Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau Pembesaran Prostat Jinak (PJJ)
merupakan kelainan kedua tersering yang dijumpai pada Klinik Urologi di Indonesia
setelah batu saluran kemih. BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologi dimana
terjadi peningkatan jumlah sel stroma dan sel epitel dari kelenjar prostat. Tidak semua
pasien BPH berkembang menjadi BPH yang bergejala atau symptomatic BPH, hanya
terdapat 50% pasien BPH yang memiliki bukti mikroskopik hiperplasia nodular yang
bisa dideteksi secara klinis dan menimbulkan gejala klinis (Rahmah dan Munira,
2011).
Menurut Abbas (2005) dalam Hamawi (2010), di dunia, insidensi BPH
meningkat seiring bertambahnya usia, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu
menderita penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni
dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan
diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa mencapai 90%, tetapi jika dilihat
secara histologi penyakit BPH secara umum melibatkan 20% pria pada usia 40-an,
dan meningkat secara dramatik pada pria berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 tahun.
Secara umumnya, di dunia, pada tahun 2003 ditemukan lebih kurang 220.900 kasus
baru BPH.
Perubahan volume prostat terjadi secara bervariasi berdasarkan tingkatan
umur, dimana volume prostat meningkat menjadi 25 cc pada pria usia 30 tahun dan
pada usia 70 tahun menjadi sekitar 35-45 cc (Rahmah dan Munira, 2011).
Menurut Anonim (2010) dalam Juwono et al. (2011), keluhan yang
disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa kumpulan gejala saluran kemih

Universitas Sumatera Utara

bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) yang terdiri atas gejala obstruksi
maupun iritasi yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran
miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas setelah
miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urin. Hubungan antara BPH dengan
kumpulan gejala saluran kemih bawah sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH
mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan
oleh BPH.
Menurut Rosette et al. (2004) dalam Juwono et al. (2011), BPH adalah suatu
kondisi berhubungan erat dengan penuaan, meskipun tidak mengancam nyawa,
manifestasi klinis sebagai kumpulan gejala saluran kemih bawah mengurangi kualitas
hidup pasien. Kumpulan gejala saluran kemih bawah dapat terjadi pada 30% pria
berusia lebih dari 65 tahun. Beberapa studi klinis epidemiologi telah dilakukan di
seluruh dunia selama 20 tahun terakhir, namun demikian prevalensi BPH klinis tetap
sulit untuk ditentukan. Definisi klinis yang standar untuk menentukkan BPH masih
belum jelas, hal ini yang membuat kesulitan untuk melakukan studi epidemiologi
yang memadai.
Menurut Terris (2002) dalam Sutapa et al. (2007), selama ini volume prostat
telah digunakan sebagai kriteria untuk diagnosa BPH. Penentuan volume prostat
sangat berguna untuk rencana terapi dan monitoring hasil terapi BPH. Penentuan
volume prostat dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok dubur, ultrasonografi
(USG), magnetic resonance imaging (MRI) , computed tomography (CT).
Perkiraan volume prostat menggunakan colok dubur adalah tidak akurat,
sedangkan MRI dan CT dapat lebih tepat untuk mengukur volume prostat tetapi
pemeriksaan ini mahal, Roehborn (2002) dalam Sutapa et al. (2007).
Hricak (1987) membandingkan volume prostat menggunakn USG dan MRI,
dengan volume prostat sebenarnya dari operasi Transurethral resection of the

Universitas Sumatera Utara

prostate (TURP), dan prostatektomi terbuka, diperoleh hasil bahwa dengan


Transabdominal ultrasonography (TAUS), rerata perbedaan volume adalah 14%
(SD12), sedangkan dengan MRI rerata perbedaan volume adalah 6% (SD6),
(Sutapa et al., 2007).
Penelitian membandingkan volume prostat menggunakan USG transabdominal
dan transrektal memang telah dipublikasikan sebelumnya, tetapi masih sedikit
penelitian

