunikasi
dalam matematika dan pembelajaran matematika menjadi sesuatu yang diperlukan
seperti yang diungkapkan oleh Lindquist (1996), jika kita sepakat bahwa
matematika itu merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasan
terbaik dalam komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi
merupakan esensi dan mengajar, belajar, dan mengassess matematika.
Murtiyasa dalam publikasi ilmiahnya mengenai trend keterampilan
matematika abad 21 mengatakan,
Pada masa ekonomi pertanian dan industri, barangkali sudah cukup bagi
siswa untuk menguasai kemampuan dasar membaca, menulis, dan
berhitung. Tetapi pada era informasi saat ini, di mana para siswa harus
berkompetisi pada masyarakat global, para siswa dituntut mempunyai
kreativitas (creativity), kemampuan berpikir kritis (critical thinking),
berkomunikasi (communication), dan berkolaborasi (collaboration), yang
lebih dikenal dengan akronim Four Cs(NEA, 2011). Di samping itu, para
siswa juga masih memerlukan keahlian tambahan diberbagai disiplin,
seperti bahasa asing (Inggris), seni, geografi, sains, dan ilmu-ilmu sosial.
Para guru harus melengkapi ketrampilan 4C (four Cs) tersebut guna
menyiapkan
siswanya
sebagai
warga
dan
pekerja
global
(Murtiyasa,2016:4).
Lebih

lanjut,

upaya

dalam

memberikan

ketrampilan

tersebut,

pembelajaran matematika harus mengelaborasi aspek-aspek kreativitas dan


inovasi (creativity and innovation), berpikir kritis dan pemecahan masalah
(critical

thinking

and

problem

solving),

komunikasi

dan

kolaborasi

(communication and collaboration) (Partnership for 21st Century Skills, 2011).


Aspek berpikir kritis dan pemecahan masalah dimaksudkan agar para siswa dapat
bernalar secara efektif. Mereka berpikir sistemik, memahami bahwa antar bagian
itu berinteraksi satu sama lain. Mereka dapat membuat pilihan-pilihan, keputusan,
dan menyelesaikan masalah, baik secara konvensional maupun inovatif. Aspek
komunikasi dan kolaborasi dimaksudkan bahwa agar para siswa mengetahui
bagaimana mengartikulasikan pemikiran dan ide-ide secara efektif, melalui
komunikasi lisan, tulisan, maupun nonverbal. Mereka juga harus dapat
mendengarkan secara efektif untuk menerjemahkan atau menguraikan makna
pengetahuan, nilai-nilai, sikap, dan tujuan. Mereka juga harus mampu

berkomunikasi pada lingkup yang luas pada berbagai kelompok dan lingkungan
yang berbeda.
Berdasarkan uraian di atas, betapa pentingnya guru-guru terkhusus guru
matematika untuk memiliki kemampuan yang inovatif. Guru diperhadapkan
kepada tantangan untuk mengubah mindsetnya dalam proses belajar mengajar. Di
kelas, matematika itu tidak lagi hanya terbatas pada aktivitas kognitif,
menyelesaikan soal-soal matematika yang ada di buku, LAS, maupun bank soal.
Namun, arah pembelajaran matematika saat ini adalah menciptakan kemampuankemampuan yang dapat menolong siswa dalam menghadapi perkembangan
zaman. Pembelajaran matematika di sekolah diharapkan dapat membentuk siswa
untuk mempunyai kreativitas (creativity), kemampuan berpikir kritis (critical
thinking), berkomunikasi (communication), dan berkolaborasi (collaboration),
sebagai modal di masyarakat.
Dengan keterampilan tersebut, para siswa seharusnya mampu bersaing di
kancah global. Namun apa yang diharapkan masih jauh dari kenyataan. Hasil
OECD menempatkan Indonesia pada peringkat ke-69 dari 79 untuk sekolah global
(http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/05/150513_majalah_asia_sekolah_t
erbaik) . Ranking pendidikan tahun 2015 dari OECD, dari 76 negara yangg
berpartisipasi dalam tes PISA tahun 2015 Indonesia menduduki urutan ke 69
(Rifani dalam http://penggarisku.blogspot.co.id/2015/12/peringkat-pendidikan-didunia-tahun.html#.V74_KJh97IU). Penyelenggara PISA 2012 secara umum
menyimpulkan bahwa prestasi siswa di bidang matematika sangat menentukan
keberhasilan dan kemajuan bangsa, baik itu dalam peningkatan kualitas
pendidikan maupun dalam partisipasi politik. Meningkatnya kemampuan
matematika seiring dengan bertumbuhnya rasa percaya diri, rasa kepemilikan
akan masa depan sebagai pelaku perubahan. Faktor msatematika menjadi
prediktor perubahan sosial dan ekonomi bangsa.
Kenyataan bahwa siswa Indonesia merasa paling bahagia, juga paling
mudah bersahabat, tetapi tetap terpuruk prestasi akademisnya menunjukkan
bahwa sistem pendidikan kita telah gagal melahirkan individu pembelajar.
Semangat Kurikulum 2013, yang diterapkan tanpa memperhatikan beragam

