Anda di halaman 1dari 6

J. Pijar MIPA, Vol. III, No.1, Maret 2008 : 1 5.

ISSN 19071744

FILOSOFI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN SAINS DALAM PROSES TRANFORMASI


SAINS, TEKNOLOGI DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

A. Wahab Jufri
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram

Abstrak: Pendidikan sebagai proses memerlukan adanya filsafat sebagai acuan dalam mengarahkan tujuan
pendidikan yang ingin dicapai. Beberapa aliran yang berpengaruh terhadap filsafat pendidikan di Indonesia antara
lain aliran idealisme, aliran rasionalisme, humanisme dan pragmatisme. Dalam kondisi budaya Indonesia yang khas
perlu dikembangkan filsafat pendidikan yang bersifat progresif dan terpadu dengan nilainilai budaya lokal
sehingga menjadi perpaduan yang serasi dan relevan dengan nilainilai pancasila sebagai dasar dan filosofi umum
bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, filsafat pendidikan khususnya dalam bidang pembelajaran sains berperan
sebagai acuan untuk membantu generasi muda bangsa menghadapi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta arus globalisasi budaya dan ekonomi. Dalam kondisi seperti ini setiap pendidik bidang sains
perlu mengembangkan filosofi yang mantap dalam upaya mengembangkan pembelajaran sains yang berpusat pada
peserta didik, memaksimalkan peran pendidikan sains dalam proses rekonstruksi paradigma pembelajaran, serta
dalam pengembangan keterampilan berpikir peserta didik di setiap jenjang sekolah. Sehubungan dengan hal
tersebut, adalah menjadi tanggungjawab pendidik dan sekolah untuk berusaha 1) mengidentifikasi implikasi nilai
nilai etika dalam setiap proses perubahan yang terjadi, 2) membantu untuk berkembangnya nilainilai positif dalam
diri peserta didik, dan 3) membantu peserta didik untuk dapat mengambil sikap dan keputusan yang tepat dalam
merencanakan kehidupannya secara berarti.
Kata-kata kunci: filsafat, filosofi sains, idealisme, rasionalisme, humanisme,

THE PHILOSOPHY IN DEVELOPMENT OF SCIENCE EDUCATION IN THE PROCESS OF


TRANSFORMATION OF SCIENCE, TECHNOLOGY, AND HUMAN NORMS
Abstract: As a continual process, the term of education needs a philosophy for its reference to drive the
planned goals. There are some philosophy stream which affects the Indonesian educational philosophy such as
idealism, rationalism, humanism, and pragmatism. Concomitant to the unique characteristics of Indonesian
cultures, therefore educational practitioners should be able to develop the progressive science philosophy and
could be integrated to the local norms in forming harmony with the Pancasila as a basic and the general philosophy
of Indonesian community. In this context, the educational philosophy especially in the field of science can be used
to help the young generations to involve competitively in this scientific and technological era which brought about
strong competition in form of cultural and economical globalization. In these conditions, all science education
practitioners need to develop teaching skills on the basic of well philosophy, in order to facilitate the student
oriented learning climates, to maximize the role of science to reconstructs the learning paradigm, and to help
develop thinking skill of the students in any school levels. There is important to state that every teacher and
educational institutions should be able to 1) identify the implications of ethical norms during the change
processes, 2) to help develop student positive norms, 3) help students to improve their ability in planning their
own future thoroughly.
Key words: philosophy, science philosophy, idealism, rationalism, humanism,

I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang bersifat
universal, artinya diperlukan oleh segenap manusia
sehingga di mana ada manusia maka di situ mesti ada proses
pendidikan atau pembelajaran. Hal ini terjadi karena
eksistensi manusia sebagai mahluk berbudi yang memiliki
kemampuan berpikir dan selalu berusaha untuk memberikan

atau menciptakan kesejahteraan bagi golongan manusia itu


sendiri. Dengan kata lain, pendidikan merupakan usaha
untuk memanusiakan atau membudayakan manusia. Proses
perkembagan peradaban manusia secara keseluruhan tidak
terlepas dari kajian ilmu pendidikan yang didukung oleh
psikologi, sosiologi, sejarah, dan filsafat serta ilmuilmu

