Anda di halaman 1dari 32

Nama : Ika Tri Rahayu

NPM : 1102014124
Sasaran belajar
1. Memahami dan menjelaskan anatomi pancreas
1.1.
Makroskopik
Pancreas
terletak dalam abdomen pada region umbilicalis dan
hypocondrium sinistra. Bagian atasnya terletak pada region
eoigastrium
Retroperitoneal, kecuali cauda intraperitoneal
Terdiri dari bagian-bagian : caput, colum, corpus dan cauda
pancreas yang terletak dalam hilum linealis
Processus uncinatus yang merupakan bagian dari caput
pancreas, ditepi caudal diantara caput dan corpus sebelah
dorsal a. v. mesentrica superior
Batas-batasnya :
Anterior : colon transversum, perlekatan mesocolon
transversum, bursa omentalis, gaster.
Posterior : ductus choledochus, v. portae dan v. linealis, v.
cava inferior dan aorta abdominalis, pangkal a. mesentrica
superior, m. psoas sinistra, kelenjar supra renalis sinistra dan
renalis sinistra, hillus linealis
Saluran kelenjar pancreas terdiri atas :
1. Ductus pancreaticus majus (wirsungi), cauda pancreas,
menerima banyak cabang dan selanjutnya menembus
postero medial duodenum pars ascendens dipertengahan
bermuara bersama dengan ductus choledochus disebut
ampula didalam papilla duodeni major
2. Ductus pancreaticus accesorius = minor (Santorini),
bila ada. Menalirkan dari atas caput pancreas untuk
selanjutnya bermuara ke dalam duodenum pars descendens
sedikit diatas muara ductus pancreaticus majus. Kadangkadang sering berhubungan dengan ductus pancreaticus
majus
Arteriae :
a. A. linealis cabang a. coeliacus
b. A.
pancreaticoduodenalis
superior
cabang
a.
gastroduodenalis cabang dari a. hepatica communis
c. A pancreaticoduodenalis inferior, cabang a. mesentrica
superior
Vena-vena senama ke sistim portal
Pembuluh lymphe : Ln. coeliacus mesentrica superior
Inesvasi : n. X (simpatis dan parasimpatis).
Produk enzim akan disalurkan dari pancreas ke duodenum
melalui saluran pancreas utama
Beberapa fungsi dari pancreas terdiri atas dua kelenjar eksokrin
dan endokrin.

kelenjar eksokrin menghasilkan secret yang mengandung


enzim yang dapat menghidrolisis KH, lemak dan protein
kelenjar endokrin berbentuk kumpulan sel yang tersebar
diseluruh pancreas disebut insulae dari Langerhans yang
menghasilkan hormone insulin dan glucagon untuk
memetabolisme KH
mengatur kaadar gula dalam darah melalui pengeluaran
glucogen, yang menambah kadar gula dalam darah dengan
mempercepat tingkat pelepasan dari hati.
Pengurangan kadar gula dalam darah dengan mengluarkan
insulin yang mana mempercepat aliran glukosa menjadi
glikogen dan menyimpannya di dalam sel-selnya.
1.2.
Mikroskopik
o Berkelompok dalam pulau2 Langerhans, tersebar, berbentuk
sferis berwarna pucat
o Sel tersusun dalam bentuk genjel tak teratur, ditembus banyak
jaring kapiler tipe fenestra
o Dengan pewarnaan khusus dapat dibedakan 4 macam sel yaitu,
sel , , dan c/PP.

sel

sel

o Sel
o 20% populasi sel
o Mensekresi glukagon
o Bentuk besar, mencolok, terutama di perifer
o Sel
o 75% dari polulasi, sel paling kecil, menempati bagian
tengah
o Mensekresi insulin
o Granula lebih kecil (200 m)
2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi dan biokimia insulin
2.1.
Struktur
Insulin adalah suatu polipeptida yang mengandung dua rantai
asam amino yang dihubungkan oleh jembatan disulfide. Rantai A
terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino.
Ada perbedaan kecil dalam komposisi molekul asam amino dari
suatu spesies ke spesies lain. Perbedaan ini biasanya tidak cukup
besar untuk mempengarui aktivitas biologis suatu insulin pada
spesies heterolog tetapi cukup besar untuk menyebabkan insulin
bersifat antigenic. Bila insulin dari suatu spesies disuntikkan dalam

jangka lama ke spesies lain, akan terbentuk antibody antiinsulin


sapi yang ada di pasaran selama lebih dari 2 bulan membentuk
antibody terhadap insulin sapi, tetapi titernya biasanya rendah.
Insulin babi berbeda dari insulin manusia hanya pada satu residu
asam amino dan memiliki antigenisitas yang rendah. Insulin
manusia yang dihasilkan dalam bakteri oleh teknologi DNA
rekombinan sekarang digunakan secara luas untuk menghindari
pembentukan antibody.
2.2.

Sintesis
Insulin merupakan hormone yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh beta kelenjar pancreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel
beta, insulin disintetis kemudian diekskresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan
tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah.
Insulin disintesis sebagai suatu preprohormon (berat molekul sekitar 11.500)
dan merupakan prototype untuk peptide yang diproses dari molekul prekusor yang
lebih besar. Angkaian pemandu yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino
mengarahkan molekul tersebut ke dalam sisterna reticulum endoplasma dan
kemudian dikeluarkan. Proses ini menghasilkan proinsulin dengan berat molekul
9000 yang menyediakan bentuk yang diperlukan bagi pembentukan jembatan
disulfide yang sempurna. Penyusunan proinsulin, yang dimulai dari bagian terminal
amino, adalah rantai B peptide C penghubung rantai A. molekul proinsulin
menjalani serangkaian pemecahan peptide tapak- spesifik sehingga terbentuk insulin
yang matur dan peptide C dalam jumlah yang seimbang dan disekresikan dari granul
sekretorik pada sel beta pancreas.

2.3.

Sekresi
Sel-sel beta pancreas mempunyai sejumlah besar pengangkut
glukosa (GLUT-2) yang memungkinkan terjadinya ambilan glukosa
dengan kecepatan yang sebanding dengan nilai kisaran fisiologis
konsentrasi glukosa dalam darah. Begitu berada di dalam sel,
glukosa akan terfosforilasi menjadi glukosa di sel dan dianggap
sebagai mekanisme utama untuk mendeteksi glukosa dan
menyesuaikan jumlah insulin yang disekresinkan dengan kadar
glukosa darah. Glukosa-6-fosfatase selanjutnya dioksidasi untuk

membentuk adenosine trifosfat (ATP) yang menghambat kanal


kalium yang peka-ATP di sel. Penutupan kanal kalium akan
mendepolarisasikan membrane sel sehingga akan membuka kanal
natrium bergerbang voltase, yang sensitive terhadap perubahan
voltase membrane. Keadaan ini akan menimbulkan aliran masuk
kalsium yang merangskang penggabungan vesikel yang berisi
insulin dengan membrane sel dan sekresi insulin ke dalam cairan
ekstrasel melaluki eksositosis
Insulin dibentuk dalam reticulum endoplasma kasar sel .
Insulin kemudian dipindahkan ke apparatus golgi, tempat ia
mengalami pengemasan dalam granula berlapis membrane.
Granula ini bergerak ke membrane plasma melalui suatu proses
yang melibatkan mikrotubulus, da nisi granila dikeluarkan malalui
aksitosis. Insulin kemudian melintasi serta kapiler di dekatnya dan
endotel kapiler yang berpori untuk mencapai aliran darah.
Seperti hormone polipeptida dan protein serupa lain yang
masuk ke dalam reticulum endoplasma, insulin disintesis sebagai
suatu bagian dari praprohormon yang berukuran besar. Pada
manusia, gen untuk insulin terletak dilengan pendek kromosom 11.
Prapoinsulin memiliki reticulum endoplasma. Molekul sisanya
kemudian berlipat, lalu terbentuk ikatan disulfide sehingga
akhirnya
terbentuk
proinsulin.
Segmen
peptide
yang
menghubungkan rantai a dan b, connecting peptide (peptide c),
mempermudah melipatnya molekul dan kemudian terlepas dari
granula sebelum sekresi. Peptide c dapat diukur dengan
radioimmunoassay, dan kadarnya digunakan untuk menilai indeks
fungsi sel b pada pasien yang mendapat insulin eksogen.
2.4.
Pengaturan insulin dalam tubuh (stimulasi & penghambatan)
2.5.
Metabolisme Karbohidrat, Protein, Lemak
Peranan insulin
Efek pada karbohidrat
Insulin memilik 4 efek yang menurunkan kadar glukosa darah
dan menigkatkan penyimpanan karbohidrat :
o Insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel.
Beberapa jaringan yang tidak bergantung pada insulin
untuk meyerap glukosa yaitu otak,otot yang aktif dan hati
o Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen
dari glukosa baik di otot maupun dihati
o Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen
menjadi
glukosa.
Dengan menghambat penguraian
glikogen, insulin meningkatkan penyimpanan karbohidrat
dan menurunkan penguraian glukosa dalam hati
o Insulin menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan
menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino
menjadi glukosa di hati.
Insulin menurunkan konsentrasi glukosa darah
dengan
meningkatkan penyerapan glukosa dari darah untuk digunakan dan
disimpan oleh sel., secara simultan menghambat mekanisme yang

digunakan oleh hati untuk mengeluarkan glukosa baru dalam


darah. Insulin adalah satu satunya hormon yang menurunkan
kadar glukosa darah.
Efek pada lemak
Insulin efeknya menurunkan kadar asam lemak darah dan
membentuk simpanan trigliserida :
o Insulin meningkatkan transportasi glukosa ke dalam sel
jaringan adiposa. Glukosa berfungsi sebagai prekursor untuk
pembentukan assm lemak dan gliserol, yaitu bahan mentah
untuk membentuk trigliserida.
o Insulin meningkatkan enzim enzim yang mengkatalisasi
pembentukan asam lemak dari turunan glukosa
o Insulin meningkatkan masuknya asam asam lemak dari
daeah ke dalam se jaringan adiposa.
o Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak), sehingga
terjadi penurunan pengeluaran asam lemak dari jaringan
adiposa ke dalam darah.
Efek pada protein
Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan
meningkatkan sintesis protein :
o Insulin mendorong transportasi aktif asam asam amino dari
darah ke dalam otot dan jaringan lain. Efek ini menurunkan
kadar asam amino dalam darah dan menghasilkan bahan
pembangun untuk sintesis protein dalam sel.
o Insulin meningkatkan kecepatan penggabungan asam
amino ke dalam protein dengan merangsang perangkat
pembuat protein di dalam sel.
o Insulin menghambat penguraian protein.
o Faktor yang mempengaruhi sekresi insulin
Peningkatan kadar glukosa darah, seperti setelah penyerapan
makanan,secara langsung merangsang sintesis dan pengeluaran
insulin oleh sel beta. Sebaliknya penurunan kadar glukosa darah di
bawah normal, seperti pada puasa, secara langsung menghambat
sekrresi insulin. Selain konsentrasi glukosa plasma, berbagai
masukan berikut juga berperan dalam mengatur sekresi insulin :
Peningkatan kadar asam amino plasma,setelah memakan
makanan tinggi protein, secara langsung merangsang sel beta
untuk meningkatkan sekresi insulin. Melalui mekanisme umpan
balik negatif, peningkatan insulin tersebut meningkatkan
masuknya asam asam amino tersebut ke dalam sel,sehingga
kadar asam amino dalam darah menurun sementara sintesis
protein meningkat.
Hormon pencernaan utama yang disekresikan oleh saluran
pencernaan sebagai respons terhadap adanya makanan,
terutama gastric inhibitory peptide, merangsang sekresi insulin
pankreas selain memiliki efek regulatorik langsung pada sistem
pencernaan. Melalui kontrol ini, sekresi insulin meningkat

secara feedforward atau antisipatorik bahkan sebelum terjadi


penyerapan zat gizi yang meningkatkan kadar glukosa darah
dan asam amino dalam darah.
Sistem saraf otonom secara langsung juga mempengaruhi
sekresi insulin. Pulau pulau langerhans dipersyarafi oleh banyak
serat saraf parasimpatis dan simpatis. Peningkatan aktivitas
parasimpatis yang terjadi sebagai respons terhadap makanan
dalam saluran pencernaan merangsang pengerluaran insulin.
Sebaliknya, stimulasi simpatis dan peningkatan pengeluaran
epinefrin akan menghambat sekresi insulin, penurunan insulin
meningkatkan kadar glukosa darah, suatu respons yang sesuai
untuk keadaan keadaan pada saat terjadi aktivitas sistem
simpatis yaitu, stress dan olahraga.

3. Memahami dan menjelaskan diabetes mellitus


3.1.
Definisi
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit
metabolic dengan karakterisktik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
3.2.

Etiologi
DM dicirikan dengan peningkatan sirkulasi konsentrasi
glukosa akibat metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang
abnormal dan berbagai komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler. Semua keadaan diabetes merupakan akibat
suplai insulin atau respon jaringan terhadap insulin yang tidak
adekuat (Inzucchi, 2005), ada bukti yang menunjukkan bahwa
etiologi DM bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dan jenis
yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin,
tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting
pada mayoritas penderita DM. Manifestasi klinis DM terjadi jika
lebih dari 90% sel-sel beta telah rusak. Pada DM yang lebih
berat, sel-sel beta telah rusak semuanya, sehingga terjadi
insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan
dengan defisiensi insulin (Anonim, 1999).
Penyebab-penyebab tertentu yang berhubungan dengan
proses terjadinya diabetes melitus tipe II menurut Guyton & Hall
(2002), yaitu:
1. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas
65 tahun)
2. Obesitas
3. Riwayat keluarga
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko diabetes tipe 2 terbagi atas:
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah:
Ras dan Etnik
Resiko Diabetes melitus tipe 2 lebih besar pada
hispani, kulit hitam, penduduk asli amerika dan Asia.

Riwayat keluarga dengan diabetes


Seseorang dapat mewarisi gen penyebab diabetes
melitus dari orang tua. Biasnaya , seseorang yang
mengalami diabetes melitus mempunyai anggota keluarga
yang juga terkena diabaetes melitus.
Usia > 45 tahun
Resistensi insulin biasanya meningkat pada usia
diatas 65 tahun.
Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih
dari 4 kg
Riwayat pernah menderita DM Gestasional
Riwayat berat badan lahir rendah < 2,5 kg
2. Faktor risiko yang dapat diperbaiki
Berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2)
HDL dibawah 35 mg/dL dan atau tingkat TGA >250
mg/dL dapat meningkatkan resiko diabetes melitus tipe 2
Kurang aktivitas fisik
Hipertensi(>140/90 mmHg)
Dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau trigliserida > 250
mg/dl
Diet tinggi gula rendah serat
Pola makan
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar
kalori yang diperlukan oleh utbuh dapat memicu diabetes
melitgus tipe 2 karena pankreas memiliki kadar pankreas
yang disekresikan dalam julam tertentu.
Gaya hidup
Makanan cepat saji dan olahraga tidak teratur
merupakan gaya hidup yang dapat memicu terjadi diabetes
melitus tipe 2
Faktor risiko lain yang terkait dengan risiko diabetes: Penderita sindrom ovarium poli-kistik
Keadaan klinis lain yang terkait dengan ressitensi insulin
Sindrom metabolik
Riwayat toleransi glukosa terganggu/glukosa darah puasa
terganggu
Riwayat penyakit kardiovascular (stroke, penyempitan
pembuluh darah koroner jantung, pembuluh darah arteri
kaki) (Tedjapranata M, 2009).
3.3.

