Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) / pembesaran
prostat jinak adalah suatu keadaan histologis yang dialami oleh
kebanyakan pria lanjut usia. Secara makroskopik ditandai
dengan pembesaran kelenjar prostat yang secara histologis
disebabkan oleh hiperplasia stroma dan kelenjar sel prostat
yang

progresif.

BPH

adalah

proses

patologik

yang

berkontribusi terhadap timbulnya Lower Urinary Tract


Symptoms (LUTS) pada pria lanjut usia. Meskipun BPH tidak
mengancam jiwa, manifestasi klinis sebagai LUTS dapat
menurunkan kualitas hidup pasien. LUTS terdiri dari gejalagejala yang mengganggu seperti, dysuria, frekuensi (berkemih
lebih sering dari normal), urgensi (perasaan berkemih yang
sulit ditahan) ,serta nokturia (terbangun untuk berkemih
beberapa kali pada malam hari), dan gejala-gejala obstruksi
berkemih seperti, aliran lambat, keragu-raguan (sulit untuk
memulai proses berkemih), intermitten, mengedan saat
berkemih, rasa tidak puas berkemih, dan menetesnya urine di
akhir berkemih. Masalah seperti LUTS dapat terjadi pada lebih
dari 30% pria diatas 65 tahun.(1-4)
Dalam perkembangannya, BPH dapat berkembang
menjadi benign prostatic enlargement (BPE), benign prostatic

obstruction (BPO), dan lower urinary tract symptoms (LUTS).


(1)

BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn A

Umur

: 76 tahun

Jenis Kelamin

: laki-laki

Suku/bangsa

: Makassar

Alamat

Pekerjaan

Agama

: Islam

Status Pernikahan : Menikah


Masuk RS

: 17 November 2016

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal
17 November 2016
a. Keluhan Utama

: Sulit buang air kecil (BAK)

b. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak
+/- 2 tahun yang lalu. Untuk memulai BAK pasien
membutuhkan waktu sekitar 3-5 menit. Pasien juga
harus mengedan agar air kencing pasien keluar.

Pasien mengatakan pancaran air kencing pasien


mulai melemah, terputus-putus dan lalu menetes.
Pada saat merubah posisi, keluhan tersebut tetap
timbul. Pasien juga mengeluhkan buang air kecil
merasa tidak puas dan merasa masih ada sisa air
kencing di kandung kencing pasien.
Pasien mengeluhkan rasa ingin kencing yang
tidak tertahankan. Pasien menyatakan juga nyeri
pada saat BAK, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk
pada daerah perut bagian bawah. Nyeri yang
dirasakan tersebut terkadang dirasakan menjalar
sampai ke pinggang kiri dan menghilang setelah
BAK.
Riwayat kencing berdarah disangkal, kencing
berpasir atau batu disangkal, kencing bernanah
disangkal, riwayat trauma pada saluran kencing
disangkal, demam disangkal, penurunan berat badan
yang drastis disangkal. Susah buang air besar (BAB)
dan BAB berdarah juga disangkal oleh pasien.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien merasa tidak memiliki penyakit kronis
selain keluhannya saat ini.
d. Riwayat Penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan
yang sama.

III.PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum

: Pasien tampak sakit sedang,

tampak aktif, kooperatif, terpasang infuse.


Kesadaran

: Kompos Mentis

Berat Badan

: 42 Kg

Tinggi Badan

: 155 cm

IMT

: 17,48

Gizi

: Kurang

Warna Kulit

: Sawo matang, tidak ikterik,

tidak sianosis.
Turgor

: Baik

Tanda Vital

: TD : 110/80 mmHg
Nadi : 90x/m , isi cukup, equal

kiri dan kanan


Suhu : 38
Pernafasan

28x/m

abdominothorakal
Status Generalis
Kepala

: Mesocephal, simetris

Rambut

: Warna putih, persebaran merata, dan

tidak mudah dicabut


Wajah

: Muka simetris, raut wajah ekspresif,


nyeri tekan sinus frontalis - , (-) nyeri
tekan sinus maksilaris (-)

Mata

: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik


-/-, pupil isokor , diameter 3 mm

Hidung

: Simetris, sekret -/-, deviasi septum (-),


nafas cuping hidung (-)

