Anda di halaman 1dari 13

Nama : Ahmad Fauzan

Kelas : IX-C
Sinopsis novel Siti Nurbaya
Seorang penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmudsyah dengan isterinya, Siti
Mariam yang berasal dari orang kebanyakan mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang
bernama Syamsul Bahri. Rumah Sutan Mahmudsyah dekat dengan rumah seorang saudagar
bernama Baginda Sulaeman. Baginda Sulaeman yang mempunyai seorang anak perempuan
tunggal bernama Siti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti kakak dengan adik
saja.
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti Nurbaya ke
gunung Padang bersama-sama dua orang temannya, yakni Zainularifin, anak seorang jaksa
kepala di Padang yang bernama Zainularifin akan melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Dokter
Jawa di Jakarta. Sedang Bahtiar melanjutkan ke Sekolah Opzicther (KWS) di Jakarta pula.
Syamsul Bahri pun akan melanjutkan ke Sekolah Dokter tersebut. Pada hari yang ditentukan,
berangkatlah mereka bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah Syamsul
Bahri menyatakan cintanya kepada Siti Nurbaya dan mendapat balasan. Sejak itulah mereka
itu mengadakan perjanjian akan sehidup semati.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri melanjutkan
sekolahnya ke Jakarta. Sekolahnya menjadi satu dengan Zainularifin.
Di Padang ada seorang orang kaya bernama Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan
secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatnya dengan cara
tidak halal. Untuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga,
Pendekar empat, dan Pendekar Lima.
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka
semua kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki
tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko Baginda Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh
berisi muatan ditenggelamkannya.
Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada
Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang pinjaman
itu ia masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya
ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu
oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak
ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih
semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya.
Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga
ia tidak dapat membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih
ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.Karena Baginda Sulaeman tak dapat membayar
utangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda
Sulaeman, kecuali jika Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti
Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara, maka
secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun sebenarnya hatinya sangat
benci padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera
diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di Jakarta.
Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke
Padang. Setelah menjumpai orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah
Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sakit.
Sesampainya ke tempat yang dituju, dijumpainya Baginda Sulaeman sedang terbaring karena
sakit. Tak lama setelah kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya karena ayahnya

mengharapkan kedatangan. Maka berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya.


Beberapa hari kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya, pertemuan itu
terjadi pada malam hari. Kedua asyik masyuk itu tidak mengetahui bahwa gerak-gerik
mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki tangannya. Karena tak tahan
mereka itu menahan rindunya maka merekapun berciuman. Pada waktu itulah Datuk
Maringgih mendapatkan mereka dan terjadilah percekcokan, karena mendengar kata-kata
yang pedas dari Syamsul Bahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkatnya sekeraskerasnya kepada Syamsul Bahri. Tetapi karena Syamsul Bahri menghindarkan dirinya
diambil menyeret Siti Nurbaya, maka pukulan datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya.
Akibatnya tersungkurlah Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri menendangnya,
dan karena kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan Datuk
Maringgih itulah maka pada saat itu juga keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya
dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Siti Nurbaya sehingga
teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit itu,
karena disangkanya Siti Nurbaya mendapat kecelakaan maka bangkitlah Baginda Sulaeman
dan segera ke tempat anaknya itu. Tetapi karena kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh,
sehingga seketika itu juga Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung Padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Syamsul Bahri, menghindarlah Syamsul Bahri
ke samping. Dan pada saat itu juga ia berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga
keris yang ada di tangannya terlepas. Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar
teriakan Siti Nurbaya tadi. Melihat mereka datang, larilah Pendekar Lima menyelinap ke
tempat yang gelap.
Di para tetangga yang datang itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak
menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang soal
anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan Mahmud Syah tanpa dipikirkan masak-masak
lebih dulu lagi. Pada malam hari itu juga secara diam-diam pergilah Syamsul Bahri ke Teluk
Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Siti Mariam mencari
anaknya. Setelah gagal mencarinya di sana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah Siti Maryam
ke rumah saudaranya di Padangpanjang. Di sana karena rasa kepedihannya itu, ia menjadi
sakit-sakit saja.
Sejak kematian ayahnya, Siti Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada Datuk
Maringgih. Ia berani mengusir Datuk Maringgih dan tak mau mengakui suaminya lagi.
Dengan rasa geram hati dan dendam pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia berusaha
hendak membunuh Siti Nurbaya.
Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu Siti Nurbaya tinggal di
rumah saudara sepupunya yang bernama Alimah. Di rumah itulah Siti Nurbaya mendapat
petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Siti
Nurbaya dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta, berkumpul dengan Syamsul Bahri.
Penunjuk dan nasihat Alimah sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan diputuskannya,
akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sultan Mahmud Syah sejak
pengusiaran diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada Syamsul Bahri pun ia memberitahukan
kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Siti Nurbaya, karena percakapannya dengan Alimah
tersebut dapat didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja mematamatainya.
Pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk
Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka mengetahui bahwa perjalanan mereka
diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke
kapal dan mencari tempat yang tersembunyi sekat Kapten kapal maka berkatalah Pendekar
Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke Jakarta,

sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk
Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari tempat yang
tersembunyi pula.
Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar, pergilah
Pendekar Lima mencari tempat Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati Siti Nurbaya, iapun segera
menyeret Siti Nurbaya hendak membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu Pak Ali
membelanya, tetapi iapun mendapat pukulan Pendekar Lima dan tak mampu melawannya
karena Pendekar Lima jauh lebih kuat daripadanya. Siti Nurbaya pun berteriak sekuatkuatnya sampai ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh orang-orang yang ada dalam
kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketehuan akan perbuatannya itu, Pendekar
Lima lari menyembunyikan dirinya. Siti Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar
untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri sudah
gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu
merapat ke darat, maka naiklah Syamsul Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah
terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali tentang peristiwa yang terjadi
atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Syamsul Bahri
ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan
payah.
Pada saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah berjumpa
dengan Kapten kapal dan Syamsul Bahri, diberitahukan kepada mereka itu bahwa
kedatangannya mencari Siti Nurbaya itu ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat
telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Siti Nurbaya telah melarikan diri
dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar orang itu di
tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri bahwa hal
itu tidak lain akal busuk Datuk Maringgih belaka. Ia pun minta kepada Polisi itu agar hal
tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya
yang menghawatirakan itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu dirawat
dulu di Jakarta sampai sembuh sebelun kembali ke Padang. Permintaan Syamsul Bahri itu
dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas
diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu
kepada kekasihnya. Kabar itu diterima oleh Siri Nurbayadengan senang hati. Ia bermaksud
kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang di dakwakan atas dirinya. Setelah
permintaan Syamsul Bahri kepada yang berwajib agar perkara kekasihnya itu diperiksa di
Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan, berangkatlah Siti Nurbaya ke
Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang ternyata bahwa
Siti Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan atas dirinya
itu. Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah
Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli kue yang dijajakan
oleh Pendekar Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus
untuk Siti Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjaja kue itu pergi, Siti Nurbaya makan
kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya
pening. Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak itu, terkejutlah ibu
Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga menyebabkan
kematiannya. Kedua jenajah itu dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda
Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya itu juga dikawatkan kepada Syamsul
Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri
memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya ia menulis surat kepada guru
dan kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta dari berpisah

untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos
bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu
dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak mengetehuinya.
Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah dengan Zainularifin sengan alasan
bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zainularifin
memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia menikuti gerak-gerik
sahabatnya itu, karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada suatu tempat di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya
dan kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Zainularifin segera mengejarnya
sambil berteriak. Karena teriakan Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak
mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta
yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar
itu sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang berwajib agar
berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan setelah itu Syamsul Bahri berhenti
sekolah. Karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim kemanamana antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana.
Karena keberaniannya, makan dalam waktu sepuluh tahun saja pangkat Syamsul Bahri
dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi
memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakkan mengenai masalah balasting
(pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke
makam ibu dan kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk
Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok
sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya.
Tetapi sebelum meninggal Datuk Maringgih masih sempat membalasnya. Dengan ayunan
pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah di atas
timbunan mayat, dan yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima.
Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak lama
lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya agar
dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena dikatakannya
ada masalah yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun
berkata kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan sekarang berada di Padang untuk
memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena luka-luka
yang dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Syamsul Bahri sekarang bernama
Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula
kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di
kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Maryam. Setelah berkata
itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya,
barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah
anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul Bahri. Kemudian dengan upacara
kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dinamakanlah jenazah
Letnan Mas atau Syamsul Bahri itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya seperti
yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, karena sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud
Syah beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti
Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar

dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam
dan Sutan Mahmud Syah.
Beberapa bulan kemudian berziarahlah Zainularifin dan Baktiar telah lulus dalam ujiannya
sehingga masing-masing telah menjadi dokter san opzichter.
Kutipan
Arifin, aku belum menceritakan penglihatanku tadi malam, kepadamu, bukan? kata
Syamsul Bahri kepada sahabatnya, pada keesokan harinya daripada malam Nurbaya kena
racun, kira-kira pukul dua siang, tatkala mereka itu pulang dari rumah tempatnya membayar
makan.
Penglihatan apa, Sam? tanya Arifin.
Ajaib benar! Sampai kepada waktu ini belum habis kupikirkan, karena belum juga
kuketahui, apa itu dan apa maksudnya?
Cobalah ceritakan, kata Arifin pula.
Sebagai biasa, kata Samsu, pukul sepuluh malam, pergilah aku tidur. Kira-kira pukul dua
belas, dengan tiada kuketahui apa sebabnya, tiba-tiba terbangunlah aku dengan terperanjat,
seperti apa yang membangunkan. Tatkala kubuka mataku, kelihatan olehku dekat meja
tulisku, sesuatu bayang-bayang putih, berdiri di belakang kursiku. Sangatlah terperanjat aku,
ketika melihat bayang-bayang itu, sebab pada sangkaku, ia pencuri atau penjahat yang telah
masuk ke dalam bilikku,
Tetapi kalau pencuri atau penjahat, mengapakah berpakaian putih? kata Arifin.
Itulah sebabnya maka terpikir pula olehku, barangkali aku bermimpi; lalu kupijitlah pahaku,
beberapa kali. Akan tetapi, tatkala telah nyata benar kepadaku, bahwa aku tiada tidur lagi,
barang yang putih itu masih kelihatan juga.
Barangkali pemandangan tiada benar, kata Arifin, yang belum hendak percaya hendak
hilang.
Oleh sebab itu, kugosoklah mataku beberapa lamanya; tetapi yang putih itu tek hendak
hilang.
Barangkali engkau takut atau tatkala hendak tidur, banyak mengingat perkara setan dan
hantu; jadi segala yang kau lihat, rupanya sebagai setan, sehut Arifin pula.
Engkau tahu sendiri, Arifin, aku tiada penakut kepada segala yang demikian. Lagipula,
tatkala baru saja kubuka mataku, telah kelihatan bayang-bayang yang putih itu olehku.
Betapa orang yang baru bangun tidur akan takut, jika tiada bermimpi yang dahsyat!
Bagaimana bentuknya? tanya Arifin, yang rupanya mulai percaya akan cerita Samsu ini.
Sebagai manusia, berkepala, berbadan, bertangan, dan berkaki, sahut Samsu, serta
memakai pakaian sutra putih yang jarang.
Sebagai manusia? tanya Arifin yang mulai merasa takut, walaupun hari pada waktu itu
pukul dua siang dan orang penuh di jalan besar, Hih! Seram buluku mendengar ceritamu.
Sesungguhnya, jawab Samsu. Melihat hal yang ajaib ini, meskipun berapa beraniku,
berdebar juga hatiku dan sejurus lamanya, tidaklah tahu aku, apa yang hendak kuperbuat.
Hendak berteriak, malu rasanya. Lagipula suaraku tak hendak keluar, sebagai dicekik orang.
Hendak berdiri, badan dan kaki berat rasanya. Dibiarkan saja, takut kalau-kalau dianiaya aku.
Walaupun kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan punggungku sebagai terkena air
dingin.
Sudah itu? tanya Arifin, yang makin bertambah-tambah takut.
Tatkala kuamat-amati benar bayang-bayang yang putih itu, kelihatanlah mukanya seperti
muka Nurbaya.
Nurbaya? tanya Arifin dengan heran.
Ya, tak ada ubahnya; hanya wajah mukanya pucat sedikit. Sebab itu meskipun hatiku masih
khawatir, dapatkah juga kuberanikan diriku, akan mengeluarkan perkataanku, lalu bertanya,
Siapa ini?

Dan apa jawabnya? tanya Arifin dengan lekas.


Tak apa-apa. Ia diam saja dan tidak pula bergerak-bergerak dari tempatnya.
Kemudian? tanya Arifin pula.
Kemudian melompatlah aku, hendak mengambil pistolku dari dalam lemari dan sudah itu,
hendak kudekati dia. Tetapi tatkala itu juga hilanglah bayang-bayang itu; entah kemana
perginya tiada kuketahui.
Betul berani engkau, kata Arifin.
Tatkala itu datanglah takutku dan menolehlah aku ke segenap tempat kalau-kalau dicekiknya
aku dari belakang. Tatapi tak kelihatan suatu apa lagi. Lalu kupasanglah lampu dan kuambil
pistolku dari dalam lemari. Ketika itu barulah berani aku memaksa aku kesana kemari, ke
bawah tempat tidur, ke bawah mwja dan ke belakang lemari, tetapi suatu pun tiada kelihatan,
sedang jendela dan pintu pun masih terkunci.
Jika aku bertemu yang denikian, tentulah aku menjerit minta tolong, kalau masih dapat,
berteriak. Kalau tidak tentulah aku akan kaku di sana juga, karena ketakutan.
Setelah kututup lampu itu dengan keras, supaia terangnya jangan kelihatan dari luar dan
kutaruh pistolku dibawah bantalku, berbaringlah aku. Tetapi sesudah itu tiadalah aku dapat
tidur lagi; pertama karena takut akan didatanginya kembali dalam tidurku, kedua memikirkan
penglihatan yang ajaib itu. Apakah itu adalah takdir! Itulah setan atau hantu!
Tetapi kalau hantu, mengapakah rupanya serupa dengan Nurbaya? Yang menjadi hantu itu,
bukankah kata orang yang sudah mati, kata orang? jawab Arifin.
Sesungguhnya, seumur hidupku, baru kali itu aku melihat bayang-bayang yang demikian,
jawab Samsu, yang sekali-kali tiada mengira, bahwa Nurbaya talah mati.Bukan mimpi tetapi
sebenar-benarnya penglihatan itu.
Sungguh ajaib penglihatanmu itu. Tetapi kuharap janganlah aku sampai bertemu dengan
penglihatan yang serupa itu; takut dapat celaka.
Karena tak dapat tidur lagi, terkenanglah aku akan Nurbaya dan Ibuku. Negri dan kampung
halamanku kita, serta timbulah hasrat yang amat dalam hatiku, hendak pulang meneui mereka
sekalian dan menyesallah aku, tiada dapat pergi mengantarkan Nurbaya pulang ke Padang,
baru-baru ini. Belun pernah keinginan hatiku hendak pulang sekeras tadi malam. Dimukaku
terbayang pula segala kesukaan dan kesusahan, yang telah kurasai, sejak kita berjalan-jalan
ke Gunung Padang. Nakin ku ingat nurbaya, maki kuatir hatiku dan makin terasa pula olehku
alpa dan lengahku, melepaskan dia seorang diri, kembali kedalam mulut harimau itu.
Terkadang-kadang khawatir hatiku itu menimbulkan perasaan, sebagai benar Nurbaya
mendapat celaka.
Ah, masakan begitu! Tak berapa lama lagi, tentulah ia di sini. Jika tada, baik kau jemput
saja; perkaranya tentulah selesai, jawab Arifin.
Maksudku demikian juga. Kalau hari Sabtu yang akan datang ini belum juga sampai kemari,
tentulah akan kujemput sendiri ke Padang.
Dengan bercakap-cakap demikian, tibalah kedua mereka di rumah Sekolah Dokter Jawa, lalu
terus menuju bilik masing-masing. Sejurus kemudian daripada itu, datanglahseorang opas pos
membawa dua helai surat kawat, untuk Syamsul Bahri. Ditanyakannya kepada Arifin, di
mana Syamsul Bahri, lalu ditunjukan oleh Arifin bilik sahabatnya ini.
Tatkala Arifin, setengah jam setelah itu, pergi ke bilik Samsu, hendak menanyakan surat
kawat apakah yang ditarimanya tadi sua dekali, kelihatan olehnya pintu dan jendela bilik itu
telah tertutup. Pada sangkanya, Samsu tentulah telah tidur, untuk melepaskan kantuknya,
karena kurang tidur semalam. Oleh sebab ia tiada hendak mengganggu sahabatnya itu,
ditunggunyalah sampai Samsu bangun kembali.
Maksud Samsu sebelum menerima kedua surat kawat tadi, sesungguhnya hendak pergi
tidur; jendelanya pun telah ditutupnya. Setelah diterimanya surat itu, ditutupnyalah pula

