Anda di halaman 1dari 32

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia, bahkan
WHO menyatakan bahwaobesitas sudah merupakan suatu epidemi global,
sehingga obesitas sudah merupakan suatu problem kesehatan yang harus
segera ditangani. Di Indonesia, terutama dikota-kota besar, dengan adanya
perubahan gaya hidup pada perubahan pola makan atau konsumsi
masyarakat yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, tinggi lemak dan
kolesterol, terutama terhadap penawaran makanan siap saji (fast food) yang
berdampak meningkatkan risiko obesitas.
Permasalahan obesitas tidak dapat dianggap mudah begitu saja, karena
obesitas dan kegemukan pada anak berpotensi meningkatkan resiko timbulnya
berbagai gangguan kesehatan. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010,
diperkirakan prevalensi balita di Indonesia mengalami gizi lebih dan
kegemukan (obesitas) yaitu sebesar 14,2 %. Angka ini mengalami peningkatan
yang sangat drastis. Berdasarkan Laporan Nasional Riskesdas Tahun 2007,
persentase balita yang mengalami gizi lebih yaitu sebesar 12,2 %.
Selain obesitas, keadaan dimana terjadinya defisiensi vitamin A pada anak
juga menjadi masalah. Defisiensi vitamin A merupakan masalah kesehatan
masyarakat utama yang terdapat di 60-78 negara berkembang, dan
diperkirakan 78-253 juta anak usia presekolah dipengaruhi oleh defisiensi
vitamin A. Vitamin A merupakan istilah umum bagi sebuah kelompok
senyawa kimia yang secara structural saling berhubungan dan dikenal dengan
nama retinoid; kelompok retinoid ini secara kualitatif mengendalikan
efektifitas biologis retinol. Meskipun hanya diperlukan dalam jumlah yang
kecil, namun nutrient ini sangat dibutuhkan agar berbagai proses regulasi dan
fisiologis lainnya tetap bekerja secara normal dalam tubuh manusia. Vitamin A
juga berperan sebagai nutrisi esensial yang diperlukan untuk memelihara
fungsi imun, berperan penting dalam pengaturan imunitas yang cell-mediated
dan dalam respon antibodi humoral.
Defisiensi vitamin A adalah masalah kesehatan umum yang luas. Anak
usia prasekolah dan wanita di usia reproduktif merupakan dua kelompok
populasi yang paling berisiko. Penyebab kebutaan yang paling sering

ditemukan pada anak-anak kebanyakan disebabkan oleh defisiensi vitamin A.


Lebih kurang 150 juta anak lainnya menghadapi resiko yang meningkat untuk
meninggal dalam usia anak-anak karena penyakit infeksi yang disebabkan
oleh defisiensi vitamin A.
Mengingat pentingnya pengetahuan tetang obesitas pada anak dan
defisiensi vitamin A, oleh karena itu perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut
mengenai kedua penyakit tersebut.
B. TUJUAN
1. Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis, tatalaksana, dan
komplikasi dari obesitas.
2. Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, dan
penyakit defisiensi vitamin A.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. OBESITAS
1. Definisi
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang
ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.
2

Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan


pengukuran antropometri dan atau pemeriksaan laboratorik, pada
umumnya digunakan :
a. Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar
dan disebut obesitas bila BB> 120% BB standar.
b. Pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB).
Dikatakan obesitas bila BB/TB> persentile 95 atau >120% atau
Z-score = +2SD.
c. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfoldthickness
(teballipatankulit/TLK). Sebagai indicator obesitas bila TLK
Triceps > persentil ke 85.
d. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri,
dan hidrometri namun tidak digunakan pada anak karena sulit
dan tidak praktis.
Obesitas merupakan keadaan patologis, yaitu

terdapatnya

penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk


fungsi tubuh yang normal (Soetjiningsih, 1995). WHO (2000) secara
sederhana mendefinisikan obesitas sebagai kondisi abnormal atas
akumulasi lemak yang ekstrim pada jaringan adipose. Inti dari
obesitas ini adalah terjadinya keseimbangan energi positif yang
tidak diinginkan dan bertambahnya berat badan.
Obesitas pada anak merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian obesitas saat dewasa. Sekitar 26% bayi dan
anak-anak dengan status obes akan tetap menderita obes dua
puluh tahun kemudian.
2. Etiologi
Obesitas merupakan penyakit dengan etiologi yang sangat
kompleks dan belum sepenuhnya diketahui. Keadaan obesitas terjadi
jika makanan sehari- harinya mengandung energi yang melebihi
kebutuhan anak yang bersangkutan (positive energy balance). Pada
umumnya, berbagai faktor yang menentukan

keadaan obesitas

seseorang seperti:
a. Herediter

Anak yang obes biasanya berasal dari keluarga penderita


obesitas. Bila kedua orangtua obes, sekitar 80% anak-anak
mereka akan menjadi obes. Bila salah satu orangtua obes
kejadiannya menjadi 40% dan bila kedua or ngtua idak obes
maka prevalens obesitas akan turun menjadi 14%. Peningkatan
risiko menjadi obesitas tersebut kemungkinan disebabkan oleh
pengaruh ge atau faktor l ngkungan dalam keluarga.
b. Pola makan
Peran nutrisi dimulai sejak masa gestasi. Perilaku makan
mulai

terkondisi

dan

terlatih

sejak

bulan-bulan

pertama

kehidupan yaitu saat diasuh orangtua. Pemberian susu botol pada


bayi mempunyai kecenderungan diberikan pada jumlah yang
berlebihan sehingga risiko menjadi obesi as menjadi
daripada ASI saja. Akibatnya anak akan

bih besar

terbiasa

untuk

mengkonsumsi makanan melebihi kebutuhan dan berlanjut ke


masa prasekolah, masa usia sekolah, sampai masa remaja.
Peranan diet terhadap terjadi ya obesitas sangat besar,
terutama diet tinggi kalori yang ber sal dari karbohidrat dan lemak.
Masukan energi

tersebut lebih besar daripada energi yang

digunakan. Anak-anak usia

sekolah

mempunyai

kebiasaan

mengkonsumsi makanan cepat saji (junk foods dan fast foods),


yang umumnya mengandung energi tinggi karena 40-50% nya
berasal dari lemak.

Kebiasaan lain adalah mengkonsumsi makanan camilan yang


banyak mengandung gula sambil menonton televisi. Pilihan jenis
makanan camilan bisa dipengaruhi oleh iklan di televisi.
Penelitian

yang

menemukan bahwa

dilakukan

oleh

Vanelli

dkk

(2005)

melewatkan makan pagi pada anak-anak

dapat meningkatkan risiko overweight dan obesitas. Pada anakanak yang melewatkan makan pagi dilaporkan 27,5% overweight
dan 9,6% obes (p=0,01 dan p=0,04 berturut-turut) dibandingkan

anak-anak yang makan pagi (9,1% dan 4,5% berturut-turut).

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Dubois dkk (2006)


ditemukan bahwa melewatkan makan pagi meningkatkan risiko
overweight hampir dua kali lipat dengan odds ratio = 1,9(1,2-3,2).
c. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik sehari-hari dipercaya menjadi salah satu faktor
munculnya obesitas pada seseorang. Suatu data menunjukkan
bahwa aktivitas fisik anak-anak cenderung menurun. Anak-anak
lebih banyak bermai
rumah,

misalnya

di dalam rumah dibandingkan di luar

bermain games komputer maupun media

elektronik lain dan menonton televisi.


Sebaliknya menonton televisi akan menurunkan aktivitas dan
keluaran energi, karena mereka menjadi jarang atau kurang
berjalan, bersepeda, naik-turun tangga. Suatu penelitian kohort
mengatakan bahwa

menonton televisi lebih dari lima jam

meningkatkan prevalens dan angka kejadian obesitas pada anak


6-12 tahun (18%), serta menurunkan angka keberhasilan sembuh
dari terapi obesitas sebanyak 33%.
d. Gangguan Hormon
Walaupun sangat jarang, adakalanya obesitas disebabkan oleh
endocrine disorder, seperti pada Sindroma Cushing, hiperaktivitas
adrenokortikal, hipogonadisme, dan penyakit hormon lain.

3. Patogenesis
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi
dengan keluaran energi

(energy expenditures) sehingga terjadi

kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan


lemak. Asupan

dan

pengeluaran

energi

tubuh

diatur

oleh

mekanisme saraf dan hormonal. Hampir setiap individu, pada


saat asupan makanan meningkat, konsumsi kalorinya juga ikut
meningkat,

begitupun

sebaliknya.

Karena

itu,

berat

badan

dipertahankan secara baik dalam cakupan yang sempit dalam waktu


yang

lama.

Diperkirakan,

keseimbangan

yang

baik

ini

dipertahankan oleh internal set point atau lipostat, yang dapat


mendeteksi jumlah energi yang tersimpan (jaringan adiposa) dan
semestinya meregulasi asupan makanan supaya seimbang dengan
energi yang dibutuhkan.
Secara garis besar, ada tiga komponen pada sistem tersebut:
a. Sistem

aferen,

menghasilkan

sinyal

humoral

dari

jaringan adiposa (leptin), pankreas (insulin), dan perut


(ghrelin).
b. Central

processing

unit,

terutama

terdapat

pada

hipotalamus, yang mana terintegrasi dengan sinyal aferen.


c. Sistem

efektor,

membawa

perintah

dari

nucleus

hipotalamus dalam bentuk reaksi untuk makan dan


pegeluaran energi.
Pada keadaan energy tersimpan berlebih dalam bentuk jaringan
adiposa dan individu tersebut makan, sinyal adiposa aferen (insulin,
leptin, ghrelin) akan dikirim ke unit proses sistem saraf pusat pada
hipotalamus. Di sini, sinyal adiposa menghambat jalur anabolisme
dan mengaktifkan jalur katabolisme. Lengan efektor pada jalur
sentral ini kemudian mengatur keseimbangan energy dengan
menghambat masukan makanan dan memproduksi pengeluaran
energy. Hal ini akan mereuksi energy yang trsimpan. Sebaliknya, jika
energy yang tersimpan sedikit ketersediaan jalur katabolisme akan
digantikan dengan jalur anabolisme untuk menghasilkan energy yang
akan disimpan dalam bentuk jaringan adipose, sehingga tercipta
keseimbangan antara keduanya.

Tabel 2.1. Patogenesis infeksi campak tanpa penyulit

Hari
0

Manifestasi
Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan
epitel nasofaring atau kemungkinan konjungtiva
Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus
Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
Viremia primer
Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di

1-2
2-3
3-5

tempat infeksi pertama, dan pada RES regional maupun


5-7
7-11

daerah yang jauh


Viremia sekunder
Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus,

termasuk saluran nafas


11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada

organ

menghilang
Sumber :Feiginet al.2004.Textbook of Pediatric Infectious Diseases5th
edition
4. Diagnosis
a. Anamnesis
Obesitas dapat terjadi pada setiap umur dan gambaran klinis
obesitas pada anak dapat bervariasi dari yang ringan sampai
dengan yang berat sekali. Berikut hasil yang bisa didapatan dari
anamnesis :
1) Pertumbuhan berjalan dengan cepat/pesat disertai adanya
ketidakseimbangan antara peningkatan berat badan yang
berlebihan dibandingkan dengan tinggi badannya.
2) Jaringan lemak bawah kulit menebal sehingga tebal lipatan
kulit lebih daripada yang normal dan kulit nampak lebih
kencang.
3) Kepala nampak relatif lebih kecil dibandingkan dengan
tubuhnya atau dibandingkan dengan dadanya (pada bayi).
4) Bentuk pipi lebih tembem, hidung dan mulut tampak relatif
lebih kecil, mungkin disertai dengan bentuk dagunya yang
berganda (dagu ganda).
5) Pada dada terjadi pembesaran

payudara

yang

dapat

meresahkan bila terjadi pada anak laki-laki.