Bibir

: Lembab, warna merah, tidak pucat,


tidak sianosis

Telinga

: Normotia kiri dan kanan. Nyeri tarik


-/-, nyeri tekan tragus +/-, serumen +/+,
membrane tymphani intak +/+

Leher

: Trakea letak di tengah, Deviasi trachea


(-), pembesaran KGB (-)

Thoraks
Paru

Inspeksi

: Gerakan dinding dada simetris saat

statis dan dinamis


Retraksi suprasternal dan intercostals
(-)
Palpasi

: Gerakan dinding thoraks saat bernafas


kiri=kanan, angulus costae stem fremitus
lapang paru kanan dan kiri sama kuat

Perkusi

: sonor pada lapang paru kiri dan kanan

Auskultasi

: suara paru kanan dan kiri vesikuler,


rhonki basah (+/+) dan wheezing(-/-)

Jantung

Inspeksi

: Ictus cordis tak terlihat

Palpasi

: Ictus cordis tak teraba

Perkusi

: Batas jantung sebelah kanan ICS II, III,


IV garis sternalis dextra, Batas jantung
sebelah kiri ICS V, 2 cm sebelah medial
garis mid clavikularis sinistra, Batas atas
jantung pada ICS III garis sternalis
sinistra

Auskultasi

: S1S2 Reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Abdomen tampak datar, pada waktu bernafas
dinding perut mengembang waktu inspirasi
dan mengempis waktu ekspirasi secara
simetris smiling imbilicus (-), spider nevi
(-),vena kolateral (-), gerak peristaltic usus
(-)
Palpasi : Perut supel, nyeri tekan (+) region umbilicus,
hipokondrium

kanan

tidak

ada

muscular, turgor baik.


Hepar dan lien tidak teraba
Ballotemen kedua ginjal tidak teraba
Tes undulasi (-)

defens

Perkusi : Tymphani pada seluruh lapang abdomen,


Shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus positif normal

Ekstremitas

: Akral hangat, pucat (-), sianosis (-),

oedem (-)
Reflek fisiologis biceps, triceps, patella,
Achilles positif
Reflek patologis babinsky, brudzinsky I,
II dan kernig negative
Rectal Toucher

Tonus sfingter ani : kuat

Mukosa rectum

Ampula recti

Teraba massa

IV.

: licin
: tidak kolaps

pada arah jam 11 sampai jam 1

permukaan licin

konsistensi kenyal

lobus kanan dan kiri simetris

pole atas teraba

nodul (-)

Handscoon

: darah (-), feses (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium:
a. Darah :

Darah Rutin:
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
GDS
Kimia darah:
CKMB
Natrium
Kalium
Ureum
Kreatinin
2. FOTO THORAKS
a. Thoraks PA

14,3 g/dl
40.10 %
9.3 /mm3
307.000 /mm3
77
33 U/L
137,0 mmol/L
3.9 mmol/L
34.7 mg/dl
1.0 mg/dl

Kesan: Efusi Pleura Kanan, DD: Massa

3. THORAKS LATERAL KANAN- Lateral DEKUBITUS

Tampak perselubungan konsolidasi di lobus medius dan


inferior dengan kavitas berdinding tebal serta air fluid level di
dalamnya. Pada posisi dekubitus juga tampak air-dfluid level.
KESAN: Abses Paru kanan

4. USG ABDOMEN
Kesan : Encapsulated efusi pleura kanan DD/ massa.
Organ abdomen lain tak tampak kelainan.

5. CT Scan Thoraks

Pada

scanning

terdapat

bercak-bercak

kesuraman/konsolidasi di lobus medius di inferior


kanan disertai air bronchogram, dibagian dorsal tampak
kavitas dengan air fluid level di dalamnya. Lobus
superior kanan dan paru-paru kiri dalam batas normal
Kesan : Abses Paru Kanan.

V.

