Anda di halaman 1dari 23

PENYEBAB HILANGNYA KEANEKARAGAMAN HAYATI

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Biologi Konservasi
yang dibimbing oleh Dr. Erry Wiryani, Msi.

Disusun Oleh:

1. Wilma Nur Laily (24020114120037)


2. Desy Puspita A.

(24020114130066)

3. Fadly Ridho M.

(24020114130076)

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat-Nya, maka penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang

berjudul Penyebab Hilangnya Keanekaragaman Hayati. Penyusunan makalah


ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata
pelajaran Biologi Konservasi di Universitas Diponegoro.
Dalam penulisan makalah ini penyusun menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada :
1. Dr. Erry Wiryani, Msi., selaku dosen pengampu pada mata kuliah Biologi
Konservasi.
2. Rekan-rekan semua yang mengikuti perkuliahan Biologi Konservasi.
3. Keluarga yang selalu mendukung penyusun.
4. Semua pihak yang ikut membantu penyusunan Makalah Penyebab
Hilangnya Keanekaragaman Hayati, yang tidak dapat penyusun sebutkan
satu persatu.
Penyusunan makalah ini penyusun merasa masih banyak kekurangankekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penyusun. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penyusun harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Semarang, 19 September 2016

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN COVER................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Keanekaragaman Hayati.................................................................................3
2.2 Tingkat Kepunahan.........................................................................................4
2.3 Penyebab Hilangnya Keanekaragaman Hayati..............................................6
2.4 Kerentanan Terhadap Kepunahan.................................................................11
2.5 Upaya Pelestarian Keanekaragaman Hayati.................................................14
BAB III PENUTUP...............................................................................................18
3.1 Kesimpulan...................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................19

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas selain Brazil dan
Zaire, karena memiliki kekayaan flora, fauna, dan mikroorganisme yang
sangat

banyak.

Menurut Indonesian

Center

for

Biodiversity

and

Biotechnology (ICBB), meskipun luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari


total luas daratan di dunia, tetapi banyak spesies di dunia yang hidup di
Indonesia. Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai keanekaragaman
makhluk hidup di berbagai kawasan di muka bumi, baik di daratan, lautan,
maupun tempat lainnya. Keanekaragaman makhluk hidup ini merupakan
kekayaan bumi yang meliputi hewan, tumbuhan, mikroorganisme dan semua
gen yang terkandung di dalamnya, serta ekosistem yang dibangunnya.
Keanekaragaman hayati di dunia mencakup spesies yang luar biasa
banyak jumlahnya. Keanekaragama hayati tersebut melibatkan komunitas
biologi yang kompleks, dan dalam tiap spesies terdapat pula variasi genetik
yang sangat kaya. Jutaan tahun diperlukan untuk membentuk komunitas
biologi yang ada di dunia, termasuk hutan tropika humida, terumbu karang,
hutan tua di daerah iklim sejuk (temperate old-growth forest), dan padang
rumput. Namun, semuanya sedang mengalami kerusakan parah akibat ulah
manusia. Ribuan bahkan puluhan ribu spesies dan jutaan populasi yang unik
diduga akan punah dalam beberapa tahun kedepan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
1.2.2

Apa yang dimaksud dengan Keanekaragaman Hayati?


Apa yang dimaksud dengan tingkat kepunahan Keanekaragaman

1.2.3
1.2.4
1.2.5

Hayati?
Faktor apa saja yang menyebabkan hilangnya Keanekaragaman Hayati?
Apa saja spesies yang rentan terhadap kepunahan?
Bagaimana upaya melestarikan Keanekaragaman Hayati?

1.3 Tujuan
1.3.1

Menjelaskan pengertian Keanekaragaman Hayati.

1.3.2
1.3.3
1.3.4
1.3.5

Menjelaskan pengertian tingkat kepunahan pada Keanekaragaman


Hayati.
Menjelaskan faktor-faktor penyebab hilangnya Keanekaragaman
Hayati.
Menjelaskan kelompok spesies yang rentan terhadap kepunahan.
Menjelaskan upaya yang dilakukan dalam melestarikan
Keanekaragaman Hayati.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Keanekaragaman Hayati
Pengertian keanekaragaman hayati adalah variabilitas di antara makhluk
hidup dari semua sumber, termasuk interaksi ekosistem terestrial, pesisir dan
lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks ekologik tempat hidup
makhluk hidup menjadi bagiannya. Hal ini meliputi keanekaragaman jenis,
antar jenis dan ekosistem (Convention on Biological Diversity, 1993).
Pengertian

yang

lain,

keanekaragaman

hayati

adalah

ketersediaan

keanekaragaman sumber daya hayati berupa jenis maupun kekayaan plasma


nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis), keanekaragaman antarjenis
dan keanekaragaman ekosistem (Sudarsono dkk, 2005).
Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah semua kehidupan di
atas bumi ini baik tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme serta
berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem
ekologi di mana mereka hidup. Termasuk didalamnya kelimpahan dan
keanekaragaman genetik relatif dari organisme-organisme yang berasal dari
semua habitat baik yang ada di darat, laut maupun sistem-sistem perairan
lainnya (Global Village Translations, 2007).
Keanekaragaman hayati merupakan istilah yang digunakan untuk derajat
keanekaragaman sumberdaya alam hayati, meliputi jumlah maupun frekuensi
dari ekosistem, spesies, maupun gen di suatu daerah. 8 Pengertian yang lebih
mudah dari keanekaragaman hayati adalah kelimpahan berbagai jenis
sumberdaya alam hayati (tumbuhan dan hewan) yang terdapat di muka bumi
(Ani Mardiastuti, 1999).
Keanekaragaman hayati mencakup semua bentuk kehidupan di muka
bumi, mulai dari makhluk sederhana seperti jamur dan bakteri hingga
makhluk yang mampu berpikir seperti manusia (Bappenas, 2004).
Keanekaragaman hayati dapat digolongkan menjadi tiga tingkatan:
a. Keanekaragaman spesies

Keanekaragaman spesies mencakup seluruh spesies yang ditemukan


di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel
banyak (tumbuhan, jamur, hewan, yang bersel banyak atau multiseluler).
Spesies dapat diartikan sebagai sekelompok individu yang menunjukkan
beberapa karakteristik penting berbeda dari kelompok-kelompok lain baik
secara morfologi, fisiologi atau biokimia. Definisi spesies secara
morfologis ini yang paling banyak digunakan oleh pada taksonom yang
mengkhususkan

diri

untuk

mengklasifikasikan

spesies

dan

mengidentifikasi spesimen yang belum diketahui (Mochamad Indrawan,


2007).
b. Keanekaragaman genetik
Keanekaragaman genetik merupakan variasi genetik dalam satu
spesies baik di antara populasi-populasi yang terpisah secara geografik
maupun di antara individu-individu dalam satu populasi. Individu dalam
satu populasi memiliki perbedaan genetik antara satu dengan lainnya.
Variasi genetik timbul karena setiap individu mempunyai bentuk-bentuk
gen yang khas. Variasi genetik bertambah ketika keturunan menerima
kombinasi unik gen dan kromosom dari induknya melalui rekombinasi gen
yang terjadi melalui reproduksi seksual. Proses inilah yang meningkatkan
potensi variasi genetik dengan mengatur ulang alela secara acak sehingga
timbul kombinasi yang berbeda-beda (Mochamad Indrawan, 2007).
c. Keanekaragaman ekosistem
Keanekaragaman ekosistem merupakan komunitas biologi yang
berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masingmasing (Mochamad Indrawan, 2007).
2.2 Tingkat Kepunahan
Suatu spesies dikatakan punah ketika tidak ada satupun individu dari
spesies itu yang masih hidup di dunia. Jika beberapa individu suatu spesies
hanya dijumpai di dalam kurungan, atau pada situasi yang diatur oleh
manusia, spesies tersebut dikatakan telah punah di alam. Contohnya, pohon
Franklinia altamaha telah punah di alam tetapi tumbuh baik di perkebunan.

Dalam keadaan tersebut spesies di atas dianggap telah punah dalam skala
global. Suatu spesies dianggap punah dalam skala lokal atau extirpated jika
tidak ditemukan di tempat mereka dulu berada, tetapi masih ditemukan di
daerah lain di alam. Menurut para ahli biologi konservasi, suatu spesies telah
punah secara ekologi jika terdapat dalam jumlah yang sedemikian sedikit
sehingga efeknya pada spesies lain di dalam komunitas dapat diabaikan.
a. Tingkat kepunahan di perairan dan daratan
Spesies endemik adalah spesies yang hanya ditemukan di satu tempat dan
tidak ditemukan di tempat lain. Spesies ini biasanya rentan terhadap
kepunahan. Kepunahan spesies darat berbeda pula dengan kepunahan spesies
air tawar. Kepunahan air tawar lebih sering terjadi di daerah dartan utama
daripada yang di pulau, karena di perairan daratan utama jumlah spesiesnya
lebih banyak. Contoh dari indonesia mulai bermunculan. Di Jawa Barat,
penurunan amfibi yang mengkhawatirkan, terdeteksi di Taman Nasional Gede
Pangrango. Di pulau sumatera, tidak kurang dari 14 spesies ikan air tawar
terancam punah. Yang sering mengancam kelestarian ikan dan avertebrata
perairan adalah bendungan, polusi, proyek irigasi, invasi spesies asing, dan
kerusakan habitat.
b. Kepunahan lokal
Kepunahan global menjadi perhatian utama biologi konservasi. Namun,
banyak spesies yang mengalami serangkaian kepunahan lokal di wilayah
penyebarannya (Balmford dkk, 2003). Spesies-spesies yang semula tersebar
luas terkadang sebarannya menjadi terbatas pada kantung-kantung kecil,
sisa habitat sebelumnya. Misalnya Kumbang Tanah Amerika (Nicrophorus
americanus) yang dulu tersebar di sebelah timur dan tengah Amerika Utara,
sekarang hanya ditemukan dalam empat populasi yang terisolasi. Di
Indonesia mungkin contohnya adalah populasi berbagai jenis kupu-kupu dan
kunag-kunang. Burung Maleo pun dahulu pernah tersebar meluas dan
melimpah di pulau Sulawesi. Akibat kepunahan lokal, komunitas biologi
menjadi miskin..

Kepunahan lokal yang besar ini merupakan pertanda biologi yang


penting, yang mengingatkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan
lingkungan. Diperlukan tindakan untuk mencegah kepunahan lebih lanjut
baik lokal maupun global. Hilangnya populasi lokal tidak hanya berarti
hilangnya keanekaragaman hayati, tetapi mengurangi nilai wilayah baik untuk
dinikamati, maupun penelitian ilmiah.
2.3 Penyebab Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Menghilangnya kanekaragaman hayati di suatu wilayah dapat disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain: kerusakan habitat, fragmentasi habitat,
degradasi habitat, perubahan iklim global, pemanfaatan spesies yang
berlebihan

untuk

meningkatnya

kepentingan

penyebaran

manusia,

penyakit.

invasi
Keenam

spesies

asing,

ancaman

dan

terhadap

keanekaragaman hayati diatas disebabkan oleh penggunaan kekayaan alam


yang semakin meningkat. Penyebab utama kerusakan komunitas biologi
adalah bertambahnya populasi manusia di muka bumi.
1. Perusakan Habitat
Menurut Sala dkk (2000), kerusakan dan hilangnya habitat tidak menjadi
penyebab langsung hilangnya keanekaragaman hayati, melainkan merupakan
efek yang ditimbulkan oleh bertambahnya populasi dan kegiatan manusia.
Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan semakin bertambah pula
kebutuhan yang harus dipenuhi. Perubahan tata guna lahan dapat menjadi
faktor yang mempengaruhi keanekaragaman hayati, terutama pada ekosistem
darat. Menurut World Institute (2003), kebanyakan habitat asli di berbagai
penjuru dunia telah rusak, khususnya di kepulauan dan di tempat yang
memiliki kepadatan penduduk tinggi. Lahan yang tersedia untuk kehidupan
tumbuhan dan hewan semakin sempit karena digunakan untuk tempat tinggal
penduduk, dibabat untuk digunakan sebagai lahan pertanian atau dijadikan
lahan industri.
Kebanyakan habitat asli di berbagai penjuru dunia telah rusak, khususnya
di kepulauan dan di tempat yang kepadatan penduduknya tinggi. Gangguan

habitat juga parah di seantero Eropa, selatan dan timur Asia, termasuk
Filiphina dan Jepang Tenggara dan Barat daya Australia, Selandia baru,
Afrika barat, Madagaskar, Pantai Utara dan Tenggara Amerika Selatan,
Amerika tengah, Karibia, serta bagian tengah dan timur Amerika Utara. Pada
wilayah itu lebih dari 50% habitat alaminya telah terganggu, atau hilang sama
sekali (Stein dkk, 2000).
Hutan tropika humida yang sebagian atau seluruhnya hijau sepanjang
tahun (evergreen) terbentuk didaerah bebas es dengan ketinggian dibawah
1.800 m dari permukaan laut dan dengan curah hujan sedikitnya 100 mm (4
inchi) perbulan sepanjang tahun. Ciri dari hutan ini, kekayaan spesienya
tinggi, interaksi spesies didalamnya rumit. Spesialisasi pun berlangsung
intensif, dan sulit ditemukan dalam komunitas lainnya. Hutan tropika humida
mudah terdegradasi karena lapisan tanahnya tipis serta miskin unsur hara.
Tanah tersebut mudah erosi akibat penggundulan hutan. Hutan tropika
humida di Indonesia, terutama yang di dataran rendah sudah sangat terancam.
Hutan dataran rendah Sulawesi sudah dianggap rusak total pada tahun 2000.
Hutan dataran rendah Sumatra di perkirakan rusak total pada tahun 2005.
Hutan dataran rendah kalimantan diperkirakan rusak total pada 2010
(Holmes, 2001).

2. Degradasi Habitat dan berbagai polusi


Salah satu degradasi lingkungan terbesar khususnya di Indonesia yang
harus diatasi adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan menimbulkan dampak
meluas terhadap keanekaragaman hayati ekosistem, lingkungan, dan bahkan
berbagai

aspek

sosial

ekonomi

hingga

mencakup

politik

berskala

internasional. Degradasi habitat tidak selalu langsung terlihat. Meskipun


suatu habitat tidak diganggu oleh kegiatan yang merusak atau fragmentasi
habitat, kenyatannya komunitas dan spesies pada habitat tersebut sedang
menerima berbagai dampak negatif tidak langsung, akibat kegiatan manusia.
Komunitas biologi dapat rusak dan spesies dapat punah oleh faktor-faktor
luar yang tampaknya tidak mengubah struktur dominan pada komunitas
terkait. Kerusakan komunitas tersebut mungkin tidak langsung terlihat.

Bentuk paling umum dari degradasi lingkungan adalah polusi yang


disebabkan oleh pestisida, limbah, pupuk dari ladang pertanian, bahan kimia,
dan limbah industri. Dampak polusi terhadap kualitas air, udara dan bahkan
iklim global menimbulkan kekhawatiran. Namun, yang mungkin paling
berbahaya adalah polusi yang tersembunyi.
Zat pencemar (polutan) adalah produk buangan yang dihasilkan dari
aktivitas manusia. Polutan tersebut dapat mencemari air, tanah, dan udara.
Beberapa polutan berbahaya bagi organisme misalnya, nitrogen dan sulfur
oksida yang dihasilkan dari kendaraan bermotor jika bereaksi dengan air akan
membentuk

hujan

asam

yang

merusak

ekosistem.

Pembuangan

chlorofluorocarbon (CFC) yang berlebihan menyebabkan lapisan ozon di


atmosfer berlubang. Akibatnya intensitas sinar ultraviolet yang masuk ke
bumi meningkat dan menyebabkan banyak masalah, antara lain berkurangnya
biomassa

fitoplankton

di

lautan

yang

menyebabkan

terganggunya

keseimbangan rantai makanan organisme.

3. Perubahan Iklim Global


Perubahan iklim global diartikan sebagai serangkaian ciri-ciri iklim yang
sedang berubah saat ini, termasuk pola curah hujan dan angin. Perubahan ini
akan terus berlanjut. Salah satu penyebab perubahan iklim adalah pencemaran
udara oleh gas karbon dioksida (CO2) yang menimbulkan efek rumah kaca.
Menurut Raven (1995), efek rumah kaca meningkatkan suhu udara 1-3 0C
dalam kurn waktu 100 tahun. Kenaikan suhu tersebut menyebabkan
pencairan es di kutub dan kenaikan permukaan air laut sekitar 1-2 m yang
berakibat terjadinya perubahan struktur dan fungsi ekosistem lautan.
Dampak perubahan iklim global diantaranya naiknya rata-rata temperatur
suhu udara, naiknya permukaan air laut, musim kemarau yang panjang,
dengan curah hujan yang rendah, musim hujan yang pendek namun memiliki
intensitas yang tinggi dan mencairnya tutupan serta ketebalan salju.

Dampak pada lingkungan laut antara lain, suhu yang lebih hangat sudah
menyebabkan salju di gunung mencair. Proses ini akan terus berlanjut dan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

semakin cepat. Beberapa bukti pemanasan global:


Peningkata peristiwa gelombang panas (heat waves)
Mencairnya es kutub dan glasier
Naiknya permukaan laut
Tumbuhan berbunga lebih awal
Musim semi datang lebih awal
Pergeseran jelajah spesies
Penurunan populasi
Dampak meluas pemanasan global yakni, dapat mengubah komunitas
biologi secara radikal dan dapat pula menubah kisaran banyak spesies.
Perubahan ini dapat melaju sehingga melampaui kemampuan menyebar
spesies secara alami. Oleh karena dampak dari perubaha iklim global
sedemikian luas, komunitas biologi, fungsi-fungsi ekologis, dan iklim harus
dipantau dalam beberapa dekade yang akan datang.

4. Eksploitasi Tanaman dan Hewan


Eksploitasi Hewan dan tumbuhan secara besar-besaran biasanya
dilakukan terhadap komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, misalnya
kayu hutan yang digunakan untuk bahan bangunan dan ikan tuna sirip kuning
yang harganya mahal dan banyak diminati oleh pencinta makanan laut.
Eksploitasi yang berlebihan dapat menyebabkan kepunahan spesies-spesies
tertentu, apalagi bila tidak diimbangi dengan usaha pengembangbiakannya.
Contohnya, Curik Bali merupakan salah satu jenis burung paling langka, serta
paling terancam punah di dunia. Curik hidup di daerah hutan musim dan
komunitas padang rumput-akasia. Penyebab utama dari penurunan jumlahnya
adalah penebangan hutan di masa lampau dan penangkapan burung secara liar
(ilegal) untuk diperdagangkan sebagai satwa peliharaan.

5. Masuknya Spesies Pendatang (Invasive)


Spesies invasif adalah spesies yang terdapat di luar distribusi alaminya.
Akibat kegiatan manusia sebaran mereka meluas. Kebanyakan spesies infasif
tidak dapat berkembang di tempat ia diitroduksi karena lingkungan barunya

tidak cocok dengan yang dibutuhkannya. Namun, sekian persen dari spesies
itu dapat tumbuh dan berkembang di lokasi baru, dan banyak diantaranya
tergolong spesies pengganggu atau gulma. Spesies invasif berkembang
sedemikian pesat sehingga merugikan spesies asli (Mooney dan Hobbs,
2000). Melalui kompetisi perebutan sumber daya yang terbatas, spesies
invasif dapat menggantikan spesies asli, memangsa spesies asli hingga punah,
atau mengubah kondisi habitat sehingga spesies asli tidak daoat bertahan lagi.
Masuknya spesies dari luar ke suatu daerah seringkali mendesak spesies
lokal yang sebenarnya merupakan spesies penting dan langka di daerah
tersebut. Beberapa spesies asing tersebut dapat menjadi spesies invasif yang
menguasai ekosistem. Contohnya ikan pelangi (Melanotaenia ayamaruensis)
merupakan spesies endemik Danau Ayamaru, Papua Barat. Ikan pelangi
terancam punah karena dimangssa oleh ikan mas (Cyprinus carpio) yang
dibawa dari jepang dan menjadi spesies invasif di danau tersebut.
Dalam upaya konservasi spesies dan ekosistem, upaya mengurangi laju
introduksi spesies invasif perlu mendapat prioritas penting. Untuk mencegah
introduksi spesies eksotik, pemerintah harus mengeluarkan peraturan dan
penegakan hukum. Saat ini, sejumlah besar dana dihabiskan untuk
mengontrol agar spesies eksotik tidak tersebar luas. Namun, yang lebih murah
dan efektif adalah dengan melakukan pemberantasan dan pengendalian yang
cepat pada saat pertama kali terlihat, agar spesies itu tidak sempat
berkembang. Lebih jauh, akan diperlukan pemantauan yang cermat untuk
menentukan kemampuan spesies baru dalam mengendalikan spesies invasif.
Bila perlu, pola-pola penggunaan lahan mungkin harus diubah untuk
membantu memulihkan spesies lokal.

6. Penyakit
Ancaman utama lainnya bagi spesies dan komunitas biologi adalah
meningkatnya penularan penyakit akibat berbagai kegiatan manusia. Interaksi
langsung dengan manusia dapat meningkatkan resiko penularan penyakit.
Suatu populasi satwa liar mungkin dapat tertular penyakit yang berasal dari

manusia maupun populasi hewan domestik di sekitar mereka. Penyakit juga


dapat tersebar secara tidak langsung melalui berbagai kegiatan pembangunan
setempat. Kerusakan habitat, misalnya, akan dapat meningkatkan resiko
tersebarnya penyakit yang dibawa oleh vektor atau perantara penyakit
(Haydon dkk, 2002).
Infeksi penyakit dapat mengurangi jumlah individu dan kepadatan
populasi yang rentan kepunahan. Bagi beberapa spesies langka, ancaman
penyakit mungkin merupakan satu-satunya ancaman besar dan penyebab
penting penurunan populasi suatu spesies. Dalam program penangkaran dan
pengelolaan spesies terancam punah, terdapat tiga prinsip dasar yang perlu
diperhatikan. Pertama, hewan dala kandang maupun satwa liar dengan
populasi yang padat dapat lebih mudah terkena tekanan parasit dan penyakit.
Di alam bebas, tingkat infeksi biasanya berkurang ketika hewan menjauh dari
sumber penyakit seperti kotoran, air liur, dan kulit. Namun, dalam habitat
yang terbatas hewan tetap kontak dengan sumber penyakit sehingga resiko
penularan penyakit meningkat.
Kedua, kerusakan habitat dapat memberikan dampak tidak langsung,
yaitu meningkatkan kerentanan makhluk hidup terhadap berbagai penyakit.
Ketika habitat rusak, populasi inang akan berdesakan pada area yang sempit.
Akibatnya, kualitas habitat dan ketersediaan makan seringkali memburuk.
Kondisi nutrisi yang terbatas akan menurunkan daya tahan satwa, sehingga
semakin rentan terserang penyakit.
Ketiga, pada banyak daerah konservasi, kebun-kebun binatang, taman
nasional, dan daerah pertanian baru, spesies bertemu dengan spesies lain di
alam liar. Dengan demikian, infeksi penyakit dapat menyebar dari satu
spesies ke spesies lainnya. Infeksi penyakit tertentu yang sedang muncul
seperti virus HIV dan virus Ebola, tampaknya menyebar dari populasi
makhluk hidup liar ke manusia dan hewan peliharaan. Ketika terinfeksi maka
hewan yang dipelihara tidak dapat dikembalikan ke alam karena dapat
menyebabkan seluruh populasi liar terancam penyakit itu.
2.4 Kerentanan Terhadap Kepunahan
Ketika lingkungan rusak akibat kegiatan manusia, maka daerah
penyebaran serta ukuran populasi dari banyak spesies akan berkurang.

Beberapa spesies bahkan dapat menjadi punah. Sebagai bagian penting dari
upaya konservasi, spesies langka harus dipantau dan dikelola dengan cermat.
Para ahli biologi telah mengamati bahwa terdapat kelompok-kelompok
tertentu spesies yang tergolong sangat rentan terhadap kepunahan, sebagai
berikut:

Spesies dengan sebaran geografi yang sempit. Beberapa spesies terdapat pada
satu atau beberapa tempat dengan persebaran geografis yang terbatas. Dengan
demikian, jika seluruh wilayah sebarannya dipengaruhi oleh kegiatan

manusia, spesies0spesies tersebut mudah punah.


Spesies yang terdiri atas satu atau beberapa populasi. Suatu populasi dari
suatu spesies dapat punah akibat berbagai faktor yang timbul hanya secara
kebetulan seperti gempa bumi, kebakaran, munculnya penyakit, atau kegiatan
manusia. Spesies dengan banyak populasi tidak mudah punah dibandingkan
dengan spesies yang hanya memiliki satu atau beberapa populasi. Kategori ini
terkait dengan kategori sebelumnya karena spesies dengan sedikit populasi

juga cenderung akan mempunyai sebaran geografis yang sempit.


Spesies yang populasinya sedikit. Dibandingkan populasi berjumlah banyak,
populasi berjumlah sedikit akan lebih mudah punah dari suatu lokasi.
Populasi kecil lebih rentan terhadap variasi demografik dan lingkungan

maupun terhadap hilangnya keanekaragaman genetik.


Spesies yang ukuran populasinya menurun. Kecenderungan kenaikan atau
penurunan

suatu

populasi

biasanya

berlanjut.

Jika

suatu

populasi

menunjukkan penurunan jumlah individu, maka biasanya akan punah, kecuali

jika penyebabnya diketahui dan dapat diperbaiki.


Spesies dengan kepadatan yang rendah. Suatu spesies mungkin bertahan
dengan kepadatan populasi yang rendah, misalnya beberapa individu per
satuan luas. Jika daerah persebarannya terfragmentasi oleh kegiatan manusia,
populasi cenderung menyisakan populasi yang kecil. Populasi yang tersisa
dari spesies itu mungkin tak dapat bertahan di setiap fragmen, dan akhirnya

secara bertahap akan punah dari wilayah tersebut.


Spesies yang memerlukan daerah jelajah luas. Spesies yang memerlukan
wilayah yang luas untuk mencari makan akan mudah punah ketika sebagian
daerah dari jelajahnya rusak atau terfragmentasi oleh kegiatan manusia.

Spesies hewan dengan tubuh yang berukuran besar. Hewan berukuran besar
cenderung memiliki wilayah jelajah yang luas, memerlukan makanan yang
lebih banyak, dan lebih mudah diburu manusia. Karnivora puncak biasanya
dibunuh oleh manusia karena merupakan pesaing dalam memburu hewan liar,
kadang karena mengganggu ternak. Di beberapa tempat, satwa bertubuh besar

sering dijadikan hewan buruan untuk olahraga berburu.


Spesies dengan kemampuan menyebar yang lemah. Perubahan lingkungan
memaksa spesies untuk beradaptasi cara perilaku maupun fisiologi terhadap
kondisi baru yang terbentuk dalam habitat mereka. Spesies yang tidak mampu
beradaptasi harus bermigrasi ke habitat yang lebih sesuai atau menghadapi
kepunahan.

Perubahan lingkungan oleh kegiatan manusia biasanya

berlangsung sangat cepat, sehingga seringkali tidk memberikan kesempatan


makhluk hidup untuk beradaptasi. Dengan demikian, migrasi merupakan

pilihan satu-satunya untuk dapat bertahan hidup.


Spesies yang bermigrasi musiman. Spesies yang bermigrasi secara musiman
sangat bergantung pada dua atau lebih jenis habitat yang berlainan. Jika salah

satu habitat itu rusak, spesies tersebut mungkin tidak mampu untuk bertahan.
Spesies dengan variasi genetik yang rendah. Variasi genetik pada suatu
populasi biasanya memungkinkan suatu spesies dapat beradaptasi dengan
lingkungannya. Ketika muncul predator baru, penyakit baru, atau perubahan
lainnya, maka spesies dengan variasi genetik yang rendah atau tanpa variasi

genetik menghadapi resiko lebih besar untuk punah.


Spesies yang memerlukan habitat khusus. Ketika habitat diubah maka
lingkungan tidak cocok lagi bagi spesies yang hanya dapat hidup di tempat

tersebut. Spesies dengan makanan spesifik juga beresiko tinggi untuk punah.
Spesies yang hanya dijumpai pada lingkungan utuh dan stabil. Pada
lingkungan baru yang sangat berbeda dengan lingkungan sebelumnya, banyak

spesies yang tidak dapat menolerir perubahan dkondisi iklim mikro tersebut.
Spesies yang membentuk kelompok, baik permanen atau sementara. Spesies
yang berkelompok pada tempat tertentu sangat rentan mengalami kepunahan.
Banyak spesies tidak dapat bertahan hidup jika populasinya menurun. Satwa
tersebut akan sulit mencari makan, kawin, atau mempertahankan diri. Selain
itu, spesies satwa onogami tampaknya rentan terhadap tekanan perburuan,
mungkin karena sistem pasangannya yang tetap.

Spesies yang telah terisolasi dan belum pernah kontak dengan manusia.
Spesies yang sebelumnya pernah mendapat gangguan dari manusia dan
mampu menolerir gangguan tersebut akan memiliki kemungkinan spesies
yang untuk pertama kalinya kontak dengan manusia beserta tumbuhan dan

hewan peliharaannya.
Spesies yang diburu atau dipanen manusia. Pemanfaatan yang berlebihan
akan mengurangi populasi besarnya suatu spesies dengan cepat. Jika
perburuan dan pemanenan tidak diatur oleh hukum maupun aturan adat,

spesies tersebut akan segera punah.


Spesies yang berkerabat dekat dengan spesies yang telah punah atau terancam
punah. Seringkali kelompok spesies yang rentan terhadap kepunahan
memiliki kemiripan ekologi.

