MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Biologi Konservasi
yang dibimbing oleh Dr. Erry Wiryani, Msi.
Disusun Oleh:
(24020114130066)
3. Fadly Ridho M.
(24020114130076)
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat-Nya, maka penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Keanekaragaman Hayati.................................................................................3
2.2 Tingkat Kepunahan.........................................................................................4
2.3 Penyebab Hilangnya Keanekaragaman Hayati..............................................6
2.4 Kerentanan Terhadap Kepunahan.................................................................11
2.5 Upaya Pelestarian Keanekaragaman Hayati.................................................14
BAB III PENUTUP...............................................................................................18
3.1 Kesimpulan...................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas selain Brazil dan
Zaire, karena memiliki kekayaan flora, fauna, dan mikroorganisme yang
sangat
banyak.
Menurut Indonesian
Center
for
Biodiversity
and
1.2.3
1.2.4
1.2.5
Hayati?
Faktor apa saja yang menyebabkan hilangnya Keanekaragaman Hayati?
Apa saja spesies yang rentan terhadap kepunahan?
Bagaimana upaya melestarikan Keanekaragaman Hayati?
1.3 Tujuan
1.3.1
1.3.2
1.3.3
1.3.4
1.3.5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Keanekaragaman Hayati
Pengertian keanekaragaman hayati adalah variabilitas di antara makhluk
hidup dari semua sumber, termasuk interaksi ekosistem terestrial, pesisir dan
lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks ekologik tempat hidup
makhluk hidup menjadi bagiannya. Hal ini meliputi keanekaragaman jenis,
antar jenis dan ekosistem (Convention on Biological Diversity, 1993).
Pengertian
yang
lain,
keanekaragaman
hayati
adalah
ketersediaan
diri
untuk
mengklasifikasikan
spesies
dan
Dalam keadaan tersebut spesies di atas dianggap telah punah dalam skala
global. Suatu spesies dianggap punah dalam skala lokal atau extirpated jika
tidak ditemukan di tempat mereka dulu berada, tetapi masih ditemukan di
daerah lain di alam. Menurut para ahli biologi konservasi, suatu spesies telah
punah secara ekologi jika terdapat dalam jumlah yang sedemikian sedikit
sehingga efeknya pada spesies lain di dalam komunitas dapat diabaikan.
a. Tingkat kepunahan di perairan dan daratan
Spesies endemik adalah spesies yang hanya ditemukan di satu tempat dan
tidak ditemukan di tempat lain. Spesies ini biasanya rentan terhadap
kepunahan. Kepunahan spesies darat berbeda pula dengan kepunahan spesies
air tawar. Kepunahan air tawar lebih sering terjadi di daerah dartan utama
daripada yang di pulau, karena di perairan daratan utama jumlah spesiesnya
lebih banyak. Contoh dari indonesia mulai bermunculan. Di Jawa Barat,
penurunan amfibi yang mengkhawatirkan, terdeteksi di Taman Nasional Gede
Pangrango. Di pulau sumatera, tidak kurang dari 14 spesies ikan air tawar
terancam punah. Yang sering mengancam kelestarian ikan dan avertebrata
perairan adalah bendungan, polusi, proyek irigasi, invasi spesies asing, dan
kerusakan habitat.
b. Kepunahan lokal
Kepunahan global menjadi perhatian utama biologi konservasi. Namun,
banyak spesies yang mengalami serangkaian kepunahan lokal di wilayah
penyebarannya (Balmford dkk, 2003). Spesies-spesies yang semula tersebar
luas terkadang sebarannya menjadi terbatas pada kantung-kantung kecil,
sisa habitat sebelumnya. Misalnya Kumbang Tanah Amerika (Nicrophorus
americanus) yang dulu tersebar di sebelah timur dan tengah Amerika Utara,
sekarang hanya ditemukan dalam empat populasi yang terisolasi. Di
Indonesia mungkin contohnya adalah populasi berbagai jenis kupu-kupu dan
kunag-kunang. Burung Maleo pun dahulu pernah tersebar meluas dan
melimpah di pulau Sulawesi. Akibat kepunahan lokal, komunitas biologi
menjadi miskin..
untuk
meningkatnya
kepentingan
penyebaran
manusia,
penyakit.
invasi
Keenam
spesies
asing,
ancaman
dan
terhadap
habitat juga parah di seantero Eropa, selatan dan timur Asia, termasuk
Filiphina dan Jepang Tenggara dan Barat daya Australia, Selandia baru,
Afrika barat, Madagaskar, Pantai Utara dan Tenggara Amerika Selatan,
Amerika tengah, Karibia, serta bagian tengah dan timur Amerika Utara. Pada
wilayah itu lebih dari 50% habitat alaminya telah terganggu, atau hilang sama
sekali (Stein dkk, 2000).
Hutan tropika humida yang sebagian atau seluruhnya hijau sepanjang
tahun (evergreen) terbentuk didaerah bebas es dengan ketinggian dibawah
1.800 m dari permukaan laut dan dengan curah hujan sedikitnya 100 mm (4
inchi) perbulan sepanjang tahun. Ciri dari hutan ini, kekayaan spesienya
tinggi, interaksi spesies didalamnya rumit. Spesialisasi pun berlangsung
intensif, dan sulit ditemukan dalam komunitas lainnya. Hutan tropika humida
mudah terdegradasi karena lapisan tanahnya tipis serta miskin unsur hara.
Tanah tersebut mudah erosi akibat penggundulan hutan. Hutan tropika
humida di Indonesia, terutama yang di dataran rendah sudah sangat terancam.
Hutan dataran rendah Sulawesi sudah dianggap rusak total pada tahun 2000.
Hutan dataran rendah Sumatra di perkirakan rusak total pada tahun 2005.
Hutan dataran rendah kalimantan diperkirakan rusak total pada 2010
(Holmes, 2001).
aspek
sosial
ekonomi
hingga
mencakup
politik
berskala
hujan
asam
yang
merusak
ekosistem.
Pembuangan
fitoplankton
di
lautan
yang
menyebabkan
terganggunya
Dampak pada lingkungan laut antara lain, suhu yang lebih hangat sudah
menyebabkan salju di gunung mencair. Proses ini akan terus berlanjut dan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
tidak cocok dengan yang dibutuhkannya. Namun, sekian persen dari spesies
itu dapat tumbuh dan berkembang di lokasi baru, dan banyak diantaranya
tergolong spesies pengganggu atau gulma. Spesies invasif berkembang
sedemikian pesat sehingga merugikan spesies asli (Mooney dan Hobbs,
2000). Melalui kompetisi perebutan sumber daya yang terbatas, spesies
invasif dapat menggantikan spesies asli, memangsa spesies asli hingga punah,
atau mengubah kondisi habitat sehingga spesies asli tidak daoat bertahan lagi.
Masuknya spesies dari luar ke suatu daerah seringkali mendesak spesies
lokal yang sebenarnya merupakan spesies penting dan langka di daerah
tersebut. Beberapa spesies asing tersebut dapat menjadi spesies invasif yang
menguasai ekosistem. Contohnya ikan pelangi (Melanotaenia ayamaruensis)
merupakan spesies endemik Danau Ayamaru, Papua Barat. Ikan pelangi
terancam punah karena dimangssa oleh ikan mas (Cyprinus carpio) yang
dibawa dari jepang dan menjadi spesies invasif di danau tersebut.
Dalam upaya konservasi spesies dan ekosistem, upaya mengurangi laju
introduksi spesies invasif perlu mendapat prioritas penting. Untuk mencegah
introduksi spesies eksotik, pemerintah harus mengeluarkan peraturan dan
penegakan hukum. Saat ini, sejumlah besar dana dihabiskan untuk
mengontrol agar spesies eksotik tidak tersebar luas. Namun, yang lebih murah
dan efektif adalah dengan melakukan pemberantasan dan pengendalian yang
cepat pada saat pertama kali terlihat, agar spesies itu tidak sempat
berkembang. Lebih jauh, akan diperlukan pemantauan yang cermat untuk
menentukan kemampuan spesies baru dalam mengendalikan spesies invasif.
Bila perlu, pola-pola penggunaan lahan mungkin harus diubah untuk
membantu memulihkan spesies lokal.
6. Penyakit
Ancaman utama lainnya bagi spesies dan komunitas biologi adalah
meningkatnya penularan penyakit akibat berbagai kegiatan manusia. Interaksi
langsung dengan manusia dapat meningkatkan resiko penularan penyakit.
Suatu populasi satwa liar mungkin dapat tertular penyakit yang berasal dari
Beberapa spesies bahkan dapat menjadi punah. Sebagai bagian penting dari
upaya konservasi, spesies langka harus dipantau dan dikelola dengan cermat.
Para ahli biologi telah mengamati bahwa terdapat kelompok-kelompok
tertentu spesies yang tergolong sangat rentan terhadap kepunahan, sebagai
berikut:
Spesies dengan sebaran geografi yang sempit. Beberapa spesies terdapat pada
satu atau beberapa tempat dengan persebaran geografis yang terbatas. Dengan
demikian, jika seluruh wilayah sebarannya dipengaruhi oleh kegiatan
suatu
populasi
biasanya
berlanjut.
Jika
suatu
populasi
Spesies hewan dengan tubuh yang berukuran besar. Hewan berukuran besar
cenderung memiliki wilayah jelajah yang luas, memerlukan makanan yang
lebih banyak, dan lebih mudah diburu manusia. Karnivora puncak biasanya
dibunuh oleh manusia karena merupakan pesaing dalam memburu hewan liar,
kadang karena mengganggu ternak. Di beberapa tempat, satwa bertubuh besar
satu habitat itu rusak, spesies tersebut mungkin tidak mampu untuk bertahan.
Spesies dengan variasi genetik yang rendah. Variasi genetik pada suatu
populasi biasanya memungkinkan suatu spesies dapat beradaptasi dengan
lingkungannya. Ketika muncul predator baru, penyakit baru, atau perubahan
lainnya, maka spesies dengan variasi genetik yang rendah atau tanpa variasi
tersebut. Spesies dengan makanan spesifik juga beresiko tinggi untuk punah.
Spesies yang hanya dijumpai pada lingkungan utuh dan stabil. Pada
lingkungan baru yang sangat berbeda dengan lingkungan sebelumnya, banyak
spesies yang tidak dapat menolerir perubahan dkondisi iklim mikro tersebut.
Spesies yang membentuk kelompok, baik permanen atau sementara. Spesies
yang berkelompok pada tempat tertentu sangat rentan mengalami kepunahan.
Banyak spesies tidak dapat bertahan hidup jika populasinya menurun. Satwa
tersebut akan sulit mencari makan, kawin, atau mempertahankan diri. Selain
itu, spesies satwa onogami tampaknya rentan terhadap tekanan perburuan,
mungkin karena sistem pasangannya yang tetap.
Spesies yang telah terisolasi dan belum pernah kontak dengan manusia.
Spesies yang sebelumnya pernah mendapat gangguan dari manusia dan
mampu menolerir gangguan tersebut akan memiliki kemungkinan spesies
yang untuk pertama kalinya kontak dengan manusia beserta tumbuhan dan
hewan peliharaannya.
Spesies yang diburu atau dipanen manusia. Pemanfaatan yang berlebihan
akan mengurangi populasi besarnya suatu spesies dengan cepat. Jika
perburuan dan pemanenan tidak diatur oleh hukum maupun aturan adat,
tertentu yang dijaga keamanannya maupun kesesuaian ekologinya. Konservasi exsitu tersebut dilakukan dalam upaya pengelolaan jenis satwa yang memerlukan
perlindungan dan pelestarian. Tujuan dari perlindungan dan pelestarian alam tidak
hanya untuk menyelamatkan jenis tumbuhan dan hewan dari ancaman kepunahan,
akan tetapi mengusahakan terjaminnya keanekaragaman hayati dan keseimbangan
unsur-unsur ekosistem yang telah mengalami gangguan akibat meningkatnya
aktivitas manusia yang merambah kawasan hutan alam. Kawasan konservasi exsitu sama pentingnya dengan kawasan konservasi in-situ dan mempunyai peran
yang saling melengkapi (Team Teaching, 2012).
a. Konservasi in-situ (di dalam kawasan)
Konservasi in-situ (di dalam kawasan) adalah konservasi flora fauna dan
ekosistem yang dilakukan di dalam habitat aslinya agar tetap utuh dan segala
proses kehidupan yang terjadi berjalan secara alami. Konservasi in situ adalah
kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan didalam habitat aslinya.
