Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG
Pengantar Pendidikan adalah sebuah materi yang membahas beberapa unsur,salah
satunya adalah

Hakikat manusia,yang mencakup beberapa teori atau aliran aliran

tertentu.Aliran tersebut adalah Psikoanalisis,Behavioristik dan Hummanistik.Pengantar


Pendidikan juga membahas Tentang Implikasi atau hubungan dari teori-teori tersebut,agar
kita bisa mengetahui fungsi fungsi dari pengantar pendidikan.
1.2.TUJUAN

Mengenali teori teori hakikat manusia

Mengenali hakikat manusia sebagai mahkluk sosial

Mengurai peran-peran penting pendidikan dalam perkembangan Individu

Mengenali konsep hakikat manusia terhadap pendidikan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Aliran Psikoanalis
a. Pengertian Psikoanalisa
Psikoanalisa ditemukan di Wina, Austria, oleh Sigmund Freud. Psikoanalisis merupakan
salah satu aliran di dalam disiplin ilmu psikologi yang memilik beberapa definisi dan sebutan,
Adakalanya psikoanalisis didefinisikan sebagai metode penelitian, sebagai teknik
penyembuhan dan juga sebagai pengetahuan psikologi.
Psikoanalisa menurut definisi modern yaitu (1) Psikoanalisis adalah pengetahuan psikologi
yang menekankan pada dinamika, faktor-faktor psikis yang menentukan perilaku manusia,
serta pentingnya pengalaman masa kanak-kanak dalam membentuk kepribadian masa
dewasa, (2) Psikoanalisa adalah teknik yang khusus menyelidiki aktivitas ketidaksadaran
(bawah sadar), (3) Psikoanalisa adalah metode interpretasi dan penyembuhan gangguan
mental.
Psikoanalisa dalam pengertian lain (Hjelle & Ziegler, 1992):
Teori mengenai kepribadian & psikopatologi
Metode terapi untuk gangguan kepribadian teknik untuk menyelidiki pikiran &
perasaan individu yang tidak disadari
Psikoanalisa memiliki sebutan-sebutan lain yaitu (1) Psikologi dalam, karena menurut Freud
penyebab neurosis adalah gangguan jiwa yang tidak dapat disadari, pengaruhnya lebih besar
dari apa yang terdapat dalam kesadaran dan untuk menyelidikinya, diperlukan upaya lebih
dalam, (2) Psikodinamika, karena Psikoanalisis memandang individu sebagai sistem dinamik
yang tunduk pada hukum-hukum dinamika, dapat berubah dan dapat saling bertukar energi.
b. Konsep Manusia Dalam Psikoanalisa
Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak
disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu pada masa enam
tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud
tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik. Namun demikian menurut Gerald
Corey yang mengutip perkataan Kovel, bahwa dengan tertumpu pada dialektika antara sadar
dan tidak sadar, determinisme yang telah dinyatakan pada aliran Freud luluh. Lebih jauh
Kovel menyatakan bahwa jalan pikiran itu adalah ditentukan, tetapi tidak linier. Ajaran

psikoanalisis menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih rumit dari pada apa yang
dibayangkan pada orang tersebut.
Di sini, Freud memberikan indikasi bahwa tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah
bagaimana mengendalikan dorongan agresif itu. Bagi Sigmund
Freud, rasa resah dan cemas seseorang itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa mereka
tahu umat manusia itu akan punah. Dan struktur kepribadian

Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id, ego dan superego.
1.

Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem

kerjanya dengan prinsip kesenangan pleasure principle.


2.

Egoadalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem kerjanya

pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur
dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilaisuperego.
3.

Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari

sensor baik buruk, salah benar, boleh tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.

2.2 Aliran Behavioristik


a. Pengertian aliran Behavioristik
Terapi perilaku [behavior therapy] dan pengubahan perilaku [behavior modification]
atau pendekatan behavioristik dalam psikoterapi, adalah salah satu dari beberapa revolusi
dalam dunia pengetahuan psikologi, khususnya psikoterapi. Pendekatan behavioristik yang
dewasa ini banyak depergunakan dalam rangka melakukan kegiatan psikoterapi dalam arti
luas atau konseling dalam arti sempitnya, bersumber pada aliran behaviorisme. Aliran ini
pada mulanya tumbuh subur di Amerika dengan tokohnya yang terkenal ekstrim, yakni John
Broadus Watson, suatu aliran yang menitik beratkan peranan lingkungan, peranan dunia luar
sebagai factor penting di mana seseorang dipengaruhi, seseorang belajar. Pada abad ke-17,
dunia pengetahuan Filsafat ditandai oleh dua kubu besar yakni kubu empiricism [physical
science] dan kubu naturalism [biological science]. Pada akhir abad yang lalu,
mempengaruhi lahirnya aliran behaviorisme dengan pendekatan-pendekatannya yang
kemudian menjadi terkenal dengan terapi perilaku [behavior therapy] dan perubahan perilaku
[behavior modification].

b. Konsep Manusia Dalam Behavioristik


Para ahli psikologi behavioristik memandang manusia tidak pada dasarnya baik atau
jahat.Para ahli yang melakukan pendekatan behavioristik,memandang manusia sebagai
pemberi respons(responder),sebagai hasil dari proses kondisioning yang telah terjadi.
Dustin & George(1977),yang dikutip oleh George & Cristiani(1981),mengemikakan
pandangan behavioristik terhadap konsep manusia,yakni:
1.

Manusia di pandang sebagai individu yang pada hakikatnya bukan individu yang baik

atau yang jahat,tetapi sebagai individu yang selalu berada dalam keadaan sedang
mengalami,yang memiliki kemampuan untuk menjadi sesuatu pada semua jenis perilaku.
2.

Manusia mampu mengkonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya sendiri.

3.

Manusia mampu memperoleh perilaku yang baru.

4.

Manusia bisa mempengaruhi perilaku orang lain sama halnya dengan perilakunya yang

bisa dipengaruhi orang lain.


Ivey,et al(1987) mengemukakan bahwa pernah para pendukung pendekatan
behavioristik

merumuskan

manusia

sebagai

manusia

yang

mekanistik

dan

deterministik,dimana manusia dianggap bisa dibentuk sepenuhnya oleh lingkungan dan


sedikit memiliki kesempatan untuk memilih.Namun pendekatan behavioristik yang
baru,menitikberatkan meningkatnya kebebasan dan pilihan melalui pemahaman terhadap
dasar-dasar perilaku seseorang.
Corey(1991),mengemukakan bahwa pada terapi perilaku,perilaku adalah hasil dari
belajar.Kita semua adalah hasil dari lingkungan sekaligus adalah pencipta lingkungan.tidak
ada dasar yang berlaku umum bisa menjelaskan semua perilaku.karena setiap perilaku ada
kaitanya dengan sumber yang ada di lingkungan yang menyebabkan terjadinya sesuatu
perilaku tersebut.
Albert

Bandura(1974,1977,1986)

yang

terkenal

sebagai

tokoh

teori

sosial-

belajar,menolak suatu konsep bahwa manusia adalah pribadi yang mekanistik dengan model
perilakunya

yang

deterministik.Pengubahan(modifikasi)perilaku

bertujuan

meningkatkan kemampuan seseorang agar jumlah respon akan lebih banyak.

2.3 Aliran Humanistik


a. Pengertian Aliran Humanistik

untuk

Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap pandangan tentang manusia yang
mekanistik ala behaviorisme dan pesimistik ala psikoanalisa. Oleh karenanya sering disebut
sebagai the third force (the first force is behaviorism, the second force is psychoanalysis).
Aliran humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun
1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad
pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl
Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji
secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri,
kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
b. Konsep Manusia Dalam Humanistik
Aliran humanistik berasumsi bahwa pada dasarnya manusia memiliki potensi-potensi
yang baik, minimal lebih banyak dari pada buruknya. Aliran ini memfokuskan telaah
kualitas-kualitas insani. Yakni kemampuan khusus manusia yang ada pada manusia, seperti
kemampuan abstraksi, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan diri, dan rasa estetika.
Kualitas ini khas dan tidak dimiliki oleh makhluk lain. Aliran ini juga memandang manusia
sebagai makhluk yang otoritas atas kehidupannya sendiri. Asumsi ini menunjukan bahwa
manusia makhluk yang sadar dan mandiri, pelaku yang aktif yang dapat menentukan hampir
segalanya.
Hasil pemikiran dari aliran humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling
dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered
therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan
memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling
menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah
kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas
permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan
jawaban yang benar.
Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal
yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga
memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan
pendidikan

humanistik

(humanistic

education).

Pendidikan

humanistik

berusaha

mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan

aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam
model pendidikan humanistik ini.
Adapun prinsip utama dalam aliran ini adalah :
1.

Memahami manusia sebagai suatu totalitas. Oleh karenanya sangat tidak setuju dengan

usaha untuk mereduksi manusia, baik ke dalam formula S-R yang sempit dan kaku
(behaviorisme) ataupun ke dalam proses fisiologis yang mekanistis. Manusia harus
berkembang lebih jauh daripada sekedar memenuhi kebutuhan fisik, manusia harus mampu
mengembangkan hal-hal non fisik, misalnya nilai ataupun sikap.
2.

Metode yang digunakan adalah life history, berusaha memahami manusia dari sejarah

hidupnya sehingga muncul keunikan individual.


3.

Mengakui pentingnya personal freedom dan responsibility dalam proses pengambilan

keputusan yang berlangsung sepanjang hidup. Tujuan hidup manusia adalah berkembang,
berusaha memenuhi potensinya dan mencapai aktualitas diri. Dalam hal ini intensi dan
eksistensi menjadi penting. Intensi yang menentukan eksistensi manusia
4.

Melalui mind, manusia mengekspresikan keunikan kemampuannya sebagai individu,

terwujud dalam aspek kognisi, willing, dan judgement. Kemampuan khas manusia yang
sangat dihargai adalah kreativitas. Melalui kreativitasnya, manusia mengekspresikan diri dan
potensinya.
Pandangan humanistic banyak diterapkan dalam bidang psikoterapi dan konseling. Tujuannya
adalah meningkatkan pemahaman diri. Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai
reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai kekuatan ketiga
dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi
yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang
kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna
menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku
manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.
Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov
dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik
meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.

Sumber :

Basuki, Heru A.M (2008). Psikologi Umum. Jakarta: Universitas


Gunadarma. psikologi (2010).

Schultz Duane (1977). Growth Psychology: Models of the Healthy


Personality. New York: D. Van Nostrad Company.

Materi kuliah Kesehatan Mental. Psikologi 2013.

http://kartikachampion.blogspot.com/2013/04/konsep-manusia-menurut-aliran.html

2.4 Hakikat manusia sebagai makhluk individu dan sosial


Secara fisiologis hakikat manusia sebagai makhluk individu dan sosial itu bersifat
bebas, tidak mempunyai hubungan yang ketat anatara sesame. Kata manusia berasal dari kata
manu (Sansekerta) atau mens(Latin) yang berarti berpikir, berakal budi, atau homo (Latin)
yang berarti manusia. Istilah individu berasal dari bahasa Latin, yaitu individu, yang artinya
sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi lagi atau suatu kesatuan yang terkecil dan terbatas.
Secara kodrati, manusia merupakan mahluk monodualis. Artinya selain sebagai mahluk
individu, manusia juga berperan sebagai mahluk sosial. Jiwa dan raga inilah yang membentuk
individu.
Manusia juga diberi kemampuan (akal, pikiran, dan perasaan) sehingga sanggup berdiri
sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya. Disadari atau tidak, setiap manusia senantiasa
akan

berusaha

mengembangkan

kemampuan

pribadinya

guna

memenuhi

hakikat

individualitasnya (dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya). Hal terpenting yang


membedakan manusia dengan mahluk lainnya adalah bahwa manusia dilengkapi dengan akal
pikiran, perasaan dan keyakinan untuk mempertinggi kualitas hidupnya. Manusia adalah
ciptaan Tuhan dengan derajat paling tinggi di antara ciptaan-ciptaan yang lain. Dalam
pembahasan tentang hakikat manusia sebagai makhluk individu dan sosial kita bisa
melihatnya dalam kehidupan sehari-hari, contohnya pada saat kita kesusahan pasti kita
membutuhkan bantuan dari orang lain dan ketika kita mempunyai persoalan yang bersifat
pasti kita akan menjadi manusia yang individu agar orang lain tidak dapat mengetahui
persoalan pribadi yang kita punya.

Pengertian manusia sebagai makhluk individu Manusia, mahluk dan individu secara
etimologi diartikansebagaiberikut:
1. Manusia berarti mahluk yang berakal budi dan mampu menguasai mahluk lain.
2. Mahluk yaitu sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan.
3. Individu mengandung arti orang seorang, pribadi, organisme yang hidupnya berdiri
sendiri
Peranan Manusia sebagai makhluk individu dan sosial
Sebagai makahluk individu,manusia memiliki harkat dan martabat yang mulia .setiap
manusia dilahirkan sama dengan harkat dan martabat yang sama pula denagn manusia yang
lainnya, tidak ada yang membedakan .Manusia sebagai makhluk individu berupaya
merealisasikan segenap potensi dirinya
karena ingin menunjukkan siapa yang terbaik ,baik itu menunjukkan potensi jasmani maupun
potensi rohani
Manusia sebagai pribadi adalah berhakikat sosial. artinya manusia akan senantiasa dan selalu
berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain, manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain dan interaksi sosisl membentuk kehidupan berkelompok pada manusia.
dalam dimensi individu,muncul hak-hak dasar manusia, kewajiban dasar manusia adalah
menghargai hak dasar orang lain serta mentaati norma-norma yang berlaku di masyarakatnya.
manusia sebagai makhluk sosial memiliki implikasi -implikasi:
1. Kesadaran akan ketidak berdayaan manusia bila seorang diri
2. Kesadaran untuk senantiasa dan harus berinteraksi dengan orang lain.
3. Penghargaan akan hak-hak orang lain
4. Ketaatan terhadap norma-norma yang berlaku.

sebagai makhluk individu ataupun makhluk sosial hendaknya manusia memiliki


kepribadian,yang dimaksud dengan kepribadian adalah susunan unsur-unsur akal dan jiwa
yang di bangun oleh perasaan,pengetahuan dan dorongan.
Secara sosial sebenarnya manusia merupakan mahluk individu dan sosial yang mempunyai
kesempatan yang sama dalam berbagai hidup dan kehidupan dalam masyarakat. Artinya
setiap individu manusia memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dalam
menguasai sesuatu, misalnya bersekolah, melakukan pekerjaan, bertanggung jawab dalam
keluarga serta berbagai aktivitas ekonomi, politik dan bahkan beragama. Namun demikian,
kenyataannya setiap individu tidak dapat menguasai atau mempunyai kesempatan yang sama.
AKibatnya, masing-masing individu mempunyai peran dan kedudukan yang tidak sama atau
berbeda. Banyak faktor yang menyebabkan itu bisa terjadi, misalnya kondisi ekonomi (ada si
miskin dan si kaya), sosial (warga biasa dengan pak RT, dll), politik (aktivis partai dengan
rakyat biasa), budaya (jago tari daerah dengan tidak) bahkan individu atau sekelompok
manusia itu sendiri. Dengan kata lain, stratifikasi sosial mulai muncul dan tampak dalam
kehidupan masyarakat tersebut.

Dinamika interaksi sosial


Interaksi sosial merupakan faktor utama dalam kehidupan sosial. Interaksi sosial merupakan
hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan timbal balik antarindividu,
antarkelompok manusia, maupun antara orang dengan kelompok manusia. Bentuk interaksi
sosial adalah akomodasi, kerja sama, persaingan, dan pertikaian.
Apabila dua orang atau lebih bertemu akan terjadi interaksi sosial. Interaksi sosial tersebut
bisa dalam situasi persahabatan ataupun permusuhan, bsia dengan tutur kata, jabat tangan,
bahasa dahsyat, atau tanpa kontak fisik. Bahkan, hanya dengan bau keringat sudah
terjadiinteraksi sosial karena telah mengubah perasaan atau saraf orang yang bersangkutan
untuk menentukan tindakan. Interaksi sosial hanya dapat berlangsung antara pihak-pihak
apabila terjadi reaksi dari kedua belah pihak. Interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila
manusia mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak
berpengaruh terhadp sistem sarafnya sebagai akibat hubungan yang di maksud

10

Ciri-ciri interaksi sosial adalah sebagai berikut.:


1. Pelakunya lebih dari satu orang
2. Adanya komunikasi antar pelaku melalui kontak sosial
3. Mempunyai maksud dan tujuan, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan tersebiut
dengan yang diperkirakan pelaku
4. .Ada dimensi waktu yang akan menentukan sikap aksi yang sedang berlangsung
Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial (social contact) dan
komunikasi. Kontak sosial berasal dari kata con atau cun yang artinya bersama-sama, dan
tango yang artinya menyentuh. Namun, kontak sosial tidak hanya secara harfiah bersentuhan
badan, tetapi bisa lewat bicara, melalui telepon, telegram, surat radio, dan sebagainya.
Kontak dapat bersifat primer dan sekunder. Kontak primer terjadi apabila ada kontak
langsung dengan cara berbicara, jabat tangan, tersenyum, dan sebagainya. Kontak sekunder
terjadi dengan perantara. Kontak sekunder langsung, misalnya melalui telepon, radio, TV, dan
sebagainya.
Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat
Setiap yang disebut manusia selalu terdiri dari dua kepentingan, yaitu kepentingan individu
yang termasuk kepentingan keluarga, kelompok atau golongan dan kepentingan masyarakat
yang termasuk kepentingan rakyat . Dalam diri manusia, kedua kepentingan itu satu sama
lain tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satu kepentingan tersebut hilang dari diri manusia,
akan terdapat satu manusia yang tidak bisa membedakan suatu kepentingan, jika kepentingan
individu yang hilang dia menjadi lupa pada keluarganya, jika kepentingan masyarakat yang
dihilangkan dari diri manusia banyak timbul masalah kemasyarakatan contohnya korupsi.
Inilah yang menyebabkan kebingungan atau dilema manusia jika mereka tidak bisa membagi
kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
1.

Pandangan Individualisme

11

Individualisme berpangkal dari konsep bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk
individu yang bebas. Paham ini memandang manusia sebagai makhluk pribadi yang utuh dan
lengkap terlepas dari manusia yang lain. Pandangan individualisme berpendapat bahwa
kepentingan individulah yang harus diutamakan. Yang menjadi sentral individualisme adalah
kebebasan seorang

individu

untuk merealisasikan

dirinya.

Paham individualisme

menghasilkan ideologi liberalisme. Paham ini bisa disebut juga ideologi individualisme
liberal.
Paham individualisme liberal muncul di Eropa Barat (bersama paham sosialisme) pada abad
ke 18-19. Yang dipelopori oleh Jeremy Betham, John Stuart Mill, Thomas Hobben, John
Locke, Rousseau, dan Montesquieu. Beberapa prinsip yang dikembangkan ideologi
liberalisme adalah sebagai berikut. Penjaminan hak milik perorangan. Menurut paham ini ,
pemilikan sepenuhnya berada pada pribadi dan tidak berlaku hak milik berfungsi sosial,
1. Mementingkan diri sendiri atau kepentingan individu yang bersangkutan.
2. Pemberian kebebasan penuh pada individu
3. Persaingan bebas untuk mencapai kepentingannya masing-masing.
Kebebasan dalam rangka pemenuhan kebutuhan diri bisa menimbulkan persaingan dan
dinamika kebebasan antar individu. Menurut paham liberalisme, kebebasan antar individu
tersebut bisa diatur melalui penerapan hukum. Jadi, negara yang menjamin keadilan dan
kepastian hukum mutlak diperlukan dalam rangka mengelola kebebasan agar tetap
menciptakan tertibnya penyelenggaraan hidup bersama.
1. Pandangan Sosialisme
Paham sosialisme ditokohi oleh Robert Owen dari Inggris (1771-1858), Lousi Blanc, dan
Proudhon. Pandangan ini menyatakan bahwa kepentingan masyarakatlah yang diutamakan.
Kedudukan individu hanyalah objek dari masyarakat. Menurut pandangan sosialis, hak-hak
individu sebagai hak dasar hilang. Hak-hak individu timbul karena keanggotaannya dalam
suatu komunitas atau kelompok.
Sosialisme adalah paham yang mengharapkan terbentuknya masyarakat yang adil, selaras,
bebas, dan sejahtera bebas dari penguasaan individu atas hak milik dan alat-alat produksi.

12

Sosialisme muncul dengan maksud kepentingan masyarakat secara keseluruhan terutama


yang tersisih oleh system liberalisme, mendapat keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan.
Untuk meraih hal tersebut, sosialisme berpandangan bahwa hak-hak individu harus
diletakkan dalam kerangka kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dalam sosialisme yang
radikal/ekstem (marxisme/komunisme) cara untuk meraih hal itu adalah dengan
menghilangkan hak pemilikan dan penguasaan alat-alat produksi oleh perorangan. Paham
marxisme/komunisme dipelopori oleh Karl Marx (1818-1883).
Paham individualisme liberal dan sosialisme saling bertolak belakang dalam memandang
hakikat manusia. Dalam Declaration of Independent Amerika Serikat 1776, orientasinya lebih
ditekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk individu yang bebas merdeka, manusia
adalah pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang luhur. Sedangkan dalam Manifesto
Komunisme Karl Marx dan Engels, orientasinya sangat menekankan pada hakikat manusia
sebagai makhluk sosial semata. Menurut paham ini manusia sebagai makhluk pribadi yang
tidak dihargai. Pribadi dikorbankan untuk kepentingan negara.
Dari kedua paham tersebut terdapat kelemahannya masing-masing. Individualisme liberal
dapat menimbulkan ketidakadilan, berbagai bentuk tindakan tidak manusiawi, imperialisme,
dan kolonialisme, liberalisme mungkin membawa manfaat bagi kehidupan politik, tetapi
tidak dalam lapangan ekonomi dan sosial. Sosialisme dalam bentuk yang ekstrem, tidak
menghargai manusia sebagai pribadi sehingga bisa merendahkan sisi kemanusiaan. Dalam
negara komunis mungkin terjadi kemakmuran, tetapi kepuasan rohani manusia belum tentu
terjamin.
1. Kehidupan di Indonesia
Dalam negara Indonesia yang berfalsafahkan

Pancasila, hakikat manusia dipandang

memiliki sifat pribadi sekaligus sosial secara seimbang. Manusia bukanlah makhluk individu
dan sosial, tetapi manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Frans Magnis
Suseno, (2001) menyatakan bahwa manusia adalah individu yang secara hakiki bersifat sosial
dan sebagai individu manusia bermasyarakat.
http://nadillaikaputri.wordpress.com/2012/11/12/manusia-sebagai-makhluk-individu-dansosial/

13

2.4 Implikasi Hakikat Manusia Terhadap Pandangan Psikoanalitik, Humanistik Dan


Behavioristik Terhadap Perbuatan Dan Tindakan Kita Mendidik

Pandangan Psikoanalitik

14

a)

Tokoh psikoanalitik (Hansen, stefic, wanner, 1977) menyatakan bahwa manusia [ada

dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif.
Tingkah laku seseorang ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sudah ada
pada diri seseorang, tidak ditentukan oleh nasibnya tetapi diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan dan insting biologisnya.

b)

Sigmund freud mengemukakan bahwa struktur kepribadian seseorang terdiri dari tiga

komponen yakni: ide, ego, super ego. Masing-masing komponen tersebut merupakan
berbagai insting kebutuhan manusia yang mendasari perkembangan manusia.

Menurut pandangan Psikoanalitik bahwa secara hakiki kepribadian manusia terdiri dari tiga
komponen yaitu: id, ego dan superego, jelaskan ketiga hal ini beserta contoh!
Dapat dijelaskan bahwa:
a.
Id, meliputi berbagai jenis keinginan, dorongan, kehendak, dan instink manusia yang
mendasari perkembangan individu, mempunyai unsur seksual dan sifat agresif sebagai daya
penggerak kejiwaan atau tingkah laku manusia. Contoh dari Id yaitu: adanya dorongan yang
kuat atau hasrat disaat seseorang merasa lapar atau haus, maka tindakan yang dilakukan
adalah makan dan minum.
b.

Ego, berfungsi untuk menjembatani antara Id dengan dunia luar dari individu. Yang

muncul adalah ego. Ego mengatur gerak gerik Id dalam memuaskan libidonya, dengan cara
tidak memunculkan semua dorongan yang timbul atau ada di dalam Id. Contoh ego yaitu
perasaan khawatir seseorang terhadap hasil ujian semester. Namun, kekhawatiran ini masih
bisa dikurangi dengan adanya harapan untuk memperoleh nilai yang baik, sesuai dengan
usaha yang telah dilakukan.
c.

Superego, mempunyai sifat mengatur baik itu nilai (value), moral, adat, tradisi, hukum,

norma, dan lainnya. Superego merupakan pengawasan tingkah laku individu dalam
berinteraksi dalam lingkungan. Contoh yang dapat dilihat dari superego adalah adanya
hukum/sangsi yang diterima bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran seperti mencuri,

15

membunuh, dan korupsi. Semua perbuatan mereka akan diberi ganjaran sesuai dengan hukum
yang berlaku.

a)

Pandangan Humanistik

Pandangan Humanistik(Hansen, dkk, 1977) menolak pandangan Freud bahwa

manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki control
terhadapnasibnya sendiri. Tokoh Humanistik (Roger) berpendapat bahwa manusia itu
memiliki dorongan untuk menyerahkan dirinya sendiri kearah positif, manusia itu rasional,
tersosialisasikan, mengatur, dan mengontrol dirinya sendiri.

b)

Pandangan Adler (1954), bahwa manusia tidak semata-mata digerakkan oleh

dorongan untuk memuaskan dirinya sendiri, namun digerakkan oleh rasa tanggung jawab
social serta oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu.

c)

Pandangan Martin Buber(1961) tidak sependapat dengan pandangan yang

menyatakan bahwa manusia berdosa dan dalam gengaman dosa. Buber berpendapat bahwa
manusia merupakan sesuatu keberadaan (eksistensi) yang berpotensi. Namun, diharapkan
pada kesemestaan atau potensi manusia itu terbatas.Keterbatasan ini bukanlah keterbatasan
yang mendasar (esensial), tetapi keterbatsan factual semata-mata. Ini berarti bahwa yang akan
akan dilakukan oleh manusia ini tidak dapat diramalkan dan manusia masih menjadi pusat
ketakterdugaan dunia.

Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam
pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanistik.
Singkatnya, pendekatan humanistik diikhtisarkan sebagai berikut:

16

(a)Siswa akan maju menurut iramanya sendiri dengan suatu perangkat materi yang sudah
ditentukan lebih dulu untuk mencapai suatu perangkat tujuan yang telah ditentukan pula dan
para siswa bebas menentukan cara mereka sendiri dalam mencapai tujuan mereka sendiri

(b) Pendidikan aliran humanistik mempunyai perhatian yang murni dalam pengembangan
anak-anak perbedaan-perbedaan individual

(c) Adaperhatian yang kuat terhadap pertumbuhan pribadi dan perkembangan siswa secara
individual. Tekanan pada perkembangan secara individual dan hubungan manusia-manusia
ini adalah suatu usaha untuk mengimbangi keadaan-keadaan baru yang selalu meningkat
yang dijumpai siswa, baik di dalam masyarakat bahkan mungkin juga di rumah mereka
sendiri.

Pandangan Behaviouristik

Kaum behaviouristik (Hansen, dkk, 1977) berpendapat bahwa manusia sepenuhnya adalah
mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh fakto-fakto yang datang dari luar.
Lingkungan adalah penentu tunggal dari tingkah laku manusia. Dengan demikian kepribadian
individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan antara individu dengan
lingkungannya, hubungan itu diatur oleh hokum-hukum belajar, seperti teori pembiasaan
(conditing) dan peniruan.

Ada 3 program : Confluent Education, Open Education, Cooperative Learning


1. Confluent Education Pendidikan yang memadukan pengalamanpengalaman afektif dengan
belajar kognitif di dalam kelas.
2. Open Education Proses pendidikan terbuka.
3. Cooperative Education Belajar kooperatif merupakan pondasi yang baik untuk
meningkatkan dorongan berprestasi siswa

17

2.5 Pendidikan merupakan aset yang tak ternilai bagi individu dan masyarakat
Pendidikan merupakan aset yang tak ternilai bagi individu dan masyarakat. Pendidikan tidak
pernah dapat dideskripsikan secara gamblang hanya dengan mencatat banyaknya jumlah
siswa, personel yang terlibat, harga bangunan, dan fasilitas yang dimiliki. Pendidikan
memang menyangkut hal itu semua, namun lebih dari itu semuanya. Pendidikan merupakan
proses yang esensial untuk mencapai tujuan dan cita-cita pribadi individu (siswa). Siswa
merupakan unsur utama dalam pendidikan. Siswa sebagai individu sedang berada dalam
proses berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau
kemandirian.Untuk mencapai kemandirian tersebut, siswa memerlukan bimbingan, karena
mereka

masih

kurang

memiliki.Pemahaman

atau

wawasan

tentang

dirinya

dan

lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Pendidikan yang


hanya melaksanakan bidang administratif dan pengajaran dengan mengabaikan bidang
bimbingan mungkin hanya akan menghasilkan individu yang pintar dan terampil dalam aspek
akademik,

tetapi

kurang

memiliki

kemampuan

atau

kematangan

dalam

aspek

psikososiospiritual. Ketiga bidang utama pendidikan di atas lebih lanjut dijelaskan sebagai
berikut:1. Bidang Administrasi dan Kepemimpinan Bidang ini menyangkut kegiatan
pengelolaan

program

secara

efisien.

Pada

bidang

ini

terletak

tanggung

jawab

kepemimpinanan (kepala sekolah dan staf administrasi lainnya) yang terkait dengan kegiatan
perencanaan organisasi, deskripsi jabatan atau pembagian tugas, pembiayaan, penyediaan
fasilitas atau sarana prasarana (material), supervisi, dan evaluasi program.2. Bidang
intruksional dan kurikuler Bidang ini terkait dengan kegiatan pengajaran yang bertujuan
untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan pengembangan sikap. Pihak yang
bertanggung jawab secara langsung terhadap bidang ini adalah para guru.3. Bidang
Pembinaan Siswa (Bimbingan dan Konseling) Bidang ini terkait dengan program pemberiaan
layanan bantuan kepada peserta didik (siswa) dalam upaya mencapai perkembangannya yang
optimal, melalui interaksi yang sehat dengan lingkungannya. Personel yang paling
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan bidang ini adalah guru pembimbing atau konselor.
Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan khususnya pada tatanan persekolahan, layanan
bimbingan dan konseling mempunyai posisi dan peran yang cukup penting dan strategis.
Bimbingan dan konseling berperan untuk memberikan layanan kepada siswa agar dapat
berkembang secara optimal melalui proses pembelajaran secara efektif. Untuk membantu

18

siswa dalam proses pembelajaran, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pribadi
agar dapat membantu keseluruhan proses belajarnya. Dalam kaitan ini para pembimbing
diharapkan untuk:1. Mengenal danmemahami setiap siswa baik secara individual maupu
kelompok,2. Memberikan informasi-informasi yang diperlukan dalam proses belajar,3.
Memberi kesempatan yang memadai agar setiap siswa dapat belajar sesuai dengan karakter
istik pribadinya,4. Membantu setiap siswa dalam menghadapi masalah-masalah pribadi yang
dihadapinya,5. Menilai keberhasilan setiap langkah kegiatan yang telah dilakukan. Berkenaan
dengan hubungan antara bimbingan dan pendidikan tersebut di atas, Rochma Natawidjaja
(1990: 16) Memberikan penjelasan sebagai berikut: ...bimbingan dan konseling memiliki
fungsi dan posisi kunci dalam pendidikan di sekolah, yaitu sebagai pendamping fungsi utama
sekolah dalam bidang pengajaran dan perkembangan intelektual siswa dalam bidang
menangani ihwal sisi sosial pribadi siswa..
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa bimbingan dan konseling memiliki fungsi memberikan
bantuan kepada siswa dalam rangka memperlancar pencapaian tujuan pendidikan, yaitu
membantu meratakan jalan menuju ALLAH Swt.; berguna bagi manusia, dan bermanfaat
bagi kesejahteraan dan pembangunan bangsa, negara, dan umat manusia bahwa bimbingan
dan konseling adalah merupakan suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yang diberikan kepada
individu pada umumnya dan siswa pada khususnya disekolah dalam rangka meningkatkan
mutunya. Pelayanan bimbingan merupakan bagian integral dari program pendidikan itu dan
karena sebagian besar dari tumpukan masalah yang yang dihadapi oleh peserta didik justru
bersumber dari keaneka ragaman tuntutan belajar disekolah. Maka, para konselor sekolah
harus mengenal bidang pendidikan sekolah secara konret. Dari latar belakang masalah diatas,
dapat diketahui urgensi bimbingan dan konseling dalam pendidikan yang akan dipaparkan
dalam sub bahasan yaitu fungsi pelayanan bimbingan dalam keseluruhan pendidikan sekolah,
tujuan dari bimbingan dalam sekolah, faktor yang menjadi latar belakang bimbingan dan
konseling dalam pendidikan dan peran serta kedudukan bimbingan konseling.B. Pembahasan
Perlu kita pahami terlebih dahulu, apakah perbedaan antara bimbingan dan pendidikan?
Bukankah pendidikan itu sebenarnya merupakan pendidikan yang telah dilaksanakan
disekolah- sekolah sejak dahulu. Bimbingan itu sebenarnya menyangkut semua usaha
pendidikan yang dilakukan oleh guru baik didalam maupun diluar sekolah.[1] Namun
demikian, walaupun bimbingan itu menyangkut tiap-tiap aspek dari kegiatan sekolah,
hendaknya perlu diperhatikan bahwa pendidikan dan bimbingan berbeda dalam tujuan dan

19

prosesnya. Pendidikan itu lebih menyangkut pada masalah perorangan (Individu), sedangkan
bimbingan banyak menyangkut dengan faktor-faktor di luar individu. Jadi bimbingan itu
dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pendidikan. Dalam arti khusus, bimbingan menyangkut
semua teknik konseling dan semua macam informasi yang dapat menolong individu untuk
menolong dirinya sendiri.1. Fungsi bimbingan dan konselinga. Pencegahan (preventif)
Layanan bimbingan dapat berfungsi pencegahan, artinya merupakan usaha pencegahan
terhadap timbulnya masalah. Layanan yang diberikan berupa bantuan bagi para siswa agar
terhindar dari berbagai masalah yang dapat menghambat perkembangannya. Kegiatannya
dapat berupa program orientasi, bimbingan karir, inventaris data.b. Pemahaman Maksudnya
yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan pemahaman tentang sesuatu
pihak-pihak tertentu sesuai dengan keperluan pengembangan siswa dan agar siswa dapat
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.[2] Untuk mencapai
perkembangan optimal siswa sesuai dengan tujuan institusional lembaga pendidikan pada
dasarnya membina Pengelolaan administrasi sekolah tiga usaha pokok, yaitu:[3]
Pengembangan pemahaman dan pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan melalui
program intrakulikuler maupun ekstrakulikuler Pelayanan khusus kepada siswa dalam
berbagai bidang yang membulatkan pendidikan siswa/ menunjang kesejahteraan siswa seperti
membina Osis, Pelayanan kesehatan, kerohanian, pengadaan warung sekolah, perpustakaan
sekolah. Dalam fungsi pemahaman disini mencakup: Pemahaman tentang lingkungan siswa
Pemahaman tentang diri siswa Pemahaman tentang lingkungan yang lebih luas.c. Perbaikan
(penyembuhan) Fungsi bimbingan yang kuratif yaitu yang berkaitan erat dengan fungsi
bimbingan dan konseling yang akan mengahasilkan terpecahkannya atau teratasinya berbagai
permasalahan siswa baik aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang digunakan
adalah konseling dan remidial teaching.d. Fungsi pemeliharaan dan pengembangan Yang
berarti layanan bimbingan dan konseling yang diberikan dapat membantu siswa dalam
memelihara dan mengembangkan pribadinya secara mantap, terarah dan berkelanjutan. Yaitu
konselor senantiasa berupaya menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, memfasilitasi
perkembangan siswa. Dengan demikian, siswa dapat memelihara dan mengembangkan
berbagai potensi dan kondisi yang positif dalam rangka perkembangan dirinya secara mantap
dan berkelanjutan.e. Fungsi penyaluran (distributif)[4] Yaitu fungsi bimbingan memberi
bantuan kepada siswa dalam memilih kemungkinan kesempatan yang ada dalam lingkungan
sekolah. Misalnya kegiatan ekstrakurikuler jurusan, program studi, dan memantapkan
penguasaan karir atau jabatan sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian

20

lainnya.f. Fungsi adaptasi (adative) Yaitu fungsi bimbingan sebagai pemberi bantuan para
pelaksana pendidikan khususnya konselor guru atau dosen untuk mengadaptasikan program
pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, bakat, kebutuhan serta kemampuan
siswa dan memperhatikan dinamika kelompok.g. Fungsi penyesuaian (adjuditive) Fungsi
bimbingan sebagai pemberi bantuan kepada siswa agar dapat menyesuaikan diri secara
dinamis dan konstruktif terhadap program pendidikan, peraturan sekolah atau norma agama.
Fungsi-fungsi tersebut diwujudkan melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan
bimbingan dan pendukung bimbingan dan konseling untuk mencapai hasil sebagaimana yang
terkandung dalam masing-masing fungsi. Setiap layanan dan kegiatan bimbingan dan
konseling harus dilaksanakan secara langsung mengacu pada salah satu atau beberapa fungsi
tersebut, agar hasil yang hendak dicapai secara jelas dapat diidentifikasikan dan dievakuasi.
[5] 2. Tujuan bimbingan dan konselinga. Tujuan umum Tujuan umumnya adalah sesuai
dengan tujuan pendidikan sebagaimana dalam UU Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989
(UU No. 2/1989) yaitu terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka
harus mendapatkan kesempatan:[6]- Mengenal dan memahami potensi, kekuatan dan tugas
perkembangannya- Mengenal dan memahami potensi/ peluang yang ada dilingkungannya.

Mengenal dan menentukan tujuan hidupnya- Memahami dan mengatasi permasalahan


pribadi- Menggunakan kemampuan untuk kepentingan pribadi, lembaga dan masyarakatMenyesuaikan diri dengan lingkungan- Mengembangkan segala potensi dan kekuatannya
secara tepat dan teratur secara optimal.b. Tujuan khusus Secara khusus bimbingan dan
konseling bertujuan untuk membantu peserta didik agar dapat mencapai tujuan
perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial, perkembangan belajar (akademik), dan
perkembangan karir.1. Tujuan bimbingan dan konseling yang menyangkut aspek pribadisosial siswa antara lain: - Memiliki kesadaran diri, yaitu menggambarkan penampilan dan
mengenal kekhususan yang ada pada dirinya. - Dapat mengembangkan sikap positif, seperti
menggambarkan orang-orang yang mereka senangi - Membuat pilihan secara sehat - Mempu
menghargai orang lain - Memiliki rasa tanggungjawab - Mengembangkan keterampilan
hubungan antar pribadi - Dapat menyelesaikan konflik - Dapat membuat keputusan secara

21

efektif.2. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek perkembangan belajar
(akademik) adalah: - Dapat melaksanakan keterampilan atau teknik belajar secara efektif. Dapat menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan - Mampu belajar secara efektif Memiliki keterampilan, kemampuan dan minat.3. Tujuan bimbingan dan konseling yang
terkait dengan aspek perkembangan karir, antara lain: - Mampu membentuk identitas karir,
dengan mengenali ciri-ciri pekerjaan didalam lingkungan kerja - Mampu merencanakan masa
depan - Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir - Mengenal
keterampilan, kemampuan dan minat.

3. Faktor yang melatar belakangi bimbingan dan penyuluhan dibutukan dalam lapangan
pendidikan.a. Faktor Perubahan sistem Demokrasi pendidikan perkembangan pendidikan
Perluasan peraturan pendidikan.b. Faktor sosial kultural Faktor ini muncul sebagai akibat dari
perubahan sosial dan budaya yang menimbulkan kesenjangan antara satu golongan dengan
golongan lain. c. Faktor psikologi Dari segi psikologis anak adalah pribadi yang sedang
berkembang yang menuju kearah kedewasaan, perubahan tersebut menyebabkan berada
dalam keadaan yang sulit. Untuk itu, mereka perlu mempersiapkan diri dari segala intelektual
emosional. 4. Peran bimbingan dan penyuluhan dalam pendidikan Peranan bimbingan dan
penyuluhan disekolah ialah mempelancar usaha-usaha sekolah dalam mencapai tujuan
pendidikan. Usaha untuk mencapai tujuan ini sering mengalami hambatan, dan ini terlihat
pada anak-anak didik. Mereka tidak bisa mengikuti program pendidikan disekolah karena
mereka mengalami masalah, kesulitan ataupun ketidakpastian. Disinilah letak peranan
bimbingan dan penyuluhan, yaitu untuk memberikan bantuan untuk mengatasi masalah
tersebut sehingga anak-anak dapat belajar lebih berhasil. Dengan begitu, pencapaian tujuan
pendidikan lebih dapat diperlancar.5. Kedudukan bimbingan dan penyuluhan dalam
pendidikan Beberapa kriteria yang menjadi syarat bahwa pendidikan dapat dikata bermutu
adalah pendidikan yang mampu mengintregasikan tiga bidang kegiatan utama secara efektif,
yaitu: bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional dan kurikulum, dan
bidang pembinaan siswa (bimbingan dan konseling).[7]a. Bidang administratif dan
kepemimpinan Bidang ini merupakan kegiatan yang berkaitan dengan masalah administrasi
dan kepemimpinan, yaitu masalah yang berhubungan dengan cara melakukan kegiatan secara
efesien.b. Bidang pengajaran dan kurikuler

Bidang ini bertanggung jawab dalam kegiatan pengajaran dan bertujuan untuk memberikan
bekal, pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada pesertadidik. Pada umumnya bidang ini

22

merupakan pusat kegiatan pendidikan dan merupakan tanggung jawab utama staff pengajar.c.
Bidang pembinaan siswa (bimbingan dan konseling). Bidang ini terkait dengan program
pemberian layanan bantuan kepada peserta didik dalam upaya mencapai perkembangannya
yang optimal melalui interaksi yang sehat dengan lingkungannya. Menurut Dr. Thari
Musnamar, bimbingan dan penyuluhan disekolah dalam pelaksanaannya mempunyai
beberapa pola atau kemungkinannya operasionalnya:1. Bimbingan identik dengan
pendidikan.2. Bimbingan sebagai pelengkap pendidikan.3. Bimbingan dan penyuluhan
sebagai pelengkap kurikuler.4. Bimbingan dan penyuluhan sebagai bagian dari layanan
urusan kesiswaan.5. Bimbingan dan penyuluhan sebagai sub sistem pendidikan.C.
Kesimpulan Dari urian diatas dapat kami simpulkan bahwa dalam keseluruhan proses
pendidikan, program bimbingan dan penyuluhan merupakan suatu keharusan yang tidak
dapat dipisahkan dari proses pendidikan pada umumnya. Dengan melalui program pelayanan
bimbingan dan penyuluhan yang baik, maka setiap peserta didik diharapkan mendapatkan
kesempatan untuk mengembangkan setiap potensi dan kemampuan yang dimilikinya
seoptimal mungkin. Selain itu, bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu individu
(siswa) agar memperoleh pencerahan diri (intelektual, emosional, sosial dan moral spiritual)
sehingga mampu menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif serta mampu mencapai
kehidupannya yang bermakna (produktif dan konstributif), baik bagi dirinya sendiri maupun
orang lain atau masyarakat. [1] Umum khairul, Aminudin A. Achyar, editior: Djaliel, Manan
Abd, Bimbingan dan penyuluhan Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Bandung:
Pustaka Setia, 1998, hal. 21 [2] Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program
Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hal. 26 [3] Samsul Yusuf dan A.
Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005, hal. 16
[4] W.S. Winkle, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: PT.Grafindo,
1997, hal. 97 [5] Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan
Konseling,Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hal. 28 [6] Op.Cit, hal. 13 [7] Samsul Yusuf dan A.
Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2005, hal.
4Diposkan oleh Khaerul Huda
http://www.slideshare.net/mbathutiekhanslludabwdsmw/pendidikan-merupakan-aset-yangtak-ternilai-bagi-individu-dan-masyarakat

23

2.6 Konsepsi Hakikat Manusia dalam Pendidikan


1. Hakikat Manusia
a. Manusia sebagai Makhluk Tuhan YME
Dalam perjalanan hidupnya manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan
asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran pokok filsafat yang memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme (J.D. Butler, 1968).
Menurut Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di
alam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam semesta ada dengan sendirinya
berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert
Spencer, Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya, filsafat Kreasionisme
menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta - adalah ciptaan
suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME. Penganut aliran ini antara lain
Thomas Aquinas dan Al-Ghazali. Kita dapat mengakui kebenaran tentang adanya proses
evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi tentunya kita menolak pandangan

24

yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari
alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penolakan ini terutama didasarkan atas keimanan kita
terhadap Tuhan YME sebagai Maha Pencipta. Adapun secara filosofis penolakan tersebut
antara lain didasarkan kepada empat argumen berikut ini, sebagaimana dikemukakan oleh
Tatang Syaripudin (2008; 9-10), yaitu sebagai berikut:
1) Argumen ontologis: Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, bahwa
realitas (kenyataan) lebih sempurna daripada ide manusia. Sebab itu, Tuhan pasti ada dan
realitas ada-Nya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
2) Argumen kosmologis: Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya
alam semesta - termasuk manusia - adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian
sebab-akibat, namun tentunya mesti ada Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang
lainnya. Sebab Pertamaadalah sumber bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada sebagai
materi, melainkan sebagai Pribadi atau Khalik.
3) Argumen Teleologis: Segala sesuatu memiliki tujuan (contoh: mata untuk melihat, kaki
untuk berjalan dsb.). Sebab itu, segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sindirinya,
melainkan diciptakan oleh Pengatur tujuan tersebut, yaitu Tuhan.
4) Argumen Moral: Manusia bermoral, ia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang
jahat, dsb. Ini menunjukkan adanya dasar, sumber dan tujuan moralitas. Dasar, sumber, dan
tujuan moralitas itu adalah Tuhan.
b. Manusia sebagai Kesatuan Badan-Ruh
Menurut Julien de La Mettrie, salah seorang penganut aliran Materialisme bahwa esensi
manusia semata-mata bersifat badani, esensi manusia adalah tubuh/fisiknya. Sebab itu, segala
hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandang hanya sebagai resonansi dari
berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada
organ tubuh luka muncullah rasa sakit. Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu
dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968). Sebaliknya, menurut Plato salah
seorang penganut aliran

Idealisme

- bahwa esensi manusia bersifat

kejiwaan/

spiritual/rohaniah. Memang Plato tidak mengingkari adanya aspek badan, namun menurut
dia jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada badan. Jiwa berperan sebagai pemimpin
badan, jiwalah yang mempengaruhi badan, karena itu badan mempunyai ketergantungan
kepada jiwa. Contoh: Pada saat berpuasa, jiwa mengendalikan badan untuk tidak minum dan
tidak makan, sekalipun kerongkongan sudah kering dan perut keroncongan. Pandangan
tentang hubungan badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Spiritualisme (J.D.Butler, 1968).

25

Rene Descartes mengemukakan pandangan lain yang secara tegas bersifat dualistik. Menurut
Descartes esensi manusia terdiri atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa. Karena manusia
terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa), maka antara keduanya tidak terdapat
hubungan saling mempengaruhi (S.E. Frost Jr., 1957). Namun demikian setiap peristiwa
kejiwaan selalu paralel dengan peristiwa badaniah, atau sebaliknya. Contoh: apabila jiwa
seseorang sedih, maka secara paralel badannya pun tampak murung atau menangis.
Pandangan hubungan antara badan dan jiwa seperti itu dikenal sebagai Paralelisme (J.D.
Butler, 1968). Semua pandangan di atas dibantah oleh E.F. Schumacher (1980). Menurut
Schumacher manusia adalah kesatuan dari yang bersifat badani dan rohani yang secara
prinsipal berbeda daripada benda, tumbuhan, hewan, maupun Tuhan. Sejalan dengan ini
Abdurahman Sholih Abdullah (1991) menegaskan: meski manusia merupakan perpaduan
dua unsur yang berbeda, ruh dan badan, namun ia merupakan pribadi yang integral. Sebagai
kesatuan badani-rohani manusia hidup dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran
(consciousnesss), memiliki penyadaran diri (selfawareness), mempunyai berbagai kebutuhan,
instink, nafsu, serta mempunyai tujuan. Manusia mempunyai potensi untuk beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, namun di samping itu karena
hawa nafsunya ia pun memiliki potensi untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki
potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak
(karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia
berdimensi

individualitas/

keberagamaan.

Implikasi

personalitas,
dari

semua

sosialitas,
itu,

moralitas,
manusia

keberbudayaan
memiliki

dan

historisitas,

berinteraksi/berkomunikasi, dan memiliki dinamika.


c. Individualitas/personalitas
Dari uraian di atas telah Anda pahami bahwa manusia bukan hanya badannya, bukan pula
hanya rohnya. Manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek badani dan
rohaninya, dst. Dalam kehidupan sehari-hari Anda pun menyaksikan adanya perbedaan pada
setiap orang, sehingga masingmasing bersifat unik. Perbedaan ini berkenaan dengan postur
tubuhnya, kemampuan berpikirnya, minat, hobi, cita-citanya, dsb. Jika Anda bandingkan,
manusia kembar siam sekalipun tidak memiliki kesamaan dalam keseluruhannya bukan?
Selain itu, karena setiap manusia memiliki subjektivitas (ke-dirisendirian), maka ia
hakikatnya adalah pribadi, ia adalah subjek. Sebagai pribadi atau subjek, setiap manusia
bebas mengambil tindakan atas pilihan serta tanggung jawabnya sendiri (otonom) untuk

26

menandaskan keberadaanya di dalam lingkungan. Dengan demikian dapat Anda simpulkan


bahwa manusia adalah individu/pribadi, artinya manusia adalah satu kesatuan yang tak dapat
dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga bersifat unik, dan merupakan
subjek yang otonom.
d. Sosialitas
Sekalipun setiap manusia adalah individual/personal, tetapi ia tidak hidup sendirian, tak
mungkin hidup sendirian, dan tidak mungkin hidup hanya untuk dirinya sendiri, melainkan
hidup pula dalam keterpautan dengan sesamanya. Dalam hidup bersama dengan sesamanya
(bermasyarakat), setiap individu menempati kedudukan (status) tertentu, mempunyai dunia
dan tujuan hidupnya masing-masing, namun demikian sekaligus ia pun mempunyai dunia
bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Melalui hidup dengan sesamanyalah
manusia akan dapat mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan ini Aristoteles
menyebut manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat (Ernst Cassirer,
1987). Terdapat hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan masyarakatnya.
Ernst Cassirer menyatakan: manusia takkan menemukan diri, manusia takkan menyadari
individualitasnya kecuali melalui perantaraan pergaulan sosial. Adapun Theo Huijbers
mengemukakan bahwa dunia hidupku dipengaruhi oleh orang lain sedemikian rupa,
sehingga demikian mendapat arti sebenarnya dari aku bersama orang lain itu (Soerjanto P.
dan K. Bertens,1983). Sebaliknya terdapat pula pengaruh dari individu terhadap
masyarakatnya. Masyarakat terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya suatu
masyarakat akan tertentukan oleh individu-individu yang membangunnya (Iqbal, 1978).
Karena setiap manusia adalah pribadi/individu, dan karena terdapat hubungan pengaruh
timbal balik antara individu dengan sesamanya, maka idealnya situasi hubungan antara
individu dengan sesamanya itu tidak merupakan hubungan antara subjek dengan objek,
melainkan subjek dengan subjek yang oleh Martin Buber disebut hubungan I Thou / AkuEngkau (Maurice S. Friedman, 1954). Selain itu, hendaknya terdapat keseimbangan antara
individualitas dan sosialitas pada setiap manusia.
e. Keberbudayaan
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka

kehidupan

masyarakat

yang

dijadikan

milik

manusia

dengan

belajar

(Koentjaraningrat, 1985). Ada tiga jenis wujud kebudayaan, yaitu: 1) sebagai kompleks dari
ide-ide, ilmu pengetahuan, nilai-nilai, normanorma, peraturan-peraturan, dsb.; 2) sebagai

27

kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan 3) sebagai bendabenda hasil karya manusia. Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan
kebudayaan, ia hidup berbudaya dan membudaya. Manusia menggunakan kebudayaan dalam
rangka memenuhi berbagai kebutuhannya atau untuk mencapai berbagai tujuannya. Di
samping itu kebudayaan menjadi milik manusia, menyatu dengan dirinya, ia hidup sesuai
dengan kebudayaannya. Karena itu, kebudayaan bukan sesuatu yang ada di luar manusia,
melainkan meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Bahkan manusia itu baru menjadi manusia
karena dan bersama kebudayaannya. Di dalam kebudayaan dan dengan kebudayaan itu
manusia menemukan dan mewujudkan diri. Berkenaan dengan ini Ernst Cassirer
menegaskan: Manusia tidak menjadi manusia karena sebuah faktor di dalam dirinyanya,
seperti misalnya naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaannya,
kebudayaannya. Demikianlah kebudayaan termasuk hakikat manusia (C.A. Van Peursen,
1988). Dari uraian di atas kiranya Anda telah memahami bahwa kebudayaan memiliki fungsi
positif bagi kemungkinan eksistensi manusia, namun demikian perlu dipahami pula bahwa
apabila manusia kurang bijaksana dalam mengembangkan dan/atau menggunakannya, maka
kebudayaan pun dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi
manusia. Dalam perkembangannya yang begitu cepat, sejak abad yang lalu kebudayaan
disinyalir telah menimbulkan krisis antropologis. Berkenaan dengan ini Martin Buber
mengemukakan contoh keterhukuman manusia oleh karyanya sendiri: Manusia menciptakan
mesin untuk melayani dirinya, tetapi akhirnya manusia menjadi pelayan mesin. Demikian
pula dalam bidang ekonomi, semula manusia berproduksi untuk memenuhi kebutuhannya,
tetapi akhirnya manusia tenggelam dan dikuasai produksi (Ronald Gregor Smith, 1959).
Kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Kodrat dinamika pada diri manusia
mengimplikasikan adanya perubahan dan pembaruan kebudayaan. Hal ini tentu saja
didukung oleh pengaruh kebudayaan masyarakat/bangsa lain terhadap kebudayaan
masyarakat tertentu, serta dirangsang pula oleh tantangan yang datang dari lingkungan.
Selain itu, mengingat adanya dampak positif dan negatif dari kebudayaan terhadap manusia,
masyarakat kadang-kadang terombang ambing diantara dua relasi kecenderungan. Di satu
pihak ada yang mau melestarikan bentuk-bentuk lama (konservatif), sedang yang lain
terdorong untuk menciptakan hal-hal baru (inovatif). Ada pergolakan yang tak kunjung reda
antara tradisi dan inovasi. Hal ini meliputi semua kehidupan budaya (Ernest Cassirer, 1987).
f. Moralitas

28

Eksistensi manusia memiliki dimensi moralitas. Manusia memiliki dimensi moralitas sebab ia
memiliki kata hati yang dapat membedakan antara baik dan jahat. Adapun menurut
Immanuel Kant disebabkan pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah
mutlak (categorical imperative). Contoh: jika Anda meminjam buku milik teman, rasio
praktis atau kata hati Anda menyatakan bahwa buku itu wajib dikembalikan. (S.E. Frost Jr.,
1957; P.A. van der Weij, 1988). Sebagai subjek yang otonom (memiliki kebebasan) manusia
selalu dihadapkan pada suatu alternatif tindakan/perbuatan yang harus dipilihnya. Adapun
kebebasan untuk bertindak/berbuat itu selalu berhubungan dengan norma-norma moral dan
nilai- nilai moral yang juga harus dipilihnya. Karena manusia mempunyaikebebasan memilih
untuk bertindak/berbuat, maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggungjawaban
atas setiap perbuatannya.
g. Keberagamaan
Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia yang
terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang
diwujudkan dalam sikap dan perilakunya. Hal ini terdapat pada manusia manapun, baik
dalam rentang waktu (dulu-sekarang-akan datang), maupun dalam rentang geografis dimana
manusia berada. Seperti telah Anda pahami, manusia memiliki potensi untuk mampu beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu
melalui Utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk
dipikirkan oleh manusia agar (sehingga) manusia beriman dan bertaqwa kepadaNya. Dalam
keberagamaan ini manusia dapat merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh
kejelasan tentang asal-usulnya, dasar hidupnya, tata cara hidupnya, dan menjadi jelas pula ke
mana arah tujuan hidupnya.
h. Historisitas, Komunikasi/Interaksi dan Dinamika
Berbagai

dimensi

mengimplikasikan

eksistensi
bahwa

manusia

eksistensi

sebagaimana
manusia

telah

memiliki

diuraikan
dimensi

terdahulu
historisitas,

komunikasi/interaksi, dan dinamika.Hal ini selaras dengan apa yang dijelaskan oleh MI.
Soelaeman (1985) dan Tatang Syaripudin (2008) dan Y. Suyitno (2008) Historisitas.
Eksistensi manusia memiliki dimensi historisitas, artinya bahwa keberadaan manusia pada
saat ini terpaut kepada masa lalunya, ia belum selesai mewujudkan dirinya sebagai manusia,
ia mengarah ke masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Historisitas memiliki fungsi
dalam eksistensi manusia. Historisitas turut membangun eksistensi manusia. Sehubungan

29

dengan ini Karl Jaspers menyatakan: Manusia harus tahu siapa dia tadinya, untuk menjadi
sadar kemungkinan menjadi apa dia nantinya. Masa lampaunya yang historis adalah faktor
dasar yang tidak dapat dihindarkan bagi masa depannya (Fuad Hasan, 1973). Manusia telah
melampaui masa lalunya, adapun keberdaannya pada saat ini adalah sedang dalam perjalanan
hidup, perkembangan dan pengembangan diri. Sejak kelahirannya, manusia memang adalah
manusia, tetapi ia juga harus terus berjuang untuk hidup sesuai kodrat dan martabat
kemanusiaannya. Karena itu, ia belum selesai menjadi manusia, belum selesai
mengaktualisasikan diri demi mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia mencakup
tiga dimensi, yaitu (1) dimensi ruang (di sini - di sana, dunia - akhirat); (2) dimensi waktu
(masa sekarang - masa datang); (3) dimensi nilai (baik - tidak baik) sesuai dengan agama dan
budaya yang diakuinya (M.I. Soelaeman, 1988). Adapun esensi tujuan hidup manusia tiada
lain untuk mencapai keselamatan/kebahagiaan di dunia dan di akhirat, atau untuk
mendapatkan ridlo Tuhan YME. Komunikasi atau Interaksi. Dalam rangka mencapai
tujuan hidupnya, manusia berinteraksi/berkomunikasi. Komunikasi/interaksi ini dilakukannya
baik secara vertikal, yaitu dengan Tuhannya; secara horizontal yaitu dengan alam dan sesama
manusia

serta

budayanya;

dan

bahkan

dengan

dirinya

sendiri.

Demikianlah

interaksi/komunikasi tersebut bersifat multi dimensi. Dinamika. N. Drijarkara S.J. (1986)


menyatakan bahwa manusia mempunyai atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika),
artinya manusia tidak pernah berhenti, selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik
maupun spiritualnya. Dinamika mempunyai arah horisontal (ke arah sesama dan dunia)
maupun arah transendental (ke arah Yang Mutlak). Adapun dinamika itu adalah untuk
penyempurnaan diri baik dalam hubungannya dengan sesama, dunia dan Tuhan. Manusia
adalah subjek, sebab itu ia dapat mengontrol dinamikanya. Namun demikian karena ia adalah
kesatuan jasmani-rohani (yang mana ia dibekali nafsu), sebagai insan sosial, dsb., maka
dinamika itu tidak sepenuhnya selalu dapat dikuasainya. Terkadang muncul dorongandorongan negatif yang bertentangan dengan apa yang seharusnya, kadang muncul pengaruh
negatif dari sesamanya yang tidak sesuai dengan kehendaknya, kadang muncul kesombongan
yang tidak seharusnya diwujudkan, kadang individualitasnya terlalu dominan atas
sosialitasnya, dsb. Sehubungan dengan itu, idealnya manusia harus secara sengaja dan secara
prinsipal menguasai dirinya agar dinamikanya itu betul-betul sesuai dengan arah yang
seharusnya.
i. Eksistensi Manusia adalah untuk Menjadi Manusia

30

Seperti telah dikemukakan di atas, manusia memiliki dimensi dinamika, sebab itu eksistensi
manusia bersifat dinamis. Bagi manusia bereksistensi berarti meng-ada-kan dirinya secara
aktif. Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat dan menjadi. Permasalahannya, manusia
itu bereksistensi untuk menjadi siapa? Eksistensi manusia tiada lain adalah untuk menjadi
manusia. Inilah tugas yang diembannya. Tegasnya ia harus menjadi manusia ideal (manusia
yang diharapkan, dicita-citakan, atau menjadi manusia yang seharusnya). Idealitas
(keharusan, cita-cita/harapan) ini bersumber dari Tuhan melalui ajaran agama yang
diturunkanNya, bersumber dari sesama dan budayanya, bahkan dari diri manusia itu sendiri.
Coba Anda rumuskan, gambaran manusia ideal menurut Tuhan atau agama yang Anda yakini;
manusia ideal menurut masyarakat/bangsa dan budayanya; dan manusia ideal menurut Anda
sendiri! Manusia ideal adalah manusia yang mampu mewujudkan berbagai potensinya secara
optimal, sehingga beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cerdas,
berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai kebutuhannya
secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat dan
berbudaya.
2. Keharusan Pendidikan: Manusia sebagai Makhluk yang Perlu
Dididik dan Perlu Mendidik Diri
Ada berbagai pandangan yang menginterpretasikan manusia sebagai makhluk, baik makhluk
social, individual, politik, berakal, berbicara, dan lainlain. Dalam kajian ini erat kaitannya
dengan permasalahan pendidikan yang mengasumsi- kan bahwa manusia harus dididik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Tatang Syaripudin (2008), dan MI.Soelaeman (1985) bahwa
eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya sekaligus mengarah ke masa depan untuk
mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian, manusia berada dalam perjalanan hidup, dalam
perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah manusia tetapi sekaligus belum selesai
mewujudkan dirinya sebagai manusia (prinsip historisitas). Bersamaan dengan hal di atas,
dalam eksistensinya manusia mengemban tugas untuk menjadi manusia ideal. Sosok manusia
ideal merupakan gambaran manusia yang dicita-citakan atau yang seharusnya. Sebab itu,
sosok manusia ideal tersebut belum terwujudkan melainkan harus diupayakan untuk
diwujudkan (prinsip idealitas). Permasalahannya, bagaimana mungkin manusia dapat
menjadi manusia? Untuk menjawab pertanyaan itu mari terlebih dahulu kita bandingkan sifat
perkembangan khewan dan sifat perkembangan manusia. Perkembangan khewan bersifat
terspesialisasi/tertutup. Contoh: kerbau lahir sebagai anak kerbau, selanjutnya ia hidup dan
berkembang sesuai kodrat dan martabat kekerbau- annya (mengkerbau/menjadi kerbau).

31

Pernahkan Anda menemukan anak kerbau yang berkembang menjadi serigala? Mustahil
bukan? Sebaliknya, perkembangan manusia bersifat terbuka. Manusia memang telah dibekali
berbagai potensi untuk mampu menjadi manusia, misalnya: potensi untuk beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk dapat berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa,
dsb. Namun demikian setelah kelahirannya, bahwa potensi itu mungkin terwujudkan, kurang
terwujudkan atau tidak terwujudkan. Manusia mungkin berkembang sesuai kodrat dan
martabat kemanusiaannya (menjadi manusia), sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke
arah yang kurang atau tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya
(kurang/tidak menjadi manusia). Contoh: Dalam kehidupan sehari-hari, Anda pasti
menemukan fenomena perilaku orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhannya,
orang-orang yang berperilaku sesuai dengan nilai dan norma budaya masyarakatnya, dsb. Di
samping itu Anda pun menyaksikan orang-orang yang berperilaku kurang/tidak sesuai dengan
perilaku manusia yang seharusnya, baik menurut nilai dan norma agama maupun budayanya.
Perilaku koruptor bak tikus kantor bukan? Tatang Syaripudin (2008) member contoh yang
dikemukakan Anne Rollet, yang melaporkan bahwa sampai tahun 1976 para etnolog telah
mencatat 60 anak-anak buas yang hidup bersama dan dipelihara oleh binatang. Tidak
diketahui bagaimana awal kejadiannya, yang jelas telah ditemukan bahwa diantara ke-60
anak tersebut ada yang dipelihara oleh serigala, kijang, kera, , dsb. Anak-anak tersebut
berperilaku tidak sebagaimana layaknya manusia, melainkan bertingkah laku sebagaimana
binatang yang memeliharanya. Mereka tidak berpakaian, agresif untuk menyerang dan
menggigit, tidak dapat tertawa, ada yang tidak dapat berjalan tegak, tidak berbahasa
sebagaimana bahasanya manusia, dll. (Intisari, No.160 Tahun ke XIII, November 1976:8186). Demikianlah, perkembangan kehidupan manusia bersifat terbuka atau serba mungkin.
Inilah prinsip posibilitas/prinsip aktualitas. Berdasarkan kajian tersebut, menunjukkan bahwa
berbagai kemampuan yang seharusnya dimiliki manusia tidak di bawa sejak kelahirannya,
melainkan

harus

diperoleh

setelah

kelahirannya

dalam

perkembangan

menuju

kedewasaannya. Dalam perjalanan hidupnya, ternyata manusia memperoleh berbagai


kemampuan berkat upaya bantuan pihak lain, namun setelah dia mampu melakukan sendiri,
dengan berbagai potensi yang ia kembangkan, tidak semua tergantung pada pihak lain.
Bantuan pihak lain yang diterima pada waktu seseorang masih tergantung pada pihak lain
bisa dalam bentuk pengasuhan, pengajaran, latihan, bimbingan, dan berbagai bentuk kegiatan
lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah pendidikan. Di lain pihak, manusia yang
bersangkutan juga harus belajar atau harus mendidik diri. Menurut Tatang Syaripudin (2008;

32

16-18) mengapa manusia harus mendidik diri? Sebab, dalam bereksistensi yang harus mengaada-kan/menjadikan diri itu hakikatnya adalah manusia itu sendiri. Sebaik dan sekuat apa pun
upaya yang diberikan pihak lain (pendidik) kepada seseorang (peserta didik) untuk
membantunya menjadi manusia, tetapi apabila seseorang tersebut tidak mau mendidik diri,
maka upaya bantuan tersebut tidak akan memberikan konstribusi bagi kemungkinan
seseorang tadi untuk menjadi manusia. Lebih dari itu, jika sejak kelahirannya perkembangan
dan pengembangan kehidupan manusia diserahkan kepada dirinya masing-masing tanpa
dididik oleh orang lain dan tanpa upaya mendidik diri dari pihak manusia yang bersangkutan,
kemungkinannya ia hanya akan hidup berdasarkan dorongan instingnya saja. Permasalahan
manusia, apakah ia harus dididik dan apakah manusia dapat dididik menyangkut
permasalahan antropologi filsafi, yang mempersoalkan hakikat manusia itu sendiri, yaitu
apakah manusia sebagai makhluk social, makhluk individual, makhluk ciptaan Tuhan YME,
sebagai makhluk yang berakal, atau sebagai makhluk yang potensial. Persoalan ini akan
memunculkan berbagai alternative jawaban dan tindakan manusia, yang salah satunya
melalui pendidikan. Permasalahannya adalah apakah dengan tindakan pendidikan semua
persoalan kehidupan manusia menjadi lengkap dan sempurna? Oleh karena itu, banyak para
filosof yang berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai, khususnya para
filosof eksistensialisme. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Tatang Syaripudin baik dalam
Tesis maupun dalam Landasan Pendidikan (1994, 208) bahwa Manusia belum selesai
menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan
sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu dididik dan mendidik diri.
Manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan, demikian kesimpulan
Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959). Pernyataan tersebut sejalan
dengan hasil studi M.J. Langeveld yang memberikan identitas kepada manusia dengan
sebutan Animal Educandum (M.J. Langeveld, 1980). Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa manusia adalah makhluk yang membutuhkan penyempurnaan sebagai manusia
melalui pendidikan, dan kebutuhan untuk mengembangkan dirinya melalui upaya yang terus
menerus menggali potensi dengan proses mendidik diri. Dua prinsip ini yang oleh MJ.
Langeveld disebut sebagai Animal educandum dan Animal Educabile. Selanjutnya tatang S
(1994) menyatakan ada tiga prinsip antropologis yang menjadi asumsi perlunya manusia
mendapatkan pendidikan dan perlu mendidik diri, yaitu: (1) prinsip historisitas, (2) prinsip
idealitas, dan (3) prinsip posibilitas/aktualitas.
3. Kemungkinan Pendidikan: Manusia sebagai Makhluk yang Dapat

33

Dididik
Suatu fakta yang jarang orang mempertanyakan kembali tentang hakikat manusia apakah
harus dididik dan dapat dididik, karena ketidak pedulian orang atau keawaman orang
terhadap permasalahan pendidikan. Para ahli pendidikan, kapanpun dan dimanapun akan
berorientasi pada landasan filsafat antropologis yang memberikan pandangan tentang potensipotensi manusia yang dapat dikembangkan melalui upaya pendidikan. Demikian pula, para
ahli kedokteran dan fisiologi akan lebih berkonsentrasi pada upaya menyelidiki tentang
berbagai rahasia yang ada pada fisik manusia, sehingga mampu menemukan berbagai obat
atau metode penyembuhan sakit fisik manusia. Permasalahan apakah manusia akan dapat
dididik ? Pertanyaan tersebut menuntut jawaban dengan prinsip-prinsip Antropologis apakah
yang melandasinya? Untuk menjawab permasalahan tersebut, Anda dapat mengacu kepada
konsep hakikat manusia sebagaimana telah diuraikan terdahulu (point 1). Berdasarkan itu,
Tatang Syaripudin (1994), mengemukakan lima prinsip antropologis yang melandasi
kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu : (1) prinsip potensialitas, (2). prinsip
dinamika, (3) prinsip individualitas, (4) prinsip sosialitas, dan (5) prinsip moralitas. MI.
Soelaeman (1984) mengemukakan 3 prinsip, yaitu prinsip (1) individualitas, (2) sosialitas,
dan (3) moralitas. Sementara La Sulo (1994) mengemukakan 4 prinsip, (1) prinsip
individualitas, (2) sosialitas, (3) moralitas, dan (4) prinsip keberagamaan. Prinsip
keberagamaan tidak serta merta tercakup dalam prinsip moralitas, sebab ada moral yang
bersumber dari filsafat atau bentuk-bentuk moral ilmu pengetahuan. Marilah kita ikuti uraian
prinsip-prinsip antropologi yang dikemukakan oleh Tatang Syaripudin dalam Tesis (1994),
dan Landasan Pendidikan (2008) berikut ini. (1) Prinsip Potensialitas. Pendidikan bertujuan
agar seseorang menjadi manusia ideal. Sosok manusia ideal tersebut antara lain adalah
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, bermoral/berakhlak mulia, cerdas,
berperasaan, berkemauan, mampu berkarya, dst.. Di pihak lain, manusia memiliki berbagai
potensi, yaitu: potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk
mampu berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa, dan potensi karya. Sebab itu, manusia akan
dapat dididik karena ia memiliki potensi untuk menjadi manusia ideal. (2) Prinsip
Dinamika. Ditinjau dari sudut pendidik, pendidikan diupayakan dalam rangka membantu
manusia (peserta didik) agar menjadi manusia ideal. Di pihak lain, manusia itu sendiri
(peserta didik) memiliki dinamika untuk menjadi manusia ideal. Manusia selalu aktif baik
dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Ia selalu menginginkan dan mengejar segala hal
yang lebih dari apa yang telah ada atau yang telah dicapainya. Ia berupaya untuk

34

mengaktualisasikan

diri

agar

menjadi

manusia

ideal,

baik

dalam

rangka

interaksi/komunikasinya secara horisontal maupun vertikal.. Karena itu dinamika manusia


mengimplikasikan bahwa ia akan dapat didik. (3) Prinsip Individualitas Praktek pendidikan
merupakan upaya membantu manusia (peserta didik) yang antara lain diarahkan agar ia
mampu menjadi dirinya sendiri. Dipihak lain, manusia (peserta didik) adalah individu yang
memiliki ke-diri-sendirian (subyektivitas), bebas dan aktif berupaya untuk menjadi dirinya
sendiri. Sebab itu, individualitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
(4) Prinsip Sosialitas Pendidikan berlangsung dalam pergaulan (interaksi/komunikasi) antar
sesama manusia (pendidik dan peserta didik). Melalui pergaulan tersebut pengaruh
pendidikan disampaikan pendidik dan diterima peserta dididik. Telah Anda pahami,
hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya. Dalam
kehidupan bersama dengan sesamanya ini akan terjadi huhungan pengaruh timbal balik di
mana setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu,
sosialitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik. (5) Prinsip Moralitas
Pendidikan bersifat normatif, artinya dilaksanakan berdasarkan sistem norma dan nilai
tertentu. Di samping itu, pendidikan bertujuan agar manusia berakhlak mulia; agar manusia
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan normanorma yang bersumber dari agama,
masyarakat dan budayanya. Di pihak lain, manusia berdimensi moralitas, manusia mampu
membedakan yang baik dan yang jahat. Sebab itu, dimensi moralitas mengimplikasikan
bahwa manusia akan dapat dididik. (6) Prinsip Keberagamaan/religiusitas Bagi umat
beragama meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah diciptakan Tuhan Yang
Maha Esa, ini berbeda denga aliran evolusionistik yang berargumen bahwa segala yang ada
di dunia ini terjadi dengan sendirinya melalui proses panjang dengan hukum alam. Mereka
lupa bahwa evolusi dari binatang tidak semua mencapai kesempurnaan, sementara evolusi
manusia menuju ke kesempurnaan. Ada dua atau lebih proses evolusi, dimana ada yang
menuju ke kehancuran dan ada yang tidak berevolusi, dan ada yang ke kesempurnaan/
keunggulan. Realitas social, apakah mereka yang ada di pedalaman atau yang tinggal dipinggiran kota, atau di metropolitan, manusia selalu akan terikat dengan yang dianggap
menguasai alam atau lingkungannya, atau bahkan benda yang dianggap keramat karena
dianggap ada hubungan antara dia dengan benda tersebut. Persoalan ini dapat dipahami dari
sisi religiusitas seseorang, pada tataran mana seseorang memiliki keyakinan tersebut, apakah
dasarnya logika, perasaan, intuisi, atau keyakinan dari hati sanubari. Permasalahannya adalah

35

sampai sejauhmana peranan religi dapat menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan
kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Agama yang diyakini seseorang, akan
menjadi suatu paradigma berfikir dan berbuat yang selaras dengan hukum-hukum agama, dan
ini menuntun dan mengembangkan seluruh proses kehidupan manusia baik aspek internal
maupun eksternal diri dan aspek social dan moral berkehidupan di masyarakatnya. Atas dasar
berbagai asumsi di atas, jelas kiranya bahwa manusia akan dapat dididik, sehubungan dengan
ini M.J. Langeveld (1980) memberikan identitas kepada manusia sebagai Animal
Educabile. Dengan mengacu pada asumsi ini diharapkan kita tetap sabar dan tabah dalam
melaksanakan pendidikan. Andaikan saja Anda telah melaksanakan upaya pendidikan,
sementara peserta didik belum dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, Anda
seyogyanya tetap sabar dan tabah untuk tetap mendidiknya. Dalam konteks ini, Anda justru
perlu introspeksi diri, barangkali saja terjadi kesalahan-kesalahan yang Anda lakukan dalam
upaya pendidikan tersebut, sehingga peserta didik terhambat dalam mencapai tujuan
pendidikan yang diharapkan. Demikianlah prinsip-prinsip yang melandasi perlunya anak
manusia mendapat bantuan pendidikan, yang tentunya tidak mengabaikan prinsip-prinsip
antropologis lainnya selama prinsip tersebut memperkuat kaidah-kaidah pentingnya
pendidikan bagi manusia.

36

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disumpulkan bahwa sifat hakikat manusia dengan segenap
dimensinya hanya dimiliki oleh manusia tidak terdapat pada hewan. Cirri-ciri yang khas
tersebut membedakan secara prinsipiil dunia hewan dari dunia manusia. Adanya hakikat
tersebut membrikan tempat kedudukan pada manusia sedimikian rupa sehingga derajat lebih
tinggi dari pada hewan dan sekaligus menguasai hewan.salah satu hakikat yang istimewa
ialah adanya kemampuan menghayati kabahagian pada manusia semua sifat hakikat manusia
dapat dan harus ditumbuhkan kembangkan melalui pendidikan. Berkat pendidikan maka sifat
hakikat manusia dapat ditumbuhkembangkan secara selaras dan berimbang sehingga menjadi
manusia yang utuh.

37

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A.R.S.,(1991), Educational Theory, A Quranic Outlook (Alih bahasa:


Mutammam), CV Diponegoro, Bandung.
Adler, Mortimer, J., (1982), The Paideia Proposal An Educational Manifesto,Macmillan
Publishing Company, New York.
Al-Syaibany, Al-Toumy Omar Mohammad, (1979), Falsafah Pendidikan Islam, (Aliah
Bahasa: Hasan Langgulung), Bulan Bintang, Jakarta
Brubacher, John. S., (1969), Modern Philosophies of Education, McGraw-Hill Book
Company, New York, St. Louis, San Francisco, London, Mexico, Panama, Sydney,
Toronto, Tokyo.
Buber, M., (1959), Between Man and Man, (Translated by Ronald Gregor Smith), Beacon
Press, Boston.
Butler, J. D., (1957), Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion,
Harper & Brothers Publishers,New York.
Cassirer, E., (1987), An Essay On Man. (Terj.: Alois A. Nugroho), Gramedia, Jakarta, 1987.
Friedman, S. M., (1954), Martin Buber, The. Life of Dialogue, Routledge and Began Paul
Ltd., London.
Frost Jr., S.E., (1957), Basic Teaching of.The. Great Philosophers, Barnes & Nobles, New
York.
Hasan, F., (1973), Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, Jakarta.
Henderson, S. v. P., (1959), Introduction to Philosophy of Education, The University of
Chicago Press, Chicago.

38

Huijbers, T., (1987), Manusia Merenungkan Dunianya, Yayasan Kanisius, Yogyakarta.


Kneller, George F., (1984), Movements of Thought in Modern Education, John Wiley & Sons,
Inc. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore
Langeveld, M.J., (1980), Beknopte Theoritische Paedagogiek, (Terj.:Simajuntak), Jemmars,
Bandung.
Matsushita, Konosuke, (1982), Thoughts of Man, (terj. HB Yassin), Pustaka Jaya, Jakarta.
Muchtar, O., (1976), Pendidikan Nasional Indonesia, Pengertia dan Sejarah Perkembangan,
Balai penelitian, IKIP Bandung.
Mudyahardjo, R. (1995), Filsafat Pendidikan (Sebuah Studi Akademik) Bagian I Orientasi
Umum: Landasan Filosofis Pendidikan dan Filsafat Pendidikan sebagai Suatu teori
Pendidikan, Jurusan Filsafat Dan sosiologi Pendidikan, FIP, IKIP Bandung.
, (2001), Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, PT. Remadja
Rosdakarya, Bandung.
Othman, A.I., (1987), The Concept of Man in Islam in The Writings of Al-Ghazali, (Terj.:
Johan Smit, Anas Mahyudin, Yusuf), Pustaka, Bandung.
Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, (2006), Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, Jakarta.
Plato, (1986), Phaidon: Dialog Sokrates tentang Tubuh-Jiwa, Sinar Baru, Bandung.
Poespowardojo, S. dan Bertens, K., (1983), Sekitar Manusia.: Bunga Rampai tentang
Filsafat Manusia, Gramedia, Jakarta.
Soelaeman, M.I., (1988), Suatu, Telaah tentang Manusia-Religi.Pendidikan, Depdikbud.
Suyitno, Y., (2008), Pemahaman Mahasiswa UPI tentang Hakikat Manusia dan Pendidikan,
dalam Kerangka Kesiapan Menjadi Guru, Sekolah Pasca Sarjana, Bandung
Syam, M. N., (1984), Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Usaha
Nasional, Surabaya-Indonesia.
Syaiyidain, K.G., (1954), Iqbals Educationals Philosophy, Shaik Muhammad Ashraf,
Kasmiri Bazar, Lahore.
Schumacher, E.F., (1980), A Guide for The Perflexed, Sphere Books Ltd., London.

39

Syaripudin, T., (1994), Implikasi Eksistensi Manusia terhadap Konsep Pendidikan Umum
(Thesis), Program Pascasarjana IKIP Bandung.
Titus, Harold, et all., (1959), Living Issues in Philosophy, American Book Coy., New York
Van Peursen, C.A., (1982). Tubuh-Jiwa-Roh., (Terj.: K. Bertens), BPK Gunung Mulia,
Jakarta.
Van der Weij, P.A., (1988), Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia (Terj.: K. Bertens),
Gramedia, Jakarta.

Tirtarahardja, umar.1990.pengantar pendidikan.jakarta.rineka cipta.


http://muhammadmuslih06.blogspot.com/2012/12/hakikat-manusia-danpengembangannya.html
http://jayustic.blogspot.com/2013/02/hakikat-manusia-dan-pengembangannya.html
http://nadillaikaputri.wordpress.com/2012/11/12/manusia-sebagai-makhluk-individu-dansosial/
Basuki, Heru A.M (2008). Psikologi Umum. Jakarta: Universitas Gunadarma. psikologi
(2010).
Schultz Duane (1977). Growth Psychology: Models of the Healthy Personality. New
York: D. Van Nostrad Company.
Materi kuliah Kesehatan Mental. Psikologi 2013.
http://kartikachampion.blogspot.com/2013/04/konsep-manusia-menurut-aliran.html

Anda mungkin juga menyukai