2.5 Upaya Pelestarian Keanekaragaman Hayati


1. Pengendalian Spesies Eksotik
Menurut (Suharnantono, Hendrat., 2011) spesies eksotik adalah species yang
tumbuh di luar sebaran aslinya. Karena tumbuh diluar sebaran aslinya
dimungkinkan jenis tersebut akan mengganggu bahkan dapat merugikan flora dan
fauna asli. Pada habitat yang baru species eksotik akan menyebabkan problem
lingkungan, terutama jenis-jenis eksotik invasif karena penyebarannya yang tidak
terkendali (mudah tumbuh), tidak ada hama dan penyakit yang menyerang,
menghasilkan allelopati yang dapat mematikan tumbuhan lain, dan sifat
perakarannya yang invasif. Dalam buku Ensiklopedia Kehutanan Indonesia
disebutkan bahwa suatu pohon dianggap eksotik apabila pohon tersebut tumbuh
diluar sebaran alaminya. Jenis eksotik mungkin dapat merugikan flora ataupun
fauna asli. Kebanyakan tanaman eksotik yang menimbulkan problem lingkungan
adalah tanaman yang diintroduksi secara tidak sengaja. Pada habitat barunya
mungkin hanya sedikit predator atau penyakit sehingga populasi tumbuhnya tidak
terkendali sehingga sering dinamakan eksotik invasif. Perakaran tanaman eksotik
invasif bersifat ekstensif yang mendominasi atas kelembaban dan kandungan
nutrien tanah, sehingga tanaman lebih cepat tumbuh dan tajuk cepat menutup
vegetasi di bawahnya. Juga karena tanaman eksotika da yang menghasilkan

allelopati yang bersifat racun bagi vegetasi lainnya sehingga mengurangi


keragaman biologi (Suharnantono, Hendrat., 2011).
2. Rehabilitasi Satwa
Menurut Akbar Hafizh, (2011), satwa merupakan sumber daya alam hayati
yang kelestariannya harus dijaga. Untuk menjaga kelestariannya tetap berjalan
secara berkesinambungan, maka diperlukan upaya konservasi satwa dengan
langkah-langkah yang benar. Upaya pelaksanaan konservasi satwa meliputi juga
unsur lingkungan atau ekosistem satwanya. Ekosistem ini memiliki fungsi yang
sangat penting sebagai unsur pembentuk lingkungan satwa, yang kehadirannya
tidak dapat diganti, harus disesuaikan dengan batas-batas daya dukung alam untuk
terjaminnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan ekosistem satwa
sendiri.Untuk mengatasi bertambahnya satwa liar yang punah, dilakukan upayaupaya penyelamatan satwa yang bertujuan menjaga satwa liar agar tetap lestari di
alam. Salah satu upayanya adalah pendirian pusat penyelamatan satwa. Pusat
penyelamatan satwa (PPS) didirikan atas dasar tindak lanjut loka karya
penanganan satwa liar yang dilindungi di Bogor pada tanggal 20-21 Juli 2000
yang merekomendasikan adanya fasilitas pengelolaan satwa liar dilindungi.
Tujuan utamanya adalah mengelola satwa hasil sitaan atau penyerahan sukarela
dari masyarakat untuk dirawat dan direhabilitasi agar kemudian dapat dilepas
liarkan kembali ke alam. Keberadaan pusat penyelamatan satwa ini perlu
mendapatkan kajian dari pihak yang peduli terhadap nasib satwaliar Indonesia.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui teknik-teknik yang
digunakan oleh pusat penyelamatan satwa dalam perawatan dan rehabilitasi satwa.
3. Upaya Pelestarian Keanekaragaman Hayati ex-situ dan in-situ
Kekayaan flora fauna merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sampai
batas-batas tertentu yang tidak mengganggu kelestarian. Penurunan jumlah dan
mutu kehidupan flora fauna dikendalikan melalui kegiatan konservasi secara
insitu maupun eksitu. Konservasi in-situ (dalam kawasan) adalah perlindungan
populasi dan komunitas alami. Konservasi ex-situ adalah kegiatan konservasi di
luar habitat aslinya, dimana fauna tersebut diambil, dipelihara pada suatu tempat

tertentu yang dijaga keamanannya maupun kesesuaian ekologinya. Konservasi exsitu tersebut dilakukan dalam upaya pengelolaan jenis satwa yang memerlukan
perlindungan dan pelestarian. Tujuan dari perlindungan dan pelestarian alam tidak
hanya untuk menyelamatkan jenis tumbuhan dan hewan dari ancaman kepunahan,
akan tetapi mengusahakan terjaminnya keanekaragaman hayati dan keseimbangan
unsur-unsur ekosistem yang telah mengalami gangguan akibat meningkatnya
aktivitas manusia yang merambah kawasan hutan alam. Kawasan konservasi exsitu sama pentingnya dengan kawasan konservasi in-situ dan mempunyai peran
yang saling melengkapi (Team Teaching, 2012).
a. Konservasi in-situ (di dalam kawasan)
Konservasi in-situ (di dalam kawasan) adalah konservasi flora fauna dan
ekosistem yang dilakukan di dalam habitat aslinya agar tetap utuh dan segala
proses kehidupan yang terjadi berjalan secara alami. Konservasi in situ adalah
kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan didalam habitat aslinya.
Konservasi in situ mencakup kawasan suaka alam (Cagar Alam dan suaka Marga
Satwa) dan kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Hutan Wisata Alam). Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5
tahun 1990 yang dimaksud dengan Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang
karena keadaaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami. Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang
mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang
untuk

kelangsungan

hidupnuya

dapat

dilakukan

pembinaan

terhadap

habitatnya. Taman Nasional Adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai


ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata,
rekreasi.Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam yang terutama
dimanfaatkan untuk periwisata dan rekreasi alam.Tujuan konservasi in-situ untuk
menjaga keutuhan dan keaslian jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
secara alami melalui proses evolusinya. Perluasan kawasan sangat dibutuhkan
dalam upaya memelihara proses ekologi yang esensial, menunjang sistem

penyangga kehidupan, mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin


pemanfaatan jenis secara lestari dan berkelanjutan (Team Teaching, 2012).
b. Konservasi ek-situ (di luar kawasan)
Konservasi eks-situ (di luar kawasan) adalah upaya konservasi yang
dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa di
luar habitat alaminya dengan cara pengumpulan jenis, pemeliharaan dan budidaya
(penangkaran) (Team Teaching, 2012).
Konservasi ek-situ dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang,
kebun botani, taman hutan raya, kebun raya, arboretum, penangkaran satwa,
taman safari, taman kota dan taman burung. Cara ek-situ merupakan suatu cara
pemanipulasian obyek yang dilestarikan untuk dimanfaatkan dalam upaya
pengkayaan jenis, terutama yang hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik.
Cara konservasi ex-situ dianggap sulit dilaksanakan dengan keberhasilan tinggi
disebabkan jenis yang dominan terhadap kehidupan alaminya sulit beradaptasi
dengan lingkungan buatan (Team Teaching, 2012).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah semua kehidupan di
atas bumi ini baik tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme serta
berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman
sistem ekologi di mana mereka hidup.
3.1.2 Suatu spesies dikatakan punah ketika tidak ada satupun individu dari
spesies itu yang masih hidup di dunia. Jika beberapa individu suatu
spesies hanya dijumpai di dalam kurungan, atau pada situasi yang diatur
oleh manusia, spesies tersebut dikatakan telah punah di alam.
3.1.3. Menghilangnya kanekaragaman hayati di suatu wilayah dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kerusakan habitat,
fragmentasi habitat, degradasi habitat, perubahan iklim global,
pemanfaatan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia,
invasi spesies asing, dan meningkatnya penyebaran penyakit.
3.1.4 Para ahli biologi telah mengamati bahwa terdapat kelompok-kelompok
tertentu spesies yang tergolong sangat rentan terhadap kepunahan, yaitu
Spesies dengan sebaran geografi yang sempit, Spesies yang terdiri atas
satu atau beberapa populasi, dll.
1.2.5 Upaya pelestarian keanekaragaman hayati antara lain, pengendalian
spesies

Eksotik ,

rehabilitasi

satwa,

Keanekaragaman Hayati ex-situ dan in-situ.

serta

upaya

pelestarian

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Hafizh. 2011. Perawatan dan Rehabilitasi Satwa Tangkapan di Pusat
Penyelamatan Satwa Cikananga Sukabumi dan Gadog Bogor. Bogor: IPB.
Ani Mardiastuti. 1999. Keanekaragaman Hayati: Kondisi dan Permasalahannya.
Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Bappenas. 2004. Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Jakarta:
Direktorat Pengendalian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Global Village Translations. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Jakarta:
Persemakmuran Australia.
Haydon, D.T., M.K. Laurenson, & C. Sillero-Zubiri. 2002. Integrating
Epidemiology into Population Viability Analysis: Managing the risk posed
by rabies and canine distemper to the Ethiopian wolf. Conversation Biology
16: 1371-1385.
Mochamad Indrawan. 2007. Biologi Konservasi Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Mooney, H.A. & R.J. Hobbs (eds.). 2000. Invasive Species in a Changing World.
Island Press, Washington, D.C.
Sala, O. E., F.S. Chapin III, J.J. Armesto, E. Berlow, J. Bloomfield, R. Dirzo, et al.
2000. Global Biodiversity Scenarios for The Year 2100. Science 287: 17701774.
Stein, B.A., L.S. Kutner, & J.S Adams (eds.). 2000. Precious Heritage: The Status
of Biodiversity in the United States. Oxford University Press, New York.
Sudarsono, Ratnawati dan Budiwati. 2005. Taksonomi Tumbuhan Tinggi. Malang:
UM Press.
Suharnantono, Hendrat. 2011. Monitoring dan Evaluasi Jenis Tanaman Rimba
Eksotik. Perhutani KPH Kendal.
Team Teaching. 2012. Bahan Ajar Mata Kuliah Biodiversitas dan Konservasi.
Gorontalo: Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan IPA Universitas
Negeri Gorontalo.
World Resource Institute (WRI). 2003. World Resource Institute. Washington:
D.C.

Anda mungkin juga menyukai