J. Pijar MIPA Vol. III No. 1, Maret 2008 : 1 5.


lainnya yang dikenal sebagai ilmu bantu pendidikan [1].
Hal tersebut memicu munculnya bidangbidang ilmu lain
seperti psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, sejarah
pendidikan, dan filsafat pendidikan.
Uraian berikut ini berisi pokokpokok pikiran mengenai
aliran filsafat, filsafat pendidikan yang dikembangkan di
Indonesia, dan peranan filsafat pendidikan dalam
transformasi sains dan teknologi serta nilainilai
kemanusiaan pada peserta didik di sekolah.
II. PEMBAHASAN
Hendrowibowo (2002) menyatakan bahwa ada empat
aliran filsafat yang berpengaruh pada filsafat pendidikan di
Indonesia yaitu: idealisme, realisme, humanisme, dan
pragmatisme [1].
Aliran Idealisme. Aliran filsafat ini sudah ada sejak
zaman Yunani kuno dengan tokohnya yaitu Plato. Filsafat
idealisme mengajarkan bahwa hakikat kenyataan adalah ide
atau gagasan yang bersifat intrinsik dan tidak berubah.
Golongan idealisme tidak mengingkari adanya materi, tetapi
untuk dapat berpikir tentang materi, manusia tidak dapat
melepaskan diri dari pemikirannya tentang akal dan jiwa.
Untuk dapat mengerti dengan sesungguhnya tentang suatu
materi, maka materi itu harus diteliti terlebih dahulu apakah
sesungguhnya pikiran itu sehingga tidak langsung
mengatakan tentang materi [1]. Dalam kaitannya dengan
upaya mencari pengetahuan yang benar, penganut aliran
idealisme meletakkan fokus pemikirannya pada rasio atau
nalar sehingga disebut juga paham rasionalisme. Kaum
rasionalis menggunakan penalaran deduktif dalam
mengembangkan pengetahuan. Menurut kaum rasionalis,
ide bersifat apriori dan pra pengalaman yang didapatkan
oleh peserta didik melalui penalaran rasional [2].
Penganut paham idealisme menyatakan
bahwa kurikulum pendidikan dirancang untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia dalam kehidupannya. Oleh
karena itu, menurut faham ini, kurikulum sekolah harus
dirancang dengan mengacu pada pendidikan umum untuk
mengembangkan kemampuan rasional dan pendidikan
yang bersifat praktis diarahkan pada pemerolehan
penghasilan. Para pendidik yang idealis merasa yakin bahwa
nilai dari suatu pendidikan tergantung pada pengetahuan
dengan mengembangkan suatu metode tertentu. Seorang
pendidik yang idealis memberi perhatian yang lebih pada
pembentukan kepribadian peserta didik. Oleh karenanya,
dalam praktek pembelajaran, para pendidik yang idealis
cenderung memilih metode pembelajaran yang bersifat
dialogis dengan harapan agar peserta didik dapat aktif
berdiskusi dengan jalan membangkitkan wawasan intelektual
peserta didik [1].
Aliran realisme. Dalam arti yang sempit, aliran realisme
menganggap bahwa objek indera adalah suatu yang riil
(nyata). Menurut paham ini, orang tidak dapat melepaskan
diri dari fakta bahwa terdapat perbedaan antara benda
dengan ide. Ide adalah ide tentang benda, suatu pikiran
dalam akal yang menunjuk pada suatu benda. Dalam hal ini
benda adalah realitas dan ide adalah bagaimana benda itu
menampak. Penganut aliran realisme ini atau disebut juga
kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia
bukan didapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak

melainkan diperoleh melalui pengalaman kongkrit [2].


Menurut Hendrowibowo (2002), kaum realis atau empiris
cenderung menganggap akal sebagai salah satu dari banyak
benda yang merupakan bagian dari alam. Berbeda dengan
kaum idealis yang mengatakan bahwa akal (jiwa) merupakan
realitas pertama, kaum empiris memberikan perhatian bukan
pada akal yang memahami akan tetapi kepada realitas yang
dialami. Dengan demikian realisme mencerminkan
objektivitas yang mendasari dan menyokong sains modern
[1].
Terkait dengan pendidikan, penganut paham empirisme
menyatakan bahwa kurikulum sekolah harus mengacu pada
pengajaran bahasa, unsurunsur logika, sains, dan
matematika. Para pendidik yang menganut paham ini selalu
mementingkan proses pemerolehan ilmu dan keterampilan
dari pada sekedar mengembangkan rasio. Oleh karena itu
menurut kaum empiris, pengalaman belajar adalah hal yang
terpenting karena merupakan sumber kebenaran.
Aliran pragmatisme. Aliran pragmatisme berusaha
menengahi kaum empiris dan idealis dengan
menggabungkan cara pandang kedua aliran tersebut.
Menurut kaum pragmatis, pendidikan harus berhubungan
dengan fungsifungsi sosial yang berkontribusi langsung
pada keefektifan sosial. Oleh karena itu rancangan kurikulum
diarahkan untuk merangsang peserta didik menumbuhkan
kemampuan intelektual, moral, dan sosialnya. Sehubungan
dengan kurikulum dan pembelajaran, penganut faham
pragmatism berasumsi bahwa setiap kelompok sosial
memiliki hak untuk tumbuh pada setiap jenjang pendidikan
yang dimungkinkan oleh penggunaan pengalaman
formatifnya. Aliran ini diinspirasi oleh teori pragmatis yang
dikemukakan oleh C.S. Pierce pada tahun 1878. Bagi seorang
pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan atau teori
diukur dengan kriteria apakah pernyataan itu bersifat
fungsional dalam praktik kehidupan nyata seharihari [2].
Dalam pendidikan di sekolah, aliran ini mendorong
pembelajaran dengan metode learning by doing di mana
peserta didik difasilitasi untuk belajar dengan kemampuan
dirinya berhubungan dengan masalah atau pekerjaan yang
dihadapinya.
Aliran humanisme. Penganut paham humanisme
menyatakan ada hubungan antara tumbuhan, hewan, dan
manusia. Kesemuanya samasama mahluk Tuhan dan
memerlukan makanan. Hanya saja manusia sebagai mahluk
yang berpikir (Homo sapiens) mampu melakukan penalaran,
pertimbangan, dan perbandingan. Oleh karena itu, maka
kebijakan dan praktek kependidikan harus berdasarkan rasio
manusia. Pekerjaan menalar bertujuan untuk menyaring
kebenaran dari sesuatu yang dipelajari dengan membedakan
yang esensial dan yang aksidental. Kaum humanis
menekankan kurikulum pada perkembangan kemampuan
manusia baik pikiran maupun pengalaman. Untuk itu aliran
ini menyatakan bahwa kurikulum harus membuat ketentuan
bagi perkembangan pikiran dan pengalaman dengan
memperhitungkan faktafakta perbedaan individu dari segi
kapasitas dan motif belajarnya. Kurikulum harus meliputi
ilmuilmu kealaman (natural sains), ilmu kemanusian
(huma-niora), ilmu seni, dan sastra.
Terlepas dari aliran filsafat mana yang menjadi acuan
dalam mengembangkan pendidikan Sains di Indonesia,

Distribusi Burung Di Danau Meno Lombok Barat (Gito Hadiprayitno)