Konservasi in situ mencakup kawasan suaka alam (Cagar Alam dan suaka Marga
Satwa) dan kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Hutan Wisata Alam). Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5
tahun 1990 yang dimaksud dengan Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang
karena keadaaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami. Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang
mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang
untuk
kelangsungan
hidupnuya
dapat
dilakukan
pembinaan
terhadap
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah semua kehidupan di
atas bumi ini baik tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme serta
berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman
sistem ekologi di mana mereka hidup.
3.1.2 Suatu spesies dikatakan punah ketika tidak ada satupun individu dari
spesies itu yang masih hidup di dunia. Jika beberapa individu suatu
spesies hanya dijumpai di dalam kurungan, atau pada situasi yang diatur
oleh manusia, spesies tersebut dikatakan telah punah di alam.
3.1.3. Menghilangnya kanekaragaman hayati di suatu wilayah dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kerusakan habitat,
fragmentasi habitat, degradasi habitat, perubahan iklim global,
pemanfaatan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia,
invasi spesies asing, dan meningkatnya penyebaran penyakit.
3.1.4 Para ahli biologi telah mengamati bahwa terdapat kelompok-kelompok
tertentu spesies yang tergolong sangat rentan terhadap kepunahan, yaitu
Spesies dengan sebaran geografi yang sempit, Spesies yang terdiri atas
satu atau beberapa populasi, dll.
1.2.5 Upaya pelestarian keanekaragaman hayati antara lain, pengendalian
spesies
Eksotik ,
rehabilitasi
satwa,
serta
upaya
pelestarian
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Hafizh. 2011. Perawatan dan Rehabilitasi Satwa Tangkapan di Pusat
Penyelamatan Satwa Cikananga Sukabumi dan Gadog Bogor. Bogor: IPB.
Ani Mardiastuti. 1999. Keanekaragaman Hayati: Kondisi dan Permasalahannya.
Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Bappenas. 2004. Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Jakarta:
Direktorat Pengendalian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Global Village Translations. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Jakarta:
Persemakmuran Australia.
Haydon, D.T., M.K. Laurenson, & C. Sillero-Zubiri. 2002. Integrating
Epidemiology into Population Viability Analysis: Managing the risk posed
by rabies and canine distemper to the Ethiopian wolf. Conversation Biology
16: 1371-1385.
Mochamad Indrawan. 2007. Biologi Konservasi Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Mooney, H.A. & R.J. Hobbs (eds.). 2000. Invasive Species in a Changing World.
Island Press, Washington, D.C.
Sala, O. E., F.S. Chapin III, J.J. Armesto, E. Berlow, J. Bloomfield, R. Dirzo, et al.
2000. Global Biodiversity Scenarios for The Year 2100. Science 287: 17701774.
Stein, B.A., L.S. Kutner, & J.S Adams (eds.). 2000. Precious Heritage: The Status
of Biodiversity in the United States. Oxford University Press, New York.
Sudarsono, Ratnawati dan Budiwati. 2005. Taksonomi Tumbuhan Tinggi. Malang:
UM Press.
Suharnantono, Hendrat. 2011. Monitoring dan Evaluasi Jenis Tanaman Rimba
Eksotik. Perhutani KPH Kendal.
Team Teaching. 2012. Bahan Ajar Mata Kuliah Biodiversitas dan Konservasi.
Gorontalo: Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan IPA Universitas
Negeri Gorontalo.
World Resource Institute (WRI). 2003. World Resource Institute. Washington:
D.C.