RESUME

VI. Diagnosa Kerja


Suspect Benign Prostatic Hyperplasia
VII. DIAGNOSA BANDING
- Carcinoma prostat
- striktura uretra,
- Stenosis Leher Buli-Buli
- Batu Buli-Buli
- Prostatitis
VIII. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut Anonim (2009) dalam Hamawi (2010), BPH
secara umumnya dinyatakan sebagai Pembesaran Prostat
Jinak. Maka jelas dari pengertian secara umum sebelumnya,
terdapatnya sesuatu yang menyebabkan prostat membesar.
Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang
disebabkan

oleh

membentuknya.

penambahan
Maka

dapat

jumlah

sel

didefinisikan

yang
bahwa

hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak


bervariasi berupa hiperplasia kelenjar. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertrofi prostat, namun secara
histologi yang dominan adalah hiperplasia dibanding
hipertrofi.(1)
B. Epidemiologi

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)/ pembesaran prostat


jinak merupakan penyakit pada laki-laki usia diatas 50
tahun yang sering dijumpai. Karena letak anatominya yang
mengelilingi

uretra,

pembesaran

dari

prostat

akan

menekan lumen uretra yang menyebabkan sumbatan dari


aliran kandung kemih. Signifikan meningkat dengan
meningkatnya usia. Pada pria berusia 50 tahun angka
kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar
80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan
menyebabkan gejala dan tanda klinik.

(5)

Di Indonesia BPH

merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan


diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50
tahun dengan angka harapan
Indonesia

yang

sudah

hidup

mencapai

rata-rata
65

di

tahun dan

diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria Indonesia sudah


berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh
penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kirakira 100 juta terdiri dari pria, dan yang berumur 60
tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada
(5)
2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita BPH.
Di Amerika Serikat, hasil survei di kota Olmstead, pada
sampel

dari

pria

Kaukasia

berumur

40-79

tahun,

memperlihatkan gejala moderat-berat yang terjadi pada

sekitar 13 % pada pria berumur 40-49 tahun, dan sekitar


(3)
28%, pada pria yang berumur lebih dari 70 tahun.
Di Kanada, 23 % dari hasil studi kohort memperlihatkan
gejala moderat- berat. Prevalensi LUTS di Eropa sama
dengan prevalensi di Amerika Serikat. Di Skotland dan di
area sekitar Maastrict, Netherland, prevalensi berdasarkan
gejala meningkat dari 14% pada pria saat berumur 40
(3)
tahun menjadi 43% saat berumur 60 tahun.
C. Etiologi
Penyebab BPH masih belum diketahui. Tidak ada
informasi pasti tentang keterlibatan faktor resiko. Selama
berabad-abad,

telah

diketahui

bahwa

BPH terjadi

terutama pada pria tua dan BPH tidak terjadi pada pria
yang testisnya telah diangkat

sebelum

pubertas.

Berdasarkan alasan ini, para peneliti memahami bahwa


penuaan dan perkembangan testis merupakan faktor yang
berhubungan dengan terjadinya BPH. Diduga adanya
ketidak seimbangan hormonal oleh karena proses penuaan.
Salah satu teori adalah teori Testosteron (T) yaitu T bebas
yang dirubah menjadi Dehydrotestosteron (DHT) oleh
enzim 5 a reduktase (5AR) yang merupakan bentuk
testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh reseptor
DHT di dalam sitoplasma sel prostat yang kemudian
bergabung dengan reseptor inti sehingga dapat masuk
kedalam inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA
sehingga akan merangsang sintesis protein growth factor

yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat . Pada


berbagai penelitian, aktivitas enzim 5 reduktase dan
jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan

sel-sel

prostat

menjadi

lebih

sensitif

terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi


dibandingkan dengan prostat normal
Ketidakseimbangan
antara

(5,6,10)
estrogen-testosteron,

interaksi stroma-epitel, berkurangnya kematian sel prostat


serta teori sel stem

juga dianggap

terjadinya pembesaran prostat jinak.

sebagai pemicu

(4,10)

Gambar 1. Testosteron (T) berdifusi ke dalam sel epitel


dan stroma prostat. T dapat berinteraksi secara langsung
dengan reseptor androgen (streoid) yang terikat pada
daerah
promotor gen androgen. Dalam sel stroma
mayoritas T diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT)
androgen
yang
lebih
potensial-yang
dapat
bertinteraksi dengan cara autokrin dalam sel stroma atau
dalam mode parakrin dengan berdifusi ke dalam sel
epitel . DHT diproduksi di perifer,terutama di kulit dan

hati, dapat berdifusi ke dalam prostat dari sirkulasi dan


berinteraksi dengan cara endokrin. Dalam beberapa kasus,
sel basal dalam prostat dapat berfungsi sebagai situs
produksi
DHT, mirip dengan sel stroma.
Faktor
pertumbuhan autokrin
dan parakrin juga
mungkin
terlibat dalam proses tergantung androgen dalam prostat.
(dikutip dari kepustakaan 4)
D. Patofisiologi
Patofisiologi BPH sangat kompleks (Gambar
5). Hiperplasia prostat meningkatkan resistensi
uretra,

sehingga

menyebabkan

perubahan

kompensasi pada fungsi vesika urinaria. Keadaan ini


menyebabkan

peningkatan

tekanan

intravesikal.

Meskipun, peningkatan tekanan detrusor dibutuhkan


untuk mengatur aliran urine, sebagai kompensasi
terhadap peningktan resistensi aliran urine yang
terjadi akibat perubahan fungsi penyimpanan vesika
urinaria. Obstruksi menginduksi

perubahan

fungsi

degenerasi

detrusor,

gangguan

fungsi

serta

proses

sistem

saraf

juga

pada
dan
dapat

menyebabkan gangguan pada vesika urinaria , yang


menimbulkan gangguan fekuensi, urgensi, dan
nokturia, yang menjadi
BPH.

Oleh

karena

keluhan
itu,

untuk

utama

pada

mengetahui

patofisiologi BPH membutuhkan penjabaran bahwa


obstruksi
urinaria.

dapat

menginduksi

disfungsi

vesika

(4,10)

Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia


prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya
massa prostat yang menyumbat uretra posterior,
tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang
ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot
polos pada leher vesika urinaria. Otot polos itu

dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari


nervus pudendus.

(11)

Gambar.2 Patofisilogi BPH mencakup interaksi yang


kompleks antara obstruksi uretra, fungsi detrusor, dan
produksi urine. (dikutip dari kepustakaan 4)
E. Gambaran Klinis
Ukuran prostat tidak selalu menggambarkan
beratnya obstruksi atau gejala yang akan timbul.
Beberapa orang dengan pembesaran kelenjar yang
besar memiliki obstruksi yang kecil dan beberapa
gejala saja, sedangkan orang dengan pembesaran
kelenjar yang kecil memiliki lebih besar blokade dan
permasalahan yang kompleks.

(1,6)

Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi


asimtomatik baru terjadi kalau neoplasma telah
menekan lumen urethra prostatika, urethra menjadi
panjang (elongasil), sedangkan kelenjar prostat makin
bertambah besar.

(5)

Sebagian besar gejala BPH yang berasal dari


obstruksi uretra dan penurunan fungsi vesika urinaria,
yang berefek pada pengosongan vesika urinaria tidak
sempurna. Gejala BPH sangat bervariasi, tetapi gejala
yangpaling sering adalah masalah yang berhubungan
dengan proses berkemih, seperti; Hesitansi, interupsi,
pancaran urine lemah, Urgensi dan menetes setelah
berkemih, Peningkatan frekuensi berkemih, terutama
saat malam (nokturi).

(6)

Gejala klinik yang timbul disebabkan oleh karena dua


hal:
1. Obstuksi.
2. Iritasi.
Gejala-gejala klinik ini dapat berupa (Brown, 1982;
Blandy,

1983

Burkit,

1990;

Forrest,1990;

Weinerth,1992 :

Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai


adalah penurunan kekuatan pancaran dan kaliber
aliran urine, oleh karena lumen urethra mengecil dan
tahanan di dalam urethra mengecil dan tahanan di
dalam urethra meningkat, sehingga kandung kemih
harus memberikan tekanan yang lebih besar untuk

dapat mengeluarkan urine.


Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan
adanya

pemanjangan

periode

laten,

sebelum

kandung kemih dapat menghasilkan tekanan intra

vesika yang cukup tinggi.


Diperlukan waktu yang

lebih

lama

untuk

mengosongkan kandung kemih, jika kandung kemih

tidak dapat mempertahankan tekanan yang tinggi


selama berkemih, aliran urine dapat berhenti dan
dribbling (urin menetes setelah berkemih) bisa
terjadi. Untuk meningkatkan usaha berkemih pasien
biasanya melakukan valsava manouver sewaktu

berkemih.
Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan
kandung kemih gagal mengosongkan urine secara
sempurna, sejumlah urine tertahan dalam kandung
kemih sehingga menimbulkan sering berkemih
(frequency) dan sering berkemih malam hari

(nocturia).
Infeksi yang
memperberat

menyertai
gejala,

residual

karena

akan

urine

akan

menambah

obstruksi akibat inflamasi sekunder dan oedem.


Residual urine juga dapat sebagai predisposisi

terbentuknya batu kandung kemih.


Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran
prostat menyebabkan pembuluh darahnya menjadi

rapuh.
Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi
kandung kemih juga dapat menyebabkan refluk
vesikoureter dan sumbatan saluran kemih bagian atas

yang akhirnya menimbulkan hydroureteronephrosis.


Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal
ginjal (renal failure) dan gejala-gejala uremia berupa
mual, muntah.(5)

Tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur


dengan skor IPSS (Internasional Prostate Symptom
Score) diklasifikasi dengan skor 0-7 penderita ringan,
8-19 penderita sedang dan 20-35 penderita berat.
Sistem skoring IPPS terdiri atas tujuh pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu
pertanyaan
hidup

yang

pasien.

berhubungan

dengan

kualitas

Setipa pertanyaan yang berhubungan

dengan keluhan miksi diberi nilai dari 0 sampai dengan


5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas
hidup pasien diberi nilai dari 1 sampai dengan 7.
(5,10)
Ada juga yang membagi berdasarkan derajat
penderita hiperplasi prostat berdasarkan gambaran
klinis: (Sjamsuhidajat,1997)
- Derajat I : Colok dubur ; penonjolan prostat, batas
atas mudah diraba, dan sisa volume urin <50 ml
- Derajat II : Colok dubur: penonjolan prostat
jelas,batas atas dapat dicapai, sisa volume urin 50100 ml
- Derajat III : Colok dubur; batas atas prostat tidak
dapat diraba, sisa volume urin>100 ml
- Derajat IV : Terjadi retensi urin total.
Keluhan lain dapat berupa gejala obstruksi
antara lain, nyeri pinggang, benjolan di pinggang
(hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis). Tidak
jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh
adanya hernia inguinalis atau hemoroid, yang timbul
karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.
(10)
F. Diagnosis

Evaluasi awal pada semua pasien dengan gejala


protatism harus mencakup riwayat berkemih, pemeriksaan
fisis, urinalysis, pengukuran serum kreatinin, dan pada
banyak kasus, serum tes prostate-spesific antigen (PSA)
untuk skrining kanker prostat. Pemeriksaan lain yang
disesuaikan

dengan

kebutuhan

pencitraan

(imaging),

meliputi

cystoscopy,

diagnosis

uroflowmetry,

pengukuran urine sisa post-berkemih, digital rectal


(1,6)

examination (DRE) dan aliran tekanan.


Riwayat

Dokter harus menanyakan gejala obstruksi dan iritatif


berkemih. Biasanya pasien mengeluhkan menetesnya urin
diakhir berkemih, pancaran urin lemah, dan nokturia.
Pasien

sering

mengeluhkan

peningkatan

frekuensi

berkemih, urgensi, perasaan tidak puas setelah berkemih,


mengejan

saat

berkemih,

dan

intermitten

sebagai

(1)

perlangsungan proses obstruksi.


Informasi
episode

tambahan

yang

dibutuhkan

termasuk

inkontinensia urine, retensi urin, disuria,

hematuria, infeksi saluran kemih, batu kerikil yang keluar


bersama urine, dan disfungsi erektil.

(1)

Riwayat pengobatan pasien juga penting, banyaknya


resep

pengobatan,

serta

pengobatan

tanpa

resep

mengandung

anti

antidepressan)

kolinergik

atau

(contohnya;

sympatomimetik

tricyclic

(contohnya;

phenylephrine yang terdapat pada obat flu) yang memiliki


efek samping.

(1)

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan abdomen meliputi palpasi dan perkusi,
jika vesika urinaria teraba menunjukkan kemungkinan
adanya retensi urin. Stenosis meatus dan massa uretra
kadang-kadang ditemukan pada pemeriksaan genital.
Pemeriksaan colok dubur/ DRE dapat menggambarkan
ukuran, bentuk, simetris, dan konsostensi prostat

(1)

Direct Rectal Examination (DRE)/ Colok Dubur


Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pertama kali.
Dokter memasukkan jarinya ke dalam rectum dan meraba
prostat

serta

rectum.

Pemeriksaan

ini

memberikan

gambaran kepada dokter mengenai ukuran ,keadaan, dan


konsistensi kelenjar prostat.

