Anda di halaman 1dari 23

PRESENTASI KASUS

TINEA KORPORIS

Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke P, Sp.KK

Disusun oleh :
Mutiara Chandra Dewi
GI4A014114

FAKULTAS KEDOKTERAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF DR. MARGONO SOEKARJO
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
TINEA KORPORIS

Diajukan untuk memenuhi syarat


Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
Di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal

April 2016

Disusun oleh :
Mutiara Chandra Dewi
G4A014114

Purwokerto,

April 2016

Dokter Pembimbing,

dr. Ismiralda Oke P, Sp.KK

KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat
rahmat dan anugerah-Nya sehingga presentasi kasus dengan judul Miliari Rubra
ini dapat diselesaikan.
Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK selaku dosen pembimbing.
2. Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin di RS. Margono Soekarjo.
3. Orangtua serta keluarga penulis atas doa dan support yang tidak pernah henti
diberikan kepada penulis
4. Rekan-rekan Co-Assisten Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin atas
semangat dan dorongan serta bantuannya.
Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di
dalam maupun di luar lingkungan RS. Margono Soekarjo.

Purwokerto, april 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. 2
KATA PENGANTAR.......................................................................................... 3
DAFTAR ISI........................................................................................................ 4
BAB I LAPORAN KASUS............................................................................... 5
A. Identitas Pasien...................................................................................
B. Anamnesis..........................................................................................
C. status generalis ...................................................................................
D. status lokalis.......................................................................................
E. Pemeriksaan Penunjang .....................................................................
F. Resume................................................................................................
G. Diagnosis Banding..............................................................................
H. Diagnosis Kerja..................................................................................
I. Terapi..................................................................................................
J. Prognosis............................................................................................

5
5
6
7
7
7
7
7
7
8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 9


A. Definisi............................................................................................... 9
B. Etiologi............................................................................................... 9
C. Faktor Risiko...................................................................................... 11
D. patofisiologi........................................................................................ 11
E. Gambaran klinik................................................................................. 13
F. Pemeriksaan Penunjang....................................................................... 14
G. Diagnosis............................................................................................ 14
H. Diagnosis Banding............................................................................. 14
I. Penatalaksanaan................................................................................... 15
J. Komplikasi.......................................................................................... 17
K. Prognosis............................................................................................ 17
BAB III KESIMPULAN................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 20

I.

PENDAHULUAN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. N

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 36 tahun

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan Terakhir

: SD

Status Pernikahan

: Menikah

Alamat

: Karang Tengah RT 03/03, Cilongok

Agama

: Islam

B. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis pada tanggal 13 April 2016, pukul 10.00 WIB
1. Keluhan Utama
: Gatal pada punggung
2. Keluhan Tambahan : bercak kemerahan pada punggung kanan
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke puskesmas Cilongok dengan keluhan gatal pada
punggung kanan sejak 3 bulan yang lalu. Pada awalnya gatal bermula dari
bercak kemerahan yang berukuran kecil di punggung, akan tetapi bercak
kemerahan tersebut semakin meluas. Pasien merasa gatal semakin hebat
saat pasien beraktivitas, udara panas dan berkeringat banyak. Keluhan
dirasakan semakin memberat. Untuk mengurangi rasa gatal, pasien
menggunakan obat daktarin yang dibeli di warung.
4. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien menyangkal pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat hipertensi
disangkal. Riwayat dm disngkal. Riwayat alergi obat disangkal.
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada yang menderita penyakit dengan keluhan yang sama dengan
pasien.Tidak ada yang menderita Alergi. Tidak ada yang menderita
Penyakit Diabetes Mellitus, Hipertensi, Ginjal
C. STATUS GENERALIS
Keadaaan umum : Baik
6

Kesadaran

: Compos mentis

Keadaan gizi

: Baik, BB:72 kg, TB: 156 cm

Vital Sign

: Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 98 x/menit

Pernafasan

: 20 x/menit

Suhu

: 36.7

Kepala

: Mesochepal, rambut hitam, distribusi merata

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung

: Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)

Telinga

: Bentuk daun telinga normal, sekret (-)

Mulut

: Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)

Tenggorokan

: T1 T1 tenang , tidak hiperemis

Thorax

: Simetris, retraksi (-)


Jantung : BJ I II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru

Abdomen

: SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)

: Supel, datar, BU (+) normal

Kelenjar Getah Bening: tidak teraba pembesaran.


Ekstremitas

: Akral hangat, edema (

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

E. STATUS DERMATOLOGIKUS
Lokasi

: punggung kanan

), sianosis (

Effloresensi

: plakat polimorfik berbatas tegas dengan tepi aktif (central

healing)

F. RESUME
Pasien seorang perempuan, 36 tahun datang datang ke Puskesmas
Cilongok dengan keluhan gatal pada punggung kanan sejak 3 bulan yang lalu.
Pada awalnya gatal bermula dari bercak kemerahan yang berukuran kecil di
punggung, akan tetapi bercak kemerahan tersebut semakin meluas. Pasien
merasa gatal semakin hebat saat pasien beraktivitas, udara panas dan
berkeringat banyak. Keluhan dirasakan semakin memberat. Untuk mengurangi
rasa gatal, pasien menggunakan obat daktarin yang dibeli di warung.
Hasil pemeriksaan vital sign dan status generalis dalam batas normal.
Pemeriksaan dermatologis mendapatkan tampak plakat polimorfik berbatas
tegas dengan tepi aktif (central healing) pada punggung kanan
G. DIAGNOSA KERJA
Tinea corporis

H. DIAGNOSIS BANDING
Tinea cruris
I. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH
Pemeriksaan lampu wood
J. PENATALAKSANAAN
1. Non farmakologis
a. Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari berkeringat
yang berlebihan
b. Menggunakan baju dari bahan yang menyerap keringat (misal:
katun), dan menghindari mengenaan baju dari bahan yang tidak
menyerap keringat (misal: karet, nylon)
c. Tidak bertukar handuk dan dengan orang lain
d. Menjemur handuk dan pakaian di luar, tidak di dalam rumah agar
tidak lembab
e. Memberitahukan untuk tidak menggaruk luka atau daerah kulit
yang gatal karena akan memperparah luka dan menimbulkan
tempat infeksi baru.
2. Farmakologis
a. R/ Loratadine tablet 10 mg
2 dd 1 pc
b. R/ Ketokonazol tablet 200mg
2 dd 1 pc
c. R/ Mikonazol cream III
K. PROGNOSIS
Quo ad vitam

: bonam

Quo ad kosmeticum

: dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: dubia ad bonam
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut
(glabrous skin) kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha (El-Gohary

et al, 2014). Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur
dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat
lebih dari 40 spesies dermatofita yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan
salah satu penyakit yang disebabkan jamur golongan dermatofita adalah tinea
korporis (Djuanda, 2007).
B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan
menyerang 20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi
kulit tersering. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang
semua ras dan kelompok umur sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif
sering terkena pada negara tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi)
dan sering terjadi eksaserbasi (Sharquie et al, 2013).
Penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara, seperti di
Amerika

Serikat

penyebab

terseringnya

adalah

Tricophyton

rubrum,

Universitas Sumatera Utara Trycophyton mentagrophytes, Microsporum canis


dan Trycophyton tonsurans. Di Afrika penyebab tersering tinea korporis adalah
Tricophyton rubrum dan Tricophyton mentagrophytes, sedangkan di Eropa
penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, sementara di Asia
penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Tricophyton mentagropytes
dan Tricophyton violaceum (El-Gohary et al, 2014).
C. ETIOPATOGENESIS
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur
dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat
lebih dari 40 spesies dermatofita yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan
salah satu penyakit yang disebabkan jamur golongan dermatofita adalah tinea
korporis (Djuanda, 2007).
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament
terdiri dari sel-sel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan
karakteristik utama yang membedakan jamur, karena banyak mengandung
substrat nitrogen disebut dengan chitin. Struktur bagian dalam (organela)