maka pada hakekatnya setiap pendidik dalam bidang sains
tidak bisa melepaskan diri dari cara hidup dan cara pandang
bangsa Indonesia yang memiliki adatistiadat dan
kebudayaan yang khas. Oleh karena itu, meskipun pendidik
tetap mengacu kepada aliranaliran tersebut di atas, sebagai
bangsa yang memiliki jati diri sendiri, maka pendidik bidang
sains di Indonesia harus pula berusaha menggali nilainilai
filsafat bangsa Indonesia. Dalam hal ini filsafat pendidikan
di Indonesia bisa saja mengadopsi pola pikir aliranaliran
filsafat seperti di atas, akan tetapi harus pula mendasari
pengembangan model pembelajaran sains pada
karakteristik bangsa Indonesia yang demokratis,
berbudaya, dan agamais.
Dalam konteks demokrasi dan reformasi yang akhir
akhir ini menjadi akrab terdengar karena disuarakan oleh
banyak orang, dapat diajukan suatu dalil bahwa untuk
mempersiapkan masyarakat Indonesia menuju ke arah
kehidupan yang lebih demokratis, lebih sejahtera dan lebih
siap menerima arus perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka pendidikan sains sebagai saluran utama
proses transformasi bagi suatu komunitas bangsa
menempati posisi yang sangat strategis. Melalui fungsi
fungsi transformatifnya, pendidik dan lembaga pendidikan
memikul tugas berat untuk meningkatkan peran nilainilai
lama yang sesuai dan mengembangkan nilainilai baru
dalam suatu masyarakat Indonesia yang lebih modern.
Berkenaan dengan tugas berat tersebut, maka filsafat
pendidikan sebagai salah satu cabang filsafat yang
membahas hakekat, tujuan, arah dan metode pendidikan
perlu dipahami dan dikembangkan oleh pendidik bidang
sains sehingga dapat memberikan peranan yang lebih
signifikan [3] dalam proses tarnformasi ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagai bekal bagi peserta didik.
2.1. Filsafat pendidikan sains yang relevan.
Seperti telah dikemukakan terdahulu, bangsa Indonesia
adalah bangsa yang memiliki karakteristik sendiri dengan
adatistiadat dan kebudayaannya yang khas. Sebenarnya
kebudayaan Indonesia dibangun dari kemajemukan budaya
yang didasari oleh sejarah nasional melawan penjajahan,
ideologi nasional, dan bahasa nasional. Perkembangan yang
terjadi terakhir menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
sedang menuju pada usahausaha untuk menjadi negara
demokrasi baru. Mengacu kepada deskripsi masyarakat
Indonesia masa kini dan masa akan datang, dapat diajukan
argumentasi bahwa untuk mencapai keadaan masyarakat
Indonesia yang setara dengan masyarakat di negara sudah
lebih maju, maka sistem pendidikan khususnya dalam bidang
sains di Indonesia ini harus diarahkan untuk menuju kepada
paradigma pendidikan yang lebih modern namun tetap
berakar pada filsafat Pancasila dan filsafat pendidikan
demokratis. Filsafat Pancasila sebagai dasar pengembangan
filsafat pendidikan di Indonesia mengandung nilainilai
yang merupakan kesatuan yang seimbang, harmonis
dinamis dan menempatkan manusia martabatnya sebagai
manusia. Oleh karena itu pengembangan filsafat pendidikan
di Indonesia harus diarahkan kepada pemanfaatan sebesar
besarnya bagi harkat dan martabat manusia sebagai bangsa
untuk menuju kualitas hidup manusia Indonesia
seutuhnya[1].

