Anda di halaman 1dari 15

Bismillah..

Tak banyak yang tahu, Ihya` Ulumiddin, kitab karya Al Ghazali yang banyak
dipuja orang di masa kini, sebenarnya mengandung sekian banyak
kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara
keseluruhan. Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak
lagi menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya.
Sebagai catatan Al Ghazali, seperti dinyatakan salah seorang muridnya, Ibnul
Araby, - lihat catatan kaki no.4 - diakhir hayatnya telah bertaubat dari cara
beragamanya sebelumnya dan kembali kepada sunnah-sunnah yang lurus, yaitu
manhaj salaf yang diajarkan para shahabat Nabi dan para tabiin. Namun bukubuku karya Al Ghazali sudah terlanjur beredar dimana-mana hingga hari ini.
Semoga Allah mengampuni dan menerima taubat kita semua.
Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah rahimahumullah
mengatakan: Oleh karena itu, menjadi jelas baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir
hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah menyampaikan kepada tujuannya.
Kemudian ia mencari petunjuk melalui hadits-hadits Nabi Shalallahu alaihi
wassalam. Mulailah ia menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim. Dan ia meninggal di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya yang
paling baik. Beliau juga membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa
perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang.
(Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed)
Al Ghazali (505 H) berkata di akhir hidupnya : Ketahuilah bahwa kebenaran
yang nyata yang tidak ada perdebatan di dalamnya menurut ahli ilmu yang
dalam ilmunya adalah manhaj salaf, yaitu manhaj para sahabat Nabi dan
tabiin (lihat kitab Al-Iman wal Islam karya Khalid Al Baghadi hal. 79)
Ketika beliau meninggal, kitab shahih Bukhari tengah berada di atas dada
beliau. Ini menunjukkan bahwa beliau cenderung kepada thariqah ahli hadits
( lihat kitab Daru Taarudhil Aql wan Naql karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
1/162).

Bedah Buku Ihya Ulumuddin Karya Al Ghazali


Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan suatu umat yang senantiasa berupaya
untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap
segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang yang akan
mengaburkan As-Sunnah.
Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda:
Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesatkan. (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam AshShahihah, jilid 4 no. 1586)
Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi berkata: Aku mendengar bapakku dan Abu
Zurah, keduanya memerintahkan untuk memboikot ahlul bidah. Keduanya
sangat keras terhadap mereka, dan mengingkari pemahaman kitab (Al-Qur`an,
red.) dengan akal semata tanpa bersandar dengan atsar (hadits, red.),
melarang duduk bersama ahlul kalam (kaum filsafat), dan melihat kitab-kitab
ahlul kalam. (Syarh Ushul Itiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah, hal. 322)

Ibnu Masud z berkata: Kalian akan mendapati segolongan kaum yang


menyangka bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya
mereka telah melemparkannya ke belakang punggung-punggung mereka. (AlIbanah, 1/322)

Mengingat hal ini, akan kami paparkan secara ringkas tentang kitab Ihya`
Ulumiddin yang selalu dibanggakan segolongan orang. Bahkan dianggap
sebagai literatur yang sarat akan bimbingan aqidah dan akhlak!
Berikut beberapa kesalahan yang terdapat dalam kitab Ihya` Ulumiddin dan
bantahannya secara global.
1. Dalam pembahasan sifat-sifat Allah Subhanahu wataala, Al-Ghazali
terkadang melakukan penakwilan (memaknai, red)ayat-ayat yang berkenaan
dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wataala.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah selalu meyakini bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu
wataala tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk, tidak boleh ditanyakan
tentang bagaimana keadaannya, tidak boleh menakwilkan dengan sesuatu yang
keluar dari makna dhahir sebagaimana yang telah diyakini salafus shalih, dan
tidak boleh pula mengingkarinya. (lihat Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil
Hamawiyyah, hal. 27-28)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab Al-Wushabi hafizhahullah berkata:
Tauhid asma wash shifat adalah mengesakan Allah Subhanahu wataala pada
apa yang telah Dia namakan diri-Nya sendiri dengannya atau dengan apa yang
telah dinamakan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam, dan mengesakan Allah
Subhanahu wataala pada apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya atau yang
telah Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam sifatkan untuk-Nya, tanpa
mempertanyakan bagai-mananya (kaifiyah), atau menyerupakannya dengan
makhluk, memalingkan maknanya, dan mengingkarinya. (Al-Qaulul Mufid fi
Adillatit Tauhid, hal. 81)
Sebagai contoh, Al-Ghazali telah menakwilkan (memaknai, red) makna istiwa`
(artinya naik di atas Arsy) dengan istaula (menguasai). (lihat Ihya` Ulumiddin,
jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)
Hal ini telah menyelisihi Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma para salafush shalih.

Allah Subhanahu wataala berfirman:

Sucikan Rabbmu yang Maha Tinggi. (Al-Ala: 1)

Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. (An-Nisa`: 34)

Ar-Rahman ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. (Thaha: 5)

Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda:

Ketika Allah menentukan ketentuan makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya
yang ada di sisi-Nya, di atas Arsy (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: Tidak ada satupun salafush shalih yang


mengingkari bahwa Allah Subhanahu wataala benar-benar ber-istiwa` di atas
Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui adalah bagaimana cara ber-istiwa`. Dan
sungguh hal itu tidaklah diketahui hakekatnya. (Muhammad bin Utsman bin
Abi Syaibah wa Kitabuhu Al-Arsy, hal. 187)

2. Al-Ghazali berkata tentang ilmu kalam: Dia merupakan penjaga aqidah


masyarakat awam dan yang melindungi dari berbagai kerancuan para ahli
bidah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam adalah seperti penjaga jalan bagi
para jamaah haji. (Ihya` Ulumiddin, 1/22)

Aqidah yang bersih akan selalu terbangun di atas pondasi yang benar
berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah.
Adapun ilmu kalam adalah belenggu yang menjadikan orang terlena dengan
akal, sehingga akan menjauh dari hakekat kemurnian aqidah.

Allah Subhanahu wataala berfirman:

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak
mengingat Allah. (Al-Ahzab: 21)

Asy-Syaikh As-Sadi t: Contoh yang baik adalah Rasulullah Shalallahu alaihi


wassalam. Orang yang mengambil suri teladan darinya berarti telah menempuh
suatu jalan yang akan menyampaikan kepada kemuliaan Allah Subhanahu
wataala. Inilah jalan yang lurus.

Al-Imam Al-Barbahari t: Ketahuilah semoga Allah Subhanahu wataala


merahmatimu, sungguh tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan,
bidah, kesesatan, dan kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam,
ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan perselisihan. (Syarhus Sunnah, hal.
93)

Ibnu Rajab t berkata: Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan
kerusakan yang nyata. Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu
akhirnya berlumuran dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan AlImam Ahmad: Tidaklah orang yang melihat ilmu kalam kecuali akan
terpengaruh dengan Jahmiyyah. Beliau dan para ulama salaf lainnya selalu

memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun (ahli ilmu kalam itu) berniat
membela As-Sunnah. (Fadhlu Ilmis Salaf alal Khalaf, hal. 43)

Abdurrahman Muhammad Said Dimasyqiyah berkata: Ilmu kalam yang telah


disepakati Al-Imam Malik, Abu Hani-fah, Ahmad, dan Asy-Syafii sebagai suatu
yang bidah tidak akan mungkin menjadi penjaga aqidah dari berbagai bidah.
Karena ilmu kalam itu sendiri adalah bidah. (Abu Hamid Al-Ghazali Aqida-uhu
wa Tashawwufuhu hal. 9)

Sungguh malang nasib pengagum ilmu kalam. Naudzubillahi min dzalika (Kita
berlindung kepada Allah Subhanahu wataala dari hal itu).

3. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian:

a. Ilmu dhahir: ilmu muamalah.

b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya` Ulumiddin, 1/19-21)

Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupakan puncak ilmu merupakan hal yang
umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah
tersingkapnya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga dia bisa melihat dan
mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa. Namun ilmu
kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. (Ash-Shufiyah wa Taatstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114)

Sungguh menakutkan keadaan mereka. Bukankah Allah Subhanahu wataala


telah berfirman:

Katakanlah tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang
mengetahui suatu yang ghaib selain Allah. (An-Naml: 65)

(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya


kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai.
Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan (dengan para malaikat) dari depan
dan belakangnya. (Al-Jin: 26-27)

Ibnu Katsir t berkata: Sesungguh-nya Dia mengetahui yang ghaib dan yang
nyata. Dan sungguh tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya
kecuali yang Allah Subhanahu wataala beritahukan kepadanya. (Tafsir Ibnu
Katsir, 4/462)

Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda:

Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Kemudian beliau
membaca ayat: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan
tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa
yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan
pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat
mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal. (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh
Muqbil t dalam Shahihul Jami, 6/361]

Ibnu Hajar t berkata: Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah Subhanahu
wataala. Dan segala perkara ghaib yang Nabi Shalallahu alaihi wassalam
kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah Subhanahu wataala
kepadanya. Dan tidaklah beliau mengeta-hui dari dirinya sendiri. (Fathul Bari,
9/203)

Adanya keyakinan kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah


Subhanahu wataala.

4. Penafsiran ayat secara ilmu batin dan keluar dari kaedah-kaedah salaf.

Sebagai contoh Al-Ghazali menafsirkan firman Allah Subhanahu wataala:

Dan jauhkan aku serta keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.


(Ibrahim: 35)

Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud berhala adalah dua batu, yaitu
emas dan perak! (Ihya` Ulumiddin, 3/235)

Cara seperti ini merupakan tipudaya setan, karena hanya akan menjadikan
seseorang keluar dan menyeleweng dari pemahaman salafush shalih.

Allah Subhanahu wataala berfirman:

Katakanlah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya
Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)

Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan


mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami jadikan ia di
Jahannam. Dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali. (An-Nisa`: 115)

Ilmu batin menurut Shufiyyah adalah rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan
hanya diketahui oleh orang-orang Shufi yang berbicara dengan lisan yang
abadi. (Majmu Fatawa, 13/231)

Keadaan ini menyerupai orang-orang bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan


Al-Qur`an secara ilmu batin, seperti shalat berarti doa, puasa berarti menahan
rahasia, haji bermakna safar dan berkunjung kepada guru serta para syaikh.
(Majmu Fatawa, 13/236)

5. Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan


dalam Nasrani. (Ihya` Ulumiddin, 3/334)

Ia berkata: Upaya para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan


keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan
bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya
kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi ilmu, sehingga
terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang Romawi.
(Ihya` Ulumiddin, 3/24)

Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim


bin Adham. Ia berkata: Aku mempelajari marifat dari seorang pendeta
bernama Saman dan aku pernah masuk ke dalam tempat ibadahnya. (Talbis
Iblis, hal. 137)

Abdurrahman Al-Badawi berkata: Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum


Muslimin menganggap tidak mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran
para pendeta dan perihal olah batin mereka karena terdapatnya faedah,
walaupun hal itu datang dari Nasrani. (Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin
Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)

Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta
menelanjangi seseorang dari al-wala` wal-bara`. Allah Subhanahu wataala
berfirman:

Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang
yang fasik. (Al-Hasyr: 19)

Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu,
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui. (Al-Jatsiyah: 18)

Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda:

Benar-benar kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum


kalian (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)

Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka. (HR. Abu


Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)

Bahkan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam dengan jelas menyatakan:

Tidak ada kependetaan dalam Islam. (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam


Ash-Shahihah, 4/7)

Sungguh perilaku Shufiyyah merupa-kan virus pluralisme yang akan selalu


bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of
thinking is every-thing).

6. Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi
turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya. (Ihya`, 3/18-19)

Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali
dari Allah Subhanahu wataala, yang tercurahkan dalam hati, yang bisa
didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu
yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang mereka namakan ilmu laduni,
yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu kepada para nabi. (AshShufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115)

Bahkan Al-Ghazali berkata: Sesungguhnya hati, di hadapannya siap tergelar


hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala
bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang
tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang
akan terjadi.

Kemudian beliau menambahkan: Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi


dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa
belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia.
(Ihya` Ulumiddin, 3/18-19)

Beliau juga berkata: Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan
wali itu melalui pintu batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka
dari alam malakut/ Lauhul Mahfuzh. (Ihya` Ulu-middin, 3/20)

Abdurrahman Muhammad Said Dimasyqiyah berkata: Perkataan Al-Gha-zali


tentang kenabian merupakan kepan-jangan tangan Ibnu Sina yang menganggap
bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan: kekuatan kesucian, kekuatan khayalan,
ke-kuatan perasaan dan batin. (Abu Hamid Al-Ghazali Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 35)

Abdurrahman Muhammad Said Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali


dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu
dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat yang memberikan faedah ilmu.
Sesungguh-nya ilmu didapatkan dalam hati kita dengan perantara para
malaikat. (Abu Hamid Al-Ghazali Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38)

Ibnu Taimiyyah t berkata: Sesungguhnya yang terkandung dalam ucapan


mereka adalah bahwa berita-berita dari Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam
tidaklah berfaedah sedikitpun dalam sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa
diraih oleh setiap orang dengan musyahadah1, nur, dan kasyaf. (Dar`u
Taarudhil Aql wan Naql, 5/347)

Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha dengan ucapannya: Para fuqaha


hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka tidak lebih dari itu. (Ihya`
Ulumiddin, 1/18)

Ibnul Jauzi t berkata: Kebencian-nya kepada para fuqaha merupakan


kezindiqan terbesar. Karena para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa
tentang kesesatan dan kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat
sebagaimana beratnya zakat. (Talbis Iblis hal. 374)

Abdurrahman Muhammad Said Dimasyqiyyah berkata: Fiqih merupakan suatu


upaya untuk membenahi sesuatu yang dhahir dan yang batin. Allah Subhanahu
wataala berfirman:

Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah memahami. (Al-Munafiqun: 7)

Jikalau hati-hati mereka bersih dan tercermin dalam dhahir-dhahirnya, sungguh


mereka adalah orang yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu
Abbas c yang didoakan oleh Nabi n: Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan
agama. (Abu Hamid Al-Ghazali Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)

Perilaku Shufiyyah merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap


ekstrim dalam memposisikan diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah
Shalallahu alaihi wassalam sebagai seorang nabi yang membawa
kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah Subhanahu wataala
berfirman:

Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan
kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.
(Al-Ma`idah: 3)

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka
dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. (Ali Imran: 164)

7. Tentang ajaran wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan


orang-orang shiddiqin: Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah
Subhanahu wataala dalam keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala
sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan
tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan
dengan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu bahwa yang
bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan yang
dicintai2. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di
alam yang wujud ini melainkan Dia. (Ihya` Ulumiddin, 4/86)

Bahkan terdapat keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang
meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya`
Ulumiddin, 4/247)

Ibnu Taimiyyah t berkata membantah keyakinan yang bejat ini: Para salaf
mengkafirkan Jahmiyah karena perkataan mereka bahwa Allah Subhanahu
wataala berada di semua tempat. Di antara bentuk pengingkaran para salaf
adalah: Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wataala berada di perut, di
tempat-tempat kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha Tinggi Allah dari perkara
tersebut! Lalu bagaimana-kah dengan mereka yang menjadikan perut, tempattempat kotor, tempat-tempat sunyi, barang-barang najis, dan kotoran-kotoran
sebagai bagian dari Dzat-Nya? (Majmu Fatawa, 2/126)

Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah Subhanahu wataala ber-istiwa` di atas


Arsy dan Allah Subhanahu wataala tidak membutuhkan Arsy. Dan Allah
Subhanahu wataala tidaklah serupa dengan makhluk dalam segala sifat-Nya.

Allah Subhanahu wataala berfirman:

Ar-Rahman ber-istiwa` di atas Arsy. (Thaha: 5)

Sesungguhnya Rabb kalian telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
hari kemudian ber-istiwa` di atas Arsy. (Yunus: 3)

Tidaklah Allah serupa dengan apapun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. (Asy-Syura: 11)

8. Ajaran khalwat atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam


memahami uzlah. Al-Ghazali berkata: Dalam uzlah (menyingkir dan menjauhi
umat), ada jalan keluar (kedamaian). Adapun dalam ber-amar maruf dan nahi
mungkar akan meninggalkan perselisihan dan membangkit-kan kedengkian
hati. Dan siapapun yang mencoba beramar maruf niscaya keba-nyakannya
akan menyesal. (Ihya` Ulumiddin, 2/228)

Bahkan dengan khalwat akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya
Al-Haq. (Ihya` Ulumiddin, 3/78)

Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:

Meminta bantuan dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.


Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga nampak Allah Subhanahu wataala
baginya.
Bertempat di ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia.
Tidak berbicara.
Tidak memikirkan kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan
menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.
Tidak boleh masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari
syaikhnya.
Selalu mengikat hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Taatstsuruha
bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 186)

Ini merupakan amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang


suci, akibat salah memahami uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan.

Makna uzlah bukanlah khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah
menjauhi suatu fitnah agar tidak menimpa-nya, baik itu di dalam rumah
ataupun di suatu tempat, yang apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia
kembali melakukan amar maruf nahi mungkar, berdakwah, dan berjihad di
jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal
Yahudiyyah, hal. 188)

Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan
dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola orang kafir. (baca kitab AlQaulul Hasan fi Marifatil Fitan)

9. Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama (mendengarkan nasyid dan


dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an. Setelah menceritakan
keutamaan as-sama, beliau berkata: Dan apabila hati telah terbakar (mabuk)
dalam kecintaan kepada Allah Subhanahu wataala, maka untaian bait syair
yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan
dengan membaca Al-Qur`an. (Ihya` Ulumid-din, 2/301)

Keganjilan kaum Shufi ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para
shahabat. Ibnu Taimiyyah t berkata: Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana,
merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush
Shuffah atau yang lainnya. Demikian pula para tabiin (tidak pernah
melakukannya). (Majmu Fatawa, 11/57)

Al-Imam Asy-Syafii t berkata: Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah


muncul at-taghbir (dendang kero-hanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang
hanya menghalangi manusia dari Al-Qur`an. Dan Yazid bin Harun berkata:
Tidaklah melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq. (Majmu Fatawa, 11/569)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: Orang yang membiasakan men-cari


semangat dengan as-sama niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya
dengan Al-Qur`an. Dan dia tidak akan mendapatkan apapun saat
mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika mendengarkan bait-bait syair.
Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan mendengarkan dengan hati
dan lisan yang lalai. (Majmu Fatawa, 11/568)

Orang-orang Shufi telah melupakan firman Allah Subhanahu wataala:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang


Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. (Al-Anfal: 2)

Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati akan tenang. (Ar-Rad: 28)

10. Kesalahan yang fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga


menghilangkan sebab yang harus ditempuh. Al-Ghazali berkata: Telah
diceritakan dari Banan Al-Hammal: Suatu hari saya dalam perjalanan pulang
dari Mesir, dan saya membawa bekal keperluanku. Datanglah kepadaku seorang
wanita dan menasehatiku: Wahai Banan, engkau adalah tukang pembawa yang
selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau menyangka bahwa Dia
tidak memberimu rizki? Banan berkata: Maka aku buang bekalku. (Ihya`
Ulumiddin, 4/271)

Hal ini sangatlah berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah.


Allah Subhanahu wataala berfirman:

Hendaknya kalian mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa. (AlBaqarah: 197)

Asy-Syaikh As-Sadi t berkata: Allah Subhanahu wataala memerintahkan untuk


membawa bekal bagi safar yang mubarak (diberkahi) ini (yakni haji).
Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya dan bisa mencegah dari
harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan. Bahkan dengan
memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir. Kemudian beliau
berkata: Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia dan di
akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi. (Taisirul
Karimirrahman hal. 74)

Al-Ghazali berkata: Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40


hari atau kurang dari itu, maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud
(kedudukan terpuji) yang dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat
kelak. (Ihya` Ulumiddin, 4/276)

Al-Iraqi berkata setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah Shalallahu


alaihi wassalam mempersiapkan makanan untuk keluarganya selama satu
tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: Apakah Rasulullah Shalallahu
alaihi wassalam telah keluar dari tingkatan orang-orang yang berta-wakkal,
sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam
masalah tawakkal? (Abu Hamid Al-Ghazali Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal.
79)

Bahkan ketika orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih


untuk ber-khalwat daripada berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali Aqidatuhu wa
Tashawwufuhu hal. 89)

11. Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah


Shalallahu alaihi wassalam, seperti nikah.

Al-Ghazali berkata: Barangsiapa menikah maka sungguh dia telah cenderung


kepada dunia. (Ihya` Ulumiddin, 3/101)

Hal ini sangat menyelisihi sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam :

Menikahlah kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari


kalian, dan janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani. (Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau
mengatakan hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)

Peringatan Ulama Salaf terhadap Kitab Ihya` Ulumiddin3

Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata: Di dalam kitab
Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menu-lis dengan metode filsafat dan ilmu kalam
dalam banyak pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan
dan teologi, serta membingkai filsafat dengan syariat. Ibnu Taimiyyah berkata:
Namun Abu Hamid telah memasuki ruang lingkup ilmu filsafat dalam banyak
hal, yang Ibnu Aqil menyatakan ilmu filsafat sebagai bagian dari zindiq.

Ibnul Arabi, murid Al-Ghazali mengatakan: Guru kami Abu Hamid telah masuk
dalam cengkeraman ilmu filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak
berhasil. (4 )

Abu Ali Ash-Shadafi berkata: Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai
berita buruk dan memiliki karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam
tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk membela madzhabnya,
bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang berba-gai tulisan
yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai tempat,
sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah
Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib
berdasarkan fatwa para ulama telah memerintahkan untuk membakar dan
menjauhi karyanya.

Adz-Dzahabi berkata: Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh


sangat tidak menyenangkan.

Ahmad bin Shalih Al-Jaili: (Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwa-nya


terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat
yang dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak
tsabit. Demi-kian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak
mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadiankejadian para wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan
posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.

Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya`
dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam.
Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat
kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu
segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa
diraih manusia biasa dan mujizat hanyalah halusinasi dan khayalan.

Semoga Allah Subhanahu wataala selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan
dan makar setan.

Wallahu alam.

1 Musyahadah menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah


Subhanahu wataala yang kemudian memberikan/membuka rahasia-rahasiaNya kepada hamba-Nya.

2 Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara
dia dengan Allah.

3 Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya` Ulumiddin karya AsySyaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh

4 Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah t mengatakan: Oleh


karena itu, menjadi jelas baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan
tasawuf tidaklah menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari
petunjuk melalui hadits-hadits Nabi Shalallahu alaihi wassalam. Mulailah ia
menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia
meninggal di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya yang paling baik.
Beliau juga membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa perkaraperkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang. (Aqidah
Asfahaniyyah, hal. 108, ed)

____________________________________________________
SUMBER : Mengurai Kesesatan Ihya Ulumuddin (Al-Ustadz Abu Utsman Ali,
Lc.), Majalah AsySyariah Edisi 021

Anda mungkin juga menyukai