6) Perut membesar menyerupai bandul lonceng, dan kadang


disertai garis-garis putih atau ungu (striae).
7) Kelamin luar pada anak wanita tidak jelas ada kelainan, akan
tetapi pada anak laki-laki tampak relatif kecil.
8) Pubertas pada anak laki-laki terjadi lebih awal dan akibatnya
pertumbuhan kerangka lebih cepat berakhir sehingga tingginya
pada masa dewasa relatif lebih pendek.
9) Lingkar lengan atas dan paha lebih besar dari normal, tangan
relatif lebih kecil dan jari-jari bentuknya meruncing.
10) Dapat terjadi gangguan psikologis berupa : gangguan emosi,
sukar bergaul, senang menyendiri dan sebagainya.
b. Pemeriksaan Fisik
Perawatan kesehatan profesional mendefinisikan obesitas atau
kelebihan berat badan dengan menggunakan indeks massa tubuh
(BMI), yang merupakan metode yang sangat baik untuk
pengukuran langsung lemak tubuh. BMI = berat badan dalam kg /
(tinggi dalam meter)2. Selama masa kanak-kanak, tingkat
perubahan lemak tubuh dimulai dengan penyimpanan jaringan
adiposa yang tinggi selama masa kanak-kanak. Kadar lemak tubuh
menurun menjelang usia 5,5 tahun sampai periode yang disebut
"adiposity rebound", ketika lemak tubuh biasanya berada pada
tingkat terendah. Adipositas kemudian meningkat sampai awal
masa dewasa. Akibatnya, obesitas dan kelebihan berat badan
didefinisikan menggunakan persentil BMI, anak usia diatas 2 tahun
dengan persentil BMI 95 memenuhi kriteria untuk obesitas, dan
orang-orang dengan BMI antara persentil ke-85 dan ke-95
mengalami kelebihan berat badan.

Gambar 1. Kurva CDC Persentil Indeks Massa Tubuh per Umur


Untuk Anak Wanita

Gambar 2. Kurva CDC Persentil Indeks Massa Tubuh per Umur


Untuk Anak Laki-Laki
5. Tatalaksana
Pasien campak

tanpa

penyulit

dapat

berobat

jalan

dan

pengobatannya bersifat simtomatik, seperti (WHO, 2004):


a. Antipiretika
Parasetamol
7,5 10 mg/kgBB/kali, interval 6-8 jam.
9

b. Ekspektoran
Gliseril guaiakolat anak 6-12 tahun : 50 100 mg tiap 2-6 jam,
dosis maksimum 600 mg/hari.
c. Antikonvulsi bila diperlukan
Selain itu juga perlu dilakukan terapi suportif, seperti :
a. Istirahat cukup
b. Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi
c. Perawatan kulit dan mata
d. Perawatan lain sesuai penyulit yang terjadi
Sedangkan pada campak dengan penyulit, hiperpireksia (suhu >
39o C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi
diindikasikan untuk dirawat inap. Di rumah sakit pasien campak
dirawat di bangsal isolasi sistem pernafasan, diperlukan perbaikan
keadaan umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang
memadai. Vitamin A diberikan dengan dosis 100.000 IU per oral untuk
usia 6 bulan 1 tahun dan dosis 200.000 IU per oral untuk usia lebih
dari 1 tahun. Dosis diberikan satu kali baik untuk dengan komplikasi
maupun tidak, apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU perhari.
Parasetamol untuk menurunkan demam dosis 10-15mg/kg BB
(WHO,2004).
Antivirus seperti ribavirin (dosis 20-35 mg/kgBB/hari i.v) telah
dibuktikan secara in vitro terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan
penderita

campak

berat

dan

penderita

dewasa

yang

immunocompromissed. Namun penggunaan ribavirin ini masih dalam


tahap penelitian dan belum digunakan untuk penderita anak.
Apabila terdapat penyulit, maka dilakukan pengobatan untuk
mengatasi penyulit yang timbul, yaitu(Cherry, 2004).:
a. Bronkopneumonia
Diberikan antibiotic ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis IV
dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/ hari IV dalam
4 dosis, sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum
obat per oral. Antibiotic diberikan sampai tiga hari demam reda.
Apabila di curigai infeksi spesifik, maka uji tuberculin dilakukan
setelah anak sehat kembali (3-4 minggu kemudian) oleh karena uji
tuberculin bisanya negative (anergi) pada saat anak menderita

10

campak. Gangguan reaksi delayed hypersensitivity disebabkan


oleh sel limfosit T yang terganggu fungsinya.
b. Enteritis
Pada keadaan berat anak mudah jatuh dalam dehidrasi. Pemberian
cairan IV dapat dipertimbangkan apabila terdapat enteritis dan
dehidrasi.
c. Otitis media
Seringkali disebabkan oleh karena infeksi sekunder, sehingga perlu
diberikan

antibiotic

kotrimoksazol-sulfametoksazol

(TMP 4

mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis).


d. Ensefalopati
Perlu reduksi jumlah pemberian cairan hingga kebutuhan untuk
mengurangi edema otak, disamping pemberian kortikosteroid.
Perlu dilakukan koreksi elektrolit dan gangguan gas darah.Bila ada
tanda ensefalopati diberikan kloramfenikol dosis 75 mg/kgbb/hari
dan

ampisilin

Kortikosteroid
diberikan

100

mg/kgbb/hari

seperti deksametason

sebagai

dosis

awal

selama
1

7-10

hari.

mg/kgbb/hari

dapat

kemudian dilanjutkan dengan

dosis 0,5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran


membaik (bila pemberian lebih dari 5 hari lakukan tappering off).
Beberapa anjuran yang dapat diberikan, yaitu :
a. Bila campaknya ringan, anak cukup dirawat di rumah. Kalau
campaknya berat atau sampai terjadi komplikasi maka harus
dirawat di rumah sakit.
b. Anak campak perlu dirawat di tempat tersendiri agar tidak
menularkan penyakitnya kepada yang lain. Apalagi bila ada bayi di
rumah yang belum mendapat imunisasi campak.
c. Beri penderita asupan makanan bergizi seimbang dan cukup untuk
meningkatkan daya tahan tubuhnya. Makanannya harus mudah
dicerna, karena anak campak rentan terjangkit infeksi lain, seperti
radang tenggorokan, flu, atau lainnya. Masa rentan ini masih
berlangsung sebulan setelah sembuh karena daya tahan tubuh
penderita yang masih lemah.
d. Lakukan pengobatan yang tepat dengan berkonsultasi pada dokter.

11

e. Jaga kebersihan tubuh anak dengan tetap memandikannya.


f. Anak perlu beristirahat yang cukup.

6. Komplikasi
Campak menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak
berumur lebih kecil. Kebanyakan penyulit campak terjadi bila ada
infeksi sekunder oleh bakteri. Beberapa penyulit campak adalah
(WHO, 2004) :
a. Bronkopneumonia
Merupakan salah satu penyulit tersering pada infeksi campak.
Dapat disebabkan oleh invasi langsung virus campak maupun
infeksi sekunder oleh bakteri (Pneumococcus, Streptococcus,
Staphylococcus, dan Haemophyllus influenza). Ditandai dengan
adanya ronki basah halus, batuk, dan meningkatnya frekuensi nafas.
Pada saat suhu menurun, gejala pneumonia karena virus campak
akan menghilang kecuali batuk yang masih akan bertahan selama
beberapa lama. Bila gejala tidak berkurang, perlu dicurigai adanya
infeksi sekunder oleh bakteri yang menginvasi mukosa saluran
nafas yang telah dirusak oleh virus campak. Penanganan dengan
antibiotik diperlukan agar tidak muncul akibat yang fatal.
b. Encephalitis
Komplikasi neurologis tidak jarang terjadi pada infeksi
campak. Gejala encephalitis biasanya timbul pada stadium erupsi
dan dalam 8 hari setelah onset penyakit. Biasanya gejala komplikasi
neurologis dari infeksi campak akan timbul pada stadium
prodromal. Tanda dari encephalitis yang dapat muncul adalah :
kejang, letargi, koma, nyeri kepala, kelainan frekuensi nafas,
twitching dan disorientasi. Dugaan penyebab timbulnya komplikasi
ini antara lain adalah adanya proses autoimun maupun akibat virus
campak tersebut.
c. Subacute Slcerosing Panencephalitis (SSPE)
Merupakan suatu proses degenerasi susunan syaraf pusat
dengan karakteristik gejala terjadinya deteriorisasi tingkah laku

12

dan intelektual yang diikuti kejang. Merupakan penyulit campak


onset lambat yang rata-rata baru muncul 7 tahun setelah infeksi
campak pertama kali. Insidensi pada anak laki-laki 3x lebih sering
dibandingkan dengan anak perempuan. Terjadi pada 1/25.000
kasus dan menyebabkan kerusakan otak progresif dan fatal. Anak
yang belum mendapat vaksinansi memiliki risiko 10x lebih tinggi
untuk terkena SSPE dibandingkan dengan anak yang telah
mendapat vaksinasi.
d. Konjungtivitis
Konjungtivitis terjadi pada hampir semua kasus campak.
Dapat

terjadi

infeksi

sekunder

oleh

bakteri

yang

dapat

menimbulkan hipopion, pan oftalmitis dan pada akhirnya dapat


menyebabkan kebutaan.
e. Otitis Media
Gendang telinga biasanya hiperemi pada fase prodromal dan
stadium erupsi.
f. Diare
Diare dapat terjadi akibat invasi virus campak ke mukosa saluran
cerna sehingga mengganggu fungsi normalnya maupun sebagai
akibat menurunnya daya tahan penderita campak .
g. Laringotrakheitis
Penyulit ini sering muncul dan kadang dapat sangat berat sehingga
dibutuhkan tindakan trakeotomi.
Tabel 2.2 Komplikasi Campak
Komplikasi Campak
Umum
Pneumonia
Diare
Laringotrakheobronkitis
Malnutrisi
Otitis Media
Ulcerasi Mulut
Konjungtivitis

Tidak Umum
Encefalitis
Miokarditis
Pneumotoraks
Pneumomediastinum
Apendisitis
Subakut
Subacute Slcerosing
Panencephalitis (SSPE)

B. DEFISIENSI VITAMIN A
1. Definisi

13

Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan


struktur kimianya disebut retinol atau retina atau disebut juga dengan
asam retinoat,

terdapat pada jaringan hewan dimana retinol 90-

95% disimpan pada hati (Haryadi, 2009).


Vitamin A adalah salah satu zat gizi dan golongan vitamin yang
sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar
dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan
daya tahan tubuh untuk melawan penyakit, khususnya diare

dan

penyakit infeksi). Vitamin A atau berdasarkan struktur kimianya dibagi


menjadi dua bentuk yaitu retinol dan betacarotine.
Defisiensi vitamin A adalah suatu kondisi dimana simpanan
vitamin A dalam tubuh berkurang, ditandai rendahnya kadar vitamin
A dalam jaringan penyimpanan (hati) dan melemahnya kemampuan
adaptasi terhadap gelap dan sangat rendahnya konsumsi atau masukan
karotin dari vitamin A. Keadaan ini ditunjukan dengan kadar serum
retinol dalam darah kurang dari 20g/dl. Xeroptalmia merupakan
istilah yang menerangkan gangguan pada mata akibat kekurangan
vitamin A, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan
gangguan fungsi sel retina yang dapat menyebabkan kebutaan.
2. Etiologi
Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap defiiensi vitamin
A. Penyebab paling penting dari defisiensi vitamin A pada anak adalah
rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin A (termasuk
pemberian ASI yang tidak memadai) dan infeksi yang berulang,
khususnya campak, diare, dan infeksi pernafasan.
Asupan makanan kaya vitamin A yang kurang memadai, Infeksi
berulang, khususnya campak, diare, dan infeksi pernapasan akut.
Selain hal diatas, defisiensi vitamin A juga dapat disebabkan karena
pemberian ASI yang tidak memadai dalam jangka lama, pemberian
makanan pelengkap yang tidak sesuai waktunya (seperti pengenalan
makanan padat yang rendah nilai gizinya).

14

3. Patofisiologi
Infeksi Clostridium tetani menyebabkan neuron inhibitorikgagal
mengeluarkan
yang

neurotransmitter

terjadi

inhibitori,

sehingga

kontraksi

tidakdiimbangi dengan inhibisi otot yang lain.

Akibatnya baik otot agonis maupun antagonismengalami


dan

tidak

terkontrol

sehingga

terjadi

spasme

kontraksi
otot

yang

menjadigambaaran khas pada tetanus (Soedarmo et al., 2010).


Clostridium tetani menghasilkan endospora yang membutuhkan
kondisi anaerobic untuk dapat berkembang.Jaringan yang nekrosis atau
mengalami infeksi merupakan lokasiyang sangat mendukung bagi
tumbuhnya bakteri ini.Bakteri ini biasanya masuk ke situsluka dan
setelah

melalui proses germinasi

(berkisar antara 3-21

hari),

bakteri ini akanmenghasilkan 2 jenis exotoxin, yaitu tetanolisin


dan
tetani

tetanospasmin.
bersifat

Tetanolisin

sitolisin,

denganmerusak

dan

yangdihasilkan oleh Clostridium


mengawali

jaringan-jaringan

yang

infeksi
belum

bakteri

nekrosis

ini
dan

mengoptimalkan suasana anaerob yangterbentuk pada situs luka


(Hinfey, 2016).
Tetanospasmin

sebagai

neurotoksin

kemudian

menjadi

agenpenyebab munculnya berbagai gejala klinis pada tetanus.


Tetanospasmin
rantai

merupakan

suatu

neurotoksin

yang

berbentuk

polipeptidaganda. Rantai polipeptida ini terdiri atas sebuah

rantai polipeptida berat (100000 Da) dan 1 rantai

polipeptida

ringan(50.000 Da). Ke dua rantai tersebut dihubungkan oleh


suatu jembatan disulfide (Hinfey, 2016).
Rantai polipeptida ringan (mengandung zinc metalloprotease) akan
berikatan dengan

neuromuscular junction sedangkan

rantai

polipeptida berat (mengandungsuatu

amino

terminus

yang

berfungsi

sinyal

kepada

sel)

dalam

akson.

untuk

memberi

menyebabkantetanospasmin

dapat

masuk

ke

Tetanospasmin kemudian masuk ke dalam selhingga mencapai sistem


saraf

pusat

secara

intra-aksonal.

Setelah

mencapai

daerah

intrasel,tetanospasmin dapat berdifusi keluar dari sel dan berikatan


15

dengan reseptor interneuroninhibitorik


Tetanospasmin

akan

diendositosis

(pada
ke

medulla

dalam

spinalis).

selintraneuron

inhibitorik ini (Hinfey, 2016).


Di dalam sel, ikatan disulfida antara rantai polipeptida ringan dan
berat akan rusakakibat suasana asam, rantai polipeptida ringan
kemudian akan masuk ke sitoplasma selintraneuron. Kandungan zinc
metalloprotease yang terdapat pada rantai ringan ini kemudianakan
merusak synaptobrevin (protein membrane) yang dibutuhkan dalam
proses transportasineurotransmitter dari sel interneuron menuju saraf
motorik. Hal ini menyebabkan pelepasanneurotransmitter
(terutama

Gamma

Amino

Butric

inhibitori

Acid/GABA)

tidak

dapatdilakukan. Dihambatnya transport GABA ini menyebabkan


refleks antagonis otot skeletalmenjadi hilang, akibatnya terjadi
kontraksi otot tidak terkontrol dan spasme dari otot-ototskeletal
(Hinfey, 2016).
Tetanospasmin selain merusak refleks antagonis pada sistem
musculoskeletal, padatahap lanjut, juga mengganggu refleks antagonis
sistem saraf simpatik, sehingga pada kondisitersebut, pelepasan
katekolamin storm atau disebhiper-adrenergik. Masa inkubasi pada
bayi lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu berkisar antara 310hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau
awal minggu ke dua pascapersalinan sehingga sering kali disebut
sebagai penyakit hari ke tujuh (disease of the seventhday).

Hal

membantu

penyakit

lain

membedakan

tetanus

neonatorum

dengan

ini

padaneonatus, di mana pada penyakit lain akan muncul gejala

pada 2 hari pertama kehidupan(Hinfey, 2016).


4. Diagnosis
a. Anamnesis
Orang tua mengeluh anaknya tidak bisa melihat pada sore hari
(buta senja) atau ada kelainan pada matanya. Kadang-kadang
keluhan utama tidak berhubungan dengan kelainan pada mata
seperti demam. Tanyakan apakah anak ditimbang secara teratur,
mendapatkan imunisasi, mendapat suplementasi kapsul vitamin A

16

dosis tinggi dan memeriksakan kesehatan baik di posyandu atau


puskesmas (bisa dikonfirmasi dalam buku KIA/KMS anak).
b. Pemeriksaan Fisik
1. Antropometri
Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Penilaian Status gizi
Apakah anak menderita gizi kurang atau gizi buruk
3. Periksa matanya apakah ada tanda-tanda xeroftalmia.
Xeroftalmia merupakan manifestasi klinis defisiensi vitamin A
yang paling spesifik dan mudah dikenali, dan dipakai secara
pasti untuk menilai status vitamin A. Penurunan penyimpanan
vitamin A secara bertahap dan tanpa komplikasi dapat,
mengakibatkan

peningkatan

kehebatan

xeroftalmia,

bermanifestasi sebagai rabun senja, xerosis konjungtiva, dan


bercak

Bitot,

xerosis

kornea,

dan

ulserisasi

kornea/keratomalasia.
XN

Rabun Senja

X1A

Xerosis Konjungtiva

X1B

Bercak Bitot

X2

Xerosis Kornea

X3A

Ulserasi Kornea/ keratomalasia < 1/3

X3B

permukaan kornea

XS

Ulserasi Kornea/ keratomalasia > 1/3


permukaan kornea; Jaringan parut kornea
Tabel 1. Klasifikasi Xeroftalmia

I.

Rabun Senja (XN)


Retinol penting untuk elaborasi rodopsin oleh sel
batang, yang merupakan reseptor sensori retina yang
bertanggung jawab terhadap penglihatan dalam cahaya
redup. Oleh karena itu defisiensi vitamin A dapat
mengganggu produksi rodopsin sehingga mengganggu
penglihatan saat senja. Buta senja umumnya merupakan
manifestasi defisiensi vitamin A yang paling awal. Anak

17

yang buta senja biasanya tidak akan suka bermain- main


setelah senja, tetapi lebih suka duduk di pojok yang aman,
sering tidak mampu untuk mencari makanan ataupun
mainannya.
II.

X1A, X1B Xerosis Konjungtiva dan Bercak Bitot


Epitel konjungtiva pada defisiensi vitamin A berubah
bentuknya dari tipe kollumnar normal menjadi tipe
skuamosa bertingkat, dengan akibat hilangnya sel goblet,
pembentukan

lapisan

sel

granular,

dan

keratinisasi

permukaan.
Secara klinis, perubahan ini ditandai dengan kekeringan
yang nyata dan hilangnya kemampuan membasahi mata,
daerah yang terkena dampak lebih kasar, disertai tetesantetesan halus atau gelembung pada permukaan, bukan
permukaan yang licin dan mengkilat. Perubahan ini paling
baik dideteksi dengan pencahayaan dari sisi oblik,
perubahan ini sering hampir tidak kentara dan dapat tidak
jelas karena pengeluaran air mata yang hebat. Bila
pengeluaran air mata berhenti, maka daerah yang terkena
akan tampak seperti "beting daerah pasang surut" (sanbank
at receding tide).
Xerosis konjungtiva awalnya muncul pada kuadram
temporal, sebagai suatu potongan kecil oval atau segitiga
yang berbatasan dengan limbus pada fisura interpalpebral.
Hampir selalu ada pada kedua mata. Pada beberapa
individu, keratin dan basil saprofit berkumpul pada
permukaan xerotik, memberikan suatu gambaran seperti
busa atau kiju. Lesi seperti ini dikenal dengan bercak Bitot.
Bahan yang melapisinya lebih mudah dibersihkan, dan
jumlah yang terbentuk lebih bervariasi dari hari ke hari.
Bila defisiensi lebih berat, lesi akan terbentuk juga di
kuadran nasal, walau kurang mencolok. Bercak Bitot dapat

18

segera dikenali dan merupakan suatu kriteria klinis yang


berguna untuk penilaian status vitamin A.

Gambar 4. X1A Xerosis Konjungtiva

Gambar 5. X1B Bercak Bitot (busa)

Gambar 6. X1B Bercak Bitot (kiju)

III.

Xerosis Kornea
Perubahan kornea terjadi pada awal defisiensi vitamin
A, jauh sebelum perubahan kornea dapat dilihat dengan
mata telanjang. Dengan makin beratnya penyakit, lesi
pungtata menjadi lebih banyak, menyebar ke atas melebihi
bagian tengah kornea dan stroma kornea menjadi bengkak.

19

Gambar 7,8 : X2 Xerosis Konjungtiva


IV.

X3A, X3B. Ulkus Kornea/Keratomalasia


Ulserasi/Keratomalacia

mengindikasikan

adanya

kerusakan permanen dari sebagian atau semua stroma


kornea,

mengakibatkan

perubahan

struktur

yang

permanen. Ulserasi yang mengenai kurang dari sepertiga


permukaan kornea (X3A) biasanya tidak mengenai zona
pupil central dan terapi yang cepat dapat menyelamatkan
pengelihatan normal. Ulserasi yang lebih luas (X3B),
terutama

xnekrosis

likuofaktif,

akan

menyebabkan

perforasi, extrusi dari bahan intraocular, dan rusaknya bola


mata.

Gambar 9,10. X3A Ulserasi kornea

Gambar 11,12. X3B Ulserasi kornea


V.

XS. Jaringan Parut Kornea


Gejala sisa yang terjadi setelah sembuh dari penyakit
kornea terdahulu yang berkaitan dengan defisiensi vitamin

20

A termasuk opasitas atau jaringan parut dengan bermacammacam identitas/kepadatan (nebula, makula, leukoma),
kelemahan dan outpouching (penonjolan) lapisan kornea
yang tersisa.

Gambar 13, 14. Jaringan Parut kornea


VI.

XF. Fundus Xerophtalmik


Lesi retinal kecil putih yang muncul pada beberapa
kasus defisiensi vitamin A. Lesi tersebut dapat disertai
dengan konstriksi lapangan pandang dan akan menghilang
dalam 2-4 bulan setelah diberikan terapi vitamin A.
Anak-anak dengan suspek atau beresiko xerophtalmia
harus diperiksa dengan cahaya luar yang terang pada kedua
mata sambil membelakangi matahari atau dengan bantuan
senter dan lup. Namun, karena adanya nyeri dan reflex
blepharospasmik pada keterlibatan kornea, anak biasanya
akan menutup matanya.

Gambar 15. Fundus Xeroftalmik


21

7. Kelainan pada kulit : kering, bersisik.


Kekakuan
rahang
(trismus)

mulai

terjadi,

dan

mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan akhirnya berhenti.


Mulai terjadi kekakuan pada wajah (bibir tertarik kearah lateral,
dan alis tertarik ke atas) yang disebut risus sardonicus. Kaku
kuduk, disfagia dan kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul
dalam beberapa jam berikutnya. Awalnya kekakuan tubuh yang
terjadi bersifat periodik, dan dipicu oleh rangsangan- rangsangan
sensoris (suara atau sentuhan) (Soedarmo et al., 2010)

Gambar 2.8 Risus Sardonicus, Eye sign , Kejang


Kemudian kejang akan terjadi secara spontan dan akhirnya
terus menerus. Spasme dan kejang berulang atau terus menerus
yang terjadi akan mempengaruhi sistem saraf simpatik sehingga
terjadi vasokonstriksi pada saluran napas dan akan terjadi apneu
dan bayi menjadi sianosis. Hal ini merupakan penyebab kematian
terbesar pada kasus tetanus neonatorum (Soedarmo et al., 2010)
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan
biasanya akan fleksi pada siku dan tertarik ke arah badan,
sedangkan
mengalami
menyebabkan

kedua

tungkai

hiperfleksi.
punggung

dorsofleksi

Spasme

pada

dan
otot

kaki

akan

punggung

tertarik menyerupai busur panah

(opisthotonos) (Soedarmo et al., 2010)

22

Gambar 2.9 Opisthotonus


Jarak antara gejala pertama muncul sampai munculnya gejala
berikutnya pada kasus tetanus
onset.

Periode

menentukan
periode onset

onset

prognosis
ini,

neonatorum

disebut

periode

berperan

penting

dalam

Semakin

pendek

ini

penyakit

ini.

semakin buruk prognosisnya Periode onset

pada neonatus lebih pendek dibandingkan dengan pada anak atau


dewasa (lebih ke arah beberapa jam daripada beberapa hari seperti
pada dewasa), hal ini mungkin disebabkan jarak akson yang lebih
pendek sehingga infeksi lebih cepat mencapai CNS (Soedarmo et
al., 2010).
8. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendiagnosa tetanus neonatorum adalah dengan melihat
gambaran dan gejala klinis yang ada. Pemeriksaan kultur jarang
dilakukan karena ditemukan tidaknya bakteri Clostridium tetani
bukan
bakteri

merupakan

suatu

tanda

karakterisitik pada infeksi

ini. Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan


untuk
mendeteksi

dini

penyakit ini.
Hasil

positif

ditunjukan
ketika spatula
disentuhkan
ke

orofaring lalu

23

terjadi spasme pada otot maseter dan bayi menggigit spatula lidah
(Sumarmo, 2008 ; Hotez dan Wilfert , 2004).

Gambar 2.10 Spasme otot maseter pada uji spatula


5. Tatalaksana
Pengobatan pada tetanus terdiri dari penatalaksanaan umum yang
terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan
nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka atau portd entre
lain. Sedangkan penatalaksanaan khusus terdiri dari pemberian
antibiotik dan serum anti tetanus (Soedarmo et al., 2010)
a. Penatalaksanaan umum (HTAI, 2008)
1) Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang
yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang
minimal, mutlak perawatan NICU.
2) Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena,
sekaligus

memberikan

obat-

obatan dan bila

sampai

hari ke-3 infus

belum

dapat

dilepas

sebaiknya

dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah kejang


mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat24

obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya


aspirasi.
3) Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
4) Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
5) Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering
digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti
kejang, dan pelemas otot yang kuat tanpa menekan pusat
kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3
mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis
yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg/3 jam.
Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian
diazepam 5 mg per rektal untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk
BB > 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3
mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam
dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis pasien.
Alternatif lain untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2
mg/kgBB/hari untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infuse
kontinu 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam
diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui
OGT.
Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai kejang spontan,
badan masih kaku, kesadaran membaik, tidak dijumpai
gangguan nafas. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai
namun anak masih kejang atau mengalami spasme laringm
sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan
intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan
pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan
dengan dosis rumatan telah memberikan respon klinis yang
diharapkan,

dosis

dipertahankan

3-5

hari.

Selanjutnya

pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis


setiap 2 hari).
b. Penatalaksanaan khusus
1) Antibiotik

25

Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif


dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik
lini pertama yang diberikan adalah metronidazole IV/oral
dengan dosis awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1
jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus setiap 6
jam selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin
prokain 50.000-100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika
terdapat

hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan

tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak usia> 8 tahun).


Penyulit yang ada diberikan antibiotik yang sesuai (HTAI,
2008).
2) Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan
50.000 IU IM dan 50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhatihati akan terjadinya reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak
pemberian anti serum dapat disertai imunisasi aktif DT setelah
anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat
diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-6000
IU IM (HTAI, 2008).
Tabel 2.3 Perbandingan Antibiotik Penisislin dan Metronidazol
Spektrum

Mekanisme Kerja
Stabilitas
Reaksi alergi
Resistensi
Struktur

Penetrasi ke abses
Akses

Penisilin
Metronidazol
Spektrum
luas, Spektrum sempit,
bakteri gram + , obligat
anaerob
anaerob
(tidak
dapat
menginduksi
superinfeksi)
Menghambat
Menghambat
sintesis dinding sel sintesis DNA
Tidak stabil
Stabil
Sering
Jarang
Sering
Jarang
Strukturnya
menyerupai
GABA
:
menginduksi
spasme
Rendah
Baik
IM
Oral, Rektal, IV

26

Tabel 2.4 Pengelolaan Tetanus


Eradikasi
bakteri
penyebab

Pembersihan
luka
Antibiotik

Metronidazol 15-30 mg/BB/hari dibagi tiap 812 jam; tidak melebihi 2g/hari
Antitoksin
Antitoksin kuda Human tetanus immune globulin
netralisasi
atau manusia
(3.000 6.000 IU/kg i.m)
terhadap
Antitetanus serum (ATS) 50.000 IU im dan
luka
50.000 IU iv (terlebihdahulu dilakukan tes
kulit) (untuk tetanus neonatorum 10.000 IU
iv)
Terapi
Kontrol spasme Diazepam (iv bolus)
suportif
otot
0.1
0.3 mg/kgBB/kali i.v. tiap 2-4 jam ,
selama fase
tetanus neonatorum dosis awitan 0.1-0.2
akut
mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40
mg/kgBB/hari
Dalam keadaan berat diazepam drip 20
mg/kgBB/hari dirawat di PICU/NICU
Dosis pemeliharaan 8 mg/kgBB/hari p.o.
dibagi dalam 6-8 dosis
Midazolam (iv infus/bolus)
Vekuronium
27

Sedasi

Pemeliharaan
jalan
nafas/ventilasi
Pemeliharaan
hemodinamik

Bila spasme sangat hebat pankuronium


bromid 0.02 mg/kgBB iv diikuti 0.05
mg/kgBB dosis berikan setip 2-3 jam
Diazepam (iv bolus)
Midazolam (iv infus/bolus)
Morfin (im/iv)
Klorpromazin
Trakeostomi
Tekanan positif intermitten
Ventilasi
Penggantian volum yang cukup
Sedasi (seperti di atas)
Inotropik
Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan
diberikan berta bloker seperti propranolol atau
alfa dan beta bloker (labetolol)

Rehabilitasi
Imunisasi

Nutrisi
Fisioterapi
Terapi primer
penuh
dari
tetanus toksoid

6.Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada (Hinfey, 2016):
a. Sistem saluran pernafasan
Oleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena
akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur, makanan, dan
minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi dan
atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan
emfisema mediastinal biasanya terjadi akibat dilakukannya
trakeostomi.
b. Sistem kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer, dan ransangan
miokardium.
c. Sistem musculoskeletal
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi
perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna

28

vertebralis akibat kejang yang terus menerus terutama pada anak


dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan dapat terjadi
miositis ossifikans sirkumskripta.
d. Komplikasi yang lain :
1) Laserasi lidah akibat kejang
2) Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
3) Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat oengatur suhu.
Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa
bronkopneumonia, cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.

III.

KESIMPULAN

1. Campak merupakanpenyakit akut yang sangat menular, disebabkan oleh


infeksi virus yang umumnya menyerang anak. Campak memiliki gejala klinis
khas yaitu terdiri dari 3 stadium yang masing-masing mempunyai ciri khusus
yaitu stadium prodormal, erupsi, dan konvalesens. Pasien campak tanpa
penyulit dapat berobat jalan dan pengobatannya

bersifat

simtomatik.

Campak menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak berumur lebih
kecil. Kebanyakan penyulit campak terjadi bila ada infeksi sekunder oleh
bakteri.
2. Tetanus neonatorummerupakan tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir,
disebabkan adanya infeksi tali pusat. Gejala yang sering timbul adalah ketidak
mampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme, trismus, opistotonus yang berat dengan lordosis lumbal.Pengobatan
pada tetanus meliputi penatalaksanaan umum yang terdiri dari kebutuhan
cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi
kejang, perawatan luka atau portd entre lain. Sedangkan penatalaksanaan
khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus. Penyebab

29

kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa bronkopneumonia,


cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. 2007. Tetanus. Nelson Textbook of
Pediatrics.17thed. Jenson Publisher: Saunders. hal951-3.3.
Cherry J.D. 2004. Measles Virus. In: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan (eds)
Textbook of Pediatrics Infectious Disease. 5th edition. Vol 3. Philadelphia.
Saunders. p.2283 2298
Feigin et al.2004.Textbook of Pediatric Infectious Diseases5th edition
Garna, Herry. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi
ke-3. Bandung: FK UNPAD
Giarsawan, Asmara, dan Yulianti. 2014. Faktor faktor Yang Mempengaruhi
Kejadian Caampak di Puskesmas Tejakula 1 Kecamatan Tejakula

30

Kabupaten Buleleng Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vo.4 No. 2


: 140-145
Health Technology Assessment Indonesia. 2008. Penatalaksanaan Tetanus Pada
Anak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Hinfey,

Patrick.

2016.

Tetanus.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.
Hotez

dan

Wilfert.

2004.

Tetanus

(Lockjaw)

and

Neonatal

Tetanus.

Dalam:Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, penyunting. Krugmans Infectious


Diseases of Children. Edisi ke11. USA: Mosby; hal 655-62
Pan American Health Organitation. 2005. Neonatal Tetanus Elimination: Field
Guide.2nd Edition. Washington.
Setiawan, I. 2008. Penyakit Campak. Jakarta: Sagung Seto.
Soedarmo dan Sumarmo . 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi
Kedua. Jakarta: badan Penerbit IDAI
Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. 2010. Buku Ajar
Infeksi &Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
hal.322-9.2.
Soedarmo, S. 2012. Campak. In S. Soedarmo, H. Garna, S. Hadinegoro, & H.
Satari, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (pp. 109-18). Jakarta: IDAI.
Soegijanto, Soegeng. 2002. Campak. dalam: Sumarmo S. Poorwo
Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi &
Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 125

Stephen, Arnon. 2004. Tetanus (Clostridium tetani). In: Behrman RE, Kliegman
RM, JensonHB. Nelson Textbook of Pediatrics. 17thed. p 951-953.
Philadelphia PA: W.B. Saunders

31

Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. 2008. Buku Ajar Infeksi dan
penyakit Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI.
Todar K. 2013. Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus. Available
from: http://textbookofbacteriology.net/clostridia.html.4.
World Health Organization. 2004. Treating Measles In Children. Departement of
Immunization, Vaccines, and Biologicals, Department of Child and
Adolescent Health.

32

Anda mungkin juga menyukai