Klasifikasi
A. Diabetes Melitus tipe I
Dikarenakan destruksi sel Beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut. Bisa melalui proses imunologik
(autoimun) atau idiopatik.
B. Diabetes Melitus tipe II

Bervariasi mulai yang pedominann resistensi insulin disertai


defisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan
sekresi insulin bersama resistensi insulin.
C. Diabetes Melitus tipe lain
a. Defek genetic fungsi sel beta
b. Defek genetic kerja insulin: resistensi insulin tip A, I
eprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall diabetes
lipoatrofik.
c. Penyakit Eksokrin Pankreas: Pankreatitis, neoplasma,
pankreatipati fibro kalkulus.
d. Endokrinopati: Akromegali, sindrom cushing.
e. Karena obat / zat kimia: hormone tiroid, asam nikotinat dll.
f. Infeksi: Rubella congenital, CMV, dll
g. Imunologi (jarang)
h. SIndroma Genetik lainnya: Sindrom Down, Sindrom
klinefelter, dll.
D. Diabetes Kehamilan / Gestasional
3.4.

Patofisiologi
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh
adanya kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel pankreas karena pengaruh dari luar (virus,
zat kimia tertentu, dll).
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas.
c. Desensitas/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di
jaringan perifer
Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang
ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada
akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel
yang memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik
tampaknya memberikan respon terhadap kejadian-kejadian pemicu
yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi
autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan
berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa.
Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya
kaitan dengan tipe-tipe histokompatibilitas (human leucocyte
antigen [HLA]) spesifik. Tipe dari gen histokompatibilitas yang
berkaitan dengan diabetes tipe 1 ( DW3 dan DW4) adalah yang
memberikan kode kepada protein-protein yang berperan penting
dalam interaksi monosit-limfosit. Protein-protein ini mengatur
respon sel T yang merupakan bagian normal dari respon imun. Jika
terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan
penting dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau Langerhans.
Juga terdapat bukti adanya peningkatan antibodi-antibodi terhadap

sel-sel pulau Langerhans yang ditujukan tehadap komponen


antigenik tertentu dari sel beta.
Kejadian pemicu yang menentukan proses autoimun pada
individu yang peka secara genetik dapat berupa infeksi virus
coxsackie B4 atau gondongan atau virus lain. Obat-obat tertentu
yang diketahui dapat memicu penyakit autoimun lain juga dapat
memulai proses autoimun pada pasien-pasien diabetes tipe 1.
Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 mempunyai pola familial yang kuat.
Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100
%. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung
mendekati 40 % dan 33 % untuk anak cucunya. Transmisi genetik
adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes
awitan dewasa muda (MODY) , yaitu subtipe penyakit diabetes
yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua
menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan non diabetes pada
anak adalah 1:1 dan sekitar 90 % pasti membawa (carrier)
diabetes tipe 2.
Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta
kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel
sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya
kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi
reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4
glukosa yang meningkatkan transpor glukosa menembus membran
sel.
Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan
dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat
disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat resptor pada
membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat
ketidaknormalan reseptor insulin instrinsik. Akibatnya terjadi
penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan
sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan post reseptor dapat
menganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta
dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi
memadai untuk mempertahankan euglikomia.
Sekitar 80 % pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas karena
obesitas berkaitan dengan resitensi insulin, maka kelihatannya
akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang meyebabkan
diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan
dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan
toleransi glukosa.
PATOFISIOLOGI
Diabetes melitus tipe 1
Pasien-pasien
dengan
defisiensi
insulin
tidak
dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau
toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya
berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul
glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibtakan diuresis osmotik yang

meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus


(polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien
mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan
berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin
akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh
lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan
gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat
badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa
hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan
timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak
mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya
diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya
penderita peka terhadap insulin.

Diabetes melitus tipe 2

Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali


tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat
berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan
tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang berat, pasien
tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah, dan
somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena
pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut, namun hanya
relatif.
Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk
menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien
tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat
hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk
menormalkan
kadar
glukosanya.
Pasien
ini
biasnaya
memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer tehadap insulin.
Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau
malahan
tinggi,
tetapi
tetap
tidak
memadai
untuk
mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga
resisten terhadap insulin eksogen.
3.5.

Manifestasi Klinis
Poliuri (banyak kencing)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat
sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa
sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak
menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak
kencing.
Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan
cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi
klien lebih banyak minum.
Polipagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel
mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien
akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap
saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada
pembuluh darah.
Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang.
Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi
glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari
bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena
tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan
memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk
yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan
DM walaupun banyak makan akan tetap kurus.
Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa
sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin.
Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga
menyebabkan pembentukan katarak.

3.6.
Diagnosis
Pemeriksaan fisik lengkap, termasuk :
1. Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, lingkar pinggang
2. Tanda neuropati
3. Mata ( visus, lensa mata dan retina )
4. Gigi dan mulut
5. Keadaan kaki ( termasuk rabaan nadi kaki ), kulit dan kuku.
6. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat
penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis
7. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipelain
8. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
Pemeriksaan penunjang, termasuk :
1. Glukosa darah sewaktu

cek GDS
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar
TTGO
Tes toleransi glukosa oral/TTGO (oral glucose tolerance test, OGTT) dilakukan
pada kasus hiperglikemia yang tidak jelas; glukosa sewaktu 140-200 mg/dl, atau
glukosa puasa antara 110-126 mg/dl, atau bila ada glukosuria yang tidak jelas
sebabnya. Uji ini dapat diindikasikan pada penderita yang gemuk dengan
riwayat keluarga diabetes mellitus; pada penderita penyakit vaskular, atau
neurologik, atau infeksi yang tidak jelas sebabnya.
TTGO juga dapat diindikasikan untuk diabetes pada kehamilan (diabetes
gestasional). Banyak di antara ibu-ibu yang sebelum hamil tidak menunjukkan
gejala, tetapi menderita gangguan metabolisme glukosa pada waktu hamil.
Penting untuk menyelidiki dengan teliti metabolisme glukosa pada waktu hamil
yang menunjukkan glukosuria berulangkali, dan juga pada wanita hamil dengan
riwayat keluarga diabetes, riwayat meninggalnya janin pada kehamilan, atau
riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir > 4 kg. Skrining diabetes hamil
sebaiknya dilakukan pada umur kehamilan antara 26-32 minggu. Pada mereka
dengan risiko tinggi dianjurkan untuk dilakukan skrining lebih awal.
Prosedur
Selama 3 hari sebelum tes dilakukan penderita harus mengkonsumsi sekitar 150
gram Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan
sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan
jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/ kgBB (anakanak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan harus istirahat dan tidak merokok

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,


bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke
dalamkelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
a. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
b. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
diagnosis DM (mg/dl)

Untuk mengetahui adanya risiko DM atau tidak perlu digunakan


pemeriksaan dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu :
kelompok usia ( > 45 tahun )
usia lebih muda, dengan IMT (indeks masa tubuh) > 23
(kg/m2)} yang disertai factor risiko :
o tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
o turunan pertama dari orangtua dengan DM
o riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
o riwayat DM pada kehamilan
o dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida >
250 mg/dl
o pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT
(Glukosa Darah Puasa Terganggu).
4. Test benedict

Interpretasi (mulai dari tabung paling kanan) :


0 = Berwarna Biru. Negatif. Tidak ada Glukosa.. Bukan DM
+1 = Berwarna Hijau . Ada sedikit Glukosa. Belum pasti DM, atau
DM stadium dini/awal
+2 = Berwarna Orange. Ada Glukosa. Jika pemeriksaan kadar
glukosa darah mendukung/sinergis, maka termasuk DM
+3 = Berwarna Orange tua. Ada Glukosa. Positif DM
+4 = Berwarna Merah pekat. Banyak Glukosa. DM kronik
5. Rothera test
Pada tes ini, digunakan urin sebagai spesimen, sebagai
reagen dipakai, Rothera agents, dan amonium hidroxida pekat
Test ini untuk berguna untuk mendeteksi adanya aceton dan
asam asetat dalam urin, yang mengindikasikan adanya
kemungkinan dari ketoasidosis akibat DM kronik yang tidak
ditangani. Zat zat tersebut terbentuk dari hasil pemecahan
lipid secara masif oleh tubuh karena glukosa tidak dapat
digunakan sebagai sumber energi dalam keadaan DM, sehingga
tubuh
melakukan
mekanisme
glukoneogenesis
untuk
menghasilkan energi. Zat awal dari aceton dan asam asetat
tersebut adalah Trigliseric Acid/TGA, yang merupakan hasil
pemecahan dari lemak.
3.7.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding DM :
a. Hiperglikemi reaktif
b. Toleransi glukosa terganggu (TGT = IGT)
c. Gula darah puasa terganggu (GDPT = IFG)
d. Cystic fibrosis
e. Diabetes mellitus tipe I
f. Ketoasidosis diabetic
g. Drug-induced glucose intolerance
h. Gestational diabetes
i. Glucose intolerance
j. Pancreatitis

3.8.
Tatalaksana
Pilar penatalaksaan DM
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidupdan
perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan
penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasiendalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk
mencapaikeberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi
yangkomprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,tanda
dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harusdiberikan
kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darahdapat dilakukan
secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
2. Terapi nutrisi medis
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupanenergi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang
berserat tinggi. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga
penyandang diabetes dapat makan sama dengan makanan
keluarga yanglain Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan
energi. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti
gula,asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake). Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan
asupan karbhidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat
diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori.Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh <
7 % kebutuhan kalori. Lemak tidak jenuh ganda < 10 %,
selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Bahan makanan yang
perlu dibatasi adalah yang banyakmengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: dagingberlemak dan susu penuh (whole
milk). Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi. Sumber
protein yang baik adalah seafood. Pada pasien dengan nefropati
perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8 g/KgBB perhari
atau 10% dari kebutuhanenergi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi.
Natrium
Anjuran
asupan
natrium
untuk
penyandang
diabetes
samadengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak
lebihdari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh)
garam dapur. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium
sampai 2400mg.

Serat
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari .
Pemanis Alternatif
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang dia-betes
karena efek samping pada lemak darah. Pemanis tak
berkaloriyang masih dapat digunakan antaralain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose,dan neotame
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secarateratur
(3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit). Latihan
jasmaniselain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
4. Intervensi farmakologis
Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):
SULFONILUREA
MEKANISME
KERJA.
Golongan
obat
ini
sering
disebut
sebagai
insulin
secretstogues, kerjanya merangsang sekresi insulin dari
granul sel-sel Langerhans pancreas. Rangsangannya
melalui interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada
membrane sel-sel yang menimbulkan depolarisasi
membrane dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. dengan
terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk sel-sel ,
merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi
sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida
C. kecuali itu sulfonylurea dapat mengurangi klirens insulin di
hepar. Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang
besar dapat menyebabkan hipoglikemia.
FARMAKOKINETIK.
Berbagai sulfonylurea mempunyai sifat kinetic berbeda, tetapi
absorpsi melalui saluran cerna cukup efektif. Makanan dan
keadaan hiperglikemia dapat mengurangi absorpsi. Untuk
mencapai kadar optimal di plasma, sulfonylurea dengan masa
paruh pendek akan lebih efektif bila diminum 30 menit
sebelum makan. Dalam plasma sekitar 90%-99% terikat
protein plasma terutama albumin; ikatan ini paling kecil untuk
klorpropamid dan paling besar untuk gliburid.
Masa paruh dan metabolisme sulfonylurea generasi I sangat
bervariasi. Masa paruh asetoheksamin pendek tetapi
metabolit aktifnya, 1-hidroksiheksamid masa paruhnya lebih
panjang, sekitar 4-5 jam, sama dengan tolbutamid dan
tolazamid. Sebaiknya sediaaan ini diberikan dengan dosis
terbagi. Sekitar 10% dari metabolitnya diekskresi melalui
empedu dan keluar bersama tinja.

Klorpropamid dalam darah terikat albumin, masa paruhnya


panjang, 24-48 jam, efeknya masih terlihat beberapa hari
setelah obet dihentikan. Metabolismenya di hepar tidak
lengkap, 20% diekskresi utuh di urin.
Mula kerja tolbutamid cepat, masa paruhnya sekitar 4-7 jam.
Dalam darah sekitar 91-96% tolbutamid terikat protein
plasma, dan di hepar di ubah menjadi karboksitolbutamid.
Ekskresinya melalui ginjal.
Tolazamid, absorpsinya lebih lambat dari yang lain; efeknya
pada glukosa darah belum nyata untuk beberapa jam setelah
obat diberikan. Masa paruh sekitar 7 jam, di hepar di ubah
menjadi p-karboksitolazamid, 4-hidroksimetitolazamid dan
senyawa lain, yang diantaranya memiliki sifat hipoglikemik
cukup kuat.
Sulfonilurea generasi II, umumnya potensi hipoglikemiknya
hampir 100 kali lebih besar dari generasi I. Meski masa
paruhnya
pendek,
hanya
sekitar
3-5
jam,
efek
hipoglikemiknya berlangsung 12-24 jam, sering cukup
diberikan 1 kali sehari. Alasan mengapa masa paruh yang
pendek ini, memberikan efek hipoglikemik panjang, belum
diketahui.
Glibizid, absorpsinya lengkap, masa paruhnya 3-4 jam. Dalam
darah 98% terikat protein plasma, potensinya 100 kali lebih
kuat dari tolbutamid, tetapi efek hipoglikemik maksimalnya
mirip dengan sulfonilurea lain, metabolismenya di hepar,
menjadi metabolit yang tidak aktif, sekitar 10% diekskresi
melalui ginjal dalam keadaan utuh.
Gliburid (glibenklamid) potensinya 200 x lebih kuat dari
tolbutamid, masa paruhnya sekitar 4 jam. Metabolismrnya di
ahepar, pada pemberian dosis tunggal hanya 25%
metabolitnya diekskresi melalui urun, sisanya melalui
empedu. Pada penggunaan dapat terjadi kegagalan primer
dan sekunder, dengan seluruh kegagalan kira-kira 21%
selama 1,5 tahun.
Karena semua sulfonilurea di metabolisme di hepar dan
diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan
pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat.
EFEK SAMPING.
Insidens efek samping generasi I sekitar 4%, insidensnya
lebih rendah lagi untuk generasi II. Hipoglikemia, bahkan
sampai koma tentu dapat timbul.reaksi ini lebih sering terjadi
pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi hepar atau
ginjal, terutama yang menggunakan sediaan dengan masa
kerja panjang.
Efek samping lain, reaksi alergi jarang sekali terjadi, mual,
muntah, diare, gejala hematologi, susunan saraf pusat, mata
dan sebagainya.

Gangguan saluran cerna ini dapat berkurang dengan


mengurangi dosis, menelan obat bersama makanan atau
membagi obat dalam beberapa dosis. Gejala sususnan saraf
pusat berupa vertigo, bingung, atraksia dan sebagainya.
Gejala hematologik al. Leukopenia dan agranulositosis. Efek
samping lain gejala hipotiroidisme, ikterus obstruktuf, yang
bersifat sementara dan lebih sering timbul akibat
klorpropamid (0,4%). Berkuarngnya toleransi terhadap alkohol
juga telah dilaporkan pada pemakaian tolbutamid dan
klorpropamid.
Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat
dosis tepat, tidak makan cukup atau dengan gangguan fungsi
hepar dan/atau ginjal. Kecenderungan hipoglikemia pada
orang tua disebabkan oleh mekanisme kompensasi berkurang
dan asupan makanan yang cenderung kurang. Selain itu,
hipoglikemia tidak mudah dikenali pada orang tua karena
timbul perlahan tanpa tanda akut (akibat tidak ada refleks
simpatis) dan dapat menimbulkan disfungsi otak sampai
koma. Penurunan kecepatan ekskresi klo, propamid dapat
meningkatkan hipoglikemia.
INDIKASI.
Memilih sulfonilurea yang tepat untuk pasien tertentu sangat
penting untuk suksesnya terapi. Yang menentukan bukanlah
umur pasien waktu terapi dimulai, tetapi usia pasien waktu
penyakit DM mulai timbul. Pada umumnya hasil yang baik
diperoleh pada pasien yang diabetesnya mulai timbul pada
usia diatas 40 tahun. Sebelum menentukan keharusan
penggunaan sulfonilurea, selalu harus dipertimbangkan
kemungkinan mengatasi hiperglikemia dengan hanya
mengatur diet serta mengurangi berat badan pasien.
Kegagalan pasien dengan salah satu derivat sulfonilurea,
mungkin juga disebabkan oleh perubahan farmakokinetik
obat, misal penghancuran yang terlalu cepat. Obat hasil
terapi yang baik tidak dapat dipertahankan dengan dosis 0.5
g klorpropamid, 0.75 g tolazamid, sebaiknya dosis jangan
ditambah lagi.
Selama terapi, pemeriksaan fisik dan laboratorium harus
tetap dilakukan secara teratur. Pada keadaan yang gawat
seperti stres, komplikasi, infeksi dan pembedahan, insulin
tetap merupakan terapi standar.
GLINID
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengansulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan
sekresiinsulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obatyaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat
setelahpemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melaluihati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin


TIAZOLIDINDION
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma, suatu resptor di inti
sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulindengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada
pasien dengan ga-gal jantung kelas I-IV karena dapat
memperberat edema/re-tensi cairan dan juga pada gangguan
faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala
C. Penghambat gluconeogenesis
METFORMIN
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati
(glukoneogenesis),
di
samping
juga
memperbaikiambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan
pada pasiendengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5
mg/dL)dan
hati,
serta
pasien-pasien
dengan
kecenderungan hipok-semia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek sampingmual. Untuk mengurangi keluhan
tersebut dapat diberikanpada saat atau sesudah makan.
Selain itu harus diperha-tikan bahwa pemberian metformin
secara titrasi pada awalpenggunaan akan memudahkan
dokter untuk memantauefek samping obat tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa
darah sesudah makan. Acarbosetidak menimbulkanefek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like
peptide-1(GLP-1)
merupakan
suatu
hormonpeptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan
yangmasuk
ke
dalam
saluran
pencernaan.
GLP-1
merupakanperangsang kuat penglepasan insulin dan
sekaligus seba-gai penghambat sekresi glukagon. Namun
demikian, se-cara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4(DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-Amide
yang tidakaktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upayayang
ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupa-kan hal
rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Pening-katan
konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberianobat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DP-4), atau
memberikan
hormon
asli
atau
analognya
(analog

Sulfonilure
a

Glinid

Metformin

Penghamb
at
glukosidas
e-alfa
Tiazolidindi
on

incretin=GLP-1 agonis).Berbagai obat yang masuk golongan


DPP-4 inhibitor, mampumenghambat kerja DPP-4 sehingga
GLP-1 tetap dalam kosentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif
dan mampu merang-sang penglepasan insulin serta
menghambat penglepasan glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai
respons
kadar
glukosa
darah,
dapat
diberikansampai dosis optimal
Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan sua-pan
pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan
atausebelum makan.
cara
kerja Efek
Reduks keuntungan kerugian
utama
samping
i A1C
utama
Meningkatka BB naik, 1,0Sangat
Meningkatkan
n
sekresi hipoglike 2,0%
efektif
berat
badan,
insulin
mia
hipoglikemia
(glibenklamid
dan
klorpropamid)
Meningkatka BB naik, 0,5Sangat
Meningkatkan
n
sekresi hipoglike 1,5%
efektif
berat
badan,
insulin
mia
pemberian
3x/hari,
harganya mahal
dan hipoglikemia
Menekan
Dyspepsi 1,0Tidak
ada Efek
samping
produksi
a, diare, 2,0%
kaitan
gastrointestinal,
glukosa hati asidosis,
dengan
3x/hari
dan
&
laktat
berat badan mahal
menambah
sensitifitas
terhadap
insulin
Menghamba Flatulens, 0,5Tidak
ada Sering
t
absorbsi tinja
0,8%
kaitan
menimbulkan
glukosa
lembek
dengan
efek
berat badan gastrointestinal,
3x/hari
dan
mahal
Menambah
Edema
0,5Memperbai Retensi
cairan,
sensitifitas
1,4%
ki profil lipid CHF,
fraktur,
terhadap
(ploglitazon berpotensi

insulin

DPP-4
inhibitor

Inkretin
analog/mi
metic

insulin

Meningkatka
n
sekresi
insulin,
menghamba
t
sekresi
glukagon
Meningkatka
n
sekresi
insulin,
menghamba
t
sekresi
glukagon
Menekan
produksi
glukosa hati,
stimulasi
pemanfaata
n glukosa

Sebah,
muntah

0,50,8%

Sebah,
muntah

0,51,0%

Hipoglike 1,5mia, BB 3,5%


naik

5. Suntikan
Insulin
KLASIFIKASI INSULIN
Jenis sediaan Bufer
Mula
kerja
Kerja cepat
Regular
solube
(kristal)
Lispro
Kerja sedang
NPH
(isophan)
Lente
Kerja
panjang
Protamin
zinc
Ultralente
Glargin

Fosfat

0,1-0,7
0,25

),
berpotensi
menurunka
n
infark
miokard
(ploglitazon
)
tidak
ada
kaitannya
dengan
berat badan

menimbulkan
infark
miokard
dan mahal

Penggunaan
jangka panjang
tidak disarankan
dan mahal

Penurunan
Injeksi
2x/hari,
berat badan penggunaan
jangka panjang
tidak disarankan
dan mahal
Dosis tidak
terbatas,
memperbai
ki profil lipid
da
sangat
efektif

Injeksi
1-4
kali/hari,
harus
dimonitor,
meningkatkan
berat
badan,
hipoglikemia dan
analognya mahal

Puncak
(jam)

Masa
kerja
(jam)

Kombinasi
dengan (jam)

1,5-4
0,5-1,5

5-8
2-5

Semua jenis
lente

Fosfat
Asetat

1-2
1-2

6-12
6-12

18-24
18-24

Regular
Senilente

Fosfat
asetat
-

4-6
4-6
2-5

14-20
16-18
5-24

24-36
20-36
18-24

Regular

INDIKASI dan TUJUAN.


Insulin subkutan terutama diberikan pada DM tipe 1, DM tipe 2
yang tidak dapat diatasi hanya dengan diet dan atau
antidiabetik oral, pasien DM pasca pankreaktomi atau DM
dengan kehamilan, DM dengan ketoasidosis, koma nonketosis,
atau komplikasi lain, sebelum tindakan operasi (DM tipe 1 dan
2). Tujuan pemberian insulin pada semua keadaan tersebut
bukan saja untuk menormalkan glukosa darah tetapi juga
memperbaiki semua aspek metabolisme, dan yang terakhir
inilah umumnya yang suka dicapai.
Keadaan mendekati normoglisemia dicapai pada DM dengan
multipel dosis harian insulin atau dengan infusion pump therapy,
yang tujuannya mencapai glukosa darah puasa antara 90-120
mg/dL (5-6,7 mM), glukosa 2 jam postprandial kurang dari 150
mg/dL (8,3 mM). Pada pasien yang kurang disiplin atau kurang
patuh terhadap terapi, mungkin perlu dicapai nilai glukosa darah
puasa yang lebih tinggi (140 mg/dL atau 7,8 mM) dan
postprandial 200 sampai 250 mg/dL atau11,1-13,9 mM.
EFEK SAMPING.
Hipoglikemia, merupakan efek samping paling sering terjadi
dan terjadi akibat dosis insulin yang terlalu besar, tidak tepatnya
waktu makan dengan waktu tercapainya kadar puncak insulin,
atau karena adanya faktor yang dapat meningkatkan sensitivitas
terhadap insulin, misal insufisiensi adrenal atau pituitary,
ataupun akibat kerja fisik yang berlebihan.
Reaksi alergi dan resistensi, kadang-kadang reaksi ini terjadi
akibat adanya bekuan atau terjadinya denaturasi preparat
insulin, atau kontaminan, atau akibat pasien sensitif terhadap
senyawa yang ditambahkan pada proses formulasi preparat
insulin (misal: Zn2+, protamin, fenol,dll). Reaksi alergi lokal sering
terjadi akibat IgE atau resistensi akibat timbulnya antibodi IgG.
Lipoartrofi dan lipohipertrofi. Lipoartrofi jaringan lemak
subkutan ditempat suntikan dapat timbul akibat variant respon
imun terhadap insulin; sedangkan lipohipertrofi dimana terjadi
penumpukan lemak subkutan terjadi akibat efek lipogenik insulin
yang kadarnya tinggi pada daerah tempat suntikan. Hal ini
diduga akibat adanya kontaminan dalam preparat insulin, dan
reaksi lebih jarang terjadi pada penggunaan insulin, dan reaksi
lebih jarang terjadi pada penggunaan insulin yang lebih murni.
Pada kenyataannya lipohipertrofi lebih sering terjadi dengan
human insulin apabila pasien yang menyuntikan sendiri pada
tempat yang sama. Hal ini dapat disebabkan karena terjadinya
absorpsi insulin yang kurang baik atau tidak teratur.
Agonis GLP-1/incretin mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupa-kan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. AgonisGLP-1 dapat
bekerja sebagai perangsang penglepasaninsulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupunpeningkatan berat badan
yang biasanya terjadi padapengobatan dengan insulin ataupun

sulfonilurea. AgonisGLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat


badan. Efekagonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon
yang
diketahui
berperan
pada
prosesglukoneogenesis.
Pada
percobaan
binatang,
obat
initerbukti
memperbaiki
cadangan
sel
beta
pankreas.
Efeksamping yang timbul pada pemberian obat ini antaralain
rasa sebah dan muntah.
3.9.

Komplikasi
1. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan
yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi
metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah:
A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).
Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM
tipe 1. Hal ini bisa juga terjadi pada DM tipe 2. Hal ini terjadi
karena kadar insulin sangat menurun, dan pasien akan
mengalami hal berikut:
Hiperglikemia
Hiperketonemia
Asidosis metabolic
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis
,peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak
bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat,
hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam
plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi
keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis
metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat
mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi
dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi
dan mengalami syok.3,7
Akhimya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak,
pasien akan mengalami koma dan meninggal. Koma dan
kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien
maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya
komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini
mungkin.3
Tanda dan Gejala Klinis dari Ketoasidosis Diabetik
1. Dehidrasi
8. Poliuria
2. Hipotensi (postural atau supine)
9. Bingung
3. Ekstremitas Dingin/sianosis perifer
10. Kelelahan
4. Takikardi
11. Mual-muntah
5. Kusmaul breathing
12. Kaki kram
6. Nafas bau aseton
13.
Pandangan
kabur
7. Hipotermia
14. Koma (10%)
B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)
Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering
terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan

karena
defisiensi
insulin
absolut,
namun
relatif,
hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah
sebagai berikut:
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600
mg/dl.
Dehidrasi berat
Uremia
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila
keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat
tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA
adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.3
Penatalaksanaan HHNK
Penatalaksanaan berbeda dari ketoasidosis hanya dua
tindakan yang terpenting adalah:Pasien biasanya relatif
sensitif insulin dan kira-kira diberikan dosis setengah dari
dosis insulin yang diberikan untuk terapi ketoasidosis,
biasanya 3 unit/jam.7
C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang
disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat
ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan
kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan
hipoglikemik
oral
golongan
sulfonilurea,
khususnya
glibenklamid. Hasil penelitian di RSCM 1990-1991 yang
dilakukan Karsono dkk, memperllihatkan kekerapan episode
hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita
lebih besar daripada pria, dan sebesar 65% berlatar
belakang DM. meskipun hipoglikemia sering pula terjadi
pada pengobatan dengan insulin, tetapi biasanya ringan.
Kejadian
ini
sering
timbul
karena
pasien
tidak
memperlihatkan
atau
belum
mengetahui
pengaruh
beberapa perubahan pada tubuhnya.1
Penyebab Hipoglikemia
1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan
2. Berat badan turun
3. Sesudah olah raga
4. Sesudah melahirkan
5. Sembuh dari sakit
6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa
Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50
mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemia bisa didapatkan pada
kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari
hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap
orang.1
Tanda-tanda Hipoglikemia
1. Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah
turun.
2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit
bicara, kesulitan menghitug sederhana.

3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama


di hidung, bibir atau tangan, berdebar-debar.
4. Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau
tanpa kejang.
Keempat stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada
pemakaian obat oral ataupun suntikan. Ada beberapa
catatan perbedaan antara keduanya:
1) Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.
2) Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya,
sedangkan insulin bisa diperkirakan pada puncak
kerjanya, misalnya:
insulin reguler
: 2-4 jam setelah suntikan
Insulin NPH
: 8-10 jam setelah suntikan
P.Z.I
: 18 jam setelah suntikan
3) Obat oral sedikit memberikan gejala saraf otonom
(parasimpatik dan simpatik), sedangkan akibat insulin
sangat menonjol.
Kronik Jangka Panjang
Mikrovaskular / Neuropati7
- Retinopati, catarak penurunan penglihatan
- Nefropati gagal ginjal
- Neuropati perifer hilang rasa, malas bergerak
- Neuropati autonomik hipertensi, gastroparesis
- Kelainan pada kaki ulserasi, atropati
3.10.
Prognosis
Deteksi Dini Retinopati DM
Pada tahun 2010, The American Diabetes Association7
menetapkan beberapa rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini
retinopati DM. Pertama, orang dewasa dan anak berusia lebih dari
10 tahun yang menderita DM tipe I harus menjalani pemeriksaan
mata lengkap oleh dokter spesialis mata dalam waktu lima tahun
setelah diagnosis DM di- tegakkan. Kedua, penderita DM tipe II
harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis
mata segera setelah didiagnosis DM. Ketiga, pemeriksaan mata
penderita DM tipe I dan II harus dilakukan secara rutin setiap tahun
oleh dokter spesialis mata. Keempat, frekuensi pemeriksaan mata
dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil pemeriksaan
menunjukkan hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila
ditemukan tanda retinopati progresif. Kelima, perempuan hamil
dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak
trimester pertama sampai dengan satu tahun setelah persalinan
karena risiko terjadinya dan/atau perburukan retinopati DM
meningkat, dan ia harus menerima penjelasan menyeluruh tentang
risiko tersebut.
3.11.
Pencegahan
a Pencegahan primer
Materi penyuluhan meliputi antara lain:

1 Program penurunan berat badan.


Pada seseorang yangmempunyai risiko diabetes dan
mempunyai berat badanlebih, penurunan berat badan
merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena
DM tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian
menunjukkan penurunan berat badan5-10% dapat
mencegah atau memperlambat munculnya DMtipe 2.
2 Diet sehat.
Dianjurkan
diberikan
pada
setiap
orang
yang
mempunyairisiko.
Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat
ba-dan ideal.
Karbohidrat
kompleks
merupakan
pilihan
dan
diberikansecara terbagi dan seimbang sehingga tidak
menimbulkanpuncak ( peak ) glukosa darah yang tinggi
setelah makan.
Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.
3 Latihan jasmani.
Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali
glukosadarah, mempertahankan atau menurunkan berat
badan,serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL.
Latihan jasmani yang dianjurkan: Dikerjakan sedikitnya
selama 150 menit/minggu denganlatihan aerobik
sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal),
atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobikberat
(mencapai denyutjantung>70% maksimal). Latihan
jasmani dibagi menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.
4 Menghentikan merokok.
Merokok
merupakan
salah
satu
risiko
timbulnya
gangguankardiovaskular.
Meskipun
merokok
tidak
berkaitan langsungdengan timbulnya intoleransi glukosa,
tetapi
merokok
dapatmemperberat
komplikasi
kardiovaskular dari intoleransi glukosadan DM tipe2.
5 Pengelolaan Intoleransi glukosa
Intoleransi glukosa sering berkaitan dengan sindrom
me-tabolik, yang ditandai dengan adanya obesitas
sentral, dis-lipidemia (trigliserida yang tinggi dan atau
kolesterol HDLrendah), dan hipertensi.
Sebagian besar penderita intoleransi glukosa dapat
diper-baiki dengan perubahan gaya hidup, menurunkan
berat ba-dan, mengonsumsi diet sehat serta melakukan
latihan jas-mani yang cukup dan teratur.
Hasil
penelitian
Diabetes
Prevention
Program
menunjukkanbahwa perubahan gaya hidup lebih efektif
untuk mencegahmunculnya DM tipe 2 dibandingkan
dengan penggunaanobat obatan.
Penurunan berat badan sebesar 5-10% disertai dengan
lati-han jasmani teratur mampu mengurangi risiko

timbulnya DM tipe 2 sebesar 58%. Sedangkan


penggunaan obat (seperti metformin, tiazolidindion,
acarbose) hanya mampu menu-runkan risiko sebesar
31% dan penggunaan berbagai obattersebut untuk
penanganan intoleransi glukosa masih men- jadi
kontroversi. Bila disertai dengan obesitas, hipertensi,
dan dislipidemia,dilakukan pengendalian berat badan,
tekanan darah dan profil lemak sehingga tercapai
sasaran yang ditetapkan
6 Pengelolaan berbagai faktor risiko (lihat bab IV tentang
masalah khusus):
Obesitas
Hipertensi
Dislipidemia
b Preventif sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau
menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah
menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang
cukup dantindakan deteksi dini penyulit sejak awal
pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder
program penyuluhan memegang peran penting untuk
meningkatkan kepatuhanpasien dalam menjalani program
pengobatan dan dalam menujuperilaku sehat.
Untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama padapasien
baru. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertamadan
perlu
selalu
diulang
pada
setiap
kesempatan
pertemuanberikutnya.
Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penya-kit
kardiovaskular,
yang
merupakan
penyebab
utama
kematianpada penyandang diabetes. Selain pengobatan
terhadap ting-ginya kadar glukosa darah, pengendalian berat
badan, tekanandarah,profil lipid dalam darah serta pemberian
antiplatelet da-pat menurunkan risiko timbulnya kelainan
kardiovaskular pada penyandang diabetes.
c Preventif tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyan-dang
diabetes
yang
telah
mengalami
penyulit
dalam
upayamencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut.
Upaya
rehabilitasi
pada
pasien
dilakukan
sedini
mungkin,sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh
aspirin dosisrendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara
rutin bagipenyandang diabetes yang sudah mempunyai
penyulitmakroangiopati.
Pada
upaya
pencegahan
tersier
tetap
dilakukan
penyuluhanpada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan
termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk
mencapaikualitas hidup yang optimal.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan


holistikdan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di
rumahsakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di
berbagaidisiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi,
bedah vaskular,radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dll.)
sangat diperlu-kan dalam menunjang keberhasilan pencegahan
tersier.
4. Memahami dan menjelaskan retinopati diabetic
4.1.
Definisi
Retinopati diabetika adalah proses degenerasi akibat hipoksia di
retina karena penyakit diabetes mellitus. Diagnosis retinopati
diabetika ditegakkan secara klinis jika dengan pemeriksaan
angiografi flurosensi fundus sudah didapatkan mikroaneurisma atau
perdarahan pada retina di satu mata, baik dengan atau tanpa
eksudat lunak ataupun keras, abnormalitas mikrovaskular intra
retina atau hal-hal lain yang telah diketahui sebagai penyebab
perubahan-perubahan tersebut.
4.2.
Etiologi
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya retinopati adalah :
Terjadi karena adanya perubahan dinding arteri
Adanya komposisi darah abnormal
Meningkatnya agregasi platelet dari plasma menyebabkan
terbentuknya mikrothrombin
Gangguan endothelium kapiler menyebabkan terjadinya
kebocoran kapiler, selanjutnyaterjadi insudasi dinding kapiler
dan penebalan membran dasar dan diikuti dengan
eksudasidinding haemorhagic dengan udem perikapiler
Perdarahan kapiler dapat terjadi di retina dalam sybhyaloid
dimana letaknya di depan jaringan retina. Hemoraghi tidak
terjadi intravitreal tetapi terdapat dalam ruangvitreo retinal
yang tersisa karena vitreus mengalami retraksi
Aliran darah yang kurang lancar dalam kapiler-kapiler, sehingga
terjadi hipoksiarelatif di retina yang merangsang pertumbuhan
pembuluh-pembuluh darah yang baru.
Perubahan arteriosklerotik dan insufisiensi koroidal
Hipertensi yang kadang-kadang mengiringi diabetes
4.3.
Klasifikasi
Sistem Klasifikasi Retinopati
Retinopathy Study (ETDRS)

DM

Early

Treatment

Diabetic

Retinopati Diabetes non proliferatif / NPDR (Non proliferative


diabetik retinopathy) adalah suatu mirkoangiopati progresif yang
ditandai oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh
halus. Kebanyakan orang dengan NPDR tidak mengalami gejala
atau dengan gejala yang minimal pada fase sebelum masa
dimana telah tampak lesi vaskuler melalui ophtalmoskopi.
Retinopati Diabetes Proliferatif / PDR
Penyulit mata yang paling parah pada diabetes melitus adalah
retinopati diabetes proliferatif, karena retina yang sudah iskemik
atau pucat tersebut bereaksi dengan membentuk pembuluh
darah baru yang abnormal (neovaskuler). Neovaskuler atau
pembuluh darah liar ini merupakan ciri PDR dan bersifat rapuh
serta mudah pecah sehingga sewaktu-waktu dapat berdarah
kedalam badan kaca yang mengisi rongga mata, menyebabkan
pasien mengeluh melihat floaters (bayangan benda-benda hitam
melayang mengikuti penggerakan mata) atau mengeluh
mendadak penglihatannya terhalang.
4.4.
Patofisiologi
4.5.
Manifestasi Klinis
Gejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa :
Kesulitan membaca
Penglihatan kabur
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip
Gejala Objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa :
Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler
terutama daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil
yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior.
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang
biasanya terletak dekat mikroaneurisma dipolus posterior.
Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan
berkelok-kelok.
Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina.
Gambarannya khusus yaitu iregular, kekuning-kuningan. Pada
permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung.
Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.

4.6.

Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches


merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi
akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan
berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah
nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina biasanya
terletak dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang
berkelok-kelok , dalam, berkelompok, dan ireguler. Mulamula
terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke
daerahpreretinal, ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi
pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina,
perdarahan subhialoid ( preretinal ) maupun perdarahan badan
kaca.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina
terutama daerah makula sehingga sangat mengganggu tajam
penglihatan

Diagnosis
Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer
dilakukan melalui pemeriksaan funduskopi direk dan indirek.
Dengan fundus photography dapat dilakukan dokumentasi kelainan
retina. Metode diagnostik terkini yang disetujui oleh American
Academy of Ophthalmology (AAO) adalah fundus photography.
Keunggulan pemeriksaan tersebut adalah mudah dilaksanakan,
interpretasi dapat di- lakukan oleh dokter umum terlatih sehingga
mampu laksana di pelayanan kesehatan primer. Di pelayanan
primer pemeriksaan fundus photography berperanan sebagai
pemeriksaan penapis. Apabila pada pemeriksaan ditemukan edema
makula, retinopati DM non- proliferatif derajat berat dan retinopati
DM proliferatif maka harus dilanjutkan dengan pemeriksaan mata
lengkap oleh dokter spesialis mata.
Pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata terdiri
dari
pemeriksaan
visus,
tekanan
bola
mata,
slit-lamp
biomicroscopy, gonioskop, funduskopi dan stereoscopic fundus
photography
dengan
pemberian
midriatikum
sebelum
pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan opti- cal
coherence tomography (OCT) dan ocular ultrasonography bila
perlu.
OCT memberikan gambaran penampang aksial untuk
menemukan kelainan yang sulit terdeteksi oleh pemeriksaan lain
dan menilai edema makula serta responsnya terhadap terapi.
Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi retina bila
visualisasinya terhalang oleh perdarahan vitre- ous atau kekeruhan
media refraksi.
Pemeriksaan Funduskopi Direk pada Retinopati DM
Pemeriksaan funduskopi direk bermanfaat untuk menilai saraf
optik, retina, makula dan pembuluh darah di kutub pos- terior mata.
Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien diminta untuk melepaskan
kaca mata atau lensa kontak, kemudian mata yang akan diperiksa

ditetesi midriatikum. Pemeriksa harus menyampaikan kepada


pasien bahwa ia akan merasa silau dan kurang nyaman setelah
ditetesi obat tersebut. Risiko glaukoma akut sudut tertutup
merupakan kontra- indikasi pemberian midriatikum.
Pemeriksaan funduskopi direk dilakukan di ruangan yang
cukup gelap. Pasien duduk berhadapan sama tinggi dengan
pemeriksa dan diminta untuk memakukan (fiksasi) pandangannya
pada satu titik jauh. Pemeriksa kemudian mengatur oftalmoskop
pada 0 dioptri dan ukuran apertur yang sesuai. Mata kanan pasien
diperiksa dengan mata kanan pemeriksa dan oftalmoskop dipegang
di tangan kanan.
Mula-mula pemeriksaan dilakukan pada jarak 50 cm untuk
menilai refleks retina yang berwarna merah jingga dan koroid.
Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan pada jarak 2-3 cm dengan
mengikuti pembuluh darah ke arah medial untuk menilai tampilan
tepi dan warna diskus optik, dan melihat cup-disc ratio. Diskus optik
yang normal berbatas tegas, disc berwarna merah muda dengan
cup berwarna kuning, sedangkan cup-disc ratio <0,3. Pasien lalu
diminta melihat ke delapan arah mata angin untuk menilai retina.
Mikro- aneurisma, eksudat, perdarahan, dan neovaskularisasi
merupakan tanda utama retinopati DM.
Terakhir, pasien diminta melihat langsung ke cahaya
oftalmoskop agar pemeriksa dapat menilai makula. Edema makula
dan eksudat adalah tanda khas makulopati dia- betikum.
4.7.
4.8.

Diagnosis Banding
Tatalaksana
Peranan dokter umum dalam tata laksana retinopati DM
adalah mengendalikan faktor risiko, yaitu kadar gula, kadar lipid,
dan tekanan darah yang abnormal. Pengendalian atas ketiga faktor
ini terbukti mampu menurunkan risiko dan memperlambat
progresivitas retinopati DM. Target optimal yang harus dicapai
adalah kadar HbA1c <7%, kadar low-density lipoprotein (LDL) <100
mg/dL, kadar high-density lipoprotein >50 mg/dL, kadar trigliserida
<150 mg/dL dan tekanan darah <130/80 mmHg.
Edukasi oleh dokter umum mengenai DM dan komplikasi
retinopati akan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan penderita
DM menjalani pemeriksaan mata rutin. Dengan demikian rujukan
ke dokter spesialis mata dapat dilakukan pada saat yang tepat. Hal
tersebut akan menurunkan angka kebutaan akibat retinopati DM.
Tata laksana retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat
keparahan penyakit. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan
hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Penderita retinopati DM
nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema makula yang
nyata harus menjalani pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan.
Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema
makula signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk
mencegah perburukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation,
penderita perlu dievaluasi setiap 2-4 bulan. Penderita retinopati DM

nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani panretinal


laser photocoagulation, terutama apabila kelainan berisiko tinggi
untuk berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita
harus dievaluasi setiap 3-4 bulan pascatindakan. Panretinal laser
photocoagulation harus segera dilakukan pada penderita retinopati
DM proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai
edema makula signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal
laser photocoagulation menjadi terapi pilihan.
4.9.
Komplikasi
4.10.
Prognosis
4.11.
Pencegahan
5. Memahami dan menjelaskan makanan yang halalan thayyiban
menurut agama islam

Anda mungkin juga menyukai