DISUSUN OLEH :
Disusun Oleh :
Kelompok
: IV (Empat)
Nama Kelompok
(1407034126)
(1407034944)
Tanggal praktikum
: 31 Oktober 2016
: 10 November 2016
Dosen Pengampu
Abstrak
Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan organik yang telah menjadi limbah
atau kotoran makhluk hidup dengan cara pengomposan. Arang ampas tebu dan kotoran
ternak yang tersedia dalam jumlah melimpah dan belum banyak dimanfaatkan. Melalui
pengembangan teknologi tepat guna yang sederhana, limbah dapat diolah menjadi pupuk
organik sebagai alternatif untuk mengurangi limbah. Tujuan dari percobaan ini adalah
dapat membuat pupuk padak dengan sistem pengomposan, dan memanfaatkan limbah
yang ada. Metode yang digunakan dengan mencampurkan arang ampas tebu, kotoran
ternak, dan sekam padi pada perbandingan 3 : 1 : 1 serta variasi konsentrasi starter
(EM4) adalah 3%, dan 6%. Fermentasi dilakukan selama waktu 15 hari dimana pupuk
organik padat yang dihasilkan tidak berbau dan berwarna kehitaman. Hasil yang
diperoleh dibandingkan dengan SNI 19-7030-2004 ternyata pupuk yang dihasilkan masih
belum sesuai dengan SNI. Sedangkan suhu pada saat pengomposan maksimal yaitu 32C,
suhu tersebut tidak mencapai suhu optimum, hal tersebut disebabkan oleh bioaktivator
yang tidak bekerja secara optimum.
Kata Kunci : Arang ampas tebu; Efektif Mikroorganisme 4 (EM4); kotoran ternak;
Kadar air; Pupuk organik
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Landasan Teori
1.1.1
Pupuk Organik
Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan organik atau
makhluk hidup yang telah mati. Bahan organik ini akan mengalami pembusukan
oleh mikroorganisme sehingga sifat fisiknya akan berbeda dari semula. Pupuk
organik termasuk pupuk majemuk lengkap karena kandungan unsur haranya lebih
dari satu unsur dan mengandung unsur mikro (Sinaga, 2009). Berdasarkan cara
pembuatannya, pupuk organik terbagi menjadi dua kelompok, pupuk organik
alami dan pupuk organik buatan. Jenis pupuk yang tergolong dalam kelompok
pupuk organik alami benar-benar langsung diambil dari alam, seperti dari sisa
hewan, tumbuhan, tanah baik dengan atau tanpa sentuhan teknologi yang berarti.
Pupuk yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain: pupuk kandang,
kompos, pupuk hijau, humus dan pupuk burung. Pupuk organik buatan dibuat
untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman yang bersifat alami atau non kimia,
berkualitas baik, dengan bentuk, ukuran, dan kemasan yang praktis, mudah
didapat, didistribusikan, dan diaplikasikan, serta dengan kandungan unsur hara
yang lengkap dan terukur. Berdasarkan bentuknya ada dua jenis pupuk organik
buatan yaitu: padat dan cair (Sinaga, 2009).
Jenis sampah organik yang bisa diolah menjadi pupuk organik adalah:
a. Protein seperti daging, ikan, udang, juga lemak, santan, susu karena
mengundang lalat sehingga tumbuh belatung.
b. Biji-biji yang utuh atau keras seperti biji salak, asam, lengkeng, alpukat
dan sejenisnya. Buah utuh yang tidak dimakan karena busuk dan berair
seperti papaya, melon, jeruk, anggur.