(3,6)

Prostate Spesific Antigen (PSA)


Skrining tes untuk menyingkarkan dugaan karsinoma
prostat.

(1,3,6)

Pencitraan

Pencitraan prostat dilakukan untuk menilai; ukuran


prostat, bentuk prostat, karsinoma, dan karakterisasi
jaringan.
Pilihan

modalitas

pencitraan

prostat

dapat

menggunakan; Foto Polos Abdomen: Intravenous Pielogra:


Transabdominal

Ultrasound:

TRUS

(Transrectal

Ultrasonography): CT (Computed Tomography): MRI


(Magnetic Resonance Imaging)
Foto Polos Abdomen

(10)

Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya


batu opak di saluran kemih, batu/kalkulosa prostat atau
menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin,
yang
merupakan
tanda retensi
urin.
Intravenous
P

yelogram
Intraven
ous pyelogram (IVP) adalah pemeriksaan x-ray ginjal,
ureter dan kantung kemih yang menggunakan material
(18)

kontras iodine yang diinjeksi ke dalam vena.

Pembesaran signifikan dari kelenjar prostat dapat


menyebabkan

dasar vesika urinaria elevasi dengan

gambaran J-ing atau Fish hooking pada ureter


distal

(11)

Gambar 3. Gambaran vesika urinaria yang mengalami


peradangan (cystitis) akibat retensi urin padapenderita BPH.
(dikutip dari kepustakaan 21)

Gambar 4. Tampak gambaran J-ing atau


fish hooking pada ureter distal dan elevasi
pada vesika urinaria (dikutip dari kepustakaan
19)
Transabdominal Ultrasound(11)

Area inhomogen dari echodenicity tinggi dan


rendah pada bagian tengah prostat

Accoustic shadow mengindikasikan kalsifikasi

Visualisasi terbatas pada anatomi zona prostat

Penonjolan dari pembesaran kelenjar prostat pada bagian


bawah vesika urinaria

Gambar 5. (A) Longitudinal, (B) transversal. Gambaran


Ultrasound dari buli-buli yang
memperlihatkan

pembesaran prostat jinak lobulus moderat


kalsifikasi. (dikutip dari kepustakan 12)

dengan

Transrectal ultrasound (TRUS)


TRUS dapat menilai anatomi prostat, zona anatomy,
dan perubahan internal. Volume prostat dapat dengan
mudah dinilai menggunakan TRUS. Secara umum,
TRUS tidak diindikasikan untuk pemeriksaan awal BPH.
Pencitraan menggunakan TRUS direkomendasikan pada
beberapa pasien. Menyingkirkan kanker prostat pada
pasien

dengan

peningkatan

PSA

(>4

ng/mL)

merupakan indikasi pencitraan dengan TRUS untuk


menentukan tindakan biopsi.

(15)

Gambar 6. Gambar TRUS


prostat memperlihatkan batas
antara zona transisi dan zona
perifer (Bidang cross-sectional).

(dikutip dari kepustakaan 14)


Gambar 7. Gambar transrectal ultrasound prostat bidang axial,
pada pasien berumur 64 thn. Pada kelenjar sentral, nampak dua
nodul besar hyperplasia prostat (panah putih). (dikutip dari
kepustakaan 15)
Gambar
8.
Transrectal
ultrasound
(gambar
transversal) pada
pasien
dengan
pembesaran
prostat
jinak
(BPH).
(A)

memperlihatkan tanda pembesaran prostat. Kelenjar sentral


memperlihatkan gambaran multinoduler dengan kista jinak
(panah) dan pembesaran yang nyata. Hal ini telah diganti dan
kompresi lebih echogenic pada zona perifer. (B)
memperlihatkan penyakit yang lebih sederhana dengan
pembesaran kelenjar prostat yang kecil. Kista jinak (penunjuk
panah)dan nodul adenomatous
(panah-panah) dapat
teridentifikasi. (dikutip dari kepustakaan 12)
CT-Scan
Dengan CT, BPH nampak seperti area homogen yang luas
dengan batas tegas. CT tidak memiliki peran penting dalam
mengevaluasi BPH, sebab resolusi jaringan interprostat rendah,
yang berakibat tidak dapat mengevaluasi rasio glandular ke
jaringan stroma di dalam prostat. Volume prostat dapat diukur
dengan modalitas pencitraan ini.(15)
Gambaran BPH pada CT yaitu;

