Anda di halaman 1dari 11

PAPER ANALISA UNDANG- UNDANG NO 8/1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN PROFESI PERAWAT


Disusun untuk memenuhi tugas mata ajar Manajemen Keperawatan
Dosen Pengampu : Ns. Devi Nurmalia,S.Kep,M.Kep

Disusun oleh :
AFRIZA HANIF FATKHURI

22020111120004

MURI MURDIANA AGUSTIN

22020111120009

PRIMA KHAIRUNISA

22020111130065

INTAN HAPSARI PUTRI

22020111130082

GADIS MADADETA S

22020111130090

IDA NOVITASARI

22020111130100

LUCKY
A 11 1
PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO

A. LATAR BELAKANG ADANYA UU PERLINDUNGAN KONSUMEN


Di Era Globalisasi seperti ini, masalah perlindungan konsumen memang
belum menjadi perhatian khusus, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat
luas. Oleh karena itu pemerintan membentuk UU tentang perlindungan konsumen
atas latar belakang pembangunan nasional yang ada di Indonesia bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang adil serta makmur dalam hal materil maupun
spiritualnya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangungan nasional
dari segi perekonomian juga mempengaruhi kualitas dan kesejahteraan
masyarakat, tumbuhnya dunia usaha dapat menghasilkan beraneka jasa ataupun
barang dengan teknologi yang canggih dan mendapatkan keuntungan atas barang
atau jasa yang diperoleh sehingga tidak menimbulkan kerugian pada konsumen.
Peningkatan pembangunan ekonomi dapat terlihat dari terbukanya pasar nasional
dengan peningkatan mutu, jumlah dan keamanan barang atau jasa yang dilakukan
untuk kesejahteraan pada masyarakat.
Selain peningkatan pembangunan

di bidang ekonomi, pemerintah

meningkatkan harkat dan martabat konsumen agar konsumen memiliki


kemampuan dan kemandirian untuk melindungi dirinya sendiri. Sementara itu,
ketentuan hukum yang melindungi tentang Hak konsumen di Indonesia belum
memadai. Konsumen sebagai penggerak dalam perekonomian terkadang berada
dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha
dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.
Karena berdasarkan pertimbangan tersebut maka diperlukan peraturan
perundang-undangan

untuk

mewujudkan

keseimbangan

perlindungan

kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang


sehat. Hal-hal tersebut pada akhirnya melahirkan sebuah peraturan tentang
Perlindungan Konsumen (UU No.8 Tahun 1999; L.N. Tahun 1999 No. 42). UU
Perlindungan konsumen lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan
perkembangan perekonomian.
B. ISI UU NO 8 TAHUN 1999

UU No.8 Tahun 1999 terdiri dari 15 BAB dan 65 pasal yang menjelaskan
tentang Perlindungan Konsumen dan di sahkan oleh Presiden Baharuddin Jusuf
Habibie pada tanggal 20 April 1999. Pada BAB I pasal 1 UU No.8 Tahun 1999
menjelaskan tentang Ketentuan Umum yang meliputi pengertian perlindungan
konsumen, konsumen, pelaku usaha, barang, jasa, promosi, impor barang, impor jasa,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, klausa baku, badan
penyelesaian sengketa konsumen, badan perlindungan konsumen nasional dan
menteri yang bertugas dan bertanggung jawab dibidang perdagangan.
Di dunia kesehatan terutama di bidang Keperawatan yang menjadi peran
utama adalah perawat sebagai pelaku usaha, klien sebagai konsumen, dan pelayanan
keperawatan merupakan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen. Dalam UU No. 8
Tahun 1999 dijelaskan Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau barang
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan jasa adalah setiap pelayanan yang
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen.
Pada BAB II menjelaskan tentang asas perlindungan konsumen, tujuan
perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen berasakan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.
Sedangkan perlindungan konsumen bertujuan untuk melindungi hak konsumen dalam
mendapatkan barang dan/jasa yang sesuai dengan kebutuhan. Pada BAB III
menjelaskan tentang Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha.
BAB IV menjelaskan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dan
dijelaskan lebih rinci pada pasal 8, 9, 10,11, 12, 13, 14, 15, 16, 17. BAB V
menjelaskan tentang Ketentuan Pencantuman Klausal Baku. Klausal baku adalah

setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
BAB VI menjelaskan tentang Tanggung Jawab Pelaku usaha. Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa, pengembalian dapat
berupa uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis dan setara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/atau memberikan santunan yang sesuai dengan UU
yang berlaku dan pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari
setelah transaksi.
BAB VII menjelaskan Pembinaan dan Pengawasan. Pembinaan dilakukan
oleh pemerintah dan menteri perdagangan yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha. Pegawasan terhadap penyelenggaran perlindungan konsumen diselenggarakan
oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat. BAB VIII menjelaskan tentang nama, kedudukan, fungsi, dan tugas
Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Dalam rangka mengembangkan upaya
perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang
berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Badan perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan
saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengambangkan
perlindungan konsumen di Indonesia. Badan Perlindungan Konsumen Nasional
terdiri minimal 15 orang dan maksimal 25 orang yang terdiri dari unsur pemerintah,
pelaku usaha, lembaga perlindungan swadaya masyarakat, akademis dan tenaga ahli.
Masa jabatan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 tahun dan
dapat dipilih lagi dalam 1 kali masa jabatan berikutnya.
BAB IX menjelaskan tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Mayarakat. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang memeuhi syarat. Diharapkan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.

Tugas

lembaga

perlindungan

konsumen

swadaya

masyarakat

antara

lain

menyebarkan informasi dalam rangka meningktkan kesadaran atas hak dan kewajiban
serta kehati-hatian dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Memberikan nasihat
kepada konsumen yang memerlukannya, bekerjasama dengan instansi terkait dalam
upaya

mewujudkan

perlindungan

konsumen,

membantu

konsumen

dalam

memperjuangkan haknya termasuk menerima keluhan ayau pengaduan, melakukan


pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan
konsumen.
BAB XI menjelaskan tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
dibentuk oleh pemerintah di Daerah Tingkat II untuk menyelesaikan sengketa
konsumen diluar pengadilan. Salah satu tugas dan wewenang badan penyeelsaian
sengketa konsumen dalah melaksanakan penanganan dan penyelesaikan sengketa
kinsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi antara pelaku
usaha dengan konsumen. Jika pelak usaha terbukti bersalah dan melanggar UU
tentang perlindungan konsumen maka dapat dijatuhi sanksi administrasi.
BAB XII menjelaskan tentang Penyelidikan. Penyelidikan dilakukan oleh
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
dibidang perlindungan konsumen. BAB XIII menjelaskan tentang Sanksi dari pelaku
jika melanggar UU No 9 Tahun 1999 akan diberikan sanksi berupa dendan paling
banyak 2 milyar rupiah atau pidana penjara paling lama 5 tahun. BAB XIV tentang
Ketentuan Peralihan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat
undang-undang ini diundangkan dan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur
secara khusus dan/atau tidak bertentangan dalam ketentuan dalan UU. BAB XV
Ketentuan Penutup. UU ini berlaku setelah 1 tahun sejak diundangkan.

C. URGENSI UU NO 8 TAHUN 1999 BAGI PERAWAT

Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi
dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No.
8/1999). Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen adalah:
a)

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

b)

barang dan/atau jasa;


hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa

c)

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

d)

barang dan/atau jasa;


hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

e)

digunakan;
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

f)
g)

sengketa perlindungan konsumen secara patut;


hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

h)

diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
Hak perawat yang harus dipenuhi berdasarkan UU no 8 tahun 1999 (pentingnya

UU no 8 tahun 1999 bagi keperawatan)


