Anda di halaman 1dari 6

C.

Hutan Mangrove Sebelum Tsunami Aceh


Provinsi Aceh wilayahnya dikelilingi oleh perairan laut. Sebelah Utara berbatasan dengan
perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; sebelah Timur dengan perairan Selat Malaka;
sebelah Barat dan Selatan dengan Perairan Samudera Indonesia. Panjang pantainya mencapai
1.660 km dengan kawasan pesisir dan lautan seluas 57.365,57 Km2. Sebelum peristiwa
tsunami, provinsi Aceh di kawasan pesisir dan lautan terdiri atas sumber daya dapat pulih
(renewable resources), sumber daya tidak dapat pulih (non- renewable resources), dan jasajasa lingkungan dan pesisir (environmental services).
Pengelolaan sumberdaya pesisir, termasuk pengelolaan hutan mangrove sebelum tsunami
oleh pemerintah Aceh dapat dibedakan dalam 2 periode, yaitu: 1) Periode tahun 1956 1998.
Periode dimulai pada saat berdirinya Provinsi Aceh hingga sebelum masa reformasi. 2) tahun
1999 2004, periode ini merupakan periode awal desentralisasi dimana pemerintah daerah
memiliki kewenangan yang lebih besar untuk mengelola sumber daya pesisir, laut dan
perikanan (Pemerintah Aceh, 2007).
Pada periode kedua, permasalahan yang berkenaan dengan pemanfaatan pesisir dan laut di
Provinsi Aceh diantaranya:
1. Terjadinya kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang;
2. Terjadinya sedimentasi dan abrasi pantai;
3. Pencemaran laut akibat limbah rumah tangga dan kapal;
4. Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai jumlah maupun alokasi mangrove yang boleh
dikonversi untuk pengembangan pertambakan;
5. Terjadinya konflik pemanfaatan dan kewenangan (konflik antar sektor, antar tingkat
pemerintahan, dan antar daerah otonom) (Pemerintah Aceh, 2007).
Hutan mangrove di provinsi Aceh telah mengalami puncak alih fungsi menjadi tambak sejak
tahun 1980-an. Pada lokasi tertentu alih fungsinya bahkan telah berlangsung lebih awal.
Seperti di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar, alih fungsi tersebut telah berlangsung sejak
tahun 1960-an. Kondisi demikian, telah menyebabkan lanskep kawasan pesisir menjadi
rentan terhadap bencana. Hal ini diperlihatkan saat terjadi tsunami pada bulan Desember
2004, yaitu banyak tanggul pematang tambak rusak/hancur dan tambak terisi endapan
lumpur.Seandainya keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir masih memadai, diduga
hantaman gelombang tsunami tidak menimbulkan kerusakan separah tersebut (Green Coast,
2009). Menurut Wibisono dan Suryadiputra (2006) sampai tahun 1999 hutan mangrove seluas
36.000 ha telah berubah menjadi tambak dan kayunya dijadikan arang.
Pada tahun 2000, hutan mangrove di provinsi Aceh yang kondisinya baik hanya seluas
30.000 ha; 286.000 ha kondisinya moderate, dan 25.000 ha dalam kondisinya rusak. Pada
tahun 2004, Departemen Kehutanan melaporkan luas hutan mangrove di Aceh, yaitu 296.078
ha berada di pantai timur; 49.760 ha di pantai barat, dan 1000 ha di kabupaten Simeuleu.
Berdasarkan hasil penelitian Hasri (2004) diketahui bahwa tumbuhan mangrove yang tumbuh
di pantai Banda Aceh dan Aceh Besar sebelum tsunami adalah: Avicienna marina, A.
officinalis, A. alba, A. lannata, Rhizophora mucronata, R. apiculata, R. stylosa, Bruguiera
gymnorrhiza, B. parviflora, Ceriop tangal, C. decandra, Lumnitzera littorea, L. racemosa,
Schyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba, S. caseolaris, Excoecaria agallocha,
Aediceras cornoculatum, Xylocarpus rumphii, dan X. granatum.
D. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Tsunami Aceh
Pemerintah pusat dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah tsunami membentuk
sebuah lembaga, yaitu: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Badan tersebut dibentuk
berdasarkan Perpu No. 2 Tahun 2005 (selanjutnya menjadi UU No. 10 tahun 2005), bertugas
selama 4 tahun dan dapat diperpanjang kembali jika diperlukan. Dengan demikian diharapkan
jalannya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias dapat terkoordinir dengan baik dan

terintegrasi menjadi bagian dari kebijakan pemerintah daerah, bukan hanya menjadi program
pemerintah pusat.
Hal tentang rehabilitasi dan rekonstruksi yang diatur dalam Perpu, terkait dengan pengelolaan
sumber daya laut dan perikanan adalah:
1. Penataan ruang.
2. Penataan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan utama yang
menjadi acuan dari program rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang lingkungan hidup dan
sumber daya alam, adalah:
a) memulihan kembali daya dukung lingkungan dan mengamankan lingkungan eksisting;
b) memulihkan kembali kegiatan perekonomian masyarakat yang mengandalkan sumber daya
alam;
c) melibatkan masyarakat dan menggunakan pranata sosial dan budaya lokal dalam
menghadapi bencana dan kegiatan pembangunan;
d) Memulihkan kembali sistem kelembagan sumber daya alam dan lingkungan hidup di
tingkat pemerintah.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Rencana Induk Rehabilitasi Wilayah dan Kehidupan
Masyarakat Provinsi Aceh dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara yang lebih dikenal
dengan BluePrint (Pemerintah Aceh, 2007).
Besarnya kerusakan sumber daya alam dan ekosistem akibat gempa dan tsunami, terutama di
wilayah pesisir, memerlukan perhatian khusus dan menjadi pertimbangan dalam
melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi. Strategi pemulihan kembali daya dukung
lingkungan pesisir dan laut di lakukan sebagai berikut:
1. Merehabilitasi terumbu karang. Kegiatan pokok meliputi pendataan kembali terumbu
karang, penanaman kembali terumbu karang dan penyusunan mekanisme kelembagaan.
2. Merehabilitasi dan membangun zona penyangga/sabuk hijau (green belt) (Pemerintah
Aceh, 2007).
Tujuan membangun sabuk hijau (green belt) agar garis pantai/tepi dari berbagai badan
perairan dapat diamankan dari pengaruh-pengaruh kekuatan alam yang merusak (seperti
abrasi, erosi, angin dan sebagainya). Dari berbagai kebijakan tentang sabuk hijau, pemerintah
melakukan berbagai kegiatan untuk menyelamatkan garis pantai/pesisir, antara lain:
1. Melakukan rehabilitasi tanaman mangrove pada daerah tanaman mangrove sebelumnya
tumbuh. Tujuannya adalah: merehabilitasi dan mengembangkan mangrove seluas 164.840 ha
di provinsi Aceh dan 9.750 ha di Sumatera Utara dalam kurun waktu 2006-2010 untuk
kepentingan perlindungan pantai maupun pemanfaatannya sebagai tempat pemijahan dan
perkembangan perikanan dan ekosistem baru yang berkelanjutan. Kegiatan yang dilakukan
meliputi:
a) Memetakan kondisi kawasan ekosistem mangrove Aceh dan Nias;
b) Melakukan kajian tentang karakter dan poteni pantai;
c) Menyusun rencana pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dan penanaman pantai
lainnya;
d) Menyusun rencana teknik rehabilitasi hutan mangrove dan penanaman tanaman pantai lain
jangka menengah;
e) Melaksanakan rehabilitasi hutan mangrove di zona pantai dan zona perikanan/
pertambakan (mengikuti rencana tata ruang) secara terpisah maupun terintegrasi khususnya
dengan metode silvo-fishery (budi daya perikanan berwawasan lingkungan);
f) Menyusun mekanisme kelembagaan untuk memelihara, memantau dan mengevaluasi hasil
rehabilitasi hutan mangrove;
2. Rehabilitasi kawasan tambak dan ekosistem habitat kritis. Tujuannya adalah untuk
mengembalikan fungsi ekologi pada ekosistem pantai dan habitat kritis guna meningkatkan
nilai dan fungsi ekosistem. Kegiatan yang dilakukan meliputi:

a) Mengintegrasikan rencana tata ruang tambak ke dalam rencana umum tata ruang provinsi,
meliputi: menyusun panduan pengelolaan tambak berbasiskan potensi sumber daya hayati
laut lestari, menyusun rencana rinci terhadap zonasi kawasan pantai yang berfungsi untuk
lindung, tambak dan hutan kota, merehabilitasi dan menata kembali ekosistem pantai
termasuk eksosistem tambak melalui partisipasi masyarakat, menyusun masterplan dan detail
desain setiap kawasan pengembangan usaha budidaya tambak, melakukan rehabilitasi
terhadap vegetasi perintis selain tanaman mangrove di kawasan pesisir sesuai dengan
karakter dan aspirasi masyarakat pesisir, dan melakukan pemantauan dan memelihara nilai
keanekaragaman hayati di dalam eksosistem kritis;
b) Kebijakan revitalisasi kegiatan perekonomian masyarakat pesisir yang berbasis sumber
daya alam, strategi yang ditempuh, yaitu memulihkan dan meningkatkan kegiatan perikanan.
Kegiatan pokok meliputi: mengembalikan kegiatan perikanan tangkap, merehabilitasi lahan
tambak masyarakat dan perikanan budi daya lainnya, dan merehabilitasi fasilitas kegiatan
ekonomi masyarakat pesisir (Pemerintah Aceh, 2007).
Strategi yang ditempuh dalam menghadapi bencana dan kegiatan pembangunan adalah
melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan bidang kelautan dan perikanan.
Kegiatan pokok meliputi memberdayakan pranata sosial dan lembaga adat yang ada dalam
proses perencanaan dan pelaksanaan serta membangun mekanisme pengawasan sesuai
dengan nilai sosial, budaya dan aspirasi masyarakat setempat.
E. Kerusakan Hutan Mangrove Akibat Tsunami Aceh
Tsunami 2004 telah mengakibatkan perubahan bentang alam yang cukup serius, seperti
hilangnya daratan dan terbentuknya rawa-rawa pesisir. Selain memakan korban jiwa, juga
telah menghancurkan vegetasi mangrove yang ada di pesisir timur dan barat provinsi Aceh.
Besarnya kerusakan hutan mangrove, menurut Lapan (2005) yang mencapai 32.003 ha.
WIIP melalui proyek Green Coast (didanai oleh Oxfam) sampai Agustus 2008, telah
menghijaukan lebih kurang 1000 ha lahan pesisir melalui penanaman mangrove dengan
jumlah tanaman hidup rata-rata 83 %. Proyek green coast sejak Februari 2006 hingga Maret
2009 telah memfasilitasi suatu program penghijauan tambak melalui penanaman mangrove di
dalam tambak dan disekitarnya, dikenal dengan tambak tumpangsari tanaman (sylvofishery). Program ini digarap oleh empat kelompok masyarakat (jumlah anggota 40 orang)
melalui penanaman 185.000 batang mangrove di sepanjang sungai dan di saluran tambak.

HUTAN MANGROVE NAD DAN OPSI PENGELOLAAN KEDEPAN


Indra
Belum ada data yang konkrit tentang luas hutan mangrove di Aceh. Data yang ada bervariasi
dan berbeda antara satu instansi/lembaga dengan yang lainnya. Menurut Departemen
Kehutanan tahun 2004, seperti yang termuat dalam Buku II Blue Print Aceh pasca tsunami
bahwa luasan hutan mangrove Propinsi NAD diperkirakan mencapai sekitar 346.838 ha,
dengan rincian 296.078 ha terletak di Pantai Timur, 49.760 ha di Pantai Barat, dan 1.000 ha di
Pulau Simeulue.
Wet Land Internasional memprediksikan berdasarkan RePPProT (1985 1989), luas hutan
mangrove di Aceh semula mencapai 60.000 ha. Jumlah tersebut berkurang drastis menjadi
sekitar 20.000 ha, sepertiga dari jumlah awal, pada periode 1986 1990 dan kini
diperkirakan jumlah hutan mangrove sekitar 10.000 12.500 ha. Data ini berbeda jauh
dengan data Dephut yang digunakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias

saat ini, luasnya mencapai 168.840 ha dengan akumulasi kerusakan sebelum dan sesudah
tsunami 105.260 ha. FAO memprediksikan jumlah hutan mangrove di NAD tahun 2003
adalah 44.126,50 ha sedangkan DKP-NAD memprediksikan 23.358,20 ha.

Kedua sumber data di atas terlihat sangat bervariasi, namun secara umum dapat disimpulkan
bahwa hutan mangrove di Pantai Timur jauh lebih luas dibandingkan dengan hutan mangrove
di Pantai Barat. Hal ini ada hubungannya dengan type pantai dari kedua wilayah ini, dimana
pantai timur lebih landai dibandingkan dengan pantai barat. Diperkirakan sekitar 85 persen
dari luas hutan mangrove yang ada di Aceh berada di sepanjang pesisir Pantai Timur Aceh,
sisanya 15 persen berada di Pantai Barat dan Pulau Simeulue. Jenis mangrove yang tumbuh
di Pantai Timur Aceh adalah Avicennia, spp dan Rhizophora mucronata, sedangkan di Pantai
Barat adalah Nypha fruticans dan tanaman hutan pantai lainnya dan di Pulau Simeulue adalah
jenis Rhizophora apiculata. Namun yang dominan di kedua pantai di Aceh adalah Rhizophora
apiculata dan Avicennia marina.
Akibat gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, hampir 100 persen hutan mangrove di
Pantai Barat Aceh mengalami rusak total, terutama mangrove yang berada di Kota Banda
Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Total luas mangrove di kedua kabupaten/kota ini
diperkirakan mencapai 27.000 ha. Sedangkan untuk Pantai Timur Aceh, yang dimulai dari
Kabupaten Pidie, Bireuen, sampai Aceh Tamiang, mengalami kerusakan yang bervariasi.
Secara umum, semakin ke arah timur tingkat kerusakan semakin ringan. Untuk Kabupaten
Pidie, diperkirakan tingkat kerusakan hutan mangrove sekitar 75 persen, Bireuen, Kota
Lhokseumawe dan Aceh Utara mencapai 30 persen, sedangkan Aceh Timur, Kota Langsa,
dan Tamiang relatif tidak rusak.
Jika luas kerusakan hutan mangrove 105.260 ha, seperti yang dilaporkan DEPHUT, maka ke
depan memerlukan sumber daya yang cukup besar dan kerja keras untuk mengembalikan
hutan mangrove yang rusak tersebut. Bahkan Aceh dengan panjang garis pantai sekitar 2.467
km memerlukan hutan mangrove lebih dari 200.000 ha sebagai buffer zone atau greenbelt
yang berfungsi untuk mencegah erosi dan abrasi serta mengurangi energi gelombang. Untuk
itu, pemerintah, NGOs, dan lembaga donor lainnya telah melakukan penanaman kembali
areal mangrove yang rusak karena tsunami, namun hasil pemantauan di lapangan
menunjukkan bahwa survival rate penanaman mangrove sangat rendah, diperkirakan kurang
dari 50 persen.
Rendahnya tingkat tumbuh mangrove ini disebabkan cara penanaman mangrove yang
dilakukan tidak memenuhi standar atau persyaratan teknis. Umumnya jenis mangrove yang

telah ditanam kembali pasca tsunami adalah Rhizophora mucronata (yang disebut bakau)
dengan jarak tanam yang sangat rapat (sekitar 30 50 cm). Bibit mangrove ditanam oleh
masyarakat setempat dengan sistem upah per batang (cash for work). Mereka tidak
mempunyai pengetahuan yang memadai untuk menanam dan merawat mangrove. Padahal,
secara teoritis setiap jenis mangrove membutuhkan persyaratan teknis yang berbeda antara
satu dan lainnya, misalnya persyaratan unsur hara, tekstur tanah, salinitas air, ketahanan
terhadap gelombang, dan lain-lain. Apalagi kondisi lahan di Aceh yang dipercayai sudah
mengalami banyak perubahan akibat tsunami. Akibatnya, suatu spesies mangrove yang
tumbuh baik di suatu darah sebelum tsunami, maka setelah tsunami belum tentu jenis yang
sama akan cocok/sesuai ditanam kembali, perlu ada analisis awal tentang kesesuian lahan.
Belajar dari kegagalan masa lalu dimana tingkat keberhasilan (survival rate) penanaman
mangrove yang cukup rendah, maka kedepan perlu adanya penanaman dan pengelolaan
mangrove yang terorganisir. Untuk itu, perlu dibentuk formulasi perencanaan manajemen
mangrove (Mangrove Management Plan). Perencanaan manajemen ini termasuk penilaian
secara sistematis dan komperehensif dari luas area hutan mangrove yang rusak karena
gelombang tsunami dan mengidentifikasi luas area yang dibutuhkan dan cocok untuk
penanaman kembali mangrove. Semua ini harus mempertimbangkan faktor-faktor biologi
(lingkungan) dan sosial ekonomi yang mungkin mempengaruhi pemanfaatan mangrove ke
depan dan pembangunan suatu konsep untuk menilai spesies yang paling cocok untuk
ditanami kembali. Pemilihan spesies harus didasarkan pada penelitian kesesuaian lahan,
keuntungan ekonomi, dan kesesuaian lingkungan jangka panjang.
Untuk mewujudkan tahapan di atas, diperlukan suatu Pusat Rehabilitasi Mangrove (Pusat
Remang). Selanjutnya dibentuk suatu network pusat capacity building di sepanjang pantai
untuk membantu sosialisasi dan pengawasan program-program yang akan dibuat. Lembaga
harus dikenal luas oleh masyarakat dan harus sukses dalam jangka panjang. Beberapa tugas
pokok dari Pusat Remang adalah (1) meningkatkan akses informasi kepada masyarakat
tentang pentingnya rehabilitasi mangrove, (2) untuk melakukan training dalam usaha
penanaman mangrove, (3) menyediakan informasi dalam opsi-opsi pemanfaatan hutan
mangrove ke depan, dan (4) mengadakan pelatihan menyangkut pengusahaan bibit mangrove,
rehabilitasi mangrove, reklamasi lahan yang terintrusi garam tinggi, dan manajemen
pengelolaan sumber daya.
Menurut beberapa penelitian bahwa tekstur tanah di Pantai Timur Aceh adalah berpasir
(sand), liat (loam), dan liat berlumpur (silt loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah
Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia alba, Rhizophora mucronata. Sedangkan di
Pantai Barat tekstur tanahnya adalah berpasir (sand), liat (loam), liat berpasir (sandy loam),
jenis mangrove yang dianjurkan adalah Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Sonneratia
alba, Aegiceras floridum, dan Phemphis acidula (cantigo). Selain itu, jenis Nypha fruticans
yang tumbuh lebih kearah daratan juga cocok ditanami, khususnya di Pantai Barat Aceh.
Lebih jauh dikatakan bahwa lahan potensial untuk penanaman mangrove di Aceh pasca
tsunami adalah 447.061 ha, yang terdiri dari 297.464 ha di lahan kahayan (KHY), 61.888 ha
di lahan kajapah (KJP), dan 87.709 ha di lahan puting (PTG).
Menurut data dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh, bencana tsunami di
Aceh telah menyebabkan kerusakan mangrove seluas 174.590 ha (Noor, et
al.,2006). Sejak saat itu perhatian terhadap pentingnya ekosistem mangrove
mengalami peningkatan karena mangrove dianggap sebagai green belt (sabuk
hijau) yang berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap bencana tsunami.

Anda mungkin juga menyukai