Berdasarkan asumsi bahwa bangsa Indonesia sedang


mengarah pada upaya mengembangkan suatu model filsafat
pendidikan yang bersifat demokratis dan pancasilais, maka
tentu saja kita harus mengadakan perbandingan dengan
pola pikir filsafat yang berkembang di negaranegara maju
yang menjadi acuan peradaban modern dengan tidak
mengesampingkan kondisi lokal bangsa Indonesia.
Hanurawan menyatakan bahwa praktek kependidikan
di Indonesia cenderung mengembangkan filosofi yang
bersifat esensialisme. Esensialisme sendiri merupakan
gambaran sistem pendidikan tradisional yang cenderung
memandang peserta didik sebagai objek yang pasif dan
kurang independen atau sangat tergantung pada pendidik.
Masih mengakarnya pola kependidikan seperti tersebut di
negara kita tidak terlepas dari adanya kendalakendala
seperti tuntutan kurikulum yang terlalu banyak, lemahnya
kemampuan pendidik dalam mengembangkan strategi dan
metode pembelajaran, serta kurangnya fasilitas pendukung
sistem pembelajaran. Dalam usaha untuk mengatasi
permasalahan kependidikan yang masih cenderung
esensialis ini, maka filosofi pengembangan pembelajaran
sains harus bersifat progresif dan menekankan pembelajaran
yang berpusat pada peserta didik, meningkatkan peran
pendidikan sains dalam rekonstruksi dan pembaharuan
sosial, serta pengembangan konsep eksperimentalisme
dalam pembelajaran sains.
2.2. Pembelajaran berpusat pada peserta didik
Berkenaan dengan konsep pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik, filsafat pendidikan progresivisme, maka
fungsi utama pendidikan adalah untuk mengembangkan
secara maksimal potensipotensi individual peserta didik
sebagai individu yang sedang belajar. Oleh karena itu,
seharusnya pendidik tidak lagi bertindak otoriter dan
menganggap peserta didik sebagai botol kosong yang perlu
diisi dengan sebanyak mungkin materi pelajaran dan
berbagai macam doktrin. Pendidik harus berani untuk
memulai pembelajaran dari kebutuhan dan minat peserta
didik. Dengan kata lain, pendidik harus dapat menjadi
fasilitator untuk menetapkan arah bagi kesadaran peserta
didik tentang kebutuhan dan minat yang sesuai bagi diri
dan masyarakatnya. Beberapa hal penting yang harus
diperhatikan oleh pendidik dalam mengembangkan
pembelajaran sains yang efektif antara lain ialah 1)
mengembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan dapat
belajar lebih bermakna dengan bekerja dan membangun
sendiri pengetahuan/keterampilannya, 2) memaksimalkan
kegiatan yang bersifat menemukan, 3) membangkitkan rasa
ingin tahu pada diri peserta didik, 4) membelajarkan peserta
didik dalam kelompok kooperatif, 5) mengembangkan pikiran
bahwa pendidik adalah model yang bagi peserta didik, dan
6) melakukan refleksi dan penilaian yang sebenarnya
(autentik) dengan cara yang bervariasi [4].
2.3. Pendidikan sains dalam proses rekonstruksi nilai
Paham progresivisme menekankan bahwa dalam proses
kebudayaan, pendidikan tidak hanya melakukan fungsi
inkulturatif statis tetapi lebih jauh lagi memiliki fungsi
transformatif bagi terjadinya pembaharuan sosial budaya

J. Pijar MIPA Vol. III No. 1, Maret 2008 : 1 5.


suatu kelompok masyarakat. Dalam konteks transformasi
sosial, transformasi sains dan teknologi, serta transformasi
nilainilai yang bersifat umum, maka pendidik dan lembaga
pendidikan harus mampu membentuk iklim atau lingkungan
belajar yang kondusif. Paham progresivisme memberikan
penekanan pada pentingnya konsep eksperimentalisme
untuk menumbuhkan pemikiran ilmiah dalam proses
pembelajaran. Melalui konsep ini pembelajaran diarahkan
untuk membantu peserta didik mekembangkan kemampuan
rasional, kemampuan berpikir kritis, menarik kesimpulan
berdasarkan eksperimen, sikap keterbukaan dan
akuntabilitas yang diperlukan individu untuk hidup dalam
dunia masa depan yang lebih demokratis namun penuh
tantangan. Salah satu bentuk penerapan konsep
eksperimentalisme adalah tuntutan pentingnya pembelajaran
inkuiri yang dikembangkan atas dasar prosedur berpikir
ilmiah dan reflektif.
2.4. Tranformasi nilai, sains, dan teknologi
Upayaupaya yang diberikan pada pengembangan pola
pendidikan yang berpusat pada peserta didik, peran
pendidikan dalam rekonstruksi dan pembaharuan sosial,
serta pengembangan konsep eksperimentalisme
dalampembelajaran sains sudah menjadi tuntutan mendesak
dewasa ini. Sehubungan dengan terjadinya perubahan yang
terus menerus di lingkungan sosial dan di lingkungan
pendidikan, maka tuntutan perubahan juga terjadi pada
proses belajar mengajar di sekolah. Peran pendidik di kelas
sudah seharusnya bergeser dari yang tadinya menjadi satu
satunya narasumber sekaligus penceramah dan pengarah,
menjadi pendidik yang berfungsi sebagai perencana,
manajer, dan fasilitator dalam kegiatan belajar peserta didik.
Untuk dapat menjadi perencana, manajer dan fasilitator yang
baik, maka pendidik dituntut untuk selalu belajar mengenai
halhal baru seiring dengan perkembangan teknologi dan
informasi, berlatih untuk menguasai modelmodel
pembelajaran yang baru dan mencoba menerapkannya di
kelas.
Pendidikan dewasa ini tidak lagi cukup hanya membekali
peserta didik dengan keterampilan dasar 3R (reading,
writing and arithmatic) tetapi peserta didik harus dilatih
untuk terampil berkomunikasi, memiliki keterampilan yang
tinggi dalam penyelesaian masalah, dan memiliki kemampuan
untuk terus melek sains (science literacy) dan teknologi
[5]. Sehubungan dengan hal itu, maka pendidik harus mampu
merancang kondisi pembelajaran yang dapat menciptakan
kesempatan bagi peserta didik untuk mengembangkan
keterampilan lain seperti disebut oleh Galbreath (1999)
dengan 3T (technology, teaming and transference), yakni
penguasaan teknologi, keterampilan bekerjasama, dan
kemampuan mentransfer pengetahuan/keterampilan [6].
Dewasa ini, teknologi sudah merupakan bahasa baku,
kerjasama dan kolaborasi merupakan kebutuhan penting
bagi setiap orang, dan kemampuan mentransfer
pengetahuan untuk menghasilkan sesuatu produk baru
menjadi kebutuhan yang esensial. Ini berarti bahwa
sekalipun abad ini adalah abad teknologi, bukan berarti kita
harus meniggalkan semua hal yang lama, tetapi yang kita
harapkan dari peserta didik adalah meningkatnya

kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru dari yang lama


[7].
Oleh karena itu, lingkungan belajar dan proses
pembelajaran perlu direkonstruksi dari yang cenderung
esensialis ke arah kelembagaan pendidikan yang progresif
di mana peserta didik dapat dibekali keterampilan dan teknik
mencapai sukses dalam lingkungan yang serba baru, selalu
berubah, dan sulit diprediksi. Peserta didik harus diberikan
kesempatan untuk berlatih keterampilan berinovasi dalam
menyelesaikan masalahmasalah kontekstual dan kompleks
yang dihadapinya. Agar peserta didik dapat lebih banyak
belajar bekerjasama atau berdemokrasi, maka strategi belajar
kooperatif harusnya menjadi pola umum yang diterapkan
oleh peserta didik dalam kelas.
Dryden & Vos selanjutnya menyatakan ada dua hal
penting yang harus diadopsi dan dimasukkan ke dalam
kurikulum sains dalam kerangka rekonstruksi sistem dan
kelembagaan pendidikan di Indonesia yaitu belajar tentang
cara belajar (learn how to learn) dan belajar cara berpikir
(learn how to think). Berkaitan dengan hal yang pertama
berarti pendidik harus mampu melatih peserta didik belajar
tentang cara otak dan memori manusia bekerja, cara
menyimpan, mengambil dan menghubungkan informasi,
serta cara mencari dan mentransfer pengetahuan baru
dengan cepat dan tepat. Teknik belajar seperti ini dapat
dilatih dengan teknik accelerated learning (belajar cepat).
Belajar mengenai cara berpikir menjadi penting sekali karena
jika peserta didik tidak memiliki keterampilan berpikir maka
akan sulit menerima dan mengolah informasi dengan baik
dan benar. Dalam hal ini Dryden & Vos menyebutkan
beberapa metode yang efektif dalam melatih berpikir dan
telah teruji adalah lateral thinking (Edward de Bono),
brainstorming (Alex Osborn), creative problem solving
(Donald Treffinger) dan higher order thinking skills dari
Stanley Pogrow.
Berkaitan dengan pergeseran peran pendidik ini maka
ada beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang
pendidik yang ideal dan siap membimbing peserta didik
menuju kesuksesan hidup masa depan yakni a) harus siap
belajar sepanjang hayat, b) melek sains, teknologi dan
informasi, c) menguasai bahasa Inggris dan komputer, d)
mampu membelajarkan peserta didik dengan pendekatan
kontekstual, e) mampu dan mau melakukan PTK, dan f)
rajin menulis karya ilmiah. Kesiapan belajar sepanjang hayat
adalah karakter yang penting agar tidak terpaku pada apa
yang sudah dimiliki tetapi mampu beradaptasi dengan
perkembangan zaman. Kepedulian terhadap sains teknologi
dan informasi diperlukan untuk mengantisipasi
perkembangan pesat dalam bidang tersebut sehingga
pendidik tidak tertinggal dari peserta didiknya.
Penguasaan bahasa (paling tidak bahasa Inggris) dan
komputer sangat diperlukan untuk dapat mengikuti arus
perkembangan teknologi dan informasi. Bahasa Inggris
hampir identik dengan bahasa komputer dan internet, oleh
karena itu tanpa kemampuan berbahasa Inggris pendidik
akan sedikit terhambat dalam memanfaatkan komputer
sebagai media pembelajaran. Teknologi berbasis komputer
dalam abad ke 21 harus dapat diberdayakan sebagai sumber
belajar yang efektif. Inilah salah satu tujuan yang dimaksud
oleh Buchen dengan konsep 3R dan 3T yang telah