Dari undang undang diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pentingnya UU no
8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bagi keperawatan adalah :
a) Perawat dalam memberikan layanan keperawatan yang komprehensif dan
menyeluruh harus memperhatikan pasien sebagai pengguna layanan dengan
memperhatikan kenyamanan kemanan dan keselamatan pasien guna
pelayanan kesehatan yang lebih baik.
b) Contoh tindakan keperawatan untuk memenuhi hak atas kenyamanan pasien
adalah memberikan inform consent, dengan adanya inform consent, maka
kenyamanan pasien atas tindakan yang dilakukan serta jaminan keselamatan
telah diberikan dengan adanya inform consent tersebut .

c) Perawat harus mampu mendengar guna memenuhi hak pasien untuk


menyampaikan keluhan yang dirasakan serta perawat harus mampu menjaga
rahasia atas apa yang telah pasien sampaikan.
d) Perawat sebagai pemberi layanan keperawatan harus mampu memberikan
perlindungan dan memberikan bantuan advokasi/pembelaan atas pasien jika
terjadi hal hal yang tidak sesuai yang dialami oleh klien sebagai penerima jasa
layanan keperawatan.
e) Perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan harus jujur serta tidak
membedakan antara pasien kaya( umum ) dengan pasien berasuransi
kesehatan.
f) Memberikan pelayanan yang bermutu dalam hal ini adalah pemberian asuha
keperawatan secara benar dan baik serta tidak memalsukan data yang ada
pada pasien guna kepentingan pribadi.

D. PELANGGARAN UU No 8 TAHUN 1999 DI BIDANG KESEHATAN


1. Mal Praktek dalam Keperawatan

Dalam suatu kasus di California tahun 1956 (Guwandi, 1994)


mendefinisikan Malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat
untuk menerapkan tingkat ketrampilan dan pengetahuannya di dalam
memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien
yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka
di lingkungan wilayah yang sama
Pada masa yang akan datang dimana kesadaran hukum masyarakat
semakin meningkat dimana masyarakat akan lebih menyadari akan haknya,
dan disisi lain perawat dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas
profesinya dengan lebih hati-hati dan penuh tanggung jawab. Hal ini
didukung adanya berbagai produk peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang sistem pelayanan keperawatan yang semakin jelas menuntut
tenaga keperawatan bekerja secara profesional, dan bila terjadi pelanggaran

akan berdampak negatif bagi kliennya, maka perawat diperhadapkan pada


tuntutan atau gugatan konsumen sebagaimana antara lain pada UU No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada :
Pasal 8 (a)
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan perundang-undangan
Jika terjadi pelanggaran pada pasal ini maka sanksi hukumnya sebagaimana
dinyatakan pada:
Pasal 62 ayat (1)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Dan tambahan hukuman pada :
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat
dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa:
a.
b.
c.
d.

Perampasan barang tertentu;


Pengumuman keputusan hakim;
Pembayaran ganti rugi;
Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya

kerugian konsumen.
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. Pencabutan izin usaha.
Malpraktek yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap kaidahkaidah profesi, dimasa yang akan datang merupakan masalah yang cukup

menarik untuk didiskusikan khususnya yang terkait dengan malpraktek bidang


keperawatan, yang selama ini kurang mendapat perhatian misalnya untuk
menangani masalah yang terkait dengan pelanggaran etika bidang
keperawatan , PPNI baru membentuk suatu badan yaitu Majelis Kode Etik
Keperawatan ( Anggaran Dasar PPNI Bab VIII) pada tanggal 25 Januari 2002
dimana badan ini berkewenangan menyelidiki dan menyelesaikan masalah
yang berkaitan dengan pelanggaran etik profesi keperawatan sebagaimana
pada Anggaran Dasar PPNI pada Pasal 27 yang berbunyi Majelis Kode Etik
berkewenangan menyelidiki dan menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan pelanggaran etik profesi keperawatan.
Sebagai perawat professional, dituntut untuk selalu meningkatkan
kemampuannya dengan mengikuti perkembangan yang terjadi baik oleh
karena perkembangan IPTEK khususnya IPTEK keperawatan, tuntutan dan
kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat.
Saat ini perawat diperhadapkan pada berbagai tuntutan pelayanan
profesional melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
apabila melakukan kesalahan dan kelalaian akan diperhadapkan pada suatu
tuntutan baik dari organisasi profesi, organisasi pelayanan kesehatan, dan
tututan hukum.
Perawat di Indonesia sangat berisiko melakukan malpraktik karena
tidak didukung oleh kemampuan yang memadai (profesional dalam
bidangnya), banyak mengerjakan tindakan kolaboratif/tindakan invasif yang
mungkin bukan bidang pekerjaannya sebagai layaknya seorang perawat
profesional. Sehingga untuk masalah ini diperlukan pembinaan dari semua
pihak yang terkait.
2. Kasus Pelanggaran Terhadap UU No 8 Tahun 1999
Kasus Prita Mulyasari terhadap OMNI International Hospital
Kasus Prita Mulyasari terjadi sekitar 5 tahun yang lalu tepatnya pada
Tahun 2009. Prita Mulyasari adalah seorang ibu yang berusia 32 tahun, yang
semula di rawat di OMNI International Hospital yang tidak lain adalah salah

satu rumah sakit swasta bertaraf internasional. Prita dalam kasus ini
merupakan konsumen sebagaimana dijelaskan dalam UU No 8/1999
(Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.). Kemudian
pihak Rumah Sakit OMNI Internasional adalah pelaku usaha dalam UU No
8/1999 (Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi). Kasus Prita berawal ketika Prita yang dirawat di rumah sakit OMNI
International merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pihak
rumah sakit. Prita tidakmendapat informasi yang benar atas hasil diagnosa
dokter terhadap pemeriksaan kondisi tubuhnya (sakitnya), oleh karena pihak
OMNI tidak memberikan respon positif saat Prita menanyakan perihal
penyakit Prita yang sebenarnya. Prita yang mendapat berbagai infus dan
berbagai suntikan tanpa penjelasan dan izin dari Prita (pasien) atau keluarga
Prita (keluarga pasien) untuk apa hal itu dilakukan, bahkan ketika Prita
meminta keterangan perihal tujuan berbagai suntikan dan infus dimaksud,
tidak ada keterangan, penjelasan dan jawaban apapun, hal demikian jelas
merupakan sebuah pelanggaran terhadap Pasal 4 (c) dan (g) UU No 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Akibat hal tersebut, Prita kemudian curhat
ke teman- temannya melalui email terhadap pelayanan Rumah Sakit OMNI
Internasional yang didapatkan selama ia dirawat di rumah sakit tersebut. Pihak
Rumah Sakit yang tidak terima dengan sikap Prita kemudian justru
melaporkan Prita ke pihak berwajib dengan tuduhan pencemaran nama baik
terhadap Rumah Sakit OMNI International. Prita kemudian dijatuhi hukuman
6 tahun penjara dengan denda 1 Milyar Rupiah karena kasus tersebut.

Kasus yang dialami oleh Prita Mulyasari, jelas memberikan gambaran


kepada kita semua bahwa pada kenyataannya hak konsumen masih belum
diperjuangkan. Meskipun ada UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen,
dan telah dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di
Departemen Perdagangan, namun faktanya tidak banyak masyarakat yang
tahu keberadaannya. Akibatnya orang lebih suka mengeluh ke mana saja
pihak yang dia percaya: ke LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI), ke Komnas HAM, ke DPR, atau menulis surat pembaca ke
media massa atau email ke dunia maya. Ini terjadi karena BPKN hanya
bertindak setelah ada pengaduan langsung kepadanya. BPKN tidak
diwajibkan bertindak proaktif dengan memonitor dunia perdagangan,
sekalipun hanya dari surat pembaca di media massa.

DAFTAR PUSTAKA
Guwandi, J. (1994). Kelalaian Medik (Medical Negligence)Edisi 2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap Profesi Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai