Anda di halaman 1dari 5

PADA 2006 jagat dunia maya Indonesia dihebohkan oleh munculnya sebuah akun

mengatasnamakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di wahana situs


jejaring media sosial (medsos) Friendster. Pada masa itu media sosial masih
dianggap sebagai barang langka yang hanya dikonsumsi oleh segelintir kelas
atas, khususnya Friendster mayoritas beranggotakan para anak gaul berlatar
mahasiswa dan sebagian eksekutif muda.

Saat itu, berdasarkan hasil penelusuran, ternyata cukup banyak pengguna situs
jaringan pertemanan Friendster.com yang menggunakan identitas SBY. Tercatat
ada 35 account yang mengaku sebagai orang nomor satu di Indonesia ini.

Akun SBY palsu tersebut kebanyakan menggunakan identitas 'SBY' atau


variannya, seperti 'SBY I FULL', 'Presiden SBY RI', maupun 'Susilo Bambang
Yudhoyono'. Selain itu, ada juga yang memakai nama 'Presiden RI' dan 'Presiden
Indonesia. Foto yang digunakan untuk identitas para SBY palsu itu pun beragam.
Mulai dari foto resmi seperti yang biasa dipajang di ruang kelas sekolah-sekolah,
foto berpakaian militer lengkap, hingga foto SBY bersama keluarganya. Ada juga
yang menampilkan foto Agus Harimurti, anak sulung SBY, bersama istri sebagai
identitas. Kebanyakan account tersebut memiliki cukup banyak 'penggemar'.

Ada beberapa 'SBY' yang memiliki lebih dari 400 teman. Jumlah testimoninya
pun cukup banyak, antara 30-50 testimoni lebih. Pesan yang disampaikan
kepada para 'SBY' umumnya senada, mulai dari dukungan, keluhan, saran,
hingga kritikan.
Begitu tingginya popularitas SBY sebagai presiden Indonesia pertama yang
dipilih secara langsung membuat jejaring sosial Friendster menjadi mendadak
tenar.

Rasa penasaran terhadap mainan baru menyelimuti masyarakat melek


teknologi informasi khususnya kaum urban yang saat itu masih berkutat dengan
mail list dan forum-forum khusus dunia maya. Kehebohan yang ada pada
akhirnya membuat Istana Negara bersuara, Juru Bicara Kepresidenan Andi
Mallarangeng menyatakan bahwa semua akun Friendster yang
mengatasnamakan Presiden SBY adalah palsu. Karena menurutnya, Presiden SBY
tidak punya keminatan bermain jejaring sosial sebagaimana yang dilakukan para
anak gaul pada masa itu. Bahkan pemerintah membentuk tim khusus untuk
memburu pelaku pembuat akun tersebut dan memerintahkannya untuk menutup
paksa.

Setelah bantahan itu, kehebohan demam Friendster pun berangsur menghilang,


tak satupun pakar komunikasi politik yang menganggapnya sebagai sebuah
fenomena politik strategis. Seiring berjalannya waktu, perkembangan media
sosial semakin maju dan seolah tak bisa dibendung, tujuh tahun kemudian,
Presiden SBY akhirnya baru menyadari nilai strategis situs jejaring sosial (media

sosial) dalam komunikasi politik. Akhirnya pada 2013, SBY memutuskan untuk
membuat sebuah sarana komunikas politik langsung dengan publik melalui
penggunakan media sosial Facebook dan Twitter.

SBY meluncurkan Fanpage Facebook dengan nama Susilo Bambang Yudhoyono di


Istana Bogor pada 5 Juli 2013. Sementara akun Twitter SBY dengan nama
@SBYudhoyono. Telah lebih dulu diluncurkan sejak 13 April 2013. Akun resmi
kepala negara ini dikelola oleh Staf Khusus Presiden RI, sedangkan untuk tweet
langsung dari presiden ditandai kode *SBY*. Keputusan SBY menggunakan
medsos mendapat sambutan positif publik, bahkan memancing semakin
meningkatnya partisipasi politik konvensional publik. Tercatat follower twitter
SBY menumbus satu juta akun, sedangkan Fanpage Facebook SBY mendapat
respon sebanyak 4,6 juta Like.

Buzzer Politik
DKI Jakarta tercatat sebagai kota yang paling berkicau di dunia, menurut
lembaga pemantau media sosial Semiocast di Paris, Jakarta adalah kota yang
paling aktif dalam interaksi di Twitter. Sementara, Bandung menempati urutan
keenam di dunia, setelah Tokyo, London, Sao Paulo, dan New York. Menurut CEO
Twitter Dick Costolo, jumlah pengguna Twitter di Indonesia pada 2014 telah
genap sebanyak 50 juta anggota. Adapun Facebook, pada tahun 2014,
penggunanya di Indonesia tercatat hampir mencatai 70 juta pengguna.
Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hingga
akhir 2014 pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta jiwa, dimana 85
persen diantara mengakses menggunakan perangkat mobile.

Maka tidaklah heran apabila media sosial menjadi wahana bagi para pemilik di
Indonesia untuk menyalurkan partisipasi politiknya, bahkan sebagai seorang
netizen, masyarakat melakukan partisipasi politik tersebut secara otonomi dan
aktif, mereka yang dalam kehidupan kesehariannya tidak menunjukkan
keminatan dalam dunia politik, namun dalam wahana medsos bisa menjadi
sosok penggerak. Mereka yang mampu menggerakkan orang lain, melakukan
penggalangan mobilisasi terhadap netizen lainnya merupakan netizen yang
berperan sebagai buzzer. Dalam terminologi medsos, buzzer merupakan netizen
yang mengampanyekan sesuatu, tidak mesti politik melulu. Akun buzzer
tersebut ada yang merupakan akun riil seperti @Sherina, @DanielMananta ada
pula yang berbentuk akun anonim populer, semisal @TrioMacan2000, @Kurawa
dan sebagainya.

Peran para buzzer politik dapat dilihat dalam beragai kasus, namun yang paling
monumental pada saat kontestasi pilkada DKI 2013 dan Pilpres 2014. Perebutan
kekuasaan yang pertama kali menjadi arena perang netizen dimulai dalam ajang
Pilkada Gubernur DKI Jakarta pada 2012 yang berlangsung sebanyak dua
putaran. Pada putaran kedua dimana mempertmukan pasangan Jokowi-Ahok
head to head melawan pasangan Fauzi Bowo (Foke)- Nahrawi Ramli (Nara)

tampak besar sekali pengaruh buzzer medsos dalam menentukan percaturan


politik netizen di DKI. Akun @TrioMacan2000 meluncurkan sebuah kuliah twitter
(kultwit) yang men-down grade pasangan Foke-Nara.

Kultwit berseri itu berjudul "ALASAN WARGA DKI HARUS MEMILIH JOKOWI DALAM
PILKADA DKI 2012 PUTARAN 2" Sebelumnya, @TrioMacan2000 telah
meluncurkan tiga seri kultwit menyerang Foke dengan judul "OMONG KOSONG &
BUALANNYA BANG KUMIS FOKE", "PARANOID BANG 'KUMIS' FOKE TERHADAP
LAWAN CAGUB", dan "KEJAHATAN BANG 'KUMIS' FOKE. Di sini tampak sekali
peranan buzzer sebagai kekuatan politik, dimana akhirnya, pasangan JokowiAhok menjadi pemenang Pilkada DKI meraih 2.472.130 (53,82 persen) suara,
sedang Foke-Nara mendapatkan 2.120.815 (46,18 persen) suara.

Kemenangan itu menurut lembaga independen PoliticaWave tak lepas dari peran
para netizen. Ini dapat dilihat dari hasil analisa PoliticaWave dalam percakapan
para pendukung di sosial media. Analisa tersebut berdasarkan pemantauan
sampai dengan tanggal 12 September 2012. PoliticaWave menganalisis lebih dari
2 juta percakapan di Twitter, Facebook, Kaskus, blog, forum, dan berbagai situs
berita online, dengan total hampir 900 ribu akun yang berbeda. Hasilnya,
disimpulkan pasangan Jokowi-Ahok (54,9 persen) akan menang tipis dari FokeNara (45,1 persen) di Pilgub DKI putaran kedua nanti. Pilgub DKI menjadi
fenomena baru dalam perpolitikan di Indonesia, karena medsos ikut berperan
dalam pembentukan opini dan kampanye kedua kandidat.

Terdapat perbedaan pola komunikasi yang cukup signifikan antara pendukung


Jokowi-Ahok dan Foke-Nara. Dimana pendukung Jokowi-Ahok terlihat lebih
organik sedangkan Foke-Nara tersentralisasi. Melalui Share of Exposure dapat
dilihat hingga 12 September 2012, pasangan Jokowi-Ahok berhasil meraih 54,9
persen buzz dari netizen, mengungguli pasangan Foke-Nara yang meraih 45,1
persen. Reputasi Jokowi-Ahok didunia maya juga memiliki sentimen positif
dengan indeks 18,51 sedangkan Foke-Nara justru sebaliknya yakni -11,38.
Pasangan Jokowi-Ahok mendapatkan total buzz sebesar 1.365.234, dengan total
562.598 unique user. Pasangan Foke-Nara mendapatkan total buzz sebesar
813.742, dengan total 309.679 unique user.

Kemenangan Jokowi-Ahok atas peran netizen ini kemudian mendorong para


netizen semakin aktif dalam kontestasi pilkada di wilayah lainnya, terutama di
wilayah perkotaan seperti Pilkada Walikota Bandung yang memenangkan Ridwan
Kamil dan Pilkada Walikota Bogor dimana Bima Arya berhasil menjadi pemenang.

Colossal Cyber War


Setelah sukes terlibat dalam perebutan kekuasaan di berbagai ajang pilkada,
kemudian peran netizen mencapai puncaknya pada peperangan kekuasaan
politik tertinggi di Indonesia yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang

mempertemukan Joko Widodo melawan Prabowo Subianto. Dikarenakan hanya


ada dua kontestan, maka dengan kalimat yang agak hiperbolis, bisa dikatakan
bahwa Pilpres 2014 merupakan perang kolosal kelas menangah yang berwujud
dalam netizen di wahana jejaring media sosial. Perang kolosal kelas akbar
menengah pendukung Jokowi dan Prabowo berlangsung sangat keras. Mereka
bertempur di semua lini, namun lini yang paling mempengaruhi kelas menengah
adalah dunia maya, karena mereka adalah kelompok utama pengakses internet
di Indonesia.

Jadi, arena perang yang benturannya sangat terasa adalah perang di dunia maya
(cyber war). Para pasukan tempur 'cyber troops, sejatinya adalah kelas
menengah, mereka mengakses semua jejaring sosial seperti Facebook, Twitter,
Instragram, Youtube, Blog dan berbagai forum citizen jurnalism. Pilpres 2014
telah memecah kekuatan kelas menengah secara tegas. Jika pada Pilpres 2004
dan 2009 perang persepsi ditentukan oleh penetrasi media massa, maka Pada
Pilpres 2014 terjadi pergeseran besar, perang persepsi akan ditentukan oleh
penetrasi media sosial.

Yang memenangkan pertarungan di media sosial pada akhirnya memenangkan


kelas menengah, dan siapa yang memenangkan kelas menengah maka akan
memenangkan pilpres. Perang kata-kata di antara para netizen, berlangsung
sangat brutal. Caci-maki, fitnah, dan kata-kata yang di luar kepatutan dan
kesantunan bertebaran. Para pendukung kedua kandidat yang dikenal dengan
sebutan pasukan nasi bungkus (Panasbung) menggunakan segala jenis
ungkapan untuk menjelekkan kandidat yang tidak didukungnya.

Sebagaimana dikatakan Eric Schmidt dalam buku New Digital Age, bahwa dunia
digerakkan oleh satu kata yaitu konektivitas, dimana keterhubungan antara
perangkat-perangkat komunikasi berbasis internet menjadi instrumen utama
terjadinya perubahan sosial politik di sebuah negara. Bagaimana tidak, hanya
dengan menggunakan perangkat digital paling murah semisal smartphone
buatan China, setiap orang bisa menikmati melimpah ruahnya informasi di
dunia, ini yang oleh Schmidt disebut dengan Revolusi Data, dimana ketersediaan
informasi tidak lagi terbatas, melainkan semua tersedia mulai dari
diklasifikasikan sebagai sampah sampai kepada informasi emas yang super
rahasia.