Distribusi Burung Di Danau Meno Lombok Barat (Gito Hadiprayitno)


disebutkan di atas. Pendekatan pembelajaran kontekstual
perlu dikuasai dan diterapkan oleh pendidik agar dapat
membantu peserta didik untuk tidak terisolir dari
lingkungannya dalam arti luas. Sedangkan kemampuan
untuk melakukan penelitian tindakan kelas serta menulis
karya ilmiah diperlukan dalam rangka mengembangkan
profesionalisme kependidikannya.
Agar dapat memenuhi persyaratan kebutuhan peserta
didik sebagai calon anggota masyarakat masa depan,
mungkin ada baiknya kita menengok kembali pada empat
pilar pendidikan yang telah diajukan oleh PBB sebagaimana
ditulis oleh Geremek yakni [8]:
a. Learning to know (belajar untuk tahu). Belajar tipe ini
tentu bersifat mendasar dan penting, tetapi sistem
pendidikan seringkali terlalu memberi prioritas
dibandingkan pilar yang lain.
b. Learning to do (belajar untuk bekerja). Hal ini penting
bagi setiap orang untuk dapat berinteraksi dengan
lingkungannya. Tentu saja karena untuk belajar dan
memiliki keterampilan kerja seseorang membutuhkan
kemampuan untuk menghadapi beberapa situasi yang
kadangkadang tidak diduga sebelumnya.
c. Learning to be (belajar untuk menjadi). Pada abad ini
setiap orang akan membutuhkan kapasitas untuk dapat
hidup otonom (mandiri) dan memiliki kekuatan personal
sebagai tanggung jawabnya dalam upaya mencapai
tujuan bersama dengan masyarakatnya.
d. Learning to live together (belajar untuk hidup
bermasyarakat). Agar dapat berpartisipasi dan
bekerjasama dengan orang lain dalam setiap aspek
kehidupan, maka seseorang harus diberi kesempatan
untuk belajar menghargai orang lain, memahami
ideologi, budaya dan adat istiadat kelompok, suku dan
bangsa lain.
Sebagai wujud implementasi dari keempat pilar
pendidikan seperti di atas selanjutnya Thrilling & Hood [9]
membedahnya menjadi sembilan set keterampilan dan
kemampuan yang akan dibutuhkan oleh dunia kerja dan
harus dibekali kepada peserta didik yakni: 1) keterampilan
berkomunikasi, 2) kemampuan berinovasi dan
mengembangkan kreativitas, 3) kemampuan bekerjasama,
4) kemampuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan
informasi dan teknologi, 5) kemampuan mengembangkan
visi, 6) kemampuan menyelesaikan masalah, 7) keterampilan
membuat keputusan yang tepat, 8) kemampuan
mengembangkan dan mengelola pengetahuannya , serta 9)
kemampuan mengasah naluri bisnis.
Dalam rangka mengembangkan potensi masyarakat
Indonesia sesuai dengan harapan dan tuntutan global,
tentu diperlukan upaya pengembangan pembelajaran sains
berlandaskan filsafat pendidikan yang berorientasi pada
budaya bangsa. Arus globalisasi dalam segala aspek
kehidupan tentu akan membawa serta nilainilai atau
budayabudaya asing. Oleh karena itu peranan filosofi
pengembangan pembelajaran menjadi penting dalam arti
sebagai alat bantu untuk menyeleksi nilainilai asing yang
perlu diasimilasi dan diintegrasikan dengan budaya lokal.
Perubahan kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang dipacu
oleh perkembangan sains dan teknologi akan membawa serta
perubahan dalam cara berpikir, cara menilai, dan cara orang

menghargai diri dan masyarakatnya. Sastrapratedja


menyatakan bahwa semua itu akan membawa kekaburan
nilai yang ada dan kekaburan dimensi nilai yang sebenarnya
selalu ada dalam proses perkembangan dan perubahan
masyarakat serta dalam pribadi anggota masyarakat [10].
Oleh karena itu dikatakannya bahwa menjadi tanggung
jawab pendidik dan sekolah untuk 1) melihat implikasi nilai
etik dalam setiap proses perubahan yang terjadi, 2) membantu
peserta didik untuk mengembangkan nilainilai budaya yang
arif dan relevan dengan kebutuhannya, dan 3) membantu
peserta didik untuk dapat mengambil sikap dan keputusan
dalam merencanakan kehidupan masa depannya.
III. KESIMPULAN
Beberapa aliran filsafat yang berpengaruh terhadap
Filsafat Pendidikan di Indonesia antara lain aliran idealisme,
realisme atau rasionalisme, humanisme dan pragmatisme.
Filsafat pendidikan di Indonesia harus memiliki karakteristik
khas sesuai dengan adat istiadat dan budaya bangsa
Indonesia. Dalam hal ini, maka aliran progresivisme yang
bersifat demokratis lebih tepat untuk diadopsi dan
diasimilasikan dengan filsafat Pancasila yang menjadi ciri
khas bangsa Indonesia untuk menuju ke masa depan
Indonesia yang lebih demokratis. Filsafat pendidikan
khususnya pendidikan sains yang mewakili karakter bangsa
Indonesia sangat penting peranannya di dalam proses
transformasi sains, teknologi, dan nilainilai sebagai akibat
perkembangan sains dan teknologi yang pesat dewasa ini.
Filsafat pendidikan dengan sendirinya akan membantu
mengarahkan peserta didik dan lembaga pendidikan untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan peran dan fungsinya
dalam menghadapi arus globalisasi yang sangat pesat
dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Hendrowibowo, L. 2002. Beberapa Aliran Filsafat dan
Kaitannya Dengan Pendidikan di Indonesia. Jurnal
Ilmu Pendidikan. No.1, Januari 2002. hal: 19.
[2] Suriasumantri, J.S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar.
Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
[3] Hanurawan, F. 2000. Filsafat Pendidikan Demokrasi
Sebagai Landasan Pendidikan Masyarakat Indonesia
Baru. Jurnal Ilmu Pendidikan, No. 2. Januari, 2000.
hal: 117126.
[4] Jufri, A. W. 2007. Pengaruh Implementasi Perangkat
Pembelajaran Berbasis Inkuiri Melalui Straegi
Kooperatif terhadap Hasil Belajar Kognitif, Sikap, dan
Motivasi Siswa SMA di Kota Mataram. Disertasi.
Universitas Negeri Malang.
[5] Richard K. C., C. L Mark., and N. Taylor. 2008. Scientists
and Scientific Thinking: Understanding Scientific
Thinking Through an Investigation of Scientists
Views About Superstitions and Religious Beliefs.
Eurasia Journal of Mathematics, Science &
Technology Education. Vol. 4 (3), p: 197214.

J. Pijar MIPA, Vol. III No.1, Maret 2008 : 6 10.


ISSN 19071744
[6] Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker:
The Link Between ComputerBased Technology and
Future Skill Sets. Educational Technology. Ed.
NovemberDecember 1999.
[7] Dryden, G. & Vos Jeannette, 2000, Revolusi Cara
Belajar,edisi Indonesia, Penerbit Kaifa, Bandung
Indonesia.
[8] Geremeck, B. 1996. Education For The Twenty-First
Century.Interparliamentary Conference on
Education, Science, Culture and Communication
on the Eve of The 21st Century. Paris: UNESCO.
[9] Trilling, B & P. Hood. 1999. Learning Technology and
Education Reform in the Knowledge Age or Were
Wired, Webbed, and Windowed, Now What? Journal
of Educational Technology. MayJune, p: 518.
[10] Sastrapratedja, M. 1993. Pendidikan Nilai, dalam
Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000 (penyunting:
Kaswardi). Gramedia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai