Anda di halaman 1dari 9

I.

Penatalaksanaan
I.1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada
infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu
tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan
memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika
reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor
mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.
Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla
oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan

normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden
(2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di
hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha
menurunkannya begitu juga sebaliknya.
I.2. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang
mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :

Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid


fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100
mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup
50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah
demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena
hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.
Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan
diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah
mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan


sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian

secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari
diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika
golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.

Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah


dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk
anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis
yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama
2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan
terapi chloramphenicol.

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan


pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol

dan

Cotrimoxazole

serta

lebih

sensitive

terhadap

Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100


mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari.
Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15
mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam
30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

II.

Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :
1. Komplikasi pada usus halus

a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut
dengan tanda tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto
rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen
tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder

dan dapat

timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi
adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka
penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis

berupa

kesadaran menurun, kejang kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan


otak dalam batas normal. Bila disertai kejang kejang maka biasanya
prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan
lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak
jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah
Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis

Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis
tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta
sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat
bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan
gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun
pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam

tifoid.

Proteinuria

transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat


bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai
prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya.
Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini
tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien
biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi
organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada
kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius
yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri
pada urinya dalam waktu yang lama.

III.

Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:

Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau

mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih


tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.

Hindari minum air yang tidak dimasak.


Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik
tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian
luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa
menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat
gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.

Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.


Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada
yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah
buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah
dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang
tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air
untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.

Pilih makanan yang masih panas.


Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57C
beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi.
Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman,
hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin
terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid,
berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

Sering cuci tangan.

Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan
sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum
makan dan setelah menggunakan toilet.

Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.


Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali
sehari.

Hindari memegang makanan.


Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa
anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas
kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan
anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.

Gunakan barang pribadi yang terpisah.


Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci
dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi


Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan
mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan
perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu,
beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan
cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)


Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga
kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada
wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang

minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak
berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)


Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk
dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang
diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan
subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan
bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada
keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini
sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama
perlindungan yang pendek.

Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai
daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3
tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram
antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan
diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2
tahun.

IV.

Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi
3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier

pada anak anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 15% dari seluruh pasien demam tifoid.

Dapus:
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
3. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
4. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
5. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.

Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.

Anda mungkin juga menyukai