c. Sisa sayur yang berkuah harus dibuang airnya, kalau bersantan harus
dibilas air dan ditiriskan
1.1.2
Kompos
Kompos merupakan pupuk yang dihasilkan dari proses fermentasi atau
Prinsip Pengomposan
Bahan organik tidak dapat langsung digunakan atau dimanfaatkan oleh
tanaman karena perbandingan C/N dalam bahan tersebut relatif tinggi atau tidak
sama dengan C/N tanah. Nilai C/N tanah sekitar 10-12. Apabila bahan organik
mempunyai kandungan C/N mendekati atau sama dengan C/N tanah maka bahan
tersebut dapat digunakan atau diserap tanaman. Namun, umumnya bahan organik
yang segar mempunyai C/N yang tinggi, seperti jerami padi 50-70, daun-daunan >
50 (tergantung jenisnya), cabang tanaman 15-60 (tergantung jenisnya), kayu yang
telah tua dapat mencapai 400. Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio
bahan organik sehingga sama dengan tanah (<20). Dengan semakin tingginya C/N
bahan maka proses pengomposan akan semakin lama karena C/N harus
diturunkan. Di dalam perendaman bahan-bahan organik pada pembuatan kompos
cair terjadi aneka perubahan hayati yang dilakukan oleh jasad renik. Perubahan
hayati yang penting yaitu sebagai berikut :
1. Penguraian hidrat arang, selulosa, dan hemiselulosa.
2. Penguraian zat lemak dan lilin menjadi CO2 dan air
menjadi amonia, CO2 dan air, penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang
dapat diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut, kadar karbohidrat akan hilang
atau turun dan senyawa N yang larut (amonia) meningkat. Dengan demikian, C/N
semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Sinaga, 2009).
1.1.4
Pengomposan Anaerobik
Proses pengomposan anerobik berjalan tanpa adanya oksigen. Biasanya,
proses ini dilakukan dalam wadah tertutup sehingga tidak ada udara yang masuk
(hampa udara). Proses pengomposan ini melibatkan mikroorganisme anaerob
untuk membantu mendekomposisikan bahan yang dikomposkan. Bahan baku
yang dikomposkan secara anaerob biasanya berupa bahan organik yang berkadar
air tinggi. Pengomposan anaerobik akan menghasilkan gas metan (CH4),
karbondioksida (CO2), dan asam organik yang memiliki bobot molekul rendah
seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam laktat, dan asam suksinat.
Gas metan bisa dimanfaatkan menjadi bahan bakar alternatif (biogas). Sisanya
berupa lumpur yang mengandung bagian padatan dan cairan. Bagian padat ini
yang disebut kompos padat dan yang cair yang disebut kompos cair (Sinaga,
2009).
1.1.5
1.
Semua mahluk hidup terbuat dari sejumlah besar bahan karbon (C) serta
nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Unsur karbon dan bahan organik (dalam bentuk
karbohidrat) dan nitrogen (dalam bentuk protein, asam nitrat, amoniak dan lainlain), merupakan makanan pokok bagi bakteri anerobik.Unsur karbon (C)
digunakan untuk energi dan unsur nitrogen (N) untuk membangun struktur sel dan
bakteri. Bakteri memakan habis unsur C 30 kali lebih cepat dari memakan unsur
N. Pembuatan kompos yang optimal membutuhkan rasio C/N 25/1 sampai 30/1
(Sinaga, 2009).
Dalam proses pengomposan, 2/3 dari karbon digunakan sebagai sumber
energi bagi pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3 lainnya digunakan untuk
pembentukan sel bakteri. Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan
yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan berat kering), sedangkan C/N diakhir
proses adalah 12-15. Pada rasio yang lebih rendah, amonia akan dihasilkan dan
aktivitas biologi akan terlambat, sedang pada rasio yang lebihtinggi, nitrogen akan
menjadi variabel pembatas. Harga C/N tanah adalah <20, sehingga bahan-bahan
yang mempunyai harga C/N mendekati C/N tanah, dapat langsung digunakan
(Sinaga, 2009)
2.
Ukuran Bahan
Semakin kecil ukuran bahan, proses pengomposan akan lebih cepat dan
lebih baik karena mikroorganisme lebih mudah beraktivitas pada bahan yang
lembut daripada bahan dengan ukuran yang lebih besar. Ukuran bahan yang
dianjurkan pada pengomposan aerobik antara 1-7,5 cm. Sedangkan pada
pengomposan anaerobik, sangat dianjurkan untuk menghancurkan bahan selumatlumatnya sehingga menyerupai bubur atau lumpur. Hal ini untuk mempercepat
proses penguraian oleh bakteri dan mempermudah pencampuran bahan (Sinaga,
2009).
3.
Komposisi Bahan
Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat.
Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan
kotoran hewan.
4.
Jumlah Mikroorganisme
Kelembaban
Umumnya mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan kelembaban sekitar 4060%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara
optimal. Kelembaban yang lebih rendah atau lebih tinggi akan menyebabkan
mikroorganisme tidak berkembang atau mati.
6.
Suhu
Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap proses pengomposan karena
Keasaman (pH)
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme. Kisaran pH yang baik sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu,
dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk
menaikkan pH. Derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan
mengalami penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam
pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam organik. Pada proses
selanjutnya, mikroorganisme dari jenis lain akan mengkonversikan asam organik
yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang tinggi dan
mendekati normal (Sinaga, 2009).
Kondisi asam pada proses pengomposan biasanya diatasi dengan
pemberian kapur. Namun dengan pemantauan suhu bahan kompos secara tepat
waktu dan benar sudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik netral
tanpa pemberian kapur (Sinaga, 2009).
1.1.6
mikroorganisme
(EM4)
merupakan
campuran
dari
yang dibutuhkan tanaman. (Yuniwati dkk, 2012). Kegiatan atau manfaat masingmasing mikroorganisme yang terkandung dalam EM4 didalam tanah adalah
sebagai berikut:
a. Bakteri Fotosintetik (Rhodopseudomonas sp)
Bakteri ini merupakan bakteri bebas yang mensintetis senyaa nitrogen,
gula dan substansi bioaktif lainnya. Hasil metabolik yang diproduksi dapat diserap
secara langsung oleh tanaman dan tersedia sebagai substrat untuk perkembangan
mikroorganisme yang menguntungkan.Sistem serap langsung energi organi inilah
yang disebut dengan istilah penguraian bahan organik secara singkat, dalam
bahasa ilmiah disebut organikmaterial recycling pahwey.
b. Bakteri asam laktat (lactobacillus)
Bakteri ini tergolong dari jenis gram positif yang tidak membentuk spora.
Bentuk batang dan hanya dapat tumbuh pada suasanan anaerob. Bakteri ini
termasuk family Lactobacillaceae yang anggotanya dapat menghasilkan asam
laktat sebagai produksi utama fermentasi. Asam laktat yang dihasilkan bakteri ini
bermanfaat untuk menekan pertumbuhan jamur dan bakteri yang merugikan serta
mampu meningkatkan penguraian bahan organik.
c. Streptomycetes sp
Streptomycetes sp mengeluarkan enzim streptomisin yang bersifat racun
terhadap hama dan penyakit yang merugikan.
d. Actinomicetes
Distribusi Actinomicetes dialam sangat luas dalam tanah dan beberapa
diantaranya pathogen bagi manusia. Actinomicetes juga dapat menciptakan radiasi
yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lain.
e. Ragi/ Yeast
Ragi memproduksi substansi yang berguna bagi tanaman dengan cara
fermentasi. Substansi bioaktif yang dihasilkan ragi berguna untuk pertumbuhan
sel dan pembelahan akar.Ragi ini juga berperan dalam perkembangbiakan atau
pembelahan mikroorganisme menguntungkan seperti Actinomicetes dan bakteri
asam laktat.
Komposisi
8,7 x 105
7,5 x 106
8,5 x 106
+
+
1.675 ppm
597 ppm
5.54 ppm
0,1 ppm
1.90 ppm
0.01 ppm
3.29 ppm
363 ppm
20 ppm
0.07 ppm
1.1.7
Kompos Bagase
Kompos bagase adalah kompos yang dibuat dari ampas tebu. Ampas tebu
merupakan bahan buangan yang biasanya dibuang secara open dumping tanpa
pengolahan lebih lanjut, sehingga akan menimbulkan gangguan lingkungan dan
bau yang tidak sedap. Ampas tebu mengandung air, gula, serat dan mikroba,
sehingga bila ditumpuk akan mengalami fermentasi yang menghasilkan panas.
Jika suhu tumpukkan mencapai 94
Berdasarkan hal tersebut perlu diterapkan suatu teknologi untuk mengatasi limbah
ini, yaitu dengan menggunakan teknologi daur ulang limbah padat menjadi produk
kompos yang bernilai guna. Pemanfaatan limbah ampas tebu sebagai bahan baku
pembuatan kompos merupakan salah satu alternatif untuk meminimalisir
terjadinya polusi estetika. Ampas tebu biasa disebut bagase, merupakan limbah
yang dihasilkan dari proses pemerahan atau ekstraksi batang tebu. Pada industri
pembuatan gula, ampas tebu dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam proses
produksi, namun selebihnya masih menjadi limbah yang perlu penanganan lebih
serius untuk diolah kembali (Rahimah dkk, 2015).
Limbah bagase memiliki potensi yang cukup besar sebagai bahan organik
untuk memperbaiki kesuburan tanah. Limbah bagase memiliki kadar bahan
organik sekitar 90 persen, memiliki kandungan hara N (0,30%), P2O5 (0,02%),
K2O (0,14%), Ca (0,06%), dan Mg (0,04%). Apabila limbah tersebut dibuat
kompos dan dikembalikan ke tanaman, limbah bagase dapat dapat memperbaiki
kesuburan tanah dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Dwi dkk, 2003).
Menurut penelitian Ismayana dkk (2012) karakteristik bagase dapat dilihat pada
tabel 2.4.
Bagas (%)
78,840
0,21
38,620
160,92
1,755
0,119
0,385
0,097
0,068
<0,0000017
0,047
17,35
Masalah utama dalam pengomposan bagase adalah rasio C/N yang tinggi
yaitu sekitar 160,92, sedangkan rasio yang optimal untuk kompos berkisar antara
20-30, rasio C/N yang tinggi tersebut menyebabkan pengomposan berlangsung
lama. Untuk mempercepat pengomposan diperlukan perlakuan khusus. Salah
satunya adalah penambahan mikroorganisme (Dwi dkk, 2003).
1.1.8
1.2
Tujuan
1. Pembuatan pupuk padat dari ampas tebu
2.Mempelajari
pengaruh
konsentrasi
pengomposan
3. Mengukur pH dan mengukur kadar air
bioaktivator
pada
proses
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN
2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan adalah :
1. Polybag untuk wadah fermrntasi
6. Timbangan
2. Sekop kecil
7. Corong
3. Termometer
8. Kertas pH
4. Gelas ukur
5. Labu ukur
2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan adalah :
1. Ampas tebuh
2. Sekam padi
3. Kotoran ternak
2.3. Prosedur Percobaan
2.3.1 Pembuatan Arang Ampas Tebu
Langkah-langkah pembuatan arang ampas tebu yaitu :
1. Ampas tebu dijemur dibawah sinar matahari langsung.
2. Ampas tebu yang telah kering dipotong-potong kecil dengan ukuran 2-3 cm
2.4
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
bioaktivator
Suhu optimum
(C)
32
32
Maksimal 50
pH
6
6
6,80-7,49
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa pH dan kadar air pupuk organik padat yang
didapatkan masing-masing variasi adalah pH 6 dan tidak memenuhi SNI 19-70302004 dan kadar air 53,39% untuk variasi EM4 3%, 71,31% untuk variasi EM4
6%, pada pengujian kadar air belum sesuai SNI karena kadar air yang terdapat
pada pupuk lebihi dari 50%. pH pupuk padat yang didapatkan pada tabel 3.1
bersifat asam hal tersebut dikarenakan proses pengomposan belum selesai.
Komposisi pupuk organik terlihat secara fisik pupuk dan karakteristik
kompos dinilai dari parameter akhir kompos, antara lain nilai pH, dan kadar air.