Zona anatomi tidak nampak

Pembesaran keseluruhan kelenjar prostat

Lobus medial menonjol hingga ke dasar vesika urinaria

Tidak dapat dibedakan dengan kanker prostat

Gambar 9. Bidang Axial CT setelah kontras intravena


memperlihatkan area homogen pada nodul pembesaran prostat
jinak pada kelenjar sentral prostat (panah putih). (dikutip dari
kepustakaan 15)
MRI(11)
Zona anatomi tergambar jelas pada gambar T2

Pembesaran Zona Transisional terlihat jelas

Biasanya inhomogen dengan intensitas tinggi serta rendah

Penampakan halus zona periferal

Gambar
10.
T2-W
bidang transversal prostat
pada pria 63 tahun. Pada
kelenjar prostat sentral,
tampak dua nodul besar
benign
prostatic
hyperplasia
dengan
intensitas sinyal rendah ke
tinggi (panah putih).
Catatan; intensitas sinyal
rendah pada area sebelah
kiri
zona
perifer
menunjukkan karsinoma prostat (panah hitam). (dikutip dari
kepustakaan 15)

Gambar 11. Serial T2-W MRI . Visualisasi zona anatomi


prostat baik. Zona transisional ditandai dengan pembesaran
dan penonjolan ke bagian dasar vesika urinaria. (dikutip
dari kepustakaan 11)
G. Prognosis

Prognosis secara umum baik jika dikelola dengan


medikamentosa maupun pembedahan. BPH yang tidak
diobati dapat memicu timbulnya infeksi saluran kemih, batu
vesika urinaria, gagal ginjal, atau retensi urin yang
merupakan akibat dari obstruksi.(20)
DAFTAR PUSTAKA
1. Paterson,R.F.,
Prostatic
Common

Goldenberg,S.L.,

Benign

Hyperplasia. In;Teichmen,M.H.,editor. 20
Problems

in

urology.

New

York.

McGraww-Hill Companies. 2000; p.185-197


2. Speakman,M.J., Lower Urinary Tract Symptoms
Suggerstive

of

Benign Prostatic

Hyperplasia

(LUTS/BPH) : More Than Treating Symptoms. Eur


Urol Suppl 2008;7:680-9
3. Rosette.,
Alivizatos.,

C.Madersbaher.,

Sanz,R.,

Nordling, J., emberton, M., Gravas,S., Michel., Oelke.,


Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia. European
Association of Urology. 2006; p. 5, 13-9, 30-9
4. Roehrborn,C,G., Mc.Connel,J,D., Benign prostatic
Hyperplasia; etiology, Pathophysiology, Epidemiology,
and natural History. In; Wein. A.J., Kavousii,L.R.,
Novick,A,C.,

Partin,

A,W.,

Peters,C,A.,

editors.

th

Campbell- Walsh Urology 9 ed. Philadelphia. Sounders


Elsevier. 2007. Chapter 86. P.1-14.
5. Furqan. Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH
Setelah Pemasangan Kateter Menetap Pertama Kali dan
Berulang. USU Digital Library. 2003; hal. 10-3
6. National Kidney and Urologic Diseases Information
Clearinghouse. Prostate Enlargement; Benign Prostatic
Hyperplasia. NIH Publications (07-3012);2006
7. Muruve,N.A.,. Prostate Anatomy. In; Gest,T.R.,editors.
Available From http://emedicine.medscape.com Updated
July 11,2011.

8. Strax.J.

The

Prostate.

Available

From

http://www.psa-rising.com, Updated December 26, 2008.


9. Ellis,H., Clinical Anatomy. Australia. Blackwell
Publishing. 2006; p.116-7
10. Purnomo,B., Dasar-Dasar

Urologi,

Edisi

Kedua.

Jakarta: CV.Sagung Seto. 2007;hal. 69-85.


11. Hamm,B.,Asbach.,P.,Beyersdoff.D., Hein,P.,Lemke,U.,
Direct

Diagnosis

in Radiologi; Urogenital Imaging.

New York. Thieme Publishing Groups.2008;p.171-3.


12. Sutton,D., Seventh Edition. Textbook of Radiology and
Imaging, Volume II. London. Churchill Livingstone.
2003;p.1004-5

Anda mungkin juga menyukai