Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

SEMINAR KESEHATAN JIWA MASYARAKAT


RS JIWA PROVINSI JAWA BARAT

Diajukan untuk Memenuhi salah satu Tugas Program Profesi Ners


Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

MAHASISWA PROGRAM PROFESI NERS


ANGKATAN XXXII

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
BANDUNG
2016

DAFTAR ISI
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah.................................................................................1
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................3
1.4 Kegunaan Penelitian.................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5
2.1 Konsep Pasung..5
2.2 Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Bagi Penyandang Skizofrenia ..13
2.4 Hukum yang Memuat tentang Pasung19
2.5 Polemik Pasung di Indonesia dilihat dari Faktor Dominan....23
2.6 Stigma terhadap Penderita Gangguan Jiwa ...25
2.7 Pengalaman Keluarga dalam Pemenuhan Kebutuhan Perawatan Diri
pada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)....27
2.8 Budaya Pasung dan Dampak Yuridis Sosiologis30
BAB III ANALISIS KASUS....................................................................33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................47
LAMPIRAN...........................................................................................................51

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya
kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang
menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan
proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas
atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah
satu contoh psikosis adalah skizofrenia (RISKESDAS, 2013).
Gangguan jiwa masih menjadi masalah serius kesehatan mental di Indonesia
yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemangku kebijakan kesehatan nasional.
Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta
masyarakat oleh karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan
beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah,
gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat
ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa
berat di Indonesia. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan
jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2016) menjadikan Indonesia bebas
pasung oleh karena tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan
tindakan yang melanggar hak asasi manusia.
Di Indonesia berdasarkan data dari WHO (2015) menyatakan bahwa sekitar
450 juta orang di dunia mengalami gangguan jiwa satu dari empat orang di dunia
menderita masalah mental dan hal ini merupakan masalah yang serius. Sedangkan
berdasarkan data RISKESDAS (2013) dinyatakan bahwa prevalensi gangguan
jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 . Prevalensi psikosis tertinggi di DI
Yogyakarta dan Aceh (masing-masing 2,7), terendah di Kalimantan Barat
(0,7). Sedangkan prevalensi di Jawa Barat terdapat 1,6 , prevalensi gangguan
jiwa berat berdasarkan tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan.

Proporsi rumah tangga dengan ART gangguan jiwa berat yang pernah
dipasung dihitung terhadap 1.655 rumah tangga dengan penderita gangguan jiwa
berat. Metode pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional
(menggunakan kayu atau rantai pada kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan
lain yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran
yang menyertai salah satu metode pemasungan. Proporsi RT yang pernah
memasung ART gangguan jiwa berat sebesar 14,3 % dan terbanyak pada RT di
perdesaan. RT yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada kelompok
kuintil indeks kepemilikan terbawah. Proporsi cakupan RT yang membawa ART
gangguan jiwa berobat ke fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan (RISKESDES,
2013).
Pasung pada penderita gangguan jiwa dapat berdampak baik secara fisik
maupun psikis. Dampak fisiknya bisa terjadi atropi pada anggota tubuh yang
dipasung, dampak psikisnya yaitu penderita mengalami trauma, dendam kepada
keluarga, merasa dibuang, rendah diri, dan putus asa. Lama-lama muncul depresi
dan gejala niat bunuh diri. Menurut WHO, gangguan jiwa mempengaruhi cara
berpikir dan berperilaku, kemampuan untuk melindungi kepentingan dirinya,
kemampuan mengambil keputusan. Seseorang dengan gangguan jiwa berhadapan
dengan stigma, diskriminasi dan marginalisasi. Stigma menyebabkan mereka
tidak mencari pengobatan yang sangat mereka butuhkan, atau mereka akan
mendapatkan pelayanan yang bermutu rendah. Marginalisasi dan diskriminasi
juga meningkatkan risiko kekerasan pada hak-hak individu, hak politik, ekonomi,
sosial dan budaya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan
Jiwa menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar
mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan. Bahkan
Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM. 29/6/15, tertanggal 11 November 1977
yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia
meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap
penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. WHO menyarankan agar
penanganan kesehatan jiwa lebih ditekankan atau berbasis pada masyarakat
2

(community based), sehingga masyarakat diharapkan mampu menangani kasus


gangguan jiwa yang ringan, dan hanya yang berat yang dilayani oleh Rumah Sakit
Jiwa (Moersalin, 2009).
KEMENKES RI (2016) mengatakan pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa
dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat, termasuk pembiayaan
pengobatan dan perawatan gangguan jiwa untuk masyarakat miskin. Pemerintah
dan pemerintah daerah bukan hanya menemukan kasus-kasus pasung untuk
kemudian melepaskannya, tetapi juga harus memberikan edukasi pada masyarakat
untuk tidak melakukan pemasungan. Puskesmas diberdayakan sehingga mampu
menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan jiwa serta juga harus menyediakan
pengobatan yang diperlukan. Selain itu, peran serta masyarakat diharapkan
mampu mengenali kasus-kasus gangguan jiwa di masyarakat, menghindari
pemasungan dan mendorong anggota masyarakat untuk berobat dan melakukan
kontrol.
1.2

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan ini adalah

mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pemasungan, bentuk-bentuk stigma


yang muncul di masyarakat dan hukum serta pemenuhan kebutuhan perawatan
bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
1.3 Tujuan
Tujuan seminar ini dapat mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi
pemasungan, bentuk-bentuk stigma yang muncul di masyarakat dan hukum serta
pemenuhan kebutuhan perawatan bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
1.4 Kegunaan
Masukan bagi Dinas Kesehatan Jawa Barat mengenai program bebas pasung
Jawa Barat dapat bisa tercapai:

1.4.1

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat sebagai sumber data untuk
pengambilan kebijakan dalam menetapkan program kesehatan jiwa dan
sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengubah perilaku masyarakat

1.4.2

agar tidak memasung keluarganya.


Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran
serta aktif masyarakat, termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan
gangguan jiwa untuk masyarakat miskin serta dengan pemberian edukasi

1.4.3

pada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan.


Pemberdayaan Puskesmas sehingga mampu menjadi ujung tombak
pelayanan kesehatan jiwa serta juga harus menyediakan pengobatan yang

1.4.4

diperlukan.
Peran serta masyarakat diharapkan mampu mengenali kasus-kasus
gangguan jiwa di masyarakat, menghindari pemasungan dan mendorong
anggota masyarakat untuk berobat dan melakukan kontrol.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Pasung
Pemasungan penderita gangguan jiwa adalah tindakan masyarakat

terhadap penderita gangguan jiwa (biasanya yang berat) dengan cara dikurung,
dirantai kakinya dimasukan kedalam balok kayu dan lain-lain sehingga
kebebasannya menjadi hilang. Pasung merupakan salah satu perlakuan yang
merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk mendapat perawatan yang
memadai dan sekaligus juga mengabaikan martabat mereka sebagai manusia. Di
Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau pengurungan
terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang
melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya (Broch, 2001, dalam
Minas & Diatri, 2008). Pengekangan fisik terhadap individu dengan
gangguan jiwa mempunyai riwayat yang panjang dan memilukan.
Penyebab dilakukannya pemasungan meliputi:
1) Ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang
tidak kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan
keluaga untuk mengamankan lingkungan merupakan penyebab keluarga
melakukan pemasungan (Depkes, 2005).
2) Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya
bersifat jangka panjang (Videbeck, 2008). Biaya berobat yang harus
ditanggung pasien tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan
dengan pelayanan medik seperti harga obat, jasa konsultasi tetapi juga
biaya spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah sakit dan
biaya akomodasi lainnya (Djatmiko, 2007).
Alasan keluarga melakukan pemasungan diantaranya
1) Mencegah klien melakukan tindak kekerasan

yang

dianggap

membahayakan terhadap dirinya atau orang lain


2) Mencegah klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang lain
3) Mencegah klien menyakiti diri seperti bunuh diri
4) Ketidaktahuan serta ketidakmampuan keluarga menangani klien apabila
sedang kambuh.
5

5) Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan


salah satu penyebab pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung
Tindakan pemasungan yang biasa dilakukan, seperti: terkurung dalam kandang
binatang peliharaan; terkurung dalam rumah; kaki atau lehernya dirantai; salah
satu atau kedua kakinya dimasukkan kedalam balok kayu yang dilubangi.
Terapi yang harus dilakukan dapat meliputi:
a. Dirawat sampai sembuh di Rumah Sakit Jiwa, kemudian dilanjutkan
dengan rawat jalan.
b. Untuk menghilangkan praktek pasung yang masih banyak terjadi
dimasyarakat perlu adanya kesadaran dari keluarga yang dapat
diintervensi dengan melakukan terapi keluarga. Salah satu terapi
keluarga yang dapat dilakukan adalah psikoedukasi keluarga ( Family
psichoeducation Therapy). Terapi keluarga ini dapat memberikan
dukungan kepada anggota keluarga. Keluarga dapat mengekspresikan
beban yang dirasakan seperti masalah keuangan, sosial dan psikologis
dalam memberikan perawatan yang lama untuk anggota keluarganya.
Family Psychoeducation Terapy adalah salah satu bentuk terapi perawatan
kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui
komunikasi terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang
bersifat edukasi dan pragmatis (Stuart & Laraia, 2005). Carson (2000)
menyatakan bahwa psikoedukasi merupakan suatu alat terapi keluarga yang makin
populer sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor faktor resiko yang
berhubungan dengan perkembangan gejala gejala perilaku.
Tujuan dilakukan family psychoeducation dapat menurunkan intensitas emosi
dalam keluarga sampai pada tingkatan yang rendah sehingga dapat meningkatkan
pencapaian pengetahuan keluarga tentang penyakit dan mengajarkan keluarga
tentang upaya membantu mereka melindungi keluarganya dengan mengetahui
gejala-gejala perilaku serta mendukung kekuatan keluarga (Stuart & Laraia,
2005).
Manfaat family psychoeducation dapat meningkatkan pengetahuan keluarga
tentang penyakit, mengajarkan tehnik yang dapat membantu keluarga untuk
mengetahui gejala gejala penyimpangan perilaku, serta peningkatan dukungan
6

bagi anggota keluarga itu sendiri. Indikasi dari terapi psikoedukasi keluarga
adalah anggota keluarga dengan aspek psikososial dan gangguan jiwa.
Menurut Carson (2000), situasi yang tepat dari penerapan psikoedukasi
keluarga adalah:
1) Informasi dan latihan tentang area khusus kehidupan keluarga, seperti
latihan keterampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua yang
efektif.
2) Informasi dan dukungan terhadap kelompok keluarga khusus stress dan
krisis, seperti pada kelompok pendukung keluarga dengan penyakit
Alzheimer.
3) Pencegahan dan peningkatan seperti konseling pranikah untuk keluarga
sebelum terjadinya krisis.
Terapi
ini
juga
dapat

diberikan

kepada

keluarga

yang

membutuhkan pembelajaran tentang mental, keluarga yang mempunyai anggota


yang sakit mental/ mengalami masalah kesehatan dan keluarga yang ingin
mempertahankan kesehatan mentalnya dengan training/ latihan ketrampilan.
Family psychoeduction dapat dilakukan di rumah sakit baik rumah sakit
umum maupun rumah sakit jiwa dengan syarat ruangan harus kondusif. Dapat
juga dilakukan di rumah keluarga sendiri. Rumah dapat memberikan informasi
kepada tenaga kesehatan tentang bagaimana gaya interaksi yang terjadi dalam
keluarga, nilai nilai yang dianut dalam keluarga dan bagaimanan pemahaman
keluarga tentang kesehatan. Selain terapi keluarga, terdapat beberapa jenis terapi
lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dan klien
dimasyarakat yaitu dengan terapi individu, terapi kelompok dan terapikomunitas.
Intervensi tersebut diupayakan melalui penerapan program kesehatan jiwa
komunitas/masyarakat yang efektif yang dalam hal ini dilakukan melalui
penerapan Community Mental Health Nursing (CMHN). Pelayanan CMHN
tersebut diwujudkan melalui beberapa kegiatan, diantaranya kunjungan rumah
oleh perawat CMHN dan Kader Kesehatan Jiwa (KKJ), pendidikan kesehatan,
pelayanan dari Puskesmas (termasuk pemberian psikofarmaka), Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) dan Terapi Rehabilitasi (FIK UI & WHO, 2005).
Adapun intervensi yang dapat diberikan untuk keluarga
gangguan jiwa menurut CMHN (2005) adalah sebagai berikut :
1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien.
7

dengan

2) Berikan penjelasan pada keluarga tentang pengertian, etiologi, tanda dan


gejala, dan cara merawat klien dengan diagnosa keperawatan tertentu
(misalnya halusinasi, perilaku kekerasan)
3) Demonstrasikan cara merawat klien sesuai jenis gangguan yang dialami.
4) Berikan kesempatan pada keluarga untuk memperagakan cara merawat
klien yang telah diajarkan.
5) Bantu keluarga untuk menyusun rencana kegiatan di rumah.
6) Tindakan Terhadap Keluarga Dengan Pasung
Secara umum, program komprehensif dalam bekerjasama dengan keluarga
terdiri dari beberapa komponen berikut ini (Marsh, 2000 dalam Stuart & Laraia,
2005) :
a. Didactic component, memberikan informasi tentang gangguan jiwa dan
sistem kesehatan jiwa. Pada komponen ini, difokuskan pada peningkatan
pengetahuan bagi

anggota

keluarga

melalui

metode

pengajaran

psikoedukasi.
b. Skill component, menawarkan pelatihan cara komunikasi, resolusi
konflik, pemecahan masalah, bertindak asertif, manajemen perilaku, dan
manajemen stres. Pada komponen ini, difokuskan pada penguasaan dan
peningkatan keterampilan keluarga dalam merawat keluarga dengan
gangguan jiwa termasuk ketrampilan mengekspresikan perasaan anggota
keluarga sehingga diharapkan dapat mengurangi beban yang dirasakan
keluarga.
c. Emotional component, memberi kesempatan keluarga untuk ventilasi,
bertukar pendapat, dan mengerahkan sumber daya yang dimiliki. Pada
komponen ini, difokuskan pada penguatan emosional anggota keluarga
untuk mengurangi stress merawat anggota keluarga dengan gangguan
jiwa. Keluarga dapat saling menceritakan pengalaman dan perasaannya
serta bertukar informasi dengan anggota kelompok yang lain tentang
pengalaman merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
d. Family process component, berfokus pada koping keluarga dengan
gangguan jiwa dan gejala sisa yang mungkin muncul. Pada komponen
ini, difokuskan pada penguatan koping anggota keluarga dalam
menghadapi kemungkinan kekambuhan klien di masa depan.
e. Social component, meningkatkan penggunaan jaringan dukungan formal
dan informal. Pada komponen ini, difokuskan pada pemberdayaan
8

keluarga

dan

komunitas

untuk

meningkatkan

kerjasama

yang

berkesinambungan dan terus menerus.


Kelima komponen di atas sangat tepat diterapkan sebagai prinsip dasar
dalam menjalin kerjasama dengan keluarga dengan gangguan jiwa karena telah
mencakup semua hal yang diperlukan untuk sebuah kolaborasi antara keluarga
klien dengan tenaga kesehatan.
Menurut Stuart dan Laraia (2005), ada dua prinsip utama dalam terapi
keluarga yang membedakannya dari terapi individu atau kelompok dan terapiterapi yang lain, yaitu :
1) Keluarga diartikan sebagai sebuah sistem perilaku dengan berbagai
keunikan dibandingkan dengan karakteristik sejumlah individu anggota
keluarga.
2) Diasumsikan bahwa ada hubungan tertutup antara fungsi keluarga sebagai
suatu kumpulan dan adaptasi emosional dari individu anggota keluarga.
Dalam perkembangannya, terdapat berbagai jenis terapi keluarga dari
berbagai aliran. Meskipun demikian, secara umum tujuan dari terapi keluarga
adalah untuk meningkatkan ketrampilan individu, komunikasi, perilaku, dan
fungsi darikeluarga.
Varcarolis (2006) mengidentifikasi beberapa jenis terapi keluarga yang
berbasis pada insight-oriented family therapy dan behavioral family therapy.
Insight-oriented family therapy berfokus pada proses unconsciousness (bawah
sadar) yangmempengaruhi hubungan kebersamaan antar anggota keluarga dan
mendorong munculnya insight tentang diri sendiri dan anggota keluarga.
Berikut ini tiga jenis pendekatan terapi keluarga yang berfokus pada insightoriented family therapy yaitu :
1) Psychodinamic Therapy, dikembangkan oleh Ackerman et al dengan
dasar konsep perbaikan/peningkatan insight dalam menyikapi cara pandang
terhadap hubungan masalah yang terjadi di masa lalu.
2) Family-of-origin therapy, dikembangkan oleh Murray Bowen dengan
asumsi bahwa keluarga dipandang sebagai suatu sistem hubungan
emosional. Bowen percaya bahwa keluarga mempunyai pengaruh sangat
besar terhadap hidup seseorang. Setiap kali seseorang masuk dalam suatu
hubungan, pola-pola lama yang ada dalam keluarga sangat berpengaruh
terlebih jika individu mempunyai unfinished business dalam hubungan di
9

keluarga. Oleh karena itu, salah satu alat terapi Bowen adalah peta keluarga
(genogram) 3 generasi. Model Bowen ini kelak menjadi dasar konsep family
triangles.
3) Experimental-existensial therapy, dikembangkan oleh Virginia Satir et
al dengan konsep bahwa tujuan terapi adalah untuk meningkatkan
pertumbuhan keluarga dengan asumsi perlunya pemberdayaan keluarga
untuk memecahkan masalahnya sendiri. Menurut Satir, peran terapis adalah
membantu mengidentifikasi disfungsi pola komunikasi dalam keluarga.
Pencegahan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
a)
b)
c)
d)

Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE).


Kurasi (penyembuhan) dan rehabilitasi yang lebih baik.
Memanfaatkan sumber dana dari JPS-BK.
Penciptaan Therapeutic Community (lingkungan yang mendukung proses

penyembuhan ).
e) Salah satu kasus yang ditemukan melalui pendekatan CMHN adalah
tindakan pemasungan yang masih kerap dilakukan oleh keluarga klien
dengan

gangguan

jiwa.

Untuk

memberantas

praktek

tersebut,

diperlukan peningkatan kesadaran dan pengetahuan dari keluarga dan


masyarakat mengenai gangguan jiwa tentang cara penanganan yang
manusiawi terhadap klien.
Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan
perawat utama bagi klien. Oleh karenanya peran keluarga sangat besar dalam
menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Jika keluarga
dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu
anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga
merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota keluarga. Berdasarkan
penelitian ditemukan bahwa angka kekambuhan pada pasien tanpa terapi keluarga
sebesar 25 50 %, sedangkan angka kambuh pada pasien yang diberikan terapi
keluarga adalah sebesar 5 10 % (Keliat, 2006). Hal ini dapat disebabkan
kurangnya dukungan keluarga terhadap klien sehingga diharapkan dengan
meningkatkan dukungan keluarga melalui intervensi psikoedukasi keluarga dapat
mengurangi angka kekambuhan klien yang secara otomatis akan mengurangi
praktek pasung di masyarakat.
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang dapat membantu klien
dengan gangguan jiwa untuk beradaptasi dan meningkatkan kemampuannya
10

dalam masyarakat. Jika keluarga memiliki pengaruh yang positif pada


anggotanya, mereka akan mempunyai rasa dan pengakuan diri serta harga diri
yang

positif

danmenjadi

produktif

sebagai

anggota

masyarakat.

Pada

kenyataannya, keluarga sering merupakan faktor pencetus timbulnya masalah


kesehatan mental klien termasuk di dalamnya melakukan pengurungan
atau pemasungan terhadap klien yang dianggap berbahaya sebagai akibat sikap
keluarga yang tidak terapeutik terhadap klien dan kurangnya pengetahuan
mengenai peran serta keluarga serta ketidak mampuan memahami klien sehingga
tidak mampu mendukung dalam perawatan klien. Keluarga juga cenderung
menganggap penderita gangguan jiwa sebagai beban dari segi ekonomi dan aib
yang harus ditutupi dari pandangan masyarakat.
Keluarga merupakan perawat utama dan support system terbesar untuk
klien. Gangguan jiwa yang dialami klien akan menimbulkan berbagai respon dari
keluarga dan lingkungan, salah satunya berupa pemasungan yang dilakukan
olehkeluarga terhadap klien gangguan jiwa jika dianggap berbahaya bagi
lingkungan.Pemasungan yang dilakukan keluarga sangat dipengaruhi oleh
perilaku

keluarga

yang

diuraikan

menurut

teori Green

(1980) meliputi predisposing factor, enabling factor dan reenforcing factor.


a. Faktor predisposisi ( predisposing factor) Mencakup pengetahuan dan sikap
keluarga terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan keluarga terhadap
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan, sistem nilai yang
dianut keluarga, tingkat pendidikan keluarga dan tingkat sosial ekonomi
keluarga. Misalnya tradisi pasung yang dilakukan keluarga terhadap klien
gangguan jiwa didaerah pedesaan dapat dianggap sebagai warisan dari
nenek moyang. Perlakuan seperti ini dilatarbelakangi oleh pemahaman yang
sangat minim terhadap gangguan jiwa. Ditambah lagi dengan rendahnya
tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi keluarga yang secara tidak
langsung sangat mempengaruhi keluarga dalam memperlakukan klien
gangguan jiwa.
b. Faktor pemungkin (enabling factor ) Mencakup ketersediaan sarana dan
prasarana atau fasilitas kesehatan bagikeluarga, termasuk juga fasilitas
pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, RumahSakit Jiwa, ketersediaan
psikiater atau perawat jiwa yang mudah dijangkau oleh keluarga.
11

Pemasungan biasanya dilakukan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di


daerah pedesaan yang mempunyai jarak cukup jauh dari sarana pelayanan
kesehatan sehingga sulit dijangkau oleh tenaga kesehatan. Kesulitan dalam
mengakses sarana pelayanan kesehatan semakin menguatkan perilaku
keluarga dalam melakukan tindakan negatif terhadap klien gangguan jiwa
seperti pemasungan atau pengurungan untuk mencegah terjadinya hal-hal
yang tidak diinginkan bila sewaktu-waktu klien mengalami kekambuhan.
c. Faktor penguat (reenforcing factor) Mencakup sikap dan perilaku tokoh
masyarakat dan petugas kesehatan serta adanya undangundang dan
peraturan pemerintah. Sikap masyarakat dan lingkungan keluarga sangat
berpengaruh terhadap proses rehabilitasi dan pencegahan kekambuhan klien
gangguan jiwa. Pemasungan yang dilakukan keluarga biasanya juga
mendapat dukungan dari masyarakat karena kurangnya pengetahuan
lingkungan tentang gangguan jiwa. Selain itu, diperlukan juga peraturan
pemerintah yang mengatur tentang kemudahan penggunaan fasilitas
kesehatan bagi keluarga dan masyarakat. Pemasungan merupakan tindakan
yang dilakukan keluarga yang dipengaruhi oleh beberapa hal. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, ketiga faktor di atas turut mempengaruhi keluarga
dalam melakukan pemasungan.Konsep keluarga diuraikan melalui beberapa
aspek yaitu kemampuan, fungsi, peran, tugas dan karakteristik keluarga.
Semua faktor tersebut mempengaruhi kemampuan keluarga dalam merawat
klien gangguan jiwa.
Dampak dari tindakan pemasungan merupakan salah satu bentuk
pelanggaran hak asasi tersebut adalah masih adanya praktek pasung yang
dilakukan keluarga jika ada salah satu anggota keluarga yang mengidap gangguan
jiwa. Pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada
tangan atau kaki seseorang, diikat atau dirantai lalu diasingkan pada suatu tempat
tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan.
1) Secara tidak sadar keluarga telah memasung fisik dan hak asasi penderita
hingga menambah beban mental dan penderitaannya.
2) Tindakan tersebut mengakibatkan orang yang terpasung tidak dapat
menggerakkan

anggota

badannya

dengan

bebas

sehingga

terjadi

atrofi.Tindakan ini sering dilakukan pada seseorang dengan gangguan jiwa


12

bilaorang tersebut dianggap berbahaya bagi lingkungannya atau dirinya


sendiri (Maramis, 2006).
2.2

Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Bagi Penyandang Skizofrenia


Kondisi kesehatan jiwa di Indonesia dari data hasil Riskesdas 2013

menunjukkan terdapat 0,17 % penduduk Indonesia yang mengalami gangguan


mental berat (skizofrenia) atau secara absolut terdapat 400.000 jiwa lebih
penduduk. Pemenuhan hak atas kesehatan bagi penyandang skizofrenia memiliki
kaitan erat dengan kewajiban hak asasi manusia. Pasal 9 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa (1) Setiap orang
berhak

untuk

hidup,

mempertahankan

hidup

dan

meningkatkan

taraf

kehidupannya; (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera lahir dan batin; (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Namun banyak penyandang skizofrenia belum mendapat tempat yang
layak untuk mempertahankan hak-haknya sebagai manusia dan untuk memulihkan
dirinya. Ketiadaan aturan hukum, rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan
pemahaman terhadap gejala gangguan kejiwaan, serta keterbatasan ekonomi
merupakan faktor yang mendeterminasi munculnya kejadian pasung.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pemenuhan hak atas
kesehatan bagi penyandang skizofrenia, mengidentifikasi kendala pemenuhan hak
atas kesehatan bagi penyandang skizofrenia dan mengidentifikasi bentuk
pelanggaran hak asasi manusia apa saja yang dihadapi penyandang skizofrenia.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi literatur dan studi
lapangan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam.
Hasil Penelitian menunjukkan sudah ada peraturan daerah dalam melindungi
penyandang skizofrenia berupa Peraturan Gubernur Nomor 81 Tahun 2014
tentang

Pedoman

Penanggulangan

meningkatkan edukasi

tentang

Pemasungan

kesehatan

yang

jiwa, dan

bertujuan

untuk

untuk penanganan

gelandangan psikotik telah mempunyai Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang


Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Pelayanan kesehatan jiwa telah
menggunakan penerapan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat dengan
menggunakan kader jiwa untuk turun ke lapangan mengidentifikasi penyandang
13

skizofrenia di wilayahnya. Kendala upaya pemenuhan hak atas kesehatan bagi


penyandang skizofrenia kondisi ini tidak lain karena pemerintah daerah juga
minim perhatian terhadap isu kesehatan jiwa. Hal ini salah satunya dibuktikan
dengan hampir tidak tersedia anggaran khusus yang memadai tentang kesehatan
jiwa di pemerintah daerah. Masih diketemukan indikasi pelangggaran dan
pembiaran terhadap penyandang skizofrenia yang terlantar di panti-panti.Oleh
karena itu, pemerintah harus memberikan jaminan hak penyandang skizofrenia
untuk terbebas dari perbuatan di luar kemanusiaan, penyiksaan, dan hukuman
kejam lainnya.
Dalam upaya pemenuhan hak atas kesehatan penyandang skizofrenia,
terdapat hambatan atau permasalahan yaitu masih minimnya layanan kesehatan
dasar di puskesmas, sehingga upaya ketersediaan dalam perlindungan dan
pemenuhan terkait dengan sarana dan prasana, seperti obatan-obatan, transportasi,
kesehatan gratis, petugas kesehatan masih terbatas. Permasalahan lain adalah
tenaga medis sering dihadapkan pada budaya masyarakat setempat yang masih
percaya akan hal-hal yang gaib, pendanaan untuk biaya pengobatan menyebabkan
penyandang skizofrenia kurang mendapatkan pelayanan kesehatan secara
maksimal dan belumnya semua kabupaten/ kota memiliki panti yang menampung
ekspsikotik untuk rehabilitasi dan pembinaan mengingat pasien ekspsikotik belum
siap untuk dikembalikan ke lingkungan keluarga dan masyarakat. Terkait dengan
adanya pelanggaran HAM bagi penyandang skizofrenia yang meninggal dunia di
panti

rehabilitasi

dan

jalanan

sebagai

gelandangan

psikotik,

hal

ini

menidentikasikan adanya unsur pengabaian yang dilakukan aparat pemerintah


sehingga terjadi kekerasan fisik/non fisik dan penganiayaan yang dialami
penyandang skizofrenia.
Pemasungan terhadap orang dengan masalah kejiwaan dan gangguan jiwa
bertentangan dengan peraturan perundang undangan. Pasung adalah alat untuk
menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang. Dipasangkan pada
kaki, tangan, atau leher. Memasung adalah membelenggu seseorang dengan
pasung pada kaki, tangan, atau leher, memasukkan ke dalam kurungan, dan
membatasi ruang gerak (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Pada laporan Paripurna
pengesahan Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Menteri kesehatan, Nafsiah Mboi
14

menyatakan bahwa berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,


pada penduduk di atas usia 50 tahun dijumpai prevalensi Orang dengan Gangguan
Jiwa Ringan (ODGJR) berjumlah 6% atau sekitar 16 juta orang. Sedangkan
prevalensi Orang dengan Gangguan Jiwa Berat (ODGJB) 1,72 per seribu atau
sekitar 400 ribu orang, 14,3% atau sekitar 57 ribu orang dengan Gangguan Jiwa
Berat pernah dipasung oleh keluarga.

Pemasungan tersebut terjadi karena

penderita sering mengamuk dan membahayakan lingkungan serta keluarga, selain


itu juga disebabkan oleh minimnya pengetahuan keluarga tentang larangan
pemasungan. Pemasungan dalam perundang- undangn di Indonesia
1. Bertentangan dengan pasal 28G ayat 2 menyatakan pemasungan
merupakan salah satu bentuk penyiksaan karena orang yang dipasung
dirampas kebebasannya dan merasakan sakit baik fisik maupun psikis
2. Bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 menguraikan tentang hak orang agar
tidak disiksa dan tidak dirampas kemerdekaan pikiran dan hati nuraninya,
dalam hal ini orang yang dipasung tentu saja merasa tersiksa dan terampas
kemerdekaan pikiran dan hati nuraninya.
3. Bertentangan dengan Undang-undan no 39 tahun 1999 dalam UU tersebut
orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa
dianggap sebagai cacat mental maka mereka berhak memperoleh
perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya Negara,
sehingga tidak seharusnya orang dengan masalah kejiwaan dan orang
dengan gangguan jiwa dipasung.
4. Bertentangan dengan Undang-undang No 36 tahun 2009 pasal 147
tindakan pemasungan bukan merupakan upaya penyembuhan serta bukan
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan tentu saja melanggar
hak asasi manusia. Seharusnya untuk merawat penderita ganguan
kesehatan jiwa digunakan fasilitas kesehatan khusus yang memenuhi
syarat bukan dipasung.
5. Bertentangan dengan Undang-undang No 36 tahun 2009 pasal 148 ayat 1
orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa
mempunyai hak yang sama sebagai warga negara sehingga bebas dari
pemasungan.
15

6. Bertentangan dengan Undang-undang No 36 tahun 2009 pasal 149 orang


dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jwa yang
seharusnya tidak dipasung tetapi wajib mendapatkan pengobatan dan
perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
7. Bertentangan dengan rancangan Undang-undang DPR RI tanggal 8 Juli
2014
a. Pasal 3 : tujuan upaya kesehatan memberikan perlindungan dan
menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi OMDK (orang dengan
masalah kejiwaan) dan ODGJ (orang dengan gangguan jiwa)
berdasarkan hak asasi manusia karena pemasungan jelas bertentangan
dengan hak asasi manusia,
b. Pasal 7 : upaya promotif kesehatan jiwa diharapkan dapat
menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ
yang sering terjadi di masyarakat salah satunya dengan pemasungan.
c. Pasal 8 : seharusnya upaya promotif kesehatan jwa di lingkungan
keluarga dilaksanakan dalam bentuk pola asuh dan pola komunikasi
dalam keluarga yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan
jiwa yang sehat.
d. Pasal 13 : Upaya preventif dilingkungan keluarga adalah
1.pengembangan pola asuh yang mendukung pertumbuhan dan
perkembangan jiwa;
2.komunikasi, informasi, dan edukasi dalam keluarga; dan
3. kegiatan lain sesuai denan perkembangan masyarakat.
e. Pasal 22 : tenaga kesehatan yang berwenang dapat melakukan tindakan
medis atau pemberian obat sesuai standar pelayanan kesehatan jiwa
terhadap ODGJ yang membahayakan dirinya, orang lain, atau
sekitarnya tidak dengan memasung ODGJ.
f. Pasal 68 : menyatakan bahwa OMDK berhak mendapatkan pelayanan
kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah
dijangkau dan mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa sesuai dengan
standar pelayanan kesehatan jiwa

16

g. Pasal 70 : ODGJ berhak mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa di


fasilitas pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau, mendapatkan
pelayanan kesehatan jiwa sesuai dengan standar pelayanan kesehatan
jiwa
h. Pasal 81 : maka ODGJ yang terlantar, menggelandang, mengancam
keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu
ketertiban dan/atau keamanan umum wajib untuk direhabilitasi oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pengaturan ini juga mencegah
agar ODGJ tidak berkeliaran dan membahayakan orang lain ataupun
diri ODGJ. Hal ini berlaku bagi ODGJ yang tidak mampu, tidak
mempunyai keluarga, wali atau pengampu; dan/atau tidak diketahui
keluarganya.
Pemasungan bertentangan dengan ketentuan Peraturan perundangundangan karena pengaturan mengenai larangan pemasungan terhadap
orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jwa
sebenarnya telah lengkap diatur dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia hanya penegakannya yang masih perlu ditingkatkan.
Kemudian perlu adanya kerjasama masyarakat dengan pemerintah
untuk menghindari terjadinya pemasungan terhadap orang dengan
masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa yang seharusnya
dilindungi.

2.3

Hukum yang Memuat tentang Pasung


Human Right Watch (2016) mendefinisikan bahwa pasung adalah satu

bentuk pengekangan yang secara tradisional dipakai di Indonesia, tanpa akses


pada perawatan kesehatan jiwa dan layanan pendukung lain, untuk membatasi
orang yang dianggap atau mengalami disabilitas psikososial di dalam atau di luar
rumah. Pengekangan ini berupa mengikat orang atau menguncinya di kamar,
gudang, atau kurungan atau kandang hewan (termasuk kandang ayam, kandang

17

babi, atau kandang kambing) selama beberapa jam tapi bisa pula berhari-hari
hingga bertahun-tahun.
Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah dua kali melakukan gerakan
melarang pemasungan. Pertama pada tahun 1977 dan yang kedua pada tahun
2014, dengan meluncurkan gerakan Indonesia bebas pasung. Akan tetapi praktik
pasung ini terus saja terjadi, berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,
Kementerian Kesehatan mencatat setidaknya sebanyak 57 ribu orang pernah
dipasung oleh keluarganya.
Berdasarkan data Human Right Watch (HRW), di Indonesia ada 57.000
orang dengan kelainan mental yang hidup dalam pasung ataupun kerangkeng.
Namun data dari pemerintah menyebutkan 18.000. orang. Pada tahun 2014,
pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No 18 Tahun 2014 tentang
kesehatan jiwa pasal 86 yang menyatakan Tindakan pemasungan terhadap ODGJ
adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kementerian Sosial juga
mencanangkan Indonesia Bebas Pasung 2017. Target Indonesia bebas pasung bisa
dicapai jika para pemangku kepentingan (pemerintah, keluarga dan masyarakat,
penegak hukum, dan pegiat kesehatan jiwa) bekerjasama menangani penderita
sakit jiwa. Sudah selayaknya kita bersama memperlakukan mereka seperti kita
ingin diperlakukan oleh orang lain.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 333 menyatakan
juga dalam salah satu pasanya menyatakan barang siapa dengan sengaja dan
melawan hukum, merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan
kemerdekaan yang demikian diancam dengan pidana penjara yang paling lama
delapan tahun. Hukuman akan bertambah bila kemudian menimbulkan luka-luka
bahkan kematian. Adanya jaminan undang-undang mengharuskan setaip ODGJ
mendapat pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan dan tidak
dipasung karena pemasungan merupakan pelanggaran atas hak pengobatan dan
juga merupakan bentuk kekerasan terhadap ODGJ.
Untuk menghentikan tindakan pemasungan, diperlukan dukungan dan
perhatian dari semua lapisan masyarakat. Sesuai surat Menteri Dalam Negeri
18

No.PEM.29/6/15, Pemerintah Daerah (Pemda) di Indonesia diperintahkan


melarang masyarakat melakukan pemasungan dan menindak tegas kepada pelaku
pemasungan terhadap penderita jiwa. Upaya pembebasan dari tindakan
pemasungan itu sejalan dengan UU N0.36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang
mengatur upaya kesehatan jiwa untuk menjamin seseorang dapat menikmati
kehidupan kejiwaan yang sehat termasuk bebas dari ketakutan, tekanan dan
gangguan lainnya yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan jiwa.
2.4 Polemik Pasung di Indonesia dilihat dari Faktor Dominan

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental yang sejahtera yang


memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari
kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia
(UI, 2010). Seseorang yang kesehatan jiwanya tidak terjaga dapat menderita
gangguan jiwa. Salah satu gangguan jiwa berat terbanyak adalah skizofrenia.
Penderita skizofrenia mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang lain,
menarik diri dari aktivitas sehari-hari dan berhenti dari pekerjaan. Kondisi pasien
skizofrenia yang tidak ditangani dengan baik tersebut menyebabkan dilakukannya
pemasungan

(Pustaka Unpad, 2015). Fenomena gangguan jiwa saat ini

mengalami peningkatan yang sangat tinggi dan mengalami peningkatan setiap


tahunnya diberbagai belahan dunia. Berdasarkan data dari WHO (2015)
menyatakan bahwa sekitar 450 juta orang didunia mengalami gangguan jiwa satu

19

dari empat orang di dunia menderita masalah mental dan hal ini merupakan
masalah yang serius.
Di Indonesia berdasarkan hasil RISKESDAS (2013) dinyatakan bahwa
prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 permil. Gangguan
jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa
Tengah. Proporsi RT yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat 14,3
persen dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta
pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%).
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0persen.
Provinsi dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.

Dari gambaran di atas terlihat bahwa secara Nasional terdapat 0,17 %


penduduk Indonesia yang mengalami Gangguan Mental Berat (Skizofrenia) atau
secara absolute terdapat 400 ribu jiwa lebih penduduk Indonesia. Prevalensi
tertinggi terdapat di Provinsi Jogjakarta dan Aceh sedangkan yang terendah di
Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu gambaran diatas juga menunjukkan kalau
ada 12 Provinsi yang mempunyai prevalensi gangguan jiwa berat melebihi angka
Nasional.

20

Diagram di atas menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi GME terdapat


pada Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 11,6 % sedangkan terendah di Provinsi
Lampung 1,2% dari penduduk di Provinsi tersebut. Disamping itu terdapat 9
provinsi yang mempunyai prevalensi GME melebihi angka Nasional. Secara
jumlah absolute dapat dilihat pada tabel di atas. Dimana jumlah terbanyak
terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa timur yang lebih dari 1
juta jiwa.
Proporsi rumah tangga dengan ART gangguan jiwa berat yang pernah
dipasung dihitung terhadap 1.655 rumah tangga dengan penderita gangguan jiwa
berat. Metode pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional
(menggunakan kayu atau rantai pada kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan
lain yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran
yang menyertai salah satu metode pemasungan. Proporsi RT yang pernah
memasung ART gangguan jiwa berat sebesar 14,3 persen dan terbanyak pada RT
di perdesaan.
PEMASUNGAN masih terus terjadi di tanah air meskipun praktik tersebut
telah dilarang oleh pemerintah semenjak tahun 1977. Orang yang mengalami
gangguan kejiwaan dianggap sebagai orang yang tidak lagi punya harapan untuk
menjalani kehidupan secara normal. Tidak jarang mereka diperlakukan lebih
parah daripada seekor binatang. Tidak jarang pula mereka dipasung oleh keluarga
dan masyarakat sekitar karena dianggap dapat membahayakan dan mengganggu
ketentraman warga lainnya. Begitu pula untuk diwilayah jawa Barat, kasus
21

pemasungan yang dilakukan terhadap penderita gangguan jiwa hingga saat ini
masih terjadi dilakukan. Demikian dikemukakan Teddy Hidayat., SpKJ (K),
Kepala Bagian Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS).
Menurut Teddy, berdasarkan data yang dihimpun selama tahun 2013, penanganan
masalah gangguan jiwa, khususunya permasalahan pasung masih terjadi di hampir
kota dan kabupaten di Jawa Barat. Alasan keluarga melakukan pemasungan
terhadap anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa untuk keamanan,
baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Selain itu mereka dipasung karena
alasan putus minum obat, tidak punya biaya untuk berobat, tempat tinggal yang
jauh dari fasilitas kesehatan.
Hasil penelitian yang dimuat di di rubrik Wacana Harian Pikiran Rakyat
tanggal 19 April 2016 oleh peneliti di CEDS Unpad dan SDGs Center Unpad
menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama kenapa praktik pasung masih
terus terjadi di tanah air yaitu :
1) Rendahnya pemahaman masyarakat tentang gangguan kesehatan jiwa.
Kita cenderung menganggap bahwa orang dengan gangguan kejiwaan
adalah sebuah kutukan yang tidak dapat diobati. Disamping itu, stigma
negatif dari masyarakat juga membuat keluarga korban lebih memilih
memasung mereka karena hal ini adalah suatu aib bagi keluarga.
2) Minimnya pengetahuan masyarakat ini juga berakibat dengan rendahnya
akses informasi masyarakat ke akses pengobatan profesional. Banyak
keluarga pasien yang memilih berobat kepada para dukun dan kiai karena
anggapan bahwa gangguan kejiwaan ini akibat dari kerasukan roh jahat
dan setan. Tidak jarang pengobatan ini dilakukan dengan merantai korban
dan kemudian menjalani berbagai ritual tradisional lainnya seperti merapal
ayat suci, dan mandi malam. Ketika para dukun dan kiai tidak berhasil
mengeluarkan roh jahat tersebut, akhirnya keluarga pasien mulai
mengekang korban dirumahnya. Disinilah praktik pasung tersebut
bermula.

22

3) Minimnya akses terhadap layanan kesehatan jiwa professional dibidang


kejiwaan. Diah Setia Utami, Direktur Kesehatan Jiwa, Kementerian
Kesehatan (Global Mental Health, 2013) menyebutkan bahwa Rumah
Sakit Jiwa di Indonesia hanya tersedia di 27 provinsi dengan kapasitas
7,700 kasur. Disamping itu, terdapat juga kekurangan tenaga medis
kejiwaan, sehingga lebih banyak ditangani oleh para relawan. Tentunya
angka statistik tersebuh masih jauh dari cukup.

2.5

Stigma terhadap Penderita Gangguan Jiwa


Penderita gangguan jiwa seringkali mendapat stigma dari lingkungan

sekitarnya. Stigma tersebut melekat pada penderita sendiri maupun keluarganya.


Beberapa orang percaya bahwa gangguan jiwa merupakan hasil dari pilihanpilihan yang buruk, dalam penelitian Tyas (2008), Wardhani, dkk (2011) dan
Colucci (2013) disebutkan bahwa gangguan jiwa terjadi akibat sebab supranatural
dan ada pula yang mempercayai akibat keturunan dari orang tua atau kerabat
terdekatnya. Stigma terhadap penderita gangguan jiwa akan semakin kompleks
apabila penanganannya tidak berlanjutan. Sikap pasrah keluarga penderita
gangguan jiwa, yang membiarkan penderita gangguan jiwa untuk dipasung karena
tidak ada biaya untuk pengobatan lebih lanjut. Pemilihan untuk memasung
penderita gangguan jiwa beralasan agar keluarga bisa lebih dapat mengawasi
penderita supaya tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain. Selain itu rasa malu
yang ditanggung oleh keluarga merupakan stigma yang dibuat sendiri oleh
keluarga terhadap anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Sehingga
bantuan dari lingkungan sekitar untuk mengobati penderita tidak diperhatikan
lagi. Rasa malu tersebut menyebabkan keluarga penderita gangguan jiwa menutup
diri dari lingkungan.
Stigma pada penderita gangguan jiwa berat menyangkut pengabaian,
prasangka dan diskriminasi. Pengabaian merupakan masalah pengetahuan dari
masyarakat terkait gangguan jiwa itu sendiri. Prasangka merupakan masalah dari
sikap, baik itu dari penderita yang mengarah pada stigma diri maupun dari
masyarakat yang menimbulkan stigma terhadap penderita gangguan jiwa.
23

Sedangkan diskriminasi merupakan masalah dari perilaku, baik itu dari penyedia
layanan penanganan kesehatan jiwa maupun dari masyarakat terhadap penderita
gangguan jiwa berat (Thornicroft, et al, 2008).
Penderita gangguan jiwa dan gangguan mental emosional adalah umum
terjadi, namun 1/3 dari mereka yang membutuhkan penanganan memandang
sebagai ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi yang akan didapat. Dalam
kasus pasung pada beberapa penelitian yang dikaji menunjukkan bahwa penderita
gangguan jiwa berat yang dipasung adalah pasien dropout dari pelayanan
kesehatan jiwa atau RSJ. Keluarga penderita sudah pernah membawa penderita
beberapa kali mengunjungi RSJ, keluarga menganggap tidak ada kemajuan yang
berarti atas kesembuhan penderita dan melakukan pasung sebagai alternatif
terakhir dari usaha menyembuhkan penderita. Pasung sebagai usaha penarikan diri
secara sosial dari penderita dan keluarga atas hal yang menyebabkan kesulitan
yang ditimbulkan di lingkungan sekitar akibat menderita gangguan jiwa berat.
Menurut Sherman (2007), efek dari stigma dan penarikan diri secara sosial
memiliki dampak yang lebih besar kepada individu daripada menderita gangguan
jiwa itu sendiri. Keluarga juga terkena dampak stigma dan kemungkinan
dipersalahkan karena menyebabkan atau berkontribusi terhadap gangguan jiwa
yang diderita anggota keluarganya.
Reaksi masyarakat sangat dipengaruhi oleh kejadian penderita gangguan
jiwa yang sedang kambuh dan tidak mendapat penanganan yang benar secara
medis. Hal ini mendorong masyarakat memiliki persepsi bahwa orang dengan
gangguan jiwa melakukan kekerasan, perusakan, dan tidak terkendali. Masyarakat
sebagian besar masih kurang informasi tentang proses penyakit gangguan jiwa
berat, dan banyak yang membayangkan bahwa penderita gangguan jiwa
kehilangan pikiran mereka secara permanen dan lebih baik dilakukan
pemasungan. Bahkan ketika dalam keadaan baik, tanpa adanya penyimpangan
perilaku penderita gangguan jiwa berat mungkin menemukan dirinya dijauhi atau
dicemooh. Tak dapat disangkal, penderita gangguan jiwa berat ada yang tetap
sakit dan cacat. Namun, ada juga yang terkontrol secara medis, dan mereka tidak
melakukan gangguan di lingkungan sekitarnya, tetapi masih mengalami
diskriminasi sosial dan penolakan akibat dari stigma.
24

2.6

Pengalaman Keluarga dalam Pemenuhan Kebutuhan Perawatan Diri


pada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
Ada 12 tema dari hasil penelitian terkait pemenuhan kebutuhan pada ODGJ

sebagai berikut:
1) Makan
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari makan di dapat dari sub waktu
pemberian makan, variasi makanan, porsi makan, dan cara makan.
2) Udara
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari udara di dapat dari sub cara
memenuhi kebutuhan udara dengan kategori dibawa keluar dari tempat
pemasungan, membawa ODGJ keluar dari tempat pemasungan.
3) Mandi
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari mandi didapat dari sub waktu
mandi, cara mandi, tempat mandi, dan masalah ketika tidak terpenuhi
kebutuhan. Untuk sub mandi di atas rata-rata ODGJ untuk kebutuhan
mandi dilakukan sendiri oleh mereka dengan dibantu instruksi dari
anggota keluarga yang menjaga. Yang tidak terpenuhi biasanya bagi yang
memiliki rambut panjang dan bau.
4) Cukur rambut
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari cukur rambut didapat dari sub
di dapat dari sub waktu cukur rambut dilihat dari panjangnya, kalau
panjang di gunting kalau pendek tidak di gunting.
5) Berpakaian
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari berpakaian didapat dari sub
kebutuhan pakaian, jenis pakaian,dan cara berpakaian. Permasalahan dari
berpakaian
6) Eliminasi
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari eliminasi didapat dari sub
waktu BAB dan cara membuang kotoran. Dan ODGJ biasanya tempat
BAB biasanya dilakukan di tempat itu.
7) Istirahat dan tidur
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari istirahat dan tidur didapat dari
sub tema waktu istirahat dan tidur. Kebanyakan dari ODGJ memilki waktu
tidur yang lama.
8) Minum dan interaksi sosial
25

Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari minum didapat dari sub tema
waktu minum dan porsi minum. Porsi minum dan makan bisa sama pada
ODGJ. Pemenuhan kebutuhan perawatan diri:dari interaksi sosial didapat
dari subtema kemapuan berbicara.
9) Ketidakmampuan pemenuhan tugas perkembangan ODGJ
Ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan perawatan

diri:

dari

Ketidakmampuan pemenuhan tugas perkembangan ODGJ didapatkan dari


sub tema ketidakmampuan dalam membentuk keluarga,
10) Pelaksanaan pemasungan pada ODGJ
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari pelaksanaan pemasungan pada
ODGJ didapat dari sub tema cara pemasungan dan biaya pemasungan
11) Pelaksanaan upaya pengobatan pada ODGJ
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari pelaksanaan upaya pengobatan
pada ODGJ dari sub tema pengobatab professional, pengobatan non
professional, dan penanganan sendiri.
Teori self-care Orem menyebutkan bahwa Universal self care requisites
terbagi atas delapan kebutuhan perawatan diri antara lain pemeliharaan udara,
air/cairan, makanan, proses eliminasi, keseimbangan antara aktivitas dan istirahat,
keseimbangan antara kesendirian dan interaksi sosial, pencegahan bahaya bagi
kehidupan, fungsi, dan kesejahteraan manusia, serta upaya meningkatkan fungsi
dan perkembangan individu dalam kelompok sosial sesuai dengan potensi,
ketebatasan, dan keinginan untuk normal.
Pengalaman keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri pada
ODGJ dengan dipasung terdapat dua belas tema penelitian yaitu tentang
pemenuhan kebutuhan perawatan diri: makan, udara, mandi, cukur rambut,
berpakaian, eliminasi Buang Air Besar (BAB), istirahat dan tidur, minum,
interaksi sosial, tentang ketidakmampuan dalam pemenuhan tugas perkembangan
ODGJ pelaksanaan pemasungan pada ODGJ dan pelaksanaan upaya pengobatan
pada ODGJ. ODGJ dapat dicegah dan diatasi melibatkan peran aktif semua pihak,
yaitu melatih keterampilan keluarga dalam menangani ODGJ yang mengalami
masalah penyimpangan kesehatan dengan cara membawa ke pelayanan kesehatan
dan membentuk kader dari kelompok masyarakat yang sudah dibentuk untuk
penemuan kasus kejiwaan yang ada dimasyarakat dan masyarakat dan keluarga
26

diharapkan keluarga dapat meningkatkan rasa kepedulian pada ODGJ dengan


pasung dalam hal pemenuhan kebutuhan perawatan diri.
2.7

Budaya Pasung dan Dampak Yuridis Sosiologis


Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan social

yang terlibat dari hubungan interpersonal yang memuaskan,perilaku dan koping


yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional (Johnson,1997,
dalam Vedebeck, 2008). Menurut U.S. Department Of Health (1999, dalam
Varcarolis, 2006) kesehatan jiwa didefinisikan sebagai suatu keberhasilan
pencapaian fungsi mental, mampu untuk beraktifitas secara produktif menikmati
hubungan dengan orang lain dan menerima perubahan atau mampu mengatasi hal
yang tidak menyenangkan dimana individu dengan mental yang sehat memiliki
kapasitas berpikir rasional, ketrampilan berkomunikasi, belajar, pertumbuhan
emosional, kemampuan bertahan,dan harga diri.Menurut American Psychiatric
Assosiaton (2000, dalam Varcarolis, 2006) gangguan jiwa didefinisikan sebagai
suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang
terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distess dan disabilitas atau
disertai peningkatan risiko kematian yang menyakitkan, nyeri, disabilitas atau
kehilangan kebebasan.
Pasung adalah suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada tangan
dan atau kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat
tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan. Pemasungan bisa diartikan sebagai
segala tindakan yang dapat mengakibatkan kehilangan kebebasan seseorang
akibat tindakan pengikatan dan pengekangan fisik walaupun telah ada larangan
terhadap pemasungan. Penyebab Tindakan Pemasungan Banyak alasan mengapa
keluarga harus memasung, antara lain Mengganggu orang lain atau tetangga,
Membahayakan dirinya sendiri, Jauhnya akses pelayanan kesehatan, Tidak ada
biaya, Ketidakpahaman keluarga dan masyarakat tentang gangguan jiwa.
Penelitian ini menggunakan data intervensi semu untuk mengetahui
pemahaman keluarga pasung terhadap pemasungan, mengetahui faktor penyebab
dan karakteristik korban pasung. Penelitian ini juga mengukur tingkat

27

kemandirian perawatan diri pada klien yang sudah lepas pasung dan yang masih
dipasung di Kabupaten Wonogiri.
Populasi penelitian ini adalah suluruh keluarga klien dengan pasung baik
yang sudah dilepaskan maupun yang masih dipasung yang masih berdomisili di
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Data terakhir yang didapatkan Dinkes
Kabupaten Wonogiri terdapat 92 keluarga yang pernah melakukan pemasungan
terhadap anggota keluarganya yang mengalami pemasungan. Pada penelitian ini
diterapkan total sampling dimana yang menjadi sampel adalah semua anggota
dengan anggota keluarga yang pernah dipasung dan yang nasih dipasung.
Penelitian Magliano tersebut mendukung hasil penelitian ini yang
menemukan bahwa rata-rata usia keluarga klien pasung 50.3 tahun dan mayoritas
adalah orang tua klien. Menurut peneliti hal ini karena keluarga merupakan orang
terdekat dari klien yang merasakan beban dari semua aspek karena keluarga yang
merawat klien dengan gangguan jiwa tersebut.
Penelitian ini sesuai dengan pernyataan Redman (1993, dalam Potter,
2005) yang menyatakan pendidikan lebih tinggi akan memberikan pengetahuan
yang lebih besar sehingga menghasilkan kebiasaan mempertahankan kesehatan
yang lebih baik. Pada waktu individu menyadari tentang kesehatannya mereka
cenderung mencari pertolongan secepatnya guna mengatasi masalah yang
dihadapi. Sejumlah studi mengidentifikasi pentingnya pendidikan sebagai sumber
koping dan pencegahan terhadap gangguan jiwa, bahkan dikatakan pendidikan
lebih bermakna daripada tingkat penghasilan dalam menentukan penggunaan
fasilitas kesehatan jiwa.
Dampak Sosiologis Dan Yuridis Pemasungan di Wilayah Kabupaten
Wonogiri dengan cara pemasungan secara tidak sadar keluarga telah memasung
fisik dan hak asasi penderita hingga menambah beban mental dan penderitaannya.
Ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang tidak
kunjung sembuh, tidak adanya bisaya pengobatan dan tindakan keluarga untuk
mengamankan lingkungan merupakan penyebab masyarakat Kabupaten Wonogiri
melakukan pemasungan. Dari sampel 28 orang klien yang dikunjungi didapatkan
3 penderita pasung dari Kecamatan Ngadirojo 1 orang, Kecamatan Baturetno 1
orang dan Kecamatan Tirtomoyo 1 orang. Tindakan kejam dan tidak
28

berperikemanusiaan ini sangat bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia


bahkan untuk seorang klien gangguan jiwa yang notabene juga seorang manusia
dengan segala hak dasar yang dimilikinya.Salah satu rumah klien yang telah
dikunjungi

didapatkan

klien

yang

meninggal

sewaktu

masih

dalam

pengekangan.Praktek tersebut membangkitkan perhatian terhadap hak asasi


manusia. Pernyataan diatas sesuai dengan kondisi yang sering dialami oleh klien
gangguan jiwa di Kabupaten Wonogiri tentang peraturan yang berhubungan
dengan penderita gangguan jiwa dan hak-hak mereka.Untuk menghapus praktek
pasung diperlukan kolaborasi dan kerjasama multisektoral, serta diberlakukannya
sanksi hukum yang terhadap pelaku praktek pasung untuk membangkitkan
kesadaran dan pengertian masyarakat.
2.8

Perilaku Pemasungan pada Pasien Gangguan Jiwa


Fenomena yang ditemukan di lapangan, seseorang dengan ketidakmampuan

mental dan emosional sering menghadapi stigma dan diskriminasi. Stigma


terhadap ketidakmampuan ini tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif
terhadap penderitanya tetapi juga bagi anggota keluarga, meliputi sikap-sikap
penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi. Pengekangan tehadap klien
gangguan membuat pasien gangguan jiwa tidak mendapatkan pertolongan yang
segera berkaitan dengan sakit medis fisiknya. Terlambat mendapatkan pertolongan
berkibat kepada buruknya harapan sembuh pada pasien dan menurunkan kuaitas
hidunya. Ketidaktepatan pengobatan oleh keluarga diakibatkan oleh kurannya
pengetahuan keluarga tentang cara merawat pasien dengan gangguan jiwa.
Hasil penelitian ini menyebutan bahwa yang mempengaruhi perilaku pasung
adalah:
1) Keyakinan gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan dan perawatan di
rumah sakit tidak menyelesaikan masalah, hal ini stigma yang dimiliki
keluarga.
2) Sosial ekonomi kurang, tidak memiliki asuransi kesehatan, tidak memiliki
kelengkapan administrasi kependudukan dan masyarakat mendukung
tersedianya sarana untuk pemasungan. Alasan keluarga melakukan
pemasungan adalah merusak lingkungan, melukai orang lain, risiko
membunuh,

keluyuran

dan

menganggu

kenyamanan

lingkungan.

Perawatan yang dilakukan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa dengan


29

pemasungan

dalam

penelitian

ini

adalah

memberikan

makan,

memandikan, kebersihan lingkungan dan kebersihan diri pasien kurang.


Tindakan keperawatan yang perlu diperhatikan pada pasien gangguan jiwa
terutama kebutuhan pengobatan, memperhatikan kebutuhan perawatan diri
dan melatih kemandirian secara bertahap.
3) Perlu edukasi kepada keluarga tentang kesehatan jiwa dan perawatan
pasien gangguan jiwa dirumah sehingga diharapkan memiliki pemahaman
yang benar tentang kondisi pasien gangguan jiwa dan mampu melakukan
penanganan pasien dengan tepat. Kerjasama lintas sektor dan lintas
program untuk mengatasi masalah pasien gangguan jiwa dengan
pemasungan sehingga penyelesaian dapat lebih komprehensif.

BAB III
ANALISIS KASUS
30

3.1 Pemasungan terhadap Penderita Gangguan Jiwa


Beberapa literature review menunjukkan bahwa masih banyak terjadi kasus
pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa. Di seluruh Indonesia terdapat
20.000 hingga 30.000 penderita gangguan jiwa yang dipasung (Purwoko, 2010).
Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa ada 14,3 persen RT atau sekitar 237 RT dari
1. 655 RT yang memiliki anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa
berat yang dipasung (Lestari, 2014).
Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar mendapatkan
perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan. Bahkan Surat Menteri
Dalam Negeri Nomor PEM. 29/6/15, yang ditujukan kepada Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak
melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan
kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit
Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar
secara aktif mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan
pasien yang ada di daerah mereka (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
3.2 Stigma terhadap Penderita Gangguan Jiwa Berat
Stigma terhadap penderita gangguan jiwa akan semakin kompleks apabila
penanganannya tidak berlanjutan. Sikap pasrah keluarga penderita gangguan jiwa,
yang membiarkan penderita gangguan jiwa untuk dipasung karena tidak ada biaya
untuk pengobatan lebih lanjut (Lestari, 2014). Pemilihan untuk memasung
penderita gangguan jiwa beralasan agar keluarga bisa lebih dapat mengawasi
penderita supaya tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain. Selain itu rasa malu
yang ditanggung oleh keluarga merupakan stigma yang dibuat sendiri oleh
keluarga terhadap anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Sehingga
bantuan dari lingkungan sekitar untuk mengobati penderita tidak diperhatikan
lagi. Rasa malu tersebut menyebabkan keluarga penderita gangguan jiwa menutup
diri dari lingkungan (Lestari, 2014).
Penderita gangguan jiwa dan gangguan mental emosional adalah umum
terjadi, namun 1/3 dari mereka yang membutuhkan penanganan memandang
31

sebagai ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi yang akan didapat. Orang
menolak gejala-gejala kesakitan dan menghindari mencari pertolongan awal, yang
lebih mudah ditangani pada tahap awal gejala gangguan jiwa. Rata-rata pasien
drop out dari penanganan Pelayanan Kesehatan Jiwa masih tinggi dikarenakan
oleh bahwa orang tidak mau terlihat mengunjungi Rumah Sakit Jiwa dan/atau
pelayanan konsultasi psikologi/psikiatris. Dalam kasus pasung pada beberapa
penelitian yang dikaji menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa berat yang
dipasung adalah pasien dropout dari pelayanan kesehatan jiwa atau RSJ. Keluarga
penderita sudah pernah membawa penderita beberapa kali mengunjungi RSJ,
keluarga menganggap tidak ada kemajuan yang berarti atas kesembuhan penderita
dan melakukan pasung sebagai alternatif terakhir dari usaha menyembuhkan
penderita (Lestari, 2014).
Pasung sebagai usaha penarikan diri secara sosial dari penderita dan keluarga
atas hal yang menyebabkan kesulitan yang ditimbulkan di lingkungan sekitar
akibat menderita gangguan jiwa berat. Penderita gangguan jiwa dan keluarga
sering memegang kepercayaan yang sama seperti masyarakat pada umumnya dan
menyalahkan diri sendiri atas sakit yang dideritanya. Sebagian besar cara orang
menerima stigma yang disematkan padanya adalah dengan cara mengumpulkan
informasi dari orang lain yang bisa membantu (Lestari, 2014).

BAB VI
KESIMPULAN
Gangguan jiwa masih menjadi masalah serius kesehatan mental di
Indonesia yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemangku kebijakan
kesehatan nasional. Deteksi gejala dini tentang gangguan jiwa perlu
disosialisasikan kepada masyarakat luas agar tidak terjadi keterlambatan
penanganan pada fase awal yang bisa disembuhkan. Perlu adanya pemberdayaan
32

masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan mengenai apa dan bagaimana


tentang gangguan jiwa agar tidak menimbulkan stigma terhadap penderita
gangguan jiwa.
Penderita gangguan jiwa di masyarakat masih kurang dapat didiagnosis
dan diobati dengan tepat. Secara fisik penderita gangguan jiwa adalah normal,
namun psikisnya yang butuh pertolongan medis. Pelayanan kesehatan pemerintah
dan pembuat kebijakan berkontribusi terhadap stigma secara sistematik, perhatian
yang minim karena bukan program prioritas membuat pelayanan kesehatan jiwa
pada masyarakat juga mendapat anggaran yang minim pula.

DAFTAR PUSTAKA
Andri. 2012. Abaikan Kesehatan Pasien Jiwa, B a h a y a y a n g D i d a p a t .
November 2013.
Boyd, M.A. & Nihart, M.A. 2002. Psychiatric Nursing Contemporary Practice.
USA. Lippincott Raven Publisher

33

Carson, V.B. 2000. Mental Health Nursing: th The nurse-patient journey. (2 ed.).
Philadelphia: W.B. Sauders Company.
Depkes. 2005. Masalah-Masalah Psikososial di Indonesia, diperoleh tanggal 26
Februari 2009
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. 2010. Laporan Kesehatan tahun 2010
Kabupaten Banyumas, tidak dipublikasikan
Dirjen Bina Upaya Yankes Kemenkes RI. 2010. Menuju Indonesia Bebas
Pasung.http://buk.depkes.go.id, diperoleh 18 Nopember 2013

34

Anda mungkin juga menyukai