Dikarenakan konektivitas dan melimpahnya data itulah, para netizen terlihat


lebih emosional dalam melakukan partisipasi politiknya, terlebih para buzzer
mensuplai data dan informasi tanpa batas. Sehingga terjadi serangan membabibuta di antara masing-masing pendukung satu sama lain. Bahkan, para pemilih
kelas bawah yang semula tidak ingin berpartisipasi aktif dalam Pilpres, terkena
efek komunikasi internet untuk kemudian memilih terlibat dalam pergulatan
yang berakibat kepada makin tajamnya gesekan di dunia maya. Jelang
pemungutan suara 9 Juli 2014, akun @TrioMacan2000 kembali beraksi
menyerang kedua kandidat baik Prabowo maupun Jokowi. Terhadap Prabowo,

akun @TrioMacan2000 meluncurkan serial kultwit tentang kejahatan HAM di


masa lalu, sedangkan terhadap Jokowi diangkat tentang kekuatan asing yang
mengendalikannya. Beruntung Jokowi punya seorang buzzer yang mampu
mendorong rebound persepsinya, akun buzzer itu adalah @Sherina yang
membuat hastag atau tanda pagar #AKHIRNYAPILIHJOKOWI yang berhasil
menjadi trending topic dunia.

Pantauan terhadap beberapa media sosial dengan pengguna terbanyak di


Indonesia yaitu Twitter, Facebook, Blog, Forum, Online News dan Youtube pada
periode 6 Juni hingga 7 Juli 2014, PoliticaWave mencatat 5.977.879 percakapan
dan 1.592.323 netizen yang melakukan percakapan terkait kedua pasangan
Capres dan Cawapres. Share of Awareness (perbandingan jumlah percakapan)
pada periode ini menunjukkan keunggulan pasangan Jokowi-JK sebesar 60,5
persen dibandingkan pasangan Prabowo-Hatta sebesar 39,5 persen. PoliticaWave
juga memetakan sentimen netizen terhadap kedua pasangan. Setiap percakapan
diberi makna sentimen positif, negatif atau netral. Berdasarkan margin antara
sentimen positif dan negatif, Jokowi-JK mengungguli pasangan Prabowo-Hatta
dengan net sentimen 3,5 kali lebih positif. PoliticaWave menyimpulkan pasangan
Jokowi-JK akan berhasil memenangkan Pemilu Presiden 2014 dengan elektabilitas
sebesar 53,8 persen dan Prabowo-Hatta mendapat elektabilitas sebesar 46,2
persen. Ternyata hasil analisa media sosial tercerminkan dalam hasil rekapitulasi
KPU yang menyatakan bahwa Jokowi memperoleh 53,15 persen suara (mewakili
70,99 juta pemilih) dan Prabowo memperoleh 46,85 persen suara (62,57) juta
pemilih.

Dari uraian di atas, maka sudah sepatutnya kita memberikan apresiasi terhadap
para netizen dan buzzer politik yang mendorong partisipasi politik aktif dan
otonom. Hal itu merupakan cerminan dari supremasi masyakat sipil dalam
kehidupan demokrasi sebuah negara, khususnya di Indonesia. Dalam tahuntahun ke depan, pergerakan partisipasi politik di medsos akan semakin
determinan, masyarakat memindahkan arena pertempuran mereka dari semula
di jalanan beralih ke berbagai wahana media sosial. Sudah barang tentu hal itu
akan membawa konsekuensi logis semakin gaduhnya dunia maya oleh berbagai
tema perincangan politik, hukum, sosial dan ekonomi.

Pemerintah akan semakin sulit bermanuver, karena telah hadirnya masyarakat


sipil aktif yang tekun memeriksa fakta dan menyelidiki kinerja pemerintah.
Dalam kacamata demokrasi dimana hakikat demokrasi adalah pelibatan
masyarakat sebagai pemilik kedaulatan, maka pelibatan netizen itu merupakan
bentuk pengawasan masyarakat atas kinerja pemerintahan. Meski hingar-bingar,
namun demokrasi adalah pilihan yang terbaik dari beberapa pilihan yang ada.***

Sumber
http://m.rmol.co/read/2015/06/20/207009/Kekuatan-Buzzer-Politik-

Anda mungkin juga menyukai