10

terdiri dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum endoplasma, lisosom,


apparatus golgi dan sentriol dengan fungsi dan peranannya masing-masing.
Benang-benang hifa bila bercabang dan membentuk anyaman disebut miselium
(Djuanda, 2007).
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk
spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang
dibentuk hifa, besarnya antara 1-3, biasanya bentuknya bulat, segi empat,
kerucut atau lonjong. Spora dalam pertumbuhannya makin lama makin besar
dan memanjang membentuk hifa. terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual
(gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa
penggabungan) (Czaika, 2013).
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur
yang dapat tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat
perlekatan, jamur dermatofita harus tahan terhadap rintangan seperti sinar
ultraviolet, variasi temperatur dan kelembaban, kompetensi dengan flora
normal, spingosin dan asam lemak. Kerusakan stratum korneum, tempat yang
tertutup dan maserasi memudahkan masuknya jamur ke epidermis (El-Gohary
et al, 2014).Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun
pejamu baik respon imun nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon
imun nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi jamur.
Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal,
usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa,
sekresi permukaan dan respons radang (Sharquie et al, 2013).
Respons

radang

merupakan

mekanisme

pertahanan

nonspesifik

terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat 2 unsur


reaksi radang, yaitu pertama produksi sejumlah komponen kimia yang larut
dan bersifat toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini antara lain
ialah lisozim,sitokin,interferon,komplemen, dan protein fase akut. Unsur kedua
merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan fungsi utama
fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat
dalam respons imun yang spesifik. Selsel lain yang termasuk respons radang
nonspesifik ialah basophil, sel mast, eosinophil, trombosit dan sel NK (natural

11

killer). Neutrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan melawan infeksi


jamur (Sharquie et al, 2013).
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur
setelah jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B
merupakan sel yang berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel
ini mempunyai mekanisme termasuk pengenalan dan mengingat organism
asing, sehingga terjadi amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk
merspons secara cepat terhadap adanya presentasi dengan memproduksi
antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler terhadap infeksi.
Imunitas seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme ini
dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit dengan antigen (Sharquie et al,
2013).
D. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang
aktif dengan perkembangan kearah luar, bercak-bercak bisa melebar dan
akhirnya memberi gambaran yang polisiklik, arsinar, dan sirsinar. Pada bagian
pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai dengan eritema, adanya papul
atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang (Siregar,
2014). Tinea korporis yang menahun, tandatanda aktif menjadi hilang dan
selanjutnya hanya meninggalkan daerah hiperpigmentasi saja. Gejala subyektif
yaitu gatal, dan terutama jika berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan. Tinea korporis biasanya terjadi setelah kontak dengan
individu atau dengan binatang piaraan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi
karena kontak dengan mamalia liar atau tanah yang terkontaminasi.
Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabot dan
sebagainya (Djuanda, 2007; Hube et al, 2015).
E. DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium yaitu mikroskopis langsung dan kultur. Gejala subyektif yaitu
gatal, dan terutama jika berkeringat. Efloresensi kulit tampak sebagai lesi bulat

12

atau lonjong dengan tepi yang aktif dengan perkembangan kearah luar, bercakbercak bisa melebar dan akhirnya memberi gambaran yang polisiklik, arsinar,
dan sirsinar. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai
dengan eritema, adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi
relatif lebih tenang (Siregar, 2014).
Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu dengan
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur,
pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi, pemeriksaan serologi, dan
pemeriksaan dengan menggunakan PCR (Hay dan Moore,2004). Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat langsung dari kerokan kulit,
kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%. Sesudah 15 menit atau sesudah
dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan ini
memberikan hasil positif hifa ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta
atau bercabang, selain itu tampak juga spora berupa bola kecil sebesar 13.Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar (2530C),kemudian satu minggu dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan
jamur. Spesies jamur dapat ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa dan
bentuk spora (Djuanda, 2007).
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak dapat dilihat.
Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh jamur
dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat dengan
memberi warna kuning kehijauan (fluoresensi). Beberapa jamur yang
memberikan fluoresensi yaitu M.canis, M.audouini, M.ferrugineum dan
T.schoenleini (Djuanda, 2007).
F. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis Kontak Alergi
2. Kandidiasis
3. Psoriasis

