Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

EPIDURAL HEMATOMA
Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Bedah
RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang

Disusun Oleh:
Ardevi Septiana
012116333
Pembimbing:

Letkol CKM dr. Aditya Wicaksana, Sp.BS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Nama
NIM
Fakultas
Universitas
Tingkat
Bagian
Judul

: Ardevi Septiana
: 012116333
: Kedokteran
: Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )
: Program Pendidikan Profesi Dokter
: Ilmu Bedah
: EPIDURAL HEMATOMA

Magelang, November 2016


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Bedah RST dr.Soedjono Tingkat II Magelang

Pembimbing

Letkol CKM dr. Aditya Wicaksana, Sp.BS

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul Epidural
Hematome. Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai Epidural Hematoma dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Sultan Agung Semarang.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dosen pembimbing, Letkol CKM dr. Aditya WIcaksana, Sp. BS. yang telah meluangkan
waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat
ini dari awal hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
kritikan yang membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang.
Semoga referat ini dapat berguna bagi kita semua.

Magelang, November 2016

Penulis

CEDERA KEPALA
(EPIDURAL HEMATOMA)
2.1

PENDAHULUAN
Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh

kematian akibat trauma.1 Di Indonesia menurut survei kesehatan


rumah tangga 1992 trauma merupakan sebab kematian nomor satu
untuk usia 15-24 tahun, dengan perkiraan sebagian besar kematian
tersebut berhubungan dengan cedera kepala, 70% penderita yang
meninggal akibat trauma belum sempat mendapatkan perawatan
rumah sakit.

1,2

Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat

kecelakaan lalu lintas, yang kemudian disusul dengan jatuh (terutama


pada anak-anak).
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan
bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan
dan perlambatan (accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan
faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan.3
Cedera kepala merupakan salah satu kasus yang paling sering
dijumpai di ruang gawat darurat rumah sakit. Suatu rumah sakit yang
melayani daerah yang berpenduduk sekitar 250.000 orang bisa
menerima

sampai

5.000

kasus

cedera

kepala

tiap

tahun,

ini

merupakan 10% dari semua kasus yang datang. Di Amerika Serikat,


kejadian

cedera

kepala

setiap

tahunnya

diperkirakan

mencapai

500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum


tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita
berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Sebanyak
80% dari penderita yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai
cedera kepala ringan, 10% cedera kepala sedang, dan 10% sisanya
adalah cedera kepala berat. Lebih dari 100.000 penderita setiap

tahunnya

menderita

berbagai

tingkat

kecacatan

akibat

cedera

mengakibatkan

patah

tulang

kepala.4,5
Suatu

cedera

kepala

dapat

tengkorak, kontusio, gegar otak dan robekan otak, perdarahan


intracranial

seperti

hematoma

epidural,

hematoma

subdural,

perdarahan subaraknoid, perdarahan intraserebral (ICH). Umumnya,


yang

merupakan

gejala

perdarahan

intrakranial

adalah

gejala

peninggian tekanan intrakranial yang berupa nyeri kepala, muntah


disertai

dengan

gejala

lateralisasi

seperti

pupil

anisokor,

dan

hemiparesis. Perdarahan ini segera menimbulkan kematian apabila


terjadi herniasi otak.4
Salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering
terjadi adalah epidural hematom yang paling sering terjadi karena
fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak yang
kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi
otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula
interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala
kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak
mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh
darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah
mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang
antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah di kenal dengan
sebutan epidural hematom.6,7
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat
emergensi dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang
memutuskan

arteri

yang

lebih

besar,

sehingga

menimbulkan

perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan


pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom
terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang
temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi
perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.8

2.1.

ANATOMI KEPALA
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang

membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang


membuat kita seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat di
perbaiki lagi.
Otak dilindungi oleh:9,10,11
1 SCALP
SCALP/Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling
melekat dan bergerak sebagai satu unit.
SCALP terdiri dari:
1

Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak


kelenjar sebacea.

Connective Tissue atau jaringan penyambung, merupakan


jaringan lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan
aponeurosis dari m. occipitofrontalis di bawahnya. Banyak
mengandung pembuluh darah besar terutama dari lima arteri
utama yaitu cabang supratrokhlear dan supraorbital dari arteri
oftalmik di sebelah depan, dan tiga cabang dari karotid
eksternal-temporal superfisial, aurikuler posterior, dan oksipital
di sebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah ini melekat erat
dengan

septa

fibrosa

jaringan

subkutis

sehingga

sukar

berkontraksi atau mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka


pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah yang bermakna pada penderita
laserasi kulit kepala.

Perdarahan sukar dijepit dengan forcep

arteri. Perdarahan diatasi dengan menekannya dengan jari atau


dengan menjahit laserasi.
3

Aponeurosis

atau

galea

aponeurotika,

merupakan

suatu

jaringan fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang

membantu

menyerap

kekuatan

trauma

eksternal,

menghubungkan otot frontalis dan otot occipitalis.


Spatium subaponeuroticum adalah ruang potensial dibawah
aponeurosis epicranial. Dibatasi di depan dan di belakang oleh
origo m. Occipito frontalis, dan meluas ke lateral sampai ke
tempat perlekatan aponeurosis pada fascia temporalis.
4

Loose

areolar

tissue

atau

jaringan

penunjang

longgar,

menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium


(pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa
v.emmisaria yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak
dan sinus venosus intrakranial. Pembuluh-pembuluh ini dapat
membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam
tengkorak, sehingga pembersihan dan debridement kulit kepala
harus dilakukan secara seksama bila galea terkoyak. Darah atau
pus terkumpul di daerah ini dan tidak bisa mengalir ke region
occipital

atau

subtemporal

karena

adanya

perlekatan

occipitofrontalis. Cairan bisa masuk ke orbita dan menyebabkan


hematom yang bisa jadi terbentuk dalam beberapa waktu
setelah trauma kapitis berat atau operasi kranium.
5

Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan


luar tulang tengkorak. Sutura diantara tulang-tulang tengkorak
dan periousteum pada permukaan luar tulang berlanjut dengan
periousteum pada permukaan dalam tulang-tulang tengkorak.

Gambar 1. Anatomi Kepala

Tulang tengkorak11
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii
(bagian terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di
daerah ini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii terbentuk
tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi.
Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras
yang tidak memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang
tengkorak mempunyai 3 lapisan, yaitu:

Tabula interna( lapisan tengkorak bagian dalam)

Diploe(rongga di antara tabula), dan

Tabula eksterna (lapisan tengkorak bagian luar)


Tabula interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria
meningea anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang
tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri
ini, perdarahan arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun
dalam ruang epidural, dapat manimbulkan akibat yang fatal
kecuali bila di temukan dan diobati dengan segera.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior
yang merupakan tempat lobus frontalis, fossa media yang
merupakan

tempat lobus temporalis,

fossa posterior yang

merupakan tempat bagian bawah batang otak dan cerebellum.

3.

Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan

terdiri dari 3 lapisan, yaitu:


1

Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat


fibrosa yang melekat erat pada pada permukaan dalam
kranium. Duramater terdiri dari dua lapisan, yaitu:
a.

Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar, dibentuk oleh

b.

periosteum yang membungkus dalam calvaria.


Lapisan meningeal sebelah dalam adalah suatu selaput
fibrosa yang kuat yang berlanjut terus di foramen mgnum
dengan dura mater spinalis yang membungkus medulla
spinalis.

Selaput arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis,


dan tembus pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang
yang dikenal sebagai subarakhnoid, yang merupakan tempat
sirkulasi cairan LCS.

Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada


permukaan korteks cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh

10

darah halus, dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal


yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua
girus.

2.3.

EPIDURAL HEMATOMA
Epidural hematoma yaitu penumpukan darah di ruang epidural

(dibatasi

tabula

interna

dan

duramater) dan

cirinya

berbentuk

bikonveks atau menyerupai lensa cembung akibat trauma kapitis.


sering terletak di area temporal atau temporoparietal tetapi hematom
dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital dan biasanya
disebabkan
tengkorak.

robeknya a.

meningea media akibat fraktur tulang

Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal dari

pembuluh arteri, namun dapat juga terjadi akibat robekan dari vena
besar. 4,12

Gambar 2
Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media,terletak
antara duramater dan lamina interna tulang pelipis.

11

Os Temporale (1), Hematom Epidural (2), Duramater (3), Otak


terdorong kesisi lain (4)

2.4.

PATOFISIOLOGI
Pada hematoma epidural, fraktur tulang kepala dapat merobek

pembuluh darah terutama arteri meningea media masuk ke dalam


tengkorak melalui foramen spinosum dan berjalan di antara durameter
dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural. Desakan oleh hematoma akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan
tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam.
Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkus dan sebagian
dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah pinggiran
tentorium.

Keadaan

ini

menyebabkan

timbulnya

tanda-tanda

neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis. 13,14


Tekanan
mengurus

dari

herniasi

formation

unkus

pada

retikularis(ARAS)

sirkulasi
di

arteria

medulla

yang

oblongata

menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf


cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan
dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat
cepat, dan tanda Babinski positif.13,14
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak
akan terdorong ke arah yang berlawanan, menyebabkan tekanan
intrakranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut adanya peningkatan
tekanan intrakranial, antara lain kekakuan deserebrasi, dan gangguan
tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan. 13
Sumber perdarahan :12,14

12

Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )

Sinus duramatis

Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica


dan vena
diploica

2.5.

GAMBARAN KLINIS15
Hematoma epidural tanpa cedera lain biasanya disebabkan oleh

robeknya arteri meningea media.

Kelainan ini pada fase awal tidak

menunjukkan gejala atau tanda.

Baru setelah hematom bertambah

besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan


intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah
diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang tepenting
adalah

pupil

mata

anisokor

yaitu

ipsilateral

melebar.

Pada

perjalanannya pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi


cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir,
kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga
mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan
reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Ciri khas hematoma epidural murni adalah terdapatnya interval
bebas antara saat terjadinya trauma dan tanda pertama yang
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.
Jika hematoma epidural disertai dengan cedera otak seperti
memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan
tanda lainnya menjadi kabur.
Riwayat

klasik

pada

hematoma

epidural

adalah

setelah

mengidap trauma kapitis, penderita pingsan sebentar, lalu ia sadar


kembali. Dalam masa beberapa puluhan menit sampai beberapa hari
tidak ada manifestasi yang mengejutkan. 15

13

Lucid interval merupakan adanya fase sadar diantara dua fase


tidak sadar karena bertambahnya volume darah. Pingsan I pada lucid
interval disebabkan karena benturan langsung, sedangkan pingsan II
karena EDH. 11,12
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan
pada EDH. Kalau pada SDH dan ICH yang cedera primernya hampir
selalu berat atau EDH denga trauma primer berat tidak terjadi lucid
interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah
mengalami fase sadar. 11,12

2.6.

GAMBARAN RADIOLOGI

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala


lebih mudah dikenali.
2.6.1. Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti
sebagai epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P),
lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari
adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.
16

2.6.2. Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek,
dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada
satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi
(bilateral),

berbentuk

bikonfeks,

paling

sering

di

daerah

temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas


tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis
fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage
yang akut ( 60 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari
pembuluh darah.

15,17,18

14

Gambar 3. Gambaran CT-Scan Hematoma Epidural di Lobus Frontal


kanan.

2.6.3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi.
MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis. 16,18,19

Gambar 4. Gambaran MRI Hematoma Epidural.

15

2.7. DIAGNOSIS BANDING


2.7.1. Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara
dura mater dan arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar
dibedakan dengan hematoma epidural yang berkembang lambat. Bisa
disebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan
bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang

sehingga

merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan perdarahan jaringan


otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak penumpukan
cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.

11,16

Gambar 5. Hematoma Subdural Akut

II.7.2. Hematoma Subarachnoid


Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluhpembuluh darah di dalamnya.

11,16

16

Gambar 6. Kepala panah menunjukkan hematoma subarachnoid,


panah hitam menunjukkan hematoma subdural dan panah putih
menunjukkan pergeseran garis tengah ke kanan

2.8.

PENATALAKSANAAN4,5

2.8.1. Pemeriksaan
Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital
dan status kesadaran pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin
bahkan mendahului anamnesis yang teliti.
1.Primary survey
Seperti halnya kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai
ialah :
a. Jalan nafas airway
b. Pernafasan breathing
c. Nadi dan tekanan darah circulation
Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir
atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti
dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher hams berhati-hati bila ada

17

riwayat/dugaan trauma servikal (whiplash injury), jamb dengan kepala


di bawah atau trauma tengkuk. Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan
untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di
tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur
ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan
me-lambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian
tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh
hematoma epidural.

2. Pemeriksaan neurologis
Dewasa

ini

penilaian

status

kesadaran

secara

kualitatif,

terutama pada kasus cedera kepala sudah mulai ditinggalkan karena


subyektivitas

pemeriksa;

istilah

apatik,

somnolen,

sopor,

coma,

sebaiknya dihindari atau disertai dengan penilaian kesadaran yang


lebih

obyektif,

terutama

dalam

keadaan

yang

memerlukan

penilaian/perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran yang


luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow. Melalui cara ini pula,
perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti
secara akurat.

Skala Koma Glasgow


Skala Koma Glasgow adalah berdasarkan penilaian/pemeriksaan atas
tiga parameter, yaitu :
a. Buka mata.
b. Respon motorik terbaik.
c. Respon verbal terbaik

Skala Koma Glasgow

18

a. Reaksi membuka mata


4 Buka mata spontan
3 Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
2 Buka mata bila dirangsang nyeri
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

b. Reaksi berbicara
5 Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
4 Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
3 Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat
2 Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata
1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

c.Reaksi gerakan lengan/tungkai


6 Mengikuti perintah
5 Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
4 Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
3 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
2 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
1 Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

3. Secondary survey
Pemeriksaan neurologis serial (DCS, lateralisasi, dan refleks
pupil) harus selalu dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis.
Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil
dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung
pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan
dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit.

19

4.Prosedur Diagnostik
Pemeriksaan CT scan harus segera dilakukan secepat mungkin,
segera setelah hemodinamika normal.

Pemeriksaan CT scan ulang

harus dikerjakan jika terjadi perubahan status klinik penderita dan


secara rutin 12-24 jam setelah trauma bila dijumpai gambaran
kontusio atau hematoma pada CT scan awal.
Angiografi pada penderita dengan kelainan neurologis dapat
dilakukan bila tidak terdapat CT scan.

2.8.2. PENGOBATAN17
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan
darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu
dipasang

pipa

naso/orofaringeal

dan

pemberian

oksigen.

Infus

dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan cairan


NaCl 0,9% atau Dextrose in saline.

2. Mengurangi edema otak


Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Cairan intravena
b. Hiperventilasi.
c. Cairan hiperosmoler.
d. Kortikosteroid.
e. Barbiturat.

20

A. Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar
penderita tetap dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia
pada pasien sangatlah berbahaya.

Namun harus diperhatikan untuk

tidak meberikan cairan yang berlebihan.


hipotonik.

Jangan berikan cairan

Pengguaan cairan yang mengandung glukosa dapat

menyebabkan hiperglikemia yang erakibat buruk pada otak yang


cedera.

Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah

larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga
harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak. Strategi
terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular normal dan
hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa
digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan
edem otak.

B. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan PCO2 darah sehingga mencegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga
dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi

kemungkinan

asidosis.

Bila

dapat

diperiksa,

PCO2

dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 25-30 mmHg.

C. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus untuk
"menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk

21

kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang


dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang cukup dalam
waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 10-30
menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindakan
bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound;
mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa
jam atau keesokan harinya.

D. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya
sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung
menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus
cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat
ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah
dicoba juga bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan dosis
sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga
Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan
Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.

E. Barbiturat
Digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga
akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai
oksigen

berkurang.

Cara

ini

hanya

dapat

digunakan

dengan

pengawasan yang ketat.

F. Cara lain
Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai
1500-2000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada

22

laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur dengan kepala (dan


leher) yang diangkat 30 akan menurunkan tekanan intrakranial.
Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang
berbaring lama, ialah
- kepala dan leher diangkat 30.
- sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150.
- telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90 dengan tungkai bawah

3. Obat-obat Neurotropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu
mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada
keadaan koma.
a. Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang
dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur
serta fungsi membran sel.
Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus.
Tidak dianjurkan pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga
mengiritasi vena.
b.Piracetam
Piracetam

merupakan

senyawa

mirip

GABA

suatu

neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/


hari intravena.
c.Citicholine

23

Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin


sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di
dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.

2.8.3 TERAPI OPERATIF


Operasi di lakukan bila terdapat :

12

Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)

Keadaan pasien memburuk

Pendorongan garis tengah > 3 mm

Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi


sederhana (boor hole).
hematom.

Dilakukan craniotomy untuk mengevakuasi

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life

saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan


tersebut maka operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya
keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang. 12
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
1

> 25 cc desak ruang supra tentorial

> 10 cc desak ruang infratentorial

> 5 cc desak ruang thalamus

Sedangkan indikasi evakuasi life saving

adalah efek masa yang

signifikan :
1

Penurunan klinis

Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline


shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif.

Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift


> 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif.

24

2.9. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada :

15

Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

Besarnya

Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural


biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat
dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 510% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma
sebelum operasi.

7,20

DAFTAR PUSTAKA

1.

Al Fauzi, Asra. Penanganan Cedera Kepala Di Puskesmas.


(access 2010 Nov 20). Available

from URL

http://stetoskopmerah.blogspot.com/search/label/cermin
%20dunia%20kedokteran
2.

Edisson , Sahat. Diktat bedah : Neurotrauma. Bagian ilmu

Bedah . FK

UNSRI

3. Anonym. Cedera kepala. (access 2010 Nov 26). Available from


URL

http://74.125.153.132/search?

q=cache:UPDmMAULAGMJ:rusari.com/ASKEP_CKB.doc+subdural
+hematoma+prognosis&cd=6&hl=id&ct=clnk&gl=id
4. American College Surgeon. Advanced Trauma Life Support Edisi
Ketujuh. United States of America, 2004.

25

5. Riyanto, Budi. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Cermin


Dunia Kedokteran 1997; no 77.
1

Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat,


Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995.

Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidu
ral-subdural-hematoma.html.

Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera


Kranio

Serebral,

Updates

In

Neuroemergencies,

Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2002, 80


3

Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa


Kedokteran Bagian 3. alih bahasa dr.Jan Tambayong.
1997. EGC.

Ellis, Harold. Applied anatomy for students and junior


doctors. Eleventh edition. Blackwell Publishing. 2006.

Japardi, Iskandar. Cedera Kepala. BIP. Jakarta. 2004

Anonym. Chirugica. Tosca Enterprise, Yogyakarta. 2005

Sylvia, A Price dan Wilson M Lorraine. Patofisiologi


Konsep Klinis dan Proses Penyakit. EGC. Jakarta. 2006.
p: 1167-1174

Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat,


Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995,
1014-1016

De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.


2006.

10

Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis dalam praktek


Umum. Dian Rakyat, Jakarta. 2004

26

11

Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi,


Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2005, 314

18. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual,


second edition, Williams & Wilkins, Arizona, 1993, 117 178
19. Sutton D, Neuroradiologi of The Spine, Textbook of Radiology
and Imaging, fifth edition, Churchill Living Stone, London,1993,
1423
1

Mc.Donald

D.,

www.emedicine.com

Epidural

Hematoma,

Anda mungkin juga menyukai