MAKALAH SEMINAR PASUNG Fix
MAKALAH SEMINAR PASUNG Fix
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
BANDUNG
2016
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah.................................................................................1
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................3
1.4 Kegunaan Penelitian.................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5
2.1 Konsep Pasung..5
2.2 Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Bagi Penyandang Skizofrenia ..13
2.4 Hukum yang Memuat tentang Pasung19
2.5 Polemik Pasung di Indonesia dilihat dari Faktor Dominan....23
2.6 Stigma terhadap Penderita Gangguan Jiwa ...25
2.7 Pengalaman Keluarga dalam Pemenuhan Kebutuhan Perawatan Diri
pada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)....27
2.8 Budaya Pasung dan Dampak Yuridis Sosiologis30
BAB III ANALISIS KASUS....................................................................33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................47
LAMPIRAN...........................................................................................................51
BAB I
PENDAHULUAN
Proporsi rumah tangga dengan ART gangguan jiwa berat yang pernah
dipasung dihitung terhadap 1.655 rumah tangga dengan penderita gangguan jiwa
berat. Metode pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional
(menggunakan kayu atau rantai pada kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan
lain yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran
yang menyertai salah satu metode pemasungan. Proporsi RT yang pernah
memasung ART gangguan jiwa berat sebesar 14,3 % dan terbanyak pada RT di
perdesaan. RT yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada kelompok
kuintil indeks kepemilikan terbawah. Proporsi cakupan RT yang membawa ART
gangguan jiwa berobat ke fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan (RISKESDES,
2013).
Pasung pada penderita gangguan jiwa dapat berdampak baik secara fisik
maupun psikis. Dampak fisiknya bisa terjadi atropi pada anggota tubuh yang
dipasung, dampak psikisnya yaitu penderita mengalami trauma, dendam kepada
keluarga, merasa dibuang, rendah diri, dan putus asa. Lama-lama muncul depresi
dan gejala niat bunuh diri. Menurut WHO, gangguan jiwa mempengaruhi cara
berpikir dan berperilaku, kemampuan untuk melindungi kepentingan dirinya,
kemampuan mengambil keputusan. Seseorang dengan gangguan jiwa berhadapan
dengan stigma, diskriminasi dan marginalisasi. Stigma menyebabkan mereka
tidak mencari pengobatan yang sangat mereka butuhkan, atau mereka akan
mendapatkan pelayanan yang bermutu rendah. Marginalisasi dan diskriminasi
juga meningkatkan risiko kekerasan pada hak-hak individu, hak politik, ekonomi,
sosial dan budaya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan
Jiwa menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar
mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan. Bahkan
Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM. 29/6/15, tertanggal 11 November 1977
yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia
meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap
penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. WHO menyarankan agar
penanganan kesehatan jiwa lebih ditekankan atau berbasis pada masyarakat
2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan ini adalah
1.4.1
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat sebagai sumber data untuk
pengambilan kebijakan dalam menetapkan program kesehatan jiwa dan
sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengubah perilaku masyarakat
1.4.2
1.4.3
1.4.4
diperlukan.
Peran serta masyarakat diharapkan mampu mengenali kasus-kasus
gangguan jiwa di masyarakat, menghindari pemasungan dan mendorong
anggota masyarakat untuk berobat dan melakukan kontrol.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Pasung
Pemasungan penderita gangguan jiwa adalah tindakan masyarakat
terhadap penderita gangguan jiwa (biasanya yang berat) dengan cara dikurung,
dirantai kakinya dimasukan kedalam balok kayu dan lain-lain sehingga
kebebasannya menjadi hilang. Pasung merupakan salah satu perlakuan yang
merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk mendapat perawatan yang
memadai dan sekaligus juga mengabaikan martabat mereka sebagai manusia. Di
Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau pengurungan
terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang
melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya (Broch, 2001, dalam
Minas & Diatri, 2008). Pengekangan fisik terhadap individu dengan
gangguan jiwa mempunyai riwayat yang panjang dan memilukan.
Penyebab dilakukannya pemasungan meliputi:
1) Ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang
tidak kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan
keluaga untuk mengamankan lingkungan merupakan penyebab keluarga
melakukan pemasungan (Depkes, 2005).
2) Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya
bersifat jangka panjang (Videbeck, 2008). Biaya berobat yang harus
ditanggung pasien tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan
dengan pelayanan medik seperti harga obat, jasa konsultasi tetapi juga
biaya spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah sakit dan
biaya akomodasi lainnya (Djatmiko, 2007).
Alasan keluarga melakukan pemasungan diantaranya
1) Mencegah klien melakukan tindak kekerasan
yang
dianggap
bagi anggota keluarga itu sendiri. Indikasi dari terapi psikoedukasi keluarga
adalah anggota keluarga dengan aspek psikososial dan gangguan jiwa.
Menurut Carson (2000), situasi yang tepat dari penerapan psikoedukasi
keluarga adalah:
1) Informasi dan latihan tentang area khusus kehidupan keluarga, seperti
latihan keterampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua yang
efektif.
2) Informasi dan dukungan terhadap kelompok keluarga khusus stress dan
krisis, seperti pada kelompok pendukung keluarga dengan penyakit
Alzheimer.
3) Pencegahan dan peningkatan seperti konseling pranikah untuk keluarga
sebelum terjadinya krisis.
Terapi
ini
juga
dapat
diberikan
kepada
keluarga
yang
dengan
anggota
keluarga
melalui
metode
pengajaran
psikoedukasi.
b. Skill component, menawarkan pelatihan cara komunikasi, resolusi
konflik, pemecahan masalah, bertindak asertif, manajemen perilaku, dan
manajemen stres. Pada komponen ini, difokuskan pada penguasaan dan
peningkatan keterampilan keluarga dalam merawat keluarga dengan
gangguan jiwa termasuk ketrampilan mengekspresikan perasaan anggota
keluarga sehingga diharapkan dapat mengurangi beban yang dirasakan
keluarga.
c. Emotional component, memberi kesempatan keluarga untuk ventilasi,
bertukar pendapat, dan mengerahkan sumber daya yang dimiliki. Pada
komponen ini, difokuskan pada penguatan emosional anggota keluarga
untuk mengurangi stress merawat anggota keluarga dengan gangguan
jiwa. Keluarga dapat saling menceritakan pengalaman dan perasaannya
serta bertukar informasi dengan anggota kelompok yang lain tentang
pengalaman merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa.
d. Family process component, berfokus pada koping keluarga dengan
gangguan jiwa dan gejala sisa yang mungkin muncul. Pada komponen
ini, difokuskan pada penguatan koping anggota keluarga dalam
menghadapi kemungkinan kekambuhan klien di masa depan.
e. Social component, meningkatkan penggunaan jaringan dukungan formal
dan informal. Pada komponen ini, difokuskan pada pemberdayaan
8
keluarga
dan
komunitas
untuk
meningkatkan
kerjasama
yang
keluarga. Oleh karena itu, salah satu alat terapi Bowen adalah peta keluarga
(genogram) 3 generasi. Model Bowen ini kelak menjadi dasar konsep family
triangles.
3) Experimental-existensial therapy, dikembangkan oleh Virginia Satir et
al dengan konsep bahwa tujuan terapi adalah untuk meningkatkan
pertumbuhan keluarga dengan asumsi perlunya pemberdayaan keluarga
untuk memecahkan masalahnya sendiri. Menurut Satir, peran terapis adalah
membantu mengidentifikasi disfungsi pola komunikasi dalam keluarga.
Pencegahan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
a)
b)
c)
d)
penyembuhan ).
e) Salah satu kasus yang ditemukan melalui pendekatan CMHN adalah
tindakan pemasungan yang masih kerap dilakukan oleh keluarga klien
dengan
gangguan
jiwa.
Untuk
memberantas
praktek
tersebut,
positif
danmenjadi
produktif
sebagai
anggota
masyarakat.
Pada
keluarga
yang
diuraikan
menurut
teori Green
anggota
badannya
dengan
bebas
sehingga
terjadi
untuk
hidup,
mempertahankan
hidup
dan
meningkatkan
taraf
kehidupannya; (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera lahir dan batin; (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Namun banyak penyandang skizofrenia belum mendapat tempat yang
layak untuk mempertahankan hak-haknya sebagai manusia dan untuk memulihkan
dirinya. Ketiadaan aturan hukum, rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan
pemahaman terhadap gejala gangguan kejiwaan, serta keterbatasan ekonomi
merupakan faktor yang mendeterminasi munculnya kejadian pasung.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pemenuhan hak atas
kesehatan bagi penyandang skizofrenia, mengidentifikasi kendala pemenuhan hak
atas kesehatan bagi penyandang skizofrenia dan mengidentifikasi bentuk
pelanggaran hak asasi manusia apa saja yang dihadapi penyandang skizofrenia.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi literatur dan studi
lapangan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam.
Hasil Penelitian menunjukkan sudah ada peraturan daerah dalam melindungi
penyandang skizofrenia berupa Peraturan Gubernur Nomor 81 Tahun 2014
tentang
Pedoman
Penanggulangan
meningkatkan edukasi
tentang
Pemasungan
kesehatan
yang
jiwa, dan
bertujuan
untuk
untuk penanganan
rehabilitasi
dan
jalanan
sebagai
gelandangan
psikotik,
hal
ini
16
2.3
17
babi, atau kandang kambing) selama beberapa jam tapi bisa pula berhari-hari
hingga bertahun-tahun.
Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah dua kali melakukan gerakan
melarang pemasungan. Pertama pada tahun 1977 dan yang kedua pada tahun
2014, dengan meluncurkan gerakan Indonesia bebas pasung. Akan tetapi praktik
pasung ini terus saja terjadi, berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,
Kementerian Kesehatan mencatat setidaknya sebanyak 57 ribu orang pernah
dipasung oleh keluarganya.
Berdasarkan data Human Right Watch (HRW), di Indonesia ada 57.000
orang dengan kelainan mental yang hidup dalam pasung ataupun kerangkeng.
Namun data dari pemerintah menyebutkan 18.000. orang. Pada tahun 2014,
pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No 18 Tahun 2014 tentang
kesehatan jiwa pasal 86 yang menyatakan Tindakan pemasungan terhadap ODGJ
adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kementerian Sosial juga
mencanangkan Indonesia Bebas Pasung 2017. Target Indonesia bebas pasung bisa
dicapai jika para pemangku kepentingan (pemerintah, keluarga dan masyarakat,
penegak hukum, dan pegiat kesehatan jiwa) bekerjasama menangani penderita
sakit jiwa. Sudah selayaknya kita bersama memperlakukan mereka seperti kita
ingin diperlakukan oleh orang lain.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 333 menyatakan
juga dalam salah satu pasanya menyatakan barang siapa dengan sengaja dan
melawan hukum, merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan
kemerdekaan yang demikian diancam dengan pidana penjara yang paling lama
delapan tahun. Hukuman akan bertambah bila kemudian menimbulkan luka-luka
bahkan kematian. Adanya jaminan undang-undang mengharuskan setaip ODGJ
mendapat pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan dan tidak
dipasung karena pemasungan merupakan pelanggaran atas hak pengobatan dan
juga merupakan bentuk kekerasan terhadap ODGJ.
Untuk menghentikan tindakan pemasungan, diperlukan dukungan dan
perhatian dari semua lapisan masyarakat. Sesuai surat Menteri Dalam Negeri
18
19
dari empat orang di dunia menderita masalah mental dan hal ini merupakan
masalah yang serius.
Di Indonesia berdasarkan hasil RISKESDAS (2013) dinyatakan bahwa
prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 permil. Gangguan
jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa
Tengah. Proporsi RT yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat 14,3
persen dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta
pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%).
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0persen.
Provinsi dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
20
pemasungan yang dilakukan terhadap penderita gangguan jiwa hingga saat ini
masih terjadi dilakukan. Demikian dikemukakan Teddy Hidayat., SpKJ (K),
Kepala Bagian Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS).
Menurut Teddy, berdasarkan data yang dihimpun selama tahun 2013, penanganan
masalah gangguan jiwa, khususunya permasalahan pasung masih terjadi di hampir
kota dan kabupaten di Jawa Barat. Alasan keluarga melakukan pemasungan
terhadap anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa untuk keamanan,
baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Selain itu mereka dipasung karena
alasan putus minum obat, tidak punya biaya untuk berobat, tempat tinggal yang
jauh dari fasilitas kesehatan.
Hasil penelitian yang dimuat di di rubrik Wacana Harian Pikiran Rakyat
tanggal 19 April 2016 oleh peneliti di CEDS Unpad dan SDGs Center Unpad
menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama kenapa praktik pasung masih
terus terjadi di tanah air yaitu :
1) Rendahnya pemahaman masyarakat tentang gangguan kesehatan jiwa.
Kita cenderung menganggap bahwa orang dengan gangguan kejiwaan
adalah sebuah kutukan yang tidak dapat diobati. Disamping itu, stigma
negatif dari masyarakat juga membuat keluarga korban lebih memilih
memasung mereka karena hal ini adalah suatu aib bagi keluarga.
2) Minimnya pengetahuan masyarakat ini juga berakibat dengan rendahnya
akses informasi masyarakat ke akses pengobatan profesional. Banyak
keluarga pasien yang memilih berobat kepada para dukun dan kiai karena
anggapan bahwa gangguan kejiwaan ini akibat dari kerasukan roh jahat
dan setan. Tidak jarang pengobatan ini dilakukan dengan merantai korban
dan kemudian menjalani berbagai ritual tradisional lainnya seperti merapal
ayat suci, dan mandi malam. Ketika para dukun dan kiai tidak berhasil
mengeluarkan roh jahat tersebut, akhirnya keluarga pasien mulai
mengekang korban dirumahnya. Disinilah praktik pasung tersebut
bermula.
22
2.5
Sedangkan diskriminasi merupakan masalah dari perilaku, baik itu dari penyedia
layanan penanganan kesehatan jiwa maupun dari masyarakat terhadap penderita
gangguan jiwa berat (Thornicroft, et al, 2008).
Penderita gangguan jiwa dan gangguan mental emosional adalah umum
terjadi, namun 1/3 dari mereka yang membutuhkan penanganan memandang
sebagai ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi yang akan didapat. Dalam
kasus pasung pada beberapa penelitian yang dikaji menunjukkan bahwa penderita
gangguan jiwa berat yang dipasung adalah pasien dropout dari pelayanan
kesehatan jiwa atau RSJ. Keluarga penderita sudah pernah membawa penderita
beberapa kali mengunjungi RSJ, keluarga menganggap tidak ada kemajuan yang
berarti atas kesembuhan penderita dan melakukan pasung sebagai alternatif
terakhir dari usaha menyembuhkan penderita. Pasung sebagai usaha penarikan diri
secara sosial dari penderita dan keluarga atas hal yang menyebabkan kesulitan
yang ditimbulkan di lingkungan sekitar akibat menderita gangguan jiwa berat.
Menurut Sherman (2007), efek dari stigma dan penarikan diri secara sosial
memiliki dampak yang lebih besar kepada individu daripada menderita gangguan
jiwa itu sendiri. Keluarga juga terkena dampak stigma dan kemungkinan
dipersalahkan karena menyebabkan atau berkontribusi terhadap gangguan jiwa
yang diderita anggota keluarganya.
Reaksi masyarakat sangat dipengaruhi oleh kejadian penderita gangguan
jiwa yang sedang kambuh dan tidak mendapat penanganan yang benar secara
medis. Hal ini mendorong masyarakat memiliki persepsi bahwa orang dengan
gangguan jiwa melakukan kekerasan, perusakan, dan tidak terkendali. Masyarakat
sebagian besar masih kurang informasi tentang proses penyakit gangguan jiwa
berat, dan banyak yang membayangkan bahwa penderita gangguan jiwa
kehilangan pikiran mereka secara permanen dan lebih baik dilakukan
pemasungan. Bahkan ketika dalam keadaan baik, tanpa adanya penyimpangan
perilaku penderita gangguan jiwa berat mungkin menemukan dirinya dijauhi atau
dicemooh. Tak dapat disangkal, penderita gangguan jiwa berat ada yang tetap
sakit dan cacat. Namun, ada juga yang terkontrol secara medis, dan mereka tidak
melakukan gangguan di lingkungan sekitarnya, tetapi masih mengalami
diskriminasi sosial dan penolakan akibat dari stigma.
24
2.6
sebagai berikut:
1) Makan
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari makan di dapat dari sub waktu
pemberian makan, variasi makanan, porsi makan, dan cara makan.
2) Udara
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari udara di dapat dari sub cara
memenuhi kebutuhan udara dengan kategori dibawa keluar dari tempat
pemasungan, membawa ODGJ keluar dari tempat pemasungan.
3) Mandi
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari mandi didapat dari sub waktu
mandi, cara mandi, tempat mandi, dan masalah ketika tidak terpenuhi
kebutuhan. Untuk sub mandi di atas rata-rata ODGJ untuk kebutuhan
mandi dilakukan sendiri oleh mereka dengan dibantu instruksi dari
anggota keluarga yang menjaga. Yang tidak terpenuhi biasanya bagi yang
memiliki rambut panjang dan bau.
4) Cukur rambut
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari cukur rambut didapat dari sub
di dapat dari sub waktu cukur rambut dilihat dari panjangnya, kalau
panjang di gunting kalau pendek tidak di gunting.
5) Berpakaian
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari berpakaian didapat dari sub
kebutuhan pakaian, jenis pakaian,dan cara berpakaian. Permasalahan dari
berpakaian
6) Eliminasi
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari eliminasi didapat dari sub
waktu BAB dan cara membuang kotoran. Dan ODGJ biasanya tempat
BAB biasanya dilakukan di tempat itu.
7) Istirahat dan tidur
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari istirahat dan tidur didapat dari
sub tema waktu istirahat dan tidur. Kebanyakan dari ODGJ memilki waktu
tidur yang lama.
8) Minum dan interaksi sosial
25
Pemenuhan kebutuhan perawatan diri: dari minum didapat dari sub tema
waktu minum dan porsi minum. Porsi minum dan makan bisa sama pada
ODGJ. Pemenuhan kebutuhan perawatan diri:dari interaksi sosial didapat
dari subtema kemapuan berbicara.
9) Ketidakmampuan pemenuhan tugas perkembangan ODGJ
Ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan perawatan
diri:
dari
27
kemandirian perawatan diri pada klien yang sudah lepas pasung dan yang masih
dipasung di Kabupaten Wonogiri.
Populasi penelitian ini adalah suluruh keluarga klien dengan pasung baik
yang sudah dilepaskan maupun yang masih dipasung yang masih berdomisili di
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Data terakhir yang didapatkan Dinkes
Kabupaten Wonogiri terdapat 92 keluarga yang pernah melakukan pemasungan
terhadap anggota keluarganya yang mengalami pemasungan. Pada penelitian ini
diterapkan total sampling dimana yang menjadi sampel adalah semua anggota
dengan anggota keluarga yang pernah dipasung dan yang nasih dipasung.
Penelitian Magliano tersebut mendukung hasil penelitian ini yang
menemukan bahwa rata-rata usia keluarga klien pasung 50.3 tahun dan mayoritas
adalah orang tua klien. Menurut peneliti hal ini karena keluarga merupakan orang
terdekat dari klien yang merasakan beban dari semua aspek karena keluarga yang
merawat klien dengan gangguan jiwa tersebut.
Penelitian ini sesuai dengan pernyataan Redman (1993, dalam Potter,
2005) yang menyatakan pendidikan lebih tinggi akan memberikan pengetahuan
yang lebih besar sehingga menghasilkan kebiasaan mempertahankan kesehatan
yang lebih baik. Pada waktu individu menyadari tentang kesehatannya mereka
cenderung mencari pertolongan secepatnya guna mengatasi masalah yang
dihadapi. Sejumlah studi mengidentifikasi pentingnya pendidikan sebagai sumber
koping dan pencegahan terhadap gangguan jiwa, bahkan dikatakan pendidikan
lebih bermakna daripada tingkat penghasilan dalam menentukan penggunaan
fasilitas kesehatan jiwa.
Dampak Sosiologis Dan Yuridis Pemasungan di Wilayah Kabupaten
Wonogiri dengan cara pemasungan secara tidak sadar keluarga telah memasung
fisik dan hak asasi penderita hingga menambah beban mental dan penderitaannya.
Ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang tidak
kunjung sembuh, tidak adanya bisaya pengobatan dan tindakan keluarga untuk
mengamankan lingkungan merupakan penyebab masyarakat Kabupaten Wonogiri
melakukan pemasungan. Dari sampel 28 orang klien yang dikunjungi didapatkan
3 penderita pasung dari Kecamatan Ngadirojo 1 orang, Kecamatan Baturetno 1
orang dan Kecamatan Tirtomoyo 1 orang. Tindakan kejam dan tidak
28
didapatkan
klien
yang
meninggal
sewaktu
masih
dalam
keluyuran
dan
menganggu
kenyamanan
lingkungan.
pemasungan
dalam
penelitian
ini
adalah
memberikan
makan,
BAB III
ANALISIS KASUS
30
sebagai ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi yang akan didapat. Orang
menolak gejala-gejala kesakitan dan menghindari mencari pertolongan awal, yang
lebih mudah ditangani pada tahap awal gejala gangguan jiwa. Rata-rata pasien
drop out dari penanganan Pelayanan Kesehatan Jiwa masih tinggi dikarenakan
oleh bahwa orang tidak mau terlihat mengunjungi Rumah Sakit Jiwa dan/atau
pelayanan konsultasi psikologi/psikiatris. Dalam kasus pasung pada beberapa
penelitian yang dikaji menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa berat yang
dipasung adalah pasien dropout dari pelayanan kesehatan jiwa atau RSJ. Keluarga
penderita sudah pernah membawa penderita beberapa kali mengunjungi RSJ,
keluarga menganggap tidak ada kemajuan yang berarti atas kesembuhan penderita
dan melakukan pasung sebagai alternatif terakhir dari usaha menyembuhkan
penderita (Lestari, 2014).
Pasung sebagai usaha penarikan diri secara sosial dari penderita dan keluarga
atas hal yang menyebabkan kesulitan yang ditimbulkan di lingkungan sekitar
akibat menderita gangguan jiwa berat. Penderita gangguan jiwa dan keluarga
sering memegang kepercayaan yang sama seperti masyarakat pada umumnya dan
menyalahkan diri sendiri atas sakit yang dideritanya. Sebagian besar cara orang
menerima stigma yang disematkan padanya adalah dengan cara mengumpulkan
informasi dari orang lain yang bisa membantu (Lestari, 2014).
BAB VI
KESIMPULAN
Gangguan jiwa masih menjadi masalah serius kesehatan mental di
Indonesia yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemangku kebijakan
kesehatan nasional. Deteksi gejala dini tentang gangguan jiwa perlu
disosialisasikan kepada masyarakat luas agar tidak terjadi keterlambatan
penanganan pada fase awal yang bisa disembuhkan. Perlu adanya pemberdayaan
32
DAFTAR PUSTAKA
Andri. 2012. Abaikan Kesehatan Pasien Jiwa, B a h a y a y a n g D i d a p a t .
November 2013.
Boyd, M.A. & Nihart, M.A. 2002. Psychiatric Nursing Contemporary Practice.
USA. Lippincott Raven Publisher
33
Carson, V.B. 2000. Mental Health Nursing: th The nurse-patient journey. (2 ed.).
Philadelphia: W.B. Sauders Company.
Depkes. 2005. Masalah-Masalah Psikososial di Indonesia, diperoleh tanggal 26
Februari 2009
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. 2010. Laporan Kesehatan tahun 2010
Kabupaten Banyumas, tidak dipublikasikan
Dirjen Bina Upaya Yankes Kemenkes RI. 2010. Menuju Indonesia Bebas
Pasung.http://buk.depkes.go.id, diperoleh 18 Nopember 2013
34