prasyarat, seperti kemampuan guru, dukungan sarana dan prasarana, sistem


kebijakan evaluasi pendidikan yang konsisten, serta sistem perbukuan yang
demokratis dan transparan, hanya akan membuat guru dan siswa bersenangsenang di sekolah. Namun, siswa tak belajar!
Secara umum, hasil tersebut menunjukkan bahwa siswa kita mempunyai
pengetahuan dasar matematika tetapi tidak cukup untuk dapat memecahkan
masalah rutin (manipulasi bentuk, memilih strategi, dan sebagainya) apalagi yang
non-rutin (penalaran intuitif dan induktif berdasarkan pola dan kereguleran).
Pada bagian lain Cai, Lane, dan Jakabcsin (Helmaheri, 2004: 12)
mengatakan adalah mengejutkan bagi siswa ketika mereka diminta untuk
memberikan pertimbangan atau penjelasan atas jawabannya dalam belajar
matematika. Hal ini terjadi sebagai akibat dan sangat jarangnya para siswa
dituntut untuk menyediakan penjelasan dalam pelajaran matematika, sehingga
sangat asing bagi mereka untuk berbicara tentang matematika.
Kebanyakan para siswa merasa cemas ketika belajar matematika. Seperti
yang diungkapkan oleh Hudojo kecemasan tertinggi dialami siswa pada saat siswa
belajar matematika dibandingkan dengan belajar lainnya. Fakta dilapangan sampai
ada siswa ketika menghadapi soal matematika mereka seperti mandi keringat.
Bahkan seperti yang kita ketahui kebanyakan para siswa mungkin termasuk juga
mahasiswa ketika sedang dilaksanakan proses pembelajaran matematika sangat
sulit untuk maju ke depan ketika ada tugas soal yang harus dikerjakan oleh siswa
di papan tulis. Beberapa penyebab utama yang sering muncul dalam kecemasan
matematika, antara lain adanya dogma negatif terhadap matematika. Hingga saat
ini, dogma negatif terhadap matematika masih terdapat pada benak sebagian besar
siswa, yang bersifat turun temurun mulai dari siswa sekolah dasar hingga mahasiswa di perguruan tinggi, dan biasanya dogma ini diturunkan oleh orang tua
sendiri.
Untuk mengurangi terjadinya hal seperti ini, siswa perlu dibiasakan
mengkomunikasikan secara lisan maupun tulisan idenya kepada orang lain sesuai
dengan penafsirannya sendiri. Sehingga orang lain dapat menilai dan memberikan
tanggapan atas penafsirannya itu. Melalui kegiatan seperti ini siswa akan
mendapatkan pengertian yang lebih bermakna baginya tentang apa yang sedang ia

lakukan. Ini berarti

guru perlu mendorong

kemampuan siswa dalam

berkomunikasi pada setiap pembelajaran.


Sudrajat (2001) mengatakan ketika seorang siswa memperoleh informasi
berupa konsep matematika yang diberikan guru maupun yang diperoleh dan
bacaan, maka saat itu terjadi transformasi informasi matematika dan sumber
kepada

siswa

tersebut.

Siswa

akan

memberikan

respon

berdasarkan

interpretasinya terhadap informasi itu. Masalah yang sering timbul adalah respon
yang diberikan siswa atas informasi yang diterirnanya tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan. Hal ini mungkin terjadi karena karakteristik dan matematika
yang sarat dengan istilah dan simbol, sehingga tidak jarang ada siswa yang
mampu menyelesaikan soal matematika dengan baik, tetapi tidak mengerti apa
yang sedang dikerjakannya.
Pugalee (2001) mengatakan bahwa siswa perlu dibiasakan dalam
pembelajaran untuk memberikan argumen atas setiap jawabannya serta
memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga apa
yang sedang dipelajari menjadi lebih bermakna baginya.
Komunikasi merupakan bagian yang sangat penting pada matematika dan
pendidikan

matematika.

Komunikasi

merupakan

cara

berbagi

ide

dan

memperjelas pemahaman. Melalui komunikasi ide dapat dicerminkan, diperbaiki,


didiskusikan, dan dikembangkan. Proses komunikasi juga membantu membangun
makna dan mempermanenkan ide dan proses komunikasi juga dapat
mempublikasikan ide. Ketika para siswa ditantang pikiran dan kemampuan
berfikir mereka tentang matematika dan mengkomunikasikan hasil pikiran mereka
secara lisan atau dalam bentuk tulisan, mereka sedang belajar menjelaskan dan
menyakinkan. Mendengarkan penjelasan siswa yang lain, memberi siswa
kesempatan untuk mengembangkan pemahaman mereka (NCTM: 2000:60).
Pendapat tentang pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika
juga diusulkan NCTM (2000: 63) yang menyatakan bahwa program pembelajaran
matematika sekolah harus memberi kesempatan kepada siswa untuk:
a. Menyusun dan mengaitkan mathematical thinking mereka melalui
komunikasi.
b. Mengkomunikasikan mathematical thinking mereka secara logis dan
jelas kepada teman-temannya, guru, dan orang lain.

c. Menganalisis dan menilai mathematical thinking dan strategi yang


dipakai orang lain.
d. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide
matematika secara benar.
Menurut Utari Sumarmo (Gusni Satriawati, 2003: 110), kemampuan
komunikasi matematika merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan
memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk:
a. Merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide
matematika.
b. Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan,
c.
d.
e.
f.

tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar.


Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.
Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis.
Membuat konjektur, menyusun argumen, merurnuskan definisi, dan

generalisasi.
g. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah
dipelajari.
Selain itu menurut Greenes dan Schulman (1996: 159) komunikasi
matematik adalah: kemampuan (1) menyatakan ide matematika melalui ucapan,
tulisan, demonstrasi, dan melukiskannya secara visual dalam tipe yang berbeda,
(2) memahami, menafsirkan, dan menilai ide yang disajikan dalam tulisan, lisan,
atau dalam bentuk visual, (3) mengkonstruk, menafsirkan dan menghubungkan
bermacam-macam representasi ide dan hubungannya. Selanjutnya menurut
Sullivan & Mousley (Bansu Irianto Ansari, 2003: 17), komunikasi matematik
bukan hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi yaitu
kemampuan

siswa

dalam

hal

bercakap,

menjelaskan,

menggambarkan,

mendengar, menanyakan, kiarifikasi, bekerja sama (sharing), menulis, dan


akhirnya melaporkar apa yang telah dipelajani.
Menurut NCTM (2000: 194) kemampuan komunikasi untuk kelas 3-5
seharusnya meliputi berbagi pemikiran, menanyakan pertanyaan, menjelaskan
pertanyaan dan membenarkan ide-ide. Komunikasi harus terintegrasi dengan baik
pada lingkungan kelas. Siswa harus didorong untuk menyatakan dan menuliskan
dugaan, pertanyaan dan solusi.

Bansu

Irianto Ansari

(2003) menelaah

kemampuan

Komunikasi

matematika dari dua aspek yaitu komunikasi lisan (talking) dan komunikasi
tulisan (writing). Komunikasi lisan diungkap melaui intensitas keterlibatan siswa
dalam kelompok kecil selama berlangsungnya proses pembelajaran. Sementara
yang dimaksud dengan komunikasi matematika tulisan (writing) adalah
kemampuan dan keterampilan siswa menggunakan kosa kata (vocabulary), notasi
dan struktur matematika untuk menyatakan hubungan dan gagasan serta
memahaminya dalam memecahkan masalah. Kemampuan ini diungkap melalui
repsentasi matematika. Representasi matematika siswa diklasifikasikan dalam tiga
kategori: (a) pemunculan model konseptual, seperti gambar, diagram,tabel dan
grafik (aspek drawing); (b) membentuk model matematika (aspek mathematical
expression); dan (c) argumentasi verbal yang didasari pada analisis terhadap
gambar dan konsep-konsep formal (aspek written texts).
Komunikasi matematik merupakan suatu proses atau cara mengungkapkan
suatu idea matematik ke dalam bentuk lainnya baik secara lisan atau tulisan.
Dalam pembelajaran matematika, komunikasi matematika secara lisan terlukis
dalam cara guru menjelaskan materi, mengajukan pertanyaan, dan menjawab
pertanyaan siswa, dan dalam cara siswa menjawab pertanyaan guru atau
temannya, cara siswa menjelaskan pengerjaan soal matematika. Sedangkan
komunikasi matematik tertulis terlukis pada cara siswa menyelesaikan tes tertulis
matematika atau karya tulis dalam matematika.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi
matematis khususnya siswa SMP di Indonesia masih tergolong rendah. Contoh
masih rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dilihat dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Istiqomah (2007), Rohaeti (2003), dan Qohar
(2009) yang menyimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa
masih kurang/rendah, baik dalam melakukan komunikasi secara lisan ataupun
tulisan. Hal ini mungkin karena siswa tidak dibiasakan dalam mengemukakan
pendapat/gagasan/ide dalam pembelajaran di sekolah, padahal siswa yang mampu
mengkomunikasikan idenya baik secara lisan atau tulisan, akan lebih banyak
menemukan cara penyelesaian suatu permasalahan.

Kesulitan

siswa

dalam

memahami

matematika,

tentunya

akan

mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengkomunikasikan ide matematika.


Menurut Ansari (2003) kemampuan pemahaman matematis merupakan salah satu
aspek yang dapat mempengaruhi kemampuan komunikasi matematis. Bisa kita
pahami bahwa siswa tidak akan bisa mengkomunikasikan ide-ide matematis,
tanpa bisa memahami ide matematis tersebut. Oleh karena itu, bisa dipastikan
bahwa kemampuan komunikasi seorang siswa akan tinggi apabila kemampuan
berpikir matematikanya tinggi.
Selain kemampuan komunikasi matematis siswa, berpikir kritis juga
merupakan bagian yang penting dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.
Berpikir kritis matematis merupakan dasar proses berpikir untuk menganalisis
argumen dan memunculkan gagasan terhadap tiap makna untuk mengembangkan
pola pikir secara logis. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Noer (2009:474)
bahwa berpikir kritis matematis merupakan sebuah proses yang mengarah pada
penarikan kesimpulan tentang apa yang harus kita percayai dan tindakan yang
akan dilakukan. Menurut Susanto (dalam Jumaisyaroh) berpikir kritis matematis
adalah suatu kegiatan berpikir tentang idea atau gagasan yang berhubungan
dengan konsep atau masalah yang diberikan. Sedangkan menurut Ennis (dalam
Ismaimuza dalam Jumaisyaroh)) berpikir kritis matematis adalah suatu proses
berpikir dengan tujuan mengambil keputusan yang masuk akal tentang apa yang
diyakini berupa kebenaran dapat dilakukan dengan benar. Dari beberapa pendapat
ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis
adalah suatu kecakapan berpikir secara efektif yang dapat membantu seseorang
untuk membuat, mengevaluasi, serta mengambil keputusan tentang apa yang
diyakini atau dilakukan.
Keterampilan berpikir kritis matematis sangat penting bagi siswa karena
dengan keterampilan ini siswa mampu bersikap rasional dan memilih alternatif
pilihan yang terbaik bagi dirinya. Selain itu, menanamkan kebiasaan berpikir
kritis matematis bagi pelajar perlu dilakukan agar mereka dapat mencermati
berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Somakim dalam
Jumaisyaroh,2014:158).

Pada dasarnya kemampuan komunikasi matematik saling melengkapi


dengan kemampuan matematik lainnya. Misalnya dengan meningkatnya
kemampuan berpikir kritis matematik, siswa akan semakin mampu untuk
mengkomunikasikan berpikirnya dalam bentuk yang lebih kompleks. Demikian
pula meningkatnya kemampuan komunikasi matematik siswa akan mendukung
kemampuan berpikir kritis matematik yang lebih tinggi dan kemampuan
memecahkan masalah. Pernyataan tersebut dapat dipahami karena pada dasarnya
bidang studi matematika adalah suatu sains yang bagian-bagiannya tersusun
secara sistematis dan bertahap.
Rendahnya kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa
akan berpengaruh pada rendahnya prestasi belajar siswa di sekolah. Seorang siswa
yang tidak mampu memahami suatu ide matematis, maka akan sulit baginya untuk
mengkomunikasikan

ide

tersebut

baik

secara

lisan

ataupun

tulisan.

Ketidakmampuan siswa dalam mengkomunikasikan ide akan mengakibatkan


siswa tidak mampu mengerjakan soal-soal atau permasalahan sehingga
berdampak pada rendahnya prestasi siswa.
Kemampuan komunikasi dan berpikir kritis siswa yang rendah sangat
mungkin dikarenakan penggunaan model pembelajaran yang tidak sesuai. Oleh
karena itu diperlukan suatu model pembelajaran yang mampu meningkatkan
komunikasi matematis siswa dan kemampuan berpikir kritisnya.
Mudjiono mengemukakan bahwa dalam proses belajar mengajar ada lima
komponen penting yang berpengaruh bagi keberhasilan belajar siswa, yaitu bahan
ajar, suasana belajar, media atau alat peraga dan sumber belajar, serta guru sebagai
subjek pembelajaran. Komponen-komponen tersebut sangatlah penting. Apabila
salah satu dari komponen tersebut melemah, maka tujuan pembelajarn yang
diharapkan tidak akan tercapai secara optimal.
Model pembelajaran merupakan salah satu komponen penting dalam
pembelajaran. Melalui model pembelajaran, guru dapat membantu siswa
memperoleh pengetahuan, keterampilan, ide, cara berfikir dan cara-cara belajar,
sehingga hasil akhir dari suatu proses pembelajaran adalah tumbuhnya
kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat belajar lebih mudah dan lebih efektif

di masa yang akan datang. Salah satu masalah dalam pembelajaran adalah
rendahnya pemahaman siswa terhadap suatu materi, sehingga tujuan dan hasil
pembelajaran yang diharapkan masih kurang maksimal. Metode pembelajaran
yang masih statis, serta sikap mental pendidik yang kurang progresif perlu adanya
perubahan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu metode dan strategi pembelajaran
yang menarik agar dapat meningkatkan pemahaman siswa dan daya ingatnya
terhadap suatu materi.
Pada pembelajaran matematika, perlu diperhatikan metode yang
digunakan dalam mengajar, karena metode yang dipilih menentukan tingkat
keberhasilan belajar mengajar. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, guru
harus memperhatikan metode mengajar yang akan ia pergunakan agar sesuai
dengan materi pelajaran. Seperti yang diungkapkan oleh Slavin:
Salah satu metode dalam mengajarkan materi matematika yaitu dengan
menggunakan materi pembelajaran kooperatif, sistem pembelajaran ini dapat
mengaktifkan siswa sehingga siswa benar-benar dapat memahami materi yang
diajarkan. Karena dalam pembelajaran kooperatif siswa akan lebih mudah
menemukan cara-cara dalam memahami materi pelajaran matematika sebab
terpaku dengan teman-temannya.
Manfaat dari pembelajaran kooperatif yaitu, meningkatkan rasa harga diri,
memperbaiki sikap terhadap mata pelajaran dan memperbaiki kehadiran, saling
memahami perbedaan individu sehingga dapat mengurangi konflik antar siswa,
mengurangi sikap apatis, memperdalam pemahaman dan meningkatkan motivasi,
sehingga meningkatkan hasil belajar.
Kemampuan komunikasi siswa dan berpikir kritis yang rendah sangat
mungkin dikarenakan penggunaan model pembelajaran yang tidak sesuai. Oleh
karena itu diperlukan suatu

perangkat pembelajaran dengan model atau

pendekatan yang mampu meningkatkan komunikasi matematis siswa dan berpikir


kritis siswa.
Pembelajaran berbasis budaya dalam pembelajaran matematika merupakan
salah satu inovasi dalam menghilangkan anggapan bahwa matematika itu

membosankan maupun kaku. Terkait dengan masalah rendahnya kemampuan


komunikasi dan kemampuan berpikir kritis siswa di SMP, maka diperlukan
pendekatan matematika berbasis budaya (etnomatika) untuk mengatasinya.
Salah satu cara yaitu dengan memanfaatkan pendekatan etnomatika yaitu
pembelajaran matematika sekolah berbasi budaya sebagai bagian dari pengajaran
matematika formal yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa yang berada
pada tahapan operasional konkret ( Adam, 2004:49). Sejalan dengan itu,
kehadiran matematika yang bernuansa budaya akan memberikan kontribusi yang
besar terhadap matematika sekolah, karena sekolah merupakan institusional sosial
yang memungkinkan terjadinya asimilasi dan sosialisasi antar budaya. Pendidikan
matematika formal adalah suatu proses interaksi budaya dan setiap siswa
mengalami berbagai konflik budaya dalam proses tersebut ( Bishop, J.A, 1988 :
179). Budaya yang ada di Indonesia sangat beragam, terkhusus budaya yang ada
di Sumatera Utara. Namun banyak siswa yang tidak tahu budayanya sendiri. Hal
ini dikarenakan kecenderungan siswa untuk meniru budaya luar yang masuk
melalui media sosial maupun media lainnya. Salah satu realisasi pembelajaran
kreatif dan bermakna dilaksanakan melalui pembelajaran berbasis budaya. Hal itu
sangat beralasan karena pembelajaran berbasis budaya menjadikan pembelajaran
bermakna kontekstual yang sangat terkait dengan komunitas budaya dan
pembelajaran

berbasis

budaya

menjadikan

pembelajaran

menarik

dan

menyenangkan. Apalagi pada Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013 yang


menonjolkan peningkatan kemampuan siswa terhadap budaya dan pembelelajaran
yang berpusat pada siswa. Pembelajaran yang menarik dan mudah dipahami dapat
membantu agar siswa lebih memahami materi pelajaran. Metode yang inovatif
dalam proses pembelajaran dikombinasikan dengan kegiatan bermuatan budaya
membuat siswa menjadi lebih menyenangkan. Pengaruh modernisasi terhadap
kehidupan berbangsa tidak dapat dipungkiri lagi, hal ini berdampak pada
mengikisnya nilai budaya luhur bangsa kita. Terjadinya hal ini dikarenakan
kurangnya penerapan dan pemahaman terhadap pentingnya nilai budaya dalam
masyarakat. Kebudayaan dapat dipahami sebagai suatu sistem gagasan/ide yang
dimiliki suatu masyarakat lewat proses belajar dan dijadikan acuan tingkah laku

dalam kehidupan sosial bagi masyarakat. Pendidikan dan budaya adalah sesuatu
yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari, karena budaya merupakan
kesatuan utuh dan menyeluruh yang berlaku dalam suatu masyarakat, dan
pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap inidividu dalam
masyarakat. Pendidikan dan budaya memiliki peran yang sangat penting dalam
menumbuhkan dan mengembangakan nilai luhur bangsa kita, yang berdampak
pada pembentukan karakter yang didasarkan pada nilai budaya yang luhur. Selama
ini pemahaman tentang nilai-nilai dalam pembelajaran matematika yang
disampaikan para guru belum menyentuh keseluruh aspek. Matematika dipandang
sebagai alat untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam dunia sains saja,
sehingga mengabaikan pandangan matematika sebagai kegiatan manusia
(Soedjadi, 2007). Pandangan itu sama sekali tidaklah salah, keduanya benar dan
sesuai dengan pertumbuhan matematika itu sendiri.
Nilai budaya yang merupakan landasan karakter bangsa merupakan hal
yang penting untuk ditanamkan dalam setiap individu, untuk itu nilai budaya ini
perlu ditanamkan sejak dini agar setiap individu mampu lebih memahami,
memaknai, dan menghargai serta menyadari pentingnya nilai budaya dalam
menjalankan setiap aktivitas kehidupan. Penanaman nilai budaya bisa dilakukan
melalui lingkungan keluarga, pendidikan, dan dalam lingkungan masyarakat
tentunya. Hal ini senada dengan dikatakan oleh Eddy dalam Rasyid (2013) bahwa
pelestarian kebudayaan daerah dan pengembangan kebudayaan nasional melalui
pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal, dengan mengaktifkan
kembali segenap wadah dan kegiatan pendidikan. Pendidikan dan budaya adalah
sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari, karena budaya
merupakan kesatuan yang utuh dan menyeluruh, berlaku dalam suatu masyarakat
dan pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap inidividu dalam
masyarakat.
Masuknya matematika secara sadar maupun tidak sadar kedalam berbagai
aspek kehidupan tentunya menarik untuk dikaji, apakah kajian dalam aspek
ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun aspek lainnya. Salah satu aspek yang
menarik dikaji adalah aspek budaya. Pada budaya manusia, umumnya matematika

merasuk kedalam budaya tersebut namun manusia jarang menyadari bahwa


matematika telah merasuki budaya mereka. Oleh karena itu, kajian mengenai
matematika dalam budaya perlu dikembangkan sehingga dapat memberikan
gambaran pada masyarakat berbudaya mengenai peranan matematika dalam
budayanya.
Salah satu yang dapat menjembatani antara budaya dan pendidikan
khususnya matematika adalah etnomatematika. Etnomatematika adalah bentuk
matematika yang dipengaruhi atau didasarkan budaya. Oleh sebab itu, jika
perkembangan etnomatematika telah banyak dikaji maka bukan tidak mungkin
matematika diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya setempat. Jika
ditinjau dari sudut pandang riset maka etnomatematika didefinisikan sebagai
antropologi budaya (cultural anropology of mathematics) dari matematika dan
pendidikan matematika. Melalui penerapan etnomatematika dalam pendidikan
diharapkan peserta didik dapat lebih memahami matematika dan budaya mereka,
sehingga nilai budaya yang merupakan bagian karakter bangsa tertanam sejak
dini.
Menurut Bishop (1994b), matematika merupakan suatu bentuk budaya.
Matematika sebagai bentuk budaya, sesungguhnya telah terintegrasi pada seluruh
aspek kehidupan masyarakat dimanapun berada. Selanjutnya Pinxten (1994)
menyatakan bahwa pada hakekatnya matematika merupakan teknologi simbolis
yang tumbuh pada ketrampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat budaya.
Dengan demikian matematika seseorang dipengaruhi oleh latar budayanya, karena
yang mereka lakukan berdasarkan apa yang mereka lihat dan rasakan. Pendidikan
matematika sesungguhnya telah menyatu dengan kehidupan masyarakat itu
sendiri. Kenyataan tersebut bertentangan dengan aliran konvensional yang
memandang matematika sebagai ilmu pengetahuan yang bebas budaya dan bebas
nilai.

Para

pakar

etnomatematika

berpendapat

bahwa

pada

dasarnya

perkembangan matematika sampai kapanpun tidak terlepas dari budaya dan nilai
yang telah ada pada masyarakat.
Istilah etnomatematika pertama kali diperkenalkan oleh DAmbrosio,
dimana

dalam

bukunya

dinyatakan

bahwa,

etnomatematika

merupakan

matematika yang dilakukan oleh kelompok budaya tertentu seperti suku-suku di


suatu negara, perserikatan pekerja, kelompok profesi, dan lain-lain. Beberapa
contoh dari etnomatematika dijelaskan pada uraian berikut. Studi yang dilakukan
oleh Tambunan (2009), menunjukkan bahwa para pengerajin kain tenun seperti
ulos, songket dan lain sebagainya yang ada di daerah Pak-pak, secara tidak sadar
juga menggunakan perhitungan the Golden Ratio untuk menenun untaian-untaian
benang sehingga menjadi selembar kain. The Golden Ratio diimplementasikan
dalam pembuatan pola dalam ulos tersebut, warna benang yang akan menjadi pola
disisip dalam warna benang yang akan menjadi warna dasar dalam ulos,
banyaknya

warna-warna

benang

dan

panjang

benang

tersebut

telah

diperhitungkan dengan cermat oleh penenun, sehingga untaian benang tadi


menjadi sebuah ulos dengan pola yang indah dan memiliki makna tersendiri bagi
masyarakat Pak-pak.
Peradaban Batak kuno belum mengenal geometri atau ilmu ukur. Peneliti
Bandung Fe Institute dan ekspeditor dari Sobat Budaya melakukan ekspedisi
Gorga. Ratusan motif Gorga Batak didokumentasikan sepanjang perjalanan ini.
Motif yang dikumpulkan kemudian dianalisis lebih jauh secara komputasional.
Dari proses perhitungan diketahui bahwa ornamentasi ukir Batak ini bersifat
fraktal. Ini merupakan bentuk geometri kontemporer, yang diperkenalkan oleh
Benoit Mandelbrot, pada awal dekade 1980-an.
Pada geometri konvensional kita mengenal dimensi sebagai bilangan
bulat, seperti dimensi 1 (misalnya: garis), dimensi 2 (misalnya: lingkaran, persegi,
dan segitiga) serta dimensi 3 (misalnya: bola, balok, dan kerucut). Pada geometri
fraktal, dimensi dapat berupa pecahan. Dari proses perhitungan diketahui Gorga
Batak berdimensi antara 1.4 hingga 1.6, atau berada di antara dimensi garis dan
bidang dua dimensi (Situngkir,2016).
Tentu masih banyak lagi etnomatematika yang telah dikaji selama ini dan
tentunya kajian tersebut telah memberikan gambaran kepada banyak orang bahwa
matematika bukanlah ilmu yang kaku, namun dapat berbaur dalam berbagai aspek
kehidupan manusia. Selain sudah banyak etnomatematika yang dikaji, pastilah
terdapat etnomatematika yang belum ataupun sedang dikaji. Salah satu

etnomatematika yang menarik untuk dikaji yaitu mengenai pembelajaran


etnomatematika pada pembelajaran matemtika sekolah dalam kaitannya untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi dan berpikir kritis siswa.
Selama ini, banyak guru pesimis dengan siswa dan tidak berani
menggunakan strategi pembelajaran yang menantang. Guru beranggapan bahwa
siswa tidak akan dapat diajak untuk berpikir sesuatu yang menantang. Melihat
penemuan Sarama&Clements (2009), tampak bahwa anak-anak memiliki potensi
untuk belajar matematika. Yang diperlukan guru adalah keberanian untuk
mengeksplor kemampuan dan memahami perkembangan anak-anak. Penting
untuk mengembangkan kemampuan mengajar matematika dengan baik. Istilah
learning trajectory digunakan untuk menggambarkan transformasi belajar yang
dihasilkan dari partisipasi dalam aktivitas belajar matematika.
Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada penelitian terdahulu yang
relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan saat ini. Berikut ini beberapa
hasil penelitian yang relevan yang dijadikan bahan telaah bagi peneliti. Ismawanto
(2014) menyebutkan bahwa pengembangan CD interaktif berbantuan Swishmax
dengan model etnomatematika layak digunakan oleh siswa. Hal ini dapat dilihat
dari penilaian dari para ahli dan tanggapan siswa. Serta perbandingan prestasi
belajar antara kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh, kelas eksperimen
yang menggunakan CD interaktif berbantuan Swishmax dengan model
etnomatematika lebih baik dibandingkan kelas kontrol yang menggunakan
pembelajaran konvensional.
Penelitian lain yang sejenis, (Farokhah,2015) menyebutkan bahwa setelah
diberikan treathmen pembelajaran dengan menggunakan pendekatan SAVI
berbasis etnomatematika pada kelas eksperimen mengalami peningkatan
kemampuan komunikasi matematis........ Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan
bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen yang
mendapatkan

pembelajaran

menggunakan

pendekatan

SAVI

berbasis

etnomatematika lebih baik daripada siswa kelas kontrol yang mendapatkan


pembelajaran menggunakan pendekatan konvensional.

Penelitian

yang

lain,

Haque

(2015)

mengatakan

bahwa

model

pembelajaran etnomatika berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir


kritis siswa melalui uji DDR.
Mengembangkan etnomatematika dalam nuansa pembelajaran matematika
sekolah berarti menanamkan dan memanfaatkan nilai-nilai budaya secara
kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan tahapan-tahapan belajar yang
sesuai dengan perkembangan proses berpikir siswa, metode yang siswa pakai,
ataupun tingkat-tingkat berpikir yang siswa tunjukkan. Dengan demikian
diharapkan siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep matematika
bermuatan budaya. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dibahas mengenai
PENGEMBANGAN PERANGKAT
SEKOLAH

DENGAN

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

PENDEKATAN

MENINGKATKAN KEMAMPUAN

ETNOMATIKA

KOMUNIKASI

UNTUK

DAN BERPIKIR

KRITIS
1.2.

FOKUS PENELITIAN
Fokus penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan perangkat

pembelajaran berbasis sekolah dengan pendekatan etnomatika berbasis budaya


batak untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan berpikir kritis siswa di
kelas VIII SMP
1.3.
IDENTIFIKASI MASALAH
Dari uraian latar belakang

masalah

di

atas,

maka

peneliti

mengidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut


1. Siswa mempunyai pengetahuan dasar matematika tetapi tidak cukup
2.

untuk dapat memecahkan masalah rutin.


Respon yang diberikan siswa atas informasi yang diterirnanya tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini mungkin terjadi karena
karakteristik dan matematika yang sarat dengan istilah dan simbol,
sehingga tidak jarang ada siswa yang mampu menyelesaikan soal
matematika dengan baik, tetapi tidak mengerti apa yang sedang

3.
4.
5.

dikerjakannya.
Kebanyakan para siswa merasa cemas ketika belajar matematika.
Siswa tidak bisa mengkomunikasikan ide-ide matematis.
Siswa belum mampu memiliki kemampuan berpikir kritis matematis.

1.4.

RUMUSAN MASALAH
Dari uraian identifikasi masalah di atas, maka yang menjadi rumusan

masalah sebagai berikut


1. Bagaimana mengembangkan perangkat pembelajaran berbasis sekolah
2.

dengan pendekatan etnomatika berbasis budaya batak.


Bagaimana pengaruh pengembangan perangkat pembelajaran berbasis
sekolah dengan pendekatan etnomatika berbasis budaya batak dalam

3.

meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.


Bagaimana pengaruh pengembangan perangkat pembelajaran berbasis
sekolah dengan pendekatan etnomatika berbasis budaya batak dalam
meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

1.5.

TUJUAN PENELITIAn
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Memperoleh gambaran
perangkat pembelajaran berbasis sekolah
dengan pendekatan etnomatika berbasis budaya batak.
2. Memperoleh
gambaran
pengaruh
pengembangan

perangkat

pembelajaran berbasis sekolah dengan pendekatan etnomatika berbasis


budaya batak dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis
3.

siswa.
Memperoleh

gambaran

pengaruh

pengembangan

perangkat

pembelajaran berbasis sekolah dengan pendekatan etnomatika berbasis


budaya batak dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa.
1.6.

MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini penting untuk dilakukan, secara praktis hasil dari penelitian

ini dapat bermanfaat di Sekolah Menengah Atas bagi guru dan siswa, sedangkan
secara teoritis akan bermanfaat bagi penelitian dan keilmuan. Adapun manfaaatmanfaat yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Bagi Penulis
Menambah wawasan pengetahuan dan dapat menjadi pengalaman yang
bermakna dalam mengembangkan

perangkat pembelajaran berbasis

sekolah dengan pendekatan etnomatika berbasis budaya batak dalam

meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa dan berpikir kritis


siswa.
2. Bagi Guru
Pembelajaran

matematika

dengan

menggunakan

pendekatan

etnomatematika dapat menjadi pendekatan pembelajaran alternatif yang


dapat diterapkan di kelas.

Anda mungkin juga menyukai