Mutu produk pupuk organik padat secara umum sudah mendekati sifat fisik bahan
kompos. Hal ini ditunjukkan dengan bau kompos yang seperti tanah, karena
materi yang dikandungnya sudah menyerupai materi tanah dan berwarna
kehitaman yang terbentuk akibat pengaruh bahan organik yang sudah stabil.
Bentuk akhir pupuk organik padat sudah tidak menyerupai bentuk aslinya, hal ini
disebabkan karena dekomposisi mikroorganisme yang hidup dalam kompos.
Pada proses pembuatan pupuk padat tersebut dilakukan pengamatan
terhadap temperatur pupuk selama pengomposan, perubahan temperatur
berdasarkan lama waktu pengomposan dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut ini:
35
30
suhu (C)
25
20
EM4 3%
15
EM4 6%
10
5
0
0
10
15
20
turun dan suhu terakhirnya adalah variasi EM4 3% 28C dan variasi EM4 6%
27C. Kenaikan suhu pada pratikum ini, terjadi karena adanya aktivitas
mikroorganisme dalam mendekomposisikan bahan organik dengan oksigen
sehingga menghasilkan energi dalam bentuk panas, CO2 dan uap air. Panas yang
ditimbulkan akan tersimpan dalam tumpukan, sementara bagian permukaan
terpakai untuk penguapan. Panas yang terperangkap dalam tumpukan akan
menaikan suhu tumpukan. Setelah mencapai suhu maksimal pada hari ke-7 dan 8
untuk semua variasi kompos, suhu tumpukan mengalami penurunan setelah hari
ke-8 dan stabil sampai proses pengomposan berakhir pada hari ke-15.
Hasil dari kompos dapat dilihat dari fisik pupuk dan komposisi pupuk
organik pada parameter akhir, antara lain nilai pH, dan kadar air. Mutu produk
pupuk organik padat secara umum sudah mendekati sifat fisik bahan kompos. Hal
ini ditunjukkan dengan bau kompos yang seperti tanah, karena materi yang
dikandungnya sudah menyerupai materi tanah dan berwarna kehitaman yang
terbentuk akibat pengaruh bahan organik yang sudah stabil. Bentuk akhir pupuk
organik padat sudah masih sedikit menyerupai bentuk aslinya, hal ini disebabkan
karena dekomposisi mikroorganisme yang hidup dalam kompos tidak bekerja
secara optimal.
7
6
5
pH
4
hari ke-1
3
hari ke-3
hari ke 15
2
1
0
3%
6%
Konentrasi EM4
yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang tinggi dan
mendekati normal (Sinaga, 2009). Pada pratikum ini pH tidak mengalami
kenaikan dan menurun dalam tumpukan kompos, yang berubah hanya suhu
kompos. Perubahan suhu menandakan bahwa aktivitas mikroorganisme telah
berjala. Kisaran pH yang baik untuk pengomposan ialah sekitar 6,5-7,5 (netral).
(sinaga,2009). Namun pH yang terlalu asam bisa jadi akibat dari proses
pengomposan yang belum selesai, dengan pemantauan suhu bahan kompos secara
tepat waktu dan benar sudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik
netral tanpa pemberian kapur (Sinaga, 2009). Berdasarkan SNI pH akhir
pengomposan ialah 6,80-7,49 sedangkan
dengan nilai SNI hal ini disebabkan oleh temperatur pengomposan yang terlalu
rendah.
80,00%
70,00%
Kadar air
60,00%
50,00%
40,00%
Awal
30,00%
akhir
20,00%
10,00%
0,00%
EM4 3%
EM4 6%
Konsentrasi EM4
optimal. Kelembaban yang lebih rendah atau lebih tinggi akan menyebabkan
mikroorganisme tidak berkembang atau mati (Sinaga,2009).
Kompos mengering akibat adanya penguapan, dalam proses pengomposan
terjadi perubahan seperti, karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin
menjadi CO2 dan air, zat putih telur menjadi amonia, CO2 dan air, penguraian
senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman (Sinaga,2009).
CO2 dan air akan menguap akibat suhu didalam tempat pengomposan yang tinggi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Pratikum pembuatan pupuk organik padat kesimpulannya sebagai berikut:
1. Karakteristik sifat fisik kompos yang didapat terhadap warna dan bau,
untuk warna memiliki warna kehitaman dan untuk bau memberikan aroma
berbau tanah dan memenuhi SNI 19-7030-2004.
2. Karakeristik
kompos
belum
memenuhi
SNI 19-7030-2004
ialah
Saran
Pupuk organik padat yang dibuat sebaiknya dilakukan pengecekan kadar
air dan kelembaban pada saat proses pengomposan agar didapat pupuk yang
sesuai dengan SNI 19-7030-2004.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Elis T., Andi Ilham L., dan Zohra H. 2013. Pengaruh Vermikompos
Terhadap Pertumbuhan Tanaman Terong Ungu Solanum melongena L. var.
Esculentum Bailey. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar
Badan Standardisasi Nasional. 1990. SNI 03-1965-1990 Tentang Metode
Pengujian Kadar Air Tanah. Badan Standardisasi Nasional
Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 13-4720-1998 Tentang Tata Penentuan
Kadar Karbon Organik Dalam Tanah. Badan Standardisasi Nasional
Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 13-4721-1998 Tentang Tata Penentuan
Kadar Nitrogen Total Dalam Tanah. Badan Standardisasi Nasional
Badan Standardisasi Nasional. 2004. SNI 19-7030-2004 Tentang Spesifikasi
kompos sampah organik dosmetik. Badan Standardisasi Nasional
Widarti B.N, Wardah K.W dan Edhi S. 2015. Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku
Pada Pembuatan Kompos Dari Kubis Dan Kulit Pisang. Jurnal Integrasi
Proses Vol. 5, No.2 (Juni 2015) 75-80. Program Studi Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknik, Unmul, Gunung Kelua Samarinda.
Dwi G., Purwono dan Sarwono. 2003. Pengaruh Pemberian Kompos Bagase
Terhadap Serapan Hara Dan Pertumbuhan Tanaman Tebu (Saccharum
Officinarum L. Depertemen Budi Daya Pertanian, Faperta IPB.
Farida A., Muhammad E. dan Aga K. 2008. Pembuatan Kompos Dari Ampas
Tahu Dengan Activator Stardec. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik
Universitas Sriwijaya Indonesia.
Hartutik S., Sriatun dan Taslimah. 2009. Pembuatan Pupuk Kompos Dari Limbah
Bunga Kenanga Dan Pengaruh Persentase Zeolit Terhadap Ketersediaan
Nitrogen Tanah. Jurusan Kimia Universitas Diponegoro Semarang.
Ismayana A., Indrasti N.S., Suprihatin, Maddu A. dan Fredy Aris. 2012. Factors
Of Initial C/N And Aeration Rate In Co-Composting Process Of Bagasse
And Filter Cake. Jurnal Teknik industri Pertanian 22 (3): 173-179.
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Darmaga Bogor
Sinaga, D. 2009. Pembuatan Pupuk Cair Dari Sampah Organik Dengan
Menggunakan Boisca Sebagai Stater. Depertemen Teknologi Pertanian.
Falkutas Pertanian. Universitas Sumatra Utara
Umniyatie S. 2011. Pembuatan Pupuk Organik Menggunakan Mikroba Efektif
(Effective Microorganisms 4). Laporan PPM UNY: Karya Alternatif
Mahasiswa.
LAMPIRAN PERHITUNGAN
1. Lampiran perhitungan EM-4 3%
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 100% = 500% x 3%
V1
= 15 ml
Sebelum pengomposan
30,43%
Sesudah pengomposan
Sebelum pengomposan
30,04%
Sesudah pengomposan
71,31%
LAMPIRAN GAMBAR
1. Pencampuran arang ampas tebu, sekam padi dan kotoran ternak dengan
perbandingan (3:1:1)