Penyakit
Dermatitis Kontak Alergi

Psoriasis

yang berkelompokdandis
Gatal, bersisik, kumat-ku

UKK: Makula/plak eritem


Kandidiasis

berlapis seperti mika


Gatal pada area-area l

Gatal

keringat

UKK: Makula

UKK: Makula dan papu

13

Pitiriasis rosea

dengan papul eritem disekitarnya sebagai lesi satelit


Bercak-bercak merah pada badan dan tangan yang tidak
sakit dan tidak gatal
Makula hipopigmentasi hingga eritematosa lonjong dengan
skuama halus, sumbu panjang sejajar dengan lipatan kuliat.
Didahului dengan lesi induk (
yang diikuti lesi lebih kecil membentuk pola pohon cemara

4. Ptiriasis rosea

14

G. PENATALAKSANAAN
Pengobatan

infeksi

jamur

dibedakan

menjadi

pengobatan

non

medikamentosa dan pengobatan medikamentosa (Hube et al, 2015).


1.

Non Medikamentosa
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk
b.

mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.


Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara

bergantian dengan orang yang terinfeksi.


c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas
untuk mencegah penyebaran jamur tersebut.
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
e.

menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.


Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis

yang dapat menghambat sirkulasi udara.


f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan
bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur.
2.

Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet


Medikamentosa
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan
pengobatan sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup
diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu
bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal
diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens(El-Gohary et al,
2014). Anti jamur topikal yang dapat diberikan yaitu derivate imidazole,
toksiklat, haloprogin dan tolnaftat (Sharquei, 2013). Pengobatan lokal
infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat
terlebih dahulu dilakukan dengan kompres basah secara terbuka Pada
keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi antijamur
dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat perbaikan klinis
dan mengurangi keluhan pasien (Djuanda, 2007).
a. Pengobatan Topikal

15

Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat


topikal dipengaruhi oleh mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas
dan asiditas formulasi obat tersebut. Selain obat-obat klasik,
obatobat derivate imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk
mengatasi masalah tinea korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk
golongan imidaol kurang lebih sama. Pemberian obat dianjurkan
selama 3-4 minggu atau sampai hasil kultur negative. Selanjutnya
dianjurkan juga untuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari
setelah penyembuhan klinis dan mikologis dengan maksud
mengurangi kekambuhan.
b. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada tinea korporis
adalah:
Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk
anak-anak 15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000
mg/hari
Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang
resisten terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah
200 mg/hari selama 10 hari 2 minggu Kekurangan dari ketokonaol
adalah efek sampingnya yang hepatotoksik bila dikonsumsi lebih
dari 10 hari.
Itrakonazol
Dibandingkan dengan ketokonazol itrakonazol relatif baru, namun
memberikan hasil yang cukup memuaskan. Mengingat efek sampng
ketokonazol, Itrakonazol dianggap lebih aman. Dosisnya adalah 2 x
100-200 mg/hari selama 3 hari 1 minggu.
Terbinafin
Terbinafin yang bersifat fungsisida juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseolfulvin. Mengingat efek sampng ketokonazol,
16

Itrakonazol dianggap lebih aman. Dosisnya adalah 62,5-2250


mg/hari bergantung berat badan selama 2-3minggu.
B. PROGNOSIS
Prognosis tinea korporis secara umum baik. Namun perlu diketahui bahwa
penyakit ini erat kaitannya denga higienitas pasien sehingga meskipun keluhan
sudah tidak muncul apabila ebersihan tidak terpelihara dapat terjadi infeksi
berulang. faktor-faktor yang menjadi penyulit kesembuhan dan atau menunjang
kekambuhan tinea korporis diantaranya(El-Gohary et al, 2014).:
1.
2.
3.
4.

Lesi luas
Higienitias personal buruk
Bertahan pada lingkungan dan kebiasaan berpakian yang lembab
Terapi tidak adekuat

17

II. PEMBAHASAN
A. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Penyakit kulit yang terdapat pada pasien dalam kasus adalah tinea korporis.
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik status dermatologis yang mendukung
ke arah diagnosis kerja tinea korporis adalah sebagai berikut :
Hasil anamnesis :
1. Keluhan utama gatal pada area yang tertutup pakaian dan area lipatan
kulit.
2. Keluhan gatal memberata apabila pasien berkeringat maupun saat
beraktivitas.
3. Pasien tinggal di tepat bercuaca panas dan beraktivitas menggunakan baju
tebal dengan bahan yang tidak menyerap keringat.
Hasil pemeriksaan fisik status dermatologis :
1. Lokasi : regio axilaris, thoraks dan gluteal
2. Efloresensi : makula eritematosa berbatas tegas dengan tepi aktif dan
central healing
B. DIAGNOSIS BANDING
Berdasarakan tempat lesinya, diagnosis banding untuk penyakit
dermatitis atopik pada kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Dermatitis kontak alergika
Dermatitis kontak alergi selalu disertai dengan keluhan gatal. Hal
ini sesuai dengan keluhan yang ada pada pasien ini. Penyakit dermatitis
kontak alergika biasanya didahului dengan adanya kontak terhadap
alergen, sementara pada kasus ini, pasien menyangkal adanya riwayat
kontak dengan bahan atau benda sebelumnya. Adapun efloresensi pada
dermatitis kontak alergika yaitu eritema numular-plakat, papul dan vesikel
yang berkelompok dan disertai dengan erosi numular-plakat (Siregar,
2014).
2. Kandidiasis
Kandidiasis selalu ditandai dengan rasa gatal yang terutama seakin
berat bila berkeringat. Rasa gatal dirasakan pada lesi kulit yang muncul
18

pada area-area yang berkeringat, seperrti lipatan, atau area yang lembap..
Efloresensi pada kandidiasis adalah makula dan papul eritem numular
hingga plakat dengan papul eritem disekitarnya sebagai lesi satelit yang
tidak diteukan padda lesi kulit pasien (Siregar, 2014).
3. Psoriasis
Psoriasis merupakan penyakit kronik residif yang memiliki ujud
kelainan kulit serupa dermatofitosis. Pasien umumnya mengeluhkan
muncul bercak yang bersisik disertai rasa gatal. Efloresensi kulit yang
muncul berupa maukla eritem anular multipel dengan sisik putih tebal
seperti mika. Terkadang lesi tampak sebagai maula hipopigmentasi dengan
tepi eritematosa sehingga sangat mirip dengan dermatofitosis (Siregar,
2014).
4. Pitiriasis Rosea
Pitiriasis rosea biasanya ditandai oleh bercak-bercak merah pada
badan dan tangan yang tidak sakit dan tidak gatal. Lesi yang muncul
sangat khas, yaitu diawali oleh lesi induk (mother patch/herald patch)
yang kemudian diikuti oleh lesi lainnya meengikuti garis lipat kulit seoerti
gambaran pohon cemara (Siregar, 2014).
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu dengan
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur,
pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi, pemeriksaan serologi,
dan pemeriksaan dengan menggunakan PCR (Djuanda, 2007).
Pemeriksaan

mikroskopis

dilakukan

dengan

membuat

preparat

langsung dari kerokan kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%.
Sesudah 15 menit atau sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah
mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa ditemukan hifa
(benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak juga spora
berupa bola kecil (Czaika, 2013).
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar
ultraviolet. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh
19

jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat
dengan memberi warna kuning kehijauan (El-Gohary et al, 2014).
D. PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakologis
a. Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari berkeringat yang
berlebihan
b. Menggunakan baju dari bahan yang menyerap keringat (misal: katun),
dan menghindari mengenaan baju dari bahan yang tidak menyerap
keringat (misal: karet, nylon)
c. Tidak bertukar handuk dan dengan orang lain
d. Menjemur handuk dan pakaian di luar, tidak di dalam rumah agar
tidak lebab
e. Memberitahukan untuk tidak menggaruk luka atau daerah kulit yang
gatal karena akan memperparah luka dan menimbulkan tempat infeksi
baru.
2. Farmakologis
a. Loratadine tablet; 2 x 10 mg/ hari
Loratadine adalah antihistamin kerja panjang yang mempunyai
selektivitas tinggi terhadap reseptor histamin-H1 perifer dan afinitas
yang rendah terhadap reseptor-H1 di susunan saraf pusat, sehingga
tidak menimbulkan efek sedasi atau antikolinergik gatal dan terbakar
pada mata. Selain itu loratadine juga mengobati gejala-gejala seperti
urtikaria kronik dan gangguan alergi pada kulit lainnya.Pada kasus ini
digunakan untuk mengatasi keluhan gatal yang dirasakan oleh pasien
(Katzung, 2004).
b. Ketokonazol tablet; 2 x 200 mg/ hari.
Ketokonazol merupakan fungistatik yang bekerja melalui inhibisi
sintesis ergosterol dependen-sitokrom p450 yang berperang dalam
pembentukan membran sel. Ketokonazol memiliki hepatotksik sehigga
tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama (El-Gohary et al, 2014).
c. Krim racikan (Mikonazol + Hidrokortison 1% + Asam salisilat 2% +
LCD 5% ); 2 x 1
Obat topikal dala sediaan krim diberikan pada pasien untuk dioleskan
tipis pada area yang gatal secara teratur sebanyak 2 kali sehari.
20

Mikonazol merupakan obat antifungal bekerja dengan mengubah


permebilitas membran sel fungi sehingga merusak sistem barier selektif
yang berdampak pada ketidaksimbangan komponen sel. Hidrokrtison
merupakan kortikosteroid lemah yang yang berfungsi sebagai anti
radang dan anti pruritus. Asam salisilat berfungsi sebagai anti pruritus
dan agen keratolitik. LCD merupakan preparat ter batu bara yang
berfungsi sebagai anti radang dan emolien (El-Gohary et al, 2014;
Djuanda, 2007).
E. PROGNOSIS
Pada pasien lesi tinea korporis cukup luas sehingga dibutuhkan waktu
yang cukup lama untuk memulihkannya. Namun secara umum tingkat
kesembuhan untuk dermatofitosis superfisialis cukup tinggi (Hube et al,
2015).

II.

KESIMPULAN

1. Tinea korporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial
golongan dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah,
badan, lengan, dan tungkai.
21

2. Tinea corporis disebabkan oleh jamur golongan Dermatofita yang mempunyai


sifat mencernakan keratin.
3. Terapi tinea korporis meliputi nonmedikamentosa, topikal dan sistemik.
4. Prognosis umumnya prognosis untuk tinea corporis adalah baik dengan terapi
yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkungan.

22

DAFTAR PUSTAKA
Czaika AV. 2013. Effective Treatment of Tinea Corporis due to Trichophyton
mentagrophytes with Combined Isoconazole Nitrate and Diflucortolone
Valerate Therapy. Mycoses Special Issues. Blackwell Verlag GmbH.
56(1):30-32.
Djuanda A. 2007. IlmuPenyakitKulitdanKelamin. Edisi 5. Jakarta : FKUI.
El-Gohary M. Van Zuuren EJ, Fedorowics Z, Burgess H, Doney L. 2014. Topical
Antifungal Treatment for Tinea Cruris anda Tinea Corporis. Cochrane
Databse System Review.
Hube B. Hay R, Brasch J, Veraldi S, Schaller M. 2015. Dermatomycoses and
Inflammation: The adaptive balance between growth, damage, and survival.
Journal of Medical Mycology. 25(1).
Katzung BG. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Mansjoer A. 2000. KapitaSelektaKedokteran. Jilid II. Edisi 3. Jakarta : FKUI.
Sharquie KE. Noaimi AA, Al-Hashimy SA, Al-Tereihi IG. 2013. Treatment of
Tinea Corporis by Topical 10% Zinc Sulfate Solution. The Iraqi Post
Graduate Medical Journal. 12(2):247-250.
Siregar RS. 2014. Atlas BerwarnaSaripatiPenyakitKulit. Edisi 4. Jakarta : EGC.

23

Anda mungkin juga menyukai