yang

membandingkan

volume

prostat

menggunakan alat

USG

transabdominal yang berbeda, dan operator yang berbeda. Satu laporan oleh Chung
(2004) menyimpulkan bahwa secara statistik, tidak ada perbedaan yang bermakna
antara USG transabdominal dan transrektal, untuk mengukur volume prostat pada
pasien yang sama. Secara statistik juga tidak ada perbedaan yang bermakna antara
USG transabdominal yang berbeda, atau USG transrektal dengan operator yang
berbeda (Sutapa et al., 2007).
Roehborn (1986) menganjurkan memeriksa prostat menggunakan USG
transabdominal karena pemeriksaannya mudah, tidak invasif, tidak memerlukan
persiapan khusus pada pasien, dapat memperkirakan volume prostat secara tepat,
dapat memberikan informasi tambahan tentang pertumbuhan prostat intravesika,
jumlah residual urine serta dapat mengetahui adanya kelainan buli-buli (Sutapa et al.,
2007).
Gacci et al. (2004) dalam Sinaga et al. (2006), penatalaksanaan terhadap
penyakit BPH secara umum adalah dengan medikamentosa dan operatif. Tindakan
prostatektomi terbuka dapat mengatasi gejala obstruksi dan memperbaiki kualitas
hidup.
Berdasarkan uraian bahwa BPH dapat didiagnosis dengan menggunakan
ultrasonografi yang merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan
serta pemeriksaannya adalah non-invasif dan lebih murah jika dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan penunjang lain seperti MRI dan CT scan, maka peneliti merasa tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul Profil Pasien Benign Prostate Hyperplasia
yang Dilakukan Ultrasonografi. Semakin awal dijumpai BPH, maka semakin baik
prognosisnya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat profil pasien Benign Prostate
Hyperplasia yang dilakukan ultrasonografi di Rumah Sakit Umum Dr.Pirngadi
periode bulan Juli 2012 hingga Desember 2012.
1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat suatu rumusan masalah
sebagai berikut: Bagaimanakah profil pasien Benign Prostate Hyperplasia
yang dilakukan ultrasonografi di Rumah Sakit Umum Dr.Pirngadi periode bulan
Juli 2012 hingga Desember 2012?

1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui profil penderita Benign Prostate Hyperplasia yang
dilakukan ultrasonografi di Rumah Sakit Umum Dr.Pirngadi periode bulan Juli
2012 hingga Desember 2012 yang ditinjau dari umur, keluhan, dan volume
prostatnya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui jumlah penderita Benign Prostate Hyperplasia di Rumah Sakit
Umum Dr.Pirngadi periode bulan Juli 2012 hingga Desember 2012.
2. Mengetahui distribusi umur pada penderita Benign Prostate Hyperplasia di
Rumah Sakit Umum Dr.Pirngadi periode bulan Juli 2012 hingga Desember

Universitas Sumatera Utara

2012.
3. Mengetahui distribusi penderita Benign Prostate Hyperplasia berdasarkan
keluhan utama yang menjalani pemeriksaan ultrasonografi di Rumah Sakit
Umum Dr.Pirngadi periode bulan Juli 2012 hingga Desember 2012.
4. Mengetahui volume prostat pada penderita Benign Prostate Hyperplasia di
Rumah Sakit Umum Dr.Pirngadi periode bulan Juli 2012 hingga Desember
2012.
1.4

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1.

Melalui penelitian ini, peneliti dapat mulai mengaplikasikan ilmu


pengetahuan di bidang statistik kedokteran yang telah didapat selama
masa perkuliahan.

2.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi tambahan dan


dapat dijadikan sebagai salah satu bahan bacaan bagi penelitian lain.

3.

Data atau informasi hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh dokter
dalam penegakan diagnosis Benign Prostate Hyperplasia dengan
mempertimbangkan usia yang beresiko dalam penyakit Benign Prostate
Hyperplasia yang paling berpengaruh dalam insidensinya.

4.

Untuk mensosialisasikan ultrasonografi sebagai skrining Benign Prostate


Hyperplasia dengan menggunakan ultrasonografi pada pria diatas usia 40
tahun sehingga dapat menurunkan angka morbiditas penyakit kelainan
prostat.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai