Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH ETIKA LINGKUNGAN HUBUNGAN TINDAKAN MANUSIA (negatif)

DENGAN LINGKUNGAN ILLEGAL LOGGING


MAKALAH
ETIKA LINGKUNGAN
HUBUNGAN TINDAKAN MANUSIA (negatif) DENGAN LINGKUNGAN
ILLEGAL LOGGING

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara agraris, yang mana terdiri dari daratan dan perairan yang luas.
Indonesia memiliki banyak sekali pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan. Indonesia dari dulu
terkenal merupakan daerah yang subur (daratan). Banyak sekali daerah daratan daripada negara
kita ini yang dimanfaatkan sebagai daerah pertanian dan juga perkebunan, hal ini karena daratan
indonesia terkenal subur sehingga baik untuk dikembangkannya sektor tersebut. Namun semakin
hari keadaan negeri kita semakin banyak mengalami berubah. Seiring dengan perkembangan
teknologi industri, banyak lahan-lahan pertanian dan perkebuanan yang subur dibangun diatasnya
pabrik-pabrik industri dan juga perkotaan. Perkembangan zaman juga diikuti dengan semakin
banyaknya jumlah penduduk yang mendiami negeri kita tercinta ini. Akibatnya, lahan pertanian dan
perkebunan pun semakin sempait, yang mana dikarenakan adanya pembukaan lahan untuk
memenuhi kebutuhan sandang pangan dan papan kita. Selain itu juga banyaknya lahan-lahan yang
mulai tercemar dengan limbah dan tingginya kandungan bahan-bahan kimia yang ada di dalam
tanah kita. Banyak sekali lahan-lahan perkebunan yang dulunya masih hijau bisa dikatakan vegetasi
yang ada masih cukup sekarang menjadi daerah yang kering dan gundul. Ini semua tidak lepas dari
tindakan manusia itu sendiri yang kurang bertanggung jawab.
Pada dasarnya semua yang kita lakukan akan kembali kepada kita semua kelak. Dari kegiatankegiatan tersebut di atas, sudah pasti menjadi penyebab mengapa banyak sekali terjadi bencana
alam seperti halnya lonsor, banjir, dls. Penebangan hutan yang tidak mengikuti prosedur tebang
pilih menjadi hal yang paling mendasar yang menyebabkan daerah hutan kita yang seharusnya lebat
dengan pepohonan menjadi kering keontang. Dari hal tersebut, banyak sekali yang merasakan
danpaknya baik secara langsung maupun tidak. Banyak hewan-hewan yang turun ke daerah
pemukiman penduduk, hal ini karena mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal yang cocok untuk
diri mereka. Mereka juga kekurangan makanan, sehingga banyak dari mereka yang menyerang
pertanian kita. Jika kita sadar, manusia sering durugikan karena akibat ulahnya sendiri. Tidah hanya
hewan yang dirugikan, namun di sini yang paling dirugikan adalah alam semesta ini. Sehingga
jangan heran jika banyak sekali benca banjir, longsor, dls yang terjadi di daerah sekitar kita ini.
1.2 Permasalahan
Dari penjelasan di atas, sudah jelas sekali banyak hal-hal yang akan merugikan semuanya, tidak
hanya hewan dan tanaman tetapi manusia juga akan dirugikan nantinya. Untuk itu, bagaimana
danpak dari hubungan manusia dan alam yang tidak terjalin dengan baik dalam kehidupan.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari kegiatan ini antaralain :
1. untuk mengetahui bagaimana hubungan yang tidak baik yang terjalin antara manusia dan alam
2. untuk mengetahui danpak dari hubungan tersebut dalam kehidupan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


Isu penebangan liar atau illegal logging diangkat lagi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri saat
menghadiri Peringatan 10 Tahun Pusat Penelitian Hutan Internasional (Cifor) di Bogor (Kompas 9
September 2003). Isu penebangan liar semakin marak belakangan ini. Dan, para pemerhati
berupaya mengaitkannya dengan dampak krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997.
Upaya menjustifikasi kegiatan penebangan liar, sebagai sebuah usaha yang mudah untuk
memperoleh uang dan menghubungkannya dengan krisis moneter, merupakan jawaban yang tidak
menyelesaikan masalah, tetapi menambah kekisruhan di sektor itu sendiri. Sejumlah persoalan
timbul ketika penggunaan terminologi "ilegal" dan "legal" dalam setiap kasus yang bernuansa
legalistis. Kadar dan standar formal begitu kental dalam mengidentifikasi kasus penebangan liar ini.
Semua pihak mafhum bahwa ketika pengaplikasian kata yang berbau legalistis diterapkan, pilar
hukum yang dibakukan dengan sendirinya akan menafikan realitas yang ada; yang tidak
dikategorikan dalam bingkai hukum formal.
Konsekuensinya, pertarungan antara yang bersifat "de jure" dan "de facto" menjadi semakin
mengkristal. Dengan demikian, apabila kita mempergunakan jalur berpikir ini, akan timbul
pertanyaan: siapa yang dikategorikan sebagai pelaku legal dan ilegal dalam kasus penebangan liar
ini. Penebangan liar "occur right through the chain from source to costumer, from illegal
extraction, illegal transport and processing through to illegal export and sale, where timber is often
laundered before entering the legal market". Rujukan hukum ini serta merta menerpa para pelaku,
terutama masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, yang hidupnya sangat bergantung dari
hasil-hasil hutan (kayu dan non-kayu). Kelompok marjinal akan selalu menjadi kambing hitam dan
sasaran penindakan dalam setiap kasus penebangan liar.
Maraknya praktik penebangan liar mendorong berbagai badan nasional (LSM) dan internasional
(antara lain CGI) mengkritisi upaya penanganan kasus ini. Data yang dikeluarkan Bank Dunia
menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar
setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar
berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas
terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan
kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan. Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar
negeri tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan (legal). Akibat dari
ketimpangan antara persediaan dan permintaan, ikut mendorong penebangan liar di taman nasional
dan hutan konservasi.
Kondisi ini diperparah lagi dengan tumbuhnya industri kayu tanpa izin dekat lokasi penebangan dan
penimbunan kayu (log ground); di mana transaksi jual beli kayu tanpa dokumen berlangsung.
Padahal, perangkat hukum seperti KUHP Pasal 50 dan Pasal 178 dan UU Nomor 41 Tahun 1999 cukup
efektif untuk menjerat para pemilik, penyimpan, dan pembeli kayu tanpa dokumen, dengan sanksi
Rp 5 miliar atau dipenjarakan selama 10 tahun. Praktik KKN di sektor kehutanan membuat peta
penyelesaian penebangan liar makin semrawut.

Tingginya produksi kayu gelondongan (log) dari 41 hingga 56 juta meter kubik pada tahun 1998,
salah satu penyebabnya adalah bermunculannya kayu dari hasil penebangan liar, yang diperkirakan
berjumlah 70 persen. Kasus penebangan liar di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah,
meresahkan, sebab fauna dan flora yang sangat dilindungi di kawasan hutan dataran rendah ini
akan ikut musnah. Kehancuran hutan sebab penebangan liar terjadi juga di Taman Nasional Leuser,
Taman Nasional Kerinci-Seblat, dan Taman Nasional Gunung Palung. Dampaknya (juga perusakan
hutan dengan cara lainnya) adalah: musnahnya berbagai fauna dan flora, erosi, konflik di kalangan
masyarakat, devaluasi harga kayu, hilangnya mata pencaharian, banjir dan rendahnya pendapatan
negara dan daerah dari sektor kehutanan, kecuali pemasukan dari pelelangan atas kayu "sitaan" dan
kayu "temuan" oleh pihak terkait. Hingga tahun 2002, setiap tahun negara dirugikan Rp 30,42 triliun
dari penebangan liar dan sekitar 50 persen terkait dengan penyelundupan kayu ke luar negeri.
Selama ini, praktik penebangan liar dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di mana pihak
penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu.
Untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit
untuk menjerat mereka dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Kepemilikan kayu "tak
berdokumen" di log ground sepanjang aliran sungai, tempat penimbunan sampai ke penggergajian,
sulit dilacak sebab rumitnya jaringan serta ketidakmampuan aparat untuk menindak para pelaku.
Apabila pemerintah saat ini tak berdaya, fokus kajian terhadap praktik penebangan liar perlu dicari
dalam setiap regulasi pusat dan daerah. Sejak kebijakan otonomi daerah (Otda) diberlakukan tahun
2001, khususnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat
dan Daerah, setiap daerah melirik pada potensi daerah bernilai ekonomis yang tersedia. Eksploitasi
eksesif terhadap sumber daya alam yang tersisa; mendorong dikeluarkannya regulasi yang kadang
kala tumpang tindih antara pusat dan daerah. Pemerintah pusat, di satu sisi, tetap
mempertahankan kendali atas hak (izin) pengelolaan hutan. Bersamaan dengan itu, pemerintah
daerah mengeluarkan peraturan daerah (perda) untuk kepentingan daerahnya. Kontroversi
penyusunan regulasi serupa juga terjadi antara kebijakan provinsi dan kabupaten.
Menurut John Haba Peneliti PMB-LIPI dari Jakarta bahwasanya tumpang tindih regulasi sebab
kebutuhan dan disparitas interpretasi telah ikut mendorong eksploitasi sumber daya alam termasuk
sektor kehutanan. Tekanan hidup terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan
mendorong mereka untuk menebang kayu baik untuk kebutuhan sendiri atau untuk kebutuhan pasar
melalui tangan para pemodal. Permainan dokumen, lazim disebut "dokumen terbang", untuk
melegalkan status kayu ilegal dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor sulitnya
memberantas kegiatan penebangan liar. Oleh sebab jaringan penyelundupan dan penjualan kayu
ilegal juga marak ke luar negeri (Inggris, Singapura, Malaysia, dan Cina), maka kerja sama dengan
12 negara asing perlu ditingkatkan. Kebijakan moratorium yang pernah dikeluarkan oleh Menteri
Kehutanan adalah terapi sesaat dan idak selalu menolong industri perkayuan; bahkan akan
membuat stagnan kegiatan industri kayu serta menurunnya pendapatan negara dari sektor
kehutanan. Penebangan liar tidak cukup dminimalkan dengan imbauan dan surat keputusan. Mata
rantai panjang mulai dari penataan tata ruang, tata wilayah dan penggunaan lahan, program
pemberdayaan masyarakat, jaminan bagi hak-hak hidup dan berusaha untuk masyarakat (adat).
Kerja sama multilateral dengan lembaga swadaya masyarakat, aparat keamanan, polisi hutan,
pemerintah, dan masyarakat (adat) adalah salah satu cara terbaik untuk meminimalkan praktik
penebangan liar.
Hutan Aceh dengan luas kurang lebih 3,5 juta hektare merupakan bagian dari hutan tropis dunia.
Setiap tahunnya hutan Aceh mengalami pengurangan luas, dan diperkirakan kurang lebih satu juta
hektare hutan Aceh hilang akibat praktek ilegal yang tidak terkendali. Luas hutan Aceh tiap tahun
terus mengalami pengurangan luas akibat deforestrasi yang mencapai kurang lebih 20.796 hektare
per tahun. Sampai tahun 2006 angka laju pengurangan luas hutan telah mencapai kurang lebih
374.327 hektare. Selain aktivitas illegal logging, laju kerusakan hutan juga disebabkan oleh konversi
kawasan hutan menjadi peruntukkan infrastruktur jalan dan prasarana, pembukaan jalan jantho
menuju keumala telah mengkonversi cagar alam hutan pinus Jantho dan pembangunan markas

Satuan Brimob di Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan di kawasan Seulawah. Kondisi
lingkungan hutan di Aceh juga diperparah dengan meningkatnya hotspot (titik api), 518 titik api
menjadi 1.163 titik api pada tahun 2006. kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2001 sampai dengan
2006 ini, telah menghanguskan areal seluas 403. 524 ha dari 3.057 titik api.
Kerusakan hutan di Aceh ini juga dipicu oleh maraknya aktivitas penambangan galian C (pasir, batu
dan kerikil), pengerukan galian C ini juga menyebabkan tingginya kecepatan arus sungai dan
menyebabkan tingginya tingkat erosi pada bibir sungai. DAS Krueng Aceh merupakan salah satu
dampak dari ilegal loging, akibat dari aktivitas pengerukan pasir, batu dan kerikil, selain itu DASDAS kecil di sepanjang pantai barat juga tidak luput dari pengerukan (DAS Lhoong) serta dataran
sekitar DAS Krueng Aceh dan pesisir utara di kawasan Lambaro, Montasik, Baitussalam dan Krueng
Raya.
Kerusakan kawasan hutan di hulu dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di hilir, telah menjadikan Provinsi
Aceh sebagai langganan banjir dan longsor, terutama Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh
Barat dan Aceh Jaya. Tahun 2006, tercatat 39 kali bencana banjir dan longsor atau 3-4 kali dalam
satu bulan. Banjir dan longsor itu merusak 249 rumah, 22 fasilitas umum, 211 km jalan, 12
jembatan, 74 ha sawah, 101 ha perkebunan rakyat, 5 bendungan, 2.573 meter saluran air, 5 buah
bendungan besar, 71 meter tanggul dan 20 orang meninggal dunia. Kerusakan luas dan tutupan
kawasan hutan Aceh ini juga berpengaruh terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Aceh,
kurang lebih 46,40 persen atau 714.724,38 ha DAS di Provinsi Aceh mengalami kerusakan dari
1.524.624,12 ha total luas DAS di Aceh.
Bencana ini belum termasuk banjir bandang yang melanda tujuh wilayah di Provinsi Aceh pada
penghujung tahun lalu. Deklarasi tentang perubahan iklim yang ditanda tangani oleh Gubernur
Pemerintahan Aceh, Papua Barat, dan Papua di Nusa Dua Bali pada tanggal 27 April 2007 lalu,
merupakan tanda dimulainya keterikatan ketiga Provinsi tersebut untuk ber-komitmen menjaga
tutupan hutan yang masih tersisa.

BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada dasarnya hubungan yang terjalin antara manusia dan alam dapat dibagi menjadi hubungann
manusia dengan alam yang merusak atau merugikan dan yang menguntungkan atau dengan kata lain
ada yang nrgatif dan positif. Ilegal logging atau pembabatan hutan secara liar merupakan salah satu
contoh hubungan yang merusak lingkungan atau alam. Salah satunya yang terjadi di Aceh sana,
akibat pembalakan hutan Aceh sering dilanda bencana.
Pada dasarnya, bencana yang terjadi pada lingkungan terrestrial disebabkan oleh dua kegiatan,
yaitu kegiatan alam dan kegiatan manusia. Kegiatan alam memang terjadi secara alami dan tidak
dikendalikan oleh manusia. Bencana yang ditimbulkannya bisa langsung disebut bencana alam.
Kegiatan manusia tentunya melibatkan dan dikendalikan oleh manusia, baik dalam bentuk
perorangan maupun kelompok. Beberapa kegiatan manusia yang pada akhirnya sangat berpotensi

menimbulkan bencana adalah penambangan, penebangan hutan, pembangunan permukiman,


pengubahan fungsi lahan (dari daerah resapan ke pertanian), serta pembakaran lahan dan hutan.
Walaupun terdapat dua faktor penyebab, masyarakat dan bahkan pemerintah sekalipun seringkali
mengesampingkan kenyataan bahwa kegiatan manusia dapat memicu terjadinya bencana.
Masalahnya, bencana akibat kegiatan manusia:
1) lebih mirip dengan bencana yang disebabkan oleh kejadian alam daripada disebabkan oleh
kegiatan manusia; misalnya, banjir bandang,
2) tidak terlihat langsung secara fisik atau dampaknya tidak terjadi langsung setelah kegiatan
dilaksanakan, karena masih merupakan potensi; misalnya, hilangnya sumber air, turunnya muka air
tanah/sumur (akibat penambangan), meluapnya air pada dataran rendah (akibat pengurugan),
3) menimbulkan dampak ikutan yang tidak disadari secara langsung oleh manusia; misalnya,
hilangnya plasma nutfah, turunnya biodiversitas.
Kerusakan lingkungan secara bertahap (sedikit demi sedikit) menjadi ciri dampak dari kegiatan
manusia. Gejala inilah yang sering tidak disadari atau bahkan diabaikan. Beberapa di antaranya
adalah:
1) tidak adanya vegetasi atau berkurangnya tutupan lahan yang selanjutnya akan berdampak pada
meningkatnya erosi dan sedimentasi di daerah rendah atau timbulnya banjir pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau,
2) berubahnya bentang lahan atau kondisi tanah yang dapat menimbulkan penurunan muka air
tanah atau pemerosotan nilai konservasi,
3) hancurnya lahan gambut yang dapat mengganggu sistem hidrologi atau mengurangi peresapan air,
4) meluasnya sebaran atau pekatnya kabut asap yang pada akhirnya meningkatkan korban penderita
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Contoh nyata dari kasus kerusakan hutan yang terkenal penebangan hutan daerah resapan di daerah
bogor, hal ini mengakibatkan banjir besar di Jakarta pada tahun 2002. Sumber dampak yang sering
disebut-sebut adalah adanya perubahan fungsi kawasan di daerah Puncak (Bogor) dari kawasan
hutan atau perkebunan teh menjadi permukiman, vila, atau resor-resor wisata, padahal daerah ini
merupakan daerah resapan air dan bahkan merupakan hulu Sungai Ciliwung yang membelah kota
Jakarta. Pada sisi lain, penyebutan sumber dampak ini ternyata menghilangkan perilaku sebagian
besar penduduk Jakarta sendiri sebagai sumber buntunya sistem pembuangan (karena membuang
sampah langsung ke sungai) dan hilangnya daerah tampungan air berupa situ, tasik, atau danau
kecil (karena pengurugan daerah tampungan tersebut untuk permukiman, pabrik, atau keperluan
ekonomi lainnya).
Sama halnya dengan kasus diatas kebanyakan kerusakan-kerusakan yang terjadi di Aceh adalah
akibat banjir yang terjadi karena hutan didaerah hulu dan hilir daerah aliran sungai mengalami
kerusakan akibat adanya penebangan-penebangan liar oleh masyarakat didaerah tersebut.
Kerusakan hutan di Aceh juga dipicu oleh maraknya aktivitas penambangan galian C (pasir, batu dan
kerikil), pengerukan galian C ini juga menyebabkan tingginya kecepatan arus sungai dan
menyebabkan tingginya tingkat erosi pada bibir sungai. DAS Krueng Aceh merupakan salah satu
dampak dari ilegal loging, akibat dari aktivitas pengerukan pasir, batu dan kerikil, selain itu DASDAS kecil di sepanjang pantai barat juga tidak luput dari pengerukan (DAS Lhoong) serta dataran
sekitar DAS Krueng Aceh dan pesisir utara di kawasan Lambaro, Montasik, Baitussalam dan Krueng
Raya.

BAB 4. KESIMPULAN
Berdasarkan data yang diperoleh, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1) Pada dasarnya hubungan yang kurang baik antara manusia dengan alam terjadi karena ada faktor
keinginan manusia untuk memenuhi kebituhannya. Namun, karena sifat dasar manusia yang tidak
pernah merasa puas maka terjadi eksploitasi-eksploitasi yang berlebihan yang nantinya berdampak
pada kerusakan alam
2) Adapun danpak dari pada kegiatan manusia yang merusak lingkungan utamanya hutan banyak
sekali, seperti banjir, longsor, adanya hewan-hewan liar yang menyerang pemukiman yaitu areal
pertanian karena sudah tidak ada lagi makanan yang tersisa di hutan akibat pembalakan liar, dan
masih banyak lagi lainnya. Dari situ manusia nantinya juga akan merasa dirugikan oleh
perbuatannya sendiri.
Sesuatu yang dilakukan oleh manusia akan kembali kepada manusia itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Dampak Illegal Logging di Aceh.


http://www.acehpedia.org/Dampak_Illegal_Logging_di_Aceh. [13 April 2009]
B. Post. 2005. Penambangan Pasir Resahkan Warga. Banjarmasin Post 24 Oktober 2005: 15 (kolom 13).
Haba, John. 2005. Illegal Logging", Penyebab dan Dampaknya. PMB-LIPI. Jakarta
Kurnain, A. Soendjoto, M A. 2005. Kerusakan Dan Bencana Lingkungan Terrestrial Di Kalimantan
Selatan Serta Pencegahan Dan Penanggulangannya. Lembaga Penelitian, Universitas Lambung
Mangkurat. Banjarmasin
Soendjoto, M.A. 2004. Selaraskan Hidup Dengan Alam. Banjarmasin Post 13 Oktober 2004: 20 (kolom
2-5).

Anda mungkin juga menyukai