Saat itu, berdasarkan hasil penelusuran, ternyata cukup banyak pengguna situs
jaringan pertemanan Friendster.com yang menggunakan identitas SBY. Tercatat
ada 35 account yang mengaku sebagai orang nomor satu di Indonesia ini.
Ada beberapa 'SBY' yang memiliki lebih dari 400 teman. Jumlah testimoninya
pun cukup banyak, antara 30-50 testimoni lebih. Pesan yang disampaikan
kepada para 'SBY' umumnya senada, mulai dari dukungan, keluhan, saran,
hingga kritikan.
Begitu tingginya popularitas SBY sebagai presiden Indonesia pertama yang
dipilih secara langsung membuat jejaring sosial Friendster menjadi mendadak
tenar.
sosial) dalam komunikasi politik. Akhirnya pada 2013, SBY memutuskan untuk
membuat sebuah sarana komunikas politik langsung dengan publik melalui
penggunakan media sosial Facebook dan Twitter.
Buzzer Politik
DKI Jakarta tercatat sebagai kota yang paling berkicau di dunia, menurut
lembaga pemantau media sosial Semiocast di Paris, Jakarta adalah kota yang
paling aktif dalam interaksi di Twitter. Sementara, Bandung menempati urutan
keenam di dunia, setelah Tokyo, London, Sao Paulo, dan New York. Menurut CEO
Twitter Dick Costolo, jumlah pengguna Twitter di Indonesia pada 2014 telah
genap sebanyak 50 juta anggota. Adapun Facebook, pada tahun 2014,
penggunanya di Indonesia tercatat hampir mencatai 70 juta pengguna.
Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hingga
akhir 2014 pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta jiwa, dimana 85
persen diantara mengakses menggunakan perangkat mobile.
Maka tidaklah heran apabila media sosial menjadi wahana bagi para pemilik di
Indonesia untuk menyalurkan partisipasi politiknya, bahkan sebagai seorang
netizen, masyarakat melakukan partisipasi politik tersebut secara otonomi dan
aktif, mereka yang dalam kehidupan kesehariannya tidak menunjukkan
keminatan dalam dunia politik, namun dalam wahana medsos bisa menjadi
sosok penggerak. Mereka yang mampu menggerakkan orang lain, melakukan
penggalangan mobilisasi terhadap netizen lainnya merupakan netizen yang
berperan sebagai buzzer. Dalam terminologi medsos, buzzer merupakan netizen
yang mengampanyekan sesuatu, tidak mesti politik melulu. Akun buzzer
tersebut ada yang merupakan akun riil seperti @Sherina, @DanielMananta ada
pula yang berbentuk akun anonim populer, semisal @TrioMacan2000, @Kurawa
dan sebagainya.
Peran para buzzer politik dapat dilihat dalam beragai kasus, namun yang paling
monumental pada saat kontestasi pilkada DKI 2013 dan Pilpres 2014. Perebutan
kekuasaan yang pertama kali menjadi arena perang netizen dimulai dalam ajang
Pilkada Gubernur DKI Jakarta pada 2012 yang berlangsung sebanyak dua
putaran. Pada putaran kedua dimana mempertmukan pasangan Jokowi-Ahok
head to head melawan pasangan Fauzi Bowo (Foke)- Nahrawi Ramli (Nara)
Kultwit berseri itu berjudul "ALASAN WARGA DKI HARUS MEMILIH JOKOWI DALAM
PILKADA DKI 2012 PUTARAN 2" Sebelumnya, @TrioMacan2000 telah
meluncurkan tiga seri kultwit menyerang Foke dengan judul "OMONG KOSONG &
BUALANNYA BANG KUMIS FOKE", "PARANOID BANG 'KUMIS' FOKE TERHADAP
LAWAN CAGUB", dan "KEJAHATAN BANG 'KUMIS' FOKE. Di sini tampak sekali
peranan buzzer sebagai kekuatan politik, dimana akhirnya, pasangan JokowiAhok menjadi pemenang Pilkada DKI meraih 2.472.130 (53,82 persen) suara,
sedang Foke-Nara mendapatkan 2.120.815 (46,18 persen) suara.
Kemenangan itu menurut lembaga independen PoliticaWave tak lepas dari peran
para netizen. Ini dapat dilihat dari hasil analisa PoliticaWave dalam percakapan
para pendukung di sosial media. Analisa tersebut berdasarkan pemantauan
sampai dengan tanggal 12 September 2012. PoliticaWave menganalisis lebih dari
2 juta percakapan di Twitter, Facebook, Kaskus, blog, forum, dan berbagai situs
berita online, dengan total hampir 900 ribu akun yang berbeda. Hasilnya,
disimpulkan pasangan Jokowi-Ahok (54,9 persen) akan menang tipis dari FokeNara (45,1 persen) di Pilgub DKI putaran kedua nanti. Pilgub DKI menjadi
fenomena baru dalam perpolitikan di Indonesia, karena medsos ikut berperan
dalam pembentukan opini dan kampanye kedua kandidat.
Jadi, arena perang yang benturannya sangat terasa adalah perang di dunia maya
(cyber war). Para pasukan tempur 'cyber troops, sejatinya adalah kelas
menengah, mereka mengakses semua jejaring sosial seperti Facebook, Twitter,
Instragram, Youtube, Blog dan berbagai forum citizen jurnalism. Pilpres 2014
telah memecah kekuatan kelas menengah secara tegas. Jika pada Pilpres 2004
dan 2009 perang persepsi ditentukan oleh penetrasi media massa, maka Pada
Pilpres 2014 terjadi pergeseran besar, perang persepsi akan ditentukan oleh
penetrasi media sosial.
Sebagaimana dikatakan Eric Schmidt dalam buku New Digital Age, bahwa dunia
digerakkan oleh satu kata yaitu konektivitas, dimana keterhubungan antara
perangkat-perangkat komunikasi berbasis internet menjadi instrumen utama
terjadinya perubahan sosial politik di sebuah negara. Bagaimana tidak, hanya
dengan menggunakan perangkat digital paling murah semisal smartphone
buatan China, setiap orang bisa menikmati melimpah ruahnya informasi di
dunia, ini yang oleh Schmidt disebut dengan Revolusi Data, dimana ketersediaan
informasi tidak lagi terbatas, melainkan semua tersedia mulai dari
diklasifikasikan sebagai sampah sampai kepada informasi emas yang super
rahasia.
Dari uraian di atas, maka sudah sepatutnya kita memberikan apresiasi terhadap
para netizen dan buzzer politik yang mendorong partisipasi politik aktif dan
otonom. Hal itu merupakan cerminan dari supremasi masyakat sipil dalam
kehidupan demokrasi sebuah negara, khususnya di Indonesia. Dalam tahuntahun ke depan, pergerakan partisipasi politik di medsos akan semakin
determinan, masyarakat memindahkan arena pertempuran mereka dari semula
di jalanan beralih ke berbagai wahana media sosial. Sudah barang tentu hal itu
akan membawa konsekuensi logis semakin gaduhnya dunia maya oleh berbagai
tema perincangan politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Sumber
http://m.rmol.co/read/2015/06/20/207009/Kekuatan-Buzzer-Politik-