pintunya, karena hendak membaca kabar itu seorang diri; lebih-lebih, karena kedua surat
kawat itu sangat memberi khawatir hatinya.
Dari siapakah kabar kawat ini, dan bagaimanakah bunyinya? katanya dalam hati. O,
barangkali dari Nurbaya, memberitahu ia akan datang kemari.
Tetapi yang sebuah lagi, dari siapa pula? Demikianlah pertanyaan yang timbul dalam
hatinya.
Sambil berpikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat kawat itu dengan tangan yang
gemetar. Setelah dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia pingsan, tiada kabar darinya, sebab
kedua surat itulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Berapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah diketahuinya. Ketika ia sadarkan dirinya
pula, adalah halnya seperti seorang yang gila, tak dapat berpikir dan berkata-kata. Menangis
pun tiada kuasa, sebagai tak berair lagi matanya. Sesudah termenung sejurus lamanya,
diambilnya kertas, dan kalam, lalu ditulisnya sepucuk surat kepada ayahnya.
Dikutip dari Novel Siti Nurbaya hal 215 217,

Nama : Ahmad Fauzan


Kelas : IX-C
Sinopsis novel AZAB DAN SENGSARA
Aminudin ialah putra Baginda Diatas. Diatas ialah kepala kampung yang
terkenal akan kedermawanan dan kekayaannya. Mayarakat di sekitar Sipirok sangat
menyegani dan menghormati keluarga ini.
Tokoh Mariamin, memiliki ikatan dengan keluarga itu, namun ia tergolong
anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan Baringin.Alm. sebenarnya termasuk bangsawan
kaya, namun karena semasa hidup ia sangat boros dan serakah, akhirnya jatuh
miskin dan meninggal.
Kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalangi Aminuddin untuk bersahabat
dengan Mariamin. Mereka berdua memang sudah berteman akrab sejak kecil hingga
dewasa. Waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa benih cinta tumbuh di antara
mereka. Mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin
berjanji hendak mempersunting Mariamin apabila ia sudah mendapat pekerjaan di
Medan.
Bagi Mariamin dan Ibunya, tentu saja amat menggembirakan hati tatkala
mendapat surat dari sang pujaan hati bahwa ia akan segera membawannya ke
Medan.
Aminuddin telah menyampaikan kepada kedua orang tuannya tentang
hubungannya dengan Mariamin. Sang Ibu tidak merasa keberatan. Hal itu karena
ayah Mariamin masih kakak kandungnya sendiri. Maka jika putrannya kelak kawin
dengan Mariamin, hal itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong
keluarga miskin tersebut.
Pendapat sang Ibu berbeda dengan pendapat sang Ayah. Sebagai kepala
kampung yang kaya dan disegani, ia ingin anaknya beristrikan orang yang sederajat.
Menurut Baginda Diatas putranya lebih cocok kawin dengan wanita dari keluarga
kaya dan terhormat. Bagi Baginda Diatas, perkawinan Aminuddin dengan Mariamin
adalah suatu hal yang dapat merendahkan derajat dan martabat dirinnya. Karena
itulah, ayah Aminuddin tidak setuju dan berniat menggagalkan pernikahan
keduannya.
Agar tidak menyakiti hati sang istri, ayah Aminuddin mengajak sang istri pergi
ke seorang dukun untuk melihat nasib putranya andaikata ia menikah dengan
Mariamin. Itu adalah salah satu tipu daya Baginda Diatas untuk meluluhkan hati
istrinya. Dukun itu sebelumnya telah mendapat pesan tertentu, yaitu agar
memberikan ramalan yang dapat memupuskan rencana dan harapan Aminuddin.
Tentu saja, mendengar ramalan buruk tentang nasib anaknya, ibu Aminuddin hanya
dapat pasrah dan menerima keputusan suaminnya.

Akhirnya, orang tua Aminuddin memutuskan untuk meminang seorang gadis


keluarga kaya yang bagi Baginda Diatas memiliki derajat yang sama. Aminuddin
yang saat itu berada di Medan tentu tidak mengetahui apa yang telah dilakukan
orang tuannya itu. Ia masih menunggu ayahnya membawa Mariamin ke Medan.
Setelah peminangan, ayah Aminuddin mengirim sebuah pesan kepada
anaknya yang isinya tentang kedatangan calon istrinya. Ia meminta agar Aminuddin
dapat menjemput di stasiun. Tentu saat menerima pesan itu, Aminuddin belum
mengetahui bahwa mempelai yang datang bukanlah Mariamin. Ia sangat bersuka
cita dan segera mempersiapkan segala sesuatunnya. Namun, yang terjadi kemudian
adalah kekecewaan. Ternyata ayahnya tidak membawa sang pujaan hati tetapi
seorang gadis lain yang dijodohkan dengannya. Gadis itu bernama Siregar. Bagi
Aminuddin sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adat
negerinnya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa, selain menerima keputusan
ayahnya.
Bagi Mariamin, berita tentang perkawinan Aminuddin dengan Siregar
sangatlah memukul batinnya. Ia sempat pingsan dan jatuh sakit. Setahun setelah
peristiwa itu, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun. Kasibun bukanlah
orang baik-baik kareba belakangan ia diketahui menceraikan istrinya demi menikahi
Mariamin. Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Penderitaan Mariamin
tidak sampai di situ. Suaminya ternyata mengidap penyakit seks. Hal itu yang
menyebabkan Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan
dengannya. Alhasil Mariamin disiksa sejadi-jadinya oleh suaminya. Suatu ketika
Aminuddin secara kebetulan datang. Mariamin menerimanya dengan senang hati.
Namun bagi Kasibun, kedatangan Aminuddi itu justru mengobarkan amarahnnya. Ia
melapiaskan amarahnya dengan menyiksa istrinya.
Akhirnya Mariamin mengadu kepada polosi. Polisi kemudian memutuskan
bahwa Kasibun harus memutuskan tali perkawinan dengan Mariamin, serta harus
membayar denda. Penderitaan mariamin belumlah berakhir. Berbagai penderitaan
masih menimpa wanita itu hingga ajal menjemput.

Nama : Ahmad Fauzan


Kelas : IX-C
Sinopsis novel Layar Terkembang
Roman Layar Terkembang menceritakan perjuangan wanita Indonesia
beserta cita-citanya. Dua gadis bersaudara memiliki perangai yang
berbeda. Maria adalah seorang dara yang lincah dan periang, sedang Tuti
selalu serius dan aktif dalam kegiatan wanita. Maria memiliki badan yang
ramping, ia baru berusia dua puluh tahun dan sekolah di H.B.S Carpentier
Alting Stichting kelas penghabisan. Tuti adalah kakak dari Maria, badannya
tegak dan agak gemuk. Ia telah berusia dua puluh lima tahun dan menjadi
guru di Sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Mereka adalah anak Raden
Wiriaatmaja , mantan wedana di daerah Banten dan ketika pensiun pindah
ke Jakarta.
Pada hari minggu, kedua bersaudara itu pergi melihat-lihat
akuarium di pasar ikan. Ketika sampai di tempat tujuan, Maria kagum
melihat ikan-ikan yang indah permai. Maria adalah seseorang yang mudah
kagum, yang mudah memuji dan memuja. Ia cepat mengungkapkan
perasaannya, baik perasaan senang maupun sedih. Berbeda dengan
kakaknya, Tuti bukan seorang yang mudah kagum dan heran melihat
sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia merasa pandai
dan cakap dalam mengerjakan sesuatu yang ingin dicapainya. Segala
sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, oleh karena itu ia jarang
memuji.
Perbedaab sifat dan tingkah laku yang seperti siang dan malam itu
tidak mengganggu tali ikatan persaudaraan mereka. Ibu mereka telah
meninggal dua tahun yang lalu, sehingga mereka tinggal bertiga dengan
ayah mereka.
Setelah beberapa lama mereka asyik melihat-lihat ikan lalu
keluarlah mereka. Ketika daun pintu yang besar dibuka oleh mereka,
terlihat laki-laki muda mengangkat kepalanya melihat kearah mereka.

Beberapa lama gadis itu berjalan-jalan di beranda akuarium


mengamatiikan-ikan yang aneh yang tersimpan dalam kaca dan botol.
Mereka akhirnya berjalan menuju tempat sepeda mereka masing-masing.
Ketika itu, keluarlah pemuda dari dalam dan menghampiri kedua gadis itu
sebab sepedanya terletak dekat dengan sepeda mereka. Akhirnya mereka
berkenalan dengan pemuda tersebut yang ternyata bernama Yusuf.
Yusuf adalah Putra Demang Munaf di Mertapura di Kalimantan Selatan.
Yusuf adalah seorang mahasiswa kedokteran,yang pada masa lalu dikenal
dengan sebutan Sekolah Tabib Tinggi. Ia tinggal bersama saudaranya
yang tinggal di Sawah Besar di Daerah Jawa.
Sejak perkenalan itu, Yusuf tidak berhenti-hentinya memikirkan Tuti
dan Maria. Namun yang lebih ia pikirkan adalah Maria. Maria telah
menarik hatinya. Muka Maria lebih berseri-seri, matanya menyinarkan
kegirangan hidup dan bibirnya senantiasa tersenyum.
Di jalan Gang Heuber turun seorang anak muda dari sepeda, ia
adalah Yusuf. Dalam sepuluh hari, ia telah lima kali datang ke rumah
R.Wiriaatmaja. Setiap pagi ia menunggu Maria di depan Alaidruslaan dan
dari sana mereka bersama-sama pergi ke sekolah. Tuti dan Ayahnya
merasa bahwa Maria dan Yusuf sedang jatuh cinta.
Yusuf berkunjung ke rumah wiriaatmaja. Kedatangannya disambut
dengan lemah lembut dan hormat. Setelah meletakan sepedanya, Yusuf
duduk bersama Tuti dan Maria. Tidak berapa lama mereka berbincangbincang, kemudian terlihat seorang laki-laki yang kira-kira tiga puluh lima
tahun usianya turun dari delman dan masuk ke pekarangan menuju ke
meja tempat ketiga anak muda itu duduk. Ternyata yang dating adalah
parta. Ia adalah adik ipar dari Wiriaatmaja. Lalu ia pun duduk bersama
mereka. Tak berapa lama datanglah Wiriaatmaja menghampiri mereka.
Wiriaatmaja terlihat sangat bahagia menyambut kedatangan iparnya itu.
Merekapun berbincang-bincang, didalam perbincangannya Partadiharja
mengeluh tentang adiknya yang bernama saleh yang bekerja di kantor
justisi sebagai ajun komis yang gajinya lumayan besar, tiba-tiba
mengundurkan diri tanpa alas an yang jelas dan tanpa sepengetahuan
famili terlebih dahulu. Tuti memberikan pendapat yang berbeda dari sudut
pandang yang berbeda pula namun hal tersebut malah menjadi
pertentangan antara Tuti dengan Parta. Akhirnya Tuti memutuskan untuk
diam karena ia tahu bahwa pertentangannya itu tidak akan
mendatangkan atau membuahkan hasil malah mungkin ia akan dibenci
oleh pamannya tersebut.
Tak berapa lama senjapun mulai terlihat, partadiharja pun pulang.
Dan ketika beduk magrib berbunyi, Wiriaatmaja masuk meninggalkan
ketiga anak muda yang berada di halaman untuk pergi sembahyang.
Setelah kepergian Wiriaatmaja, merekapun berbincang-bincang tentang
agama, yang ujung-ujungnya terjadi pertentangan antara ketiganya
namun pertentangan tersebut tidak brlangsung lama karena terdengar
bunyi langkah kaki Bapaknya. Karena mereka tidak mau ada pertengkaran
dengan Bapaknya maka iapun memutuskan untuk mengakhiri
perbincangan tentang agama tersebut.
Setelah sejam lamanya keempat orang tersebut becakap-cakap tentang
bebagai topik maka kira-kira pukul delapan, Yusuf pamit untuk pulang.

Yusuf berlibur ke rumah orang tuanya di mertapura untuk melepas


lelah setelah ujian kedokteran. Selama di Mertapura Yusuf berkirimkiriman surat dengan Maria. Yusuf menceritakan pengalamannya selama
di Mertapura dan Maria menceritakan keadaannya yang kesepian
ditinggalkan saudaranya pergi menghadiri kongres.
Seiring berjalannya waktu, timbullah benih-benih cinta antara Maria dan
Yusuf. Merekapun saling berjanji akan menikah di kemudian hari. Hal
tersebut diceritakan oleh maria kepada Tuti dan Rukamah sepupu maria.
Dinding Gedung Permufakatan berat berhias daun kelapa dan daun
beringin, disela-sela kertas merah putih. Di dinding sebelah kanan nyata
jelas tersusun huruf Pemuda Baru, dan di sebelah kiri tertulis Kongres
Kelima. Bau daun yang segar memenuhi seluruh ruangan yang girang
gembira dan terlihat cahaya lampu listrik yang terang benderang. Di
depan ruang itu terdapat layer berwarna ungu berombak-ombak.
Dari pintu yang terbuka lebar terlihat orang-orang yang berdatangan tiada
henti-henti. Makin banyak orang yang duduk di kursi dan bangku yang
tersusun di dalam gedung, diluar masih banyak terlihat orang-orang
berduyun-duyun datang dari jalan raya.
Dari pintu bawah sebelah kanan, masuklah Maria kedalam ruangan
lalu ia naik ke anak tangga dan mencari-cari Yusuf dan Tuti. Setelah Yusuf
terlihat olehnya, maka dengan cepat ia memanggilnya untuk bersiap-siap
memulai pertunjukkan.
Pukul delapan datanglah seorang anak muda keluar dari belakang
layer. Dengan suara nyaring, ia memberi sambutan kepada penonton dan
membacakan keputusan kongres. Ia juga memberitahu bahwa akan ada
pertunjukkan yang diharapkan dapat menjadi kenang-kenangan yang
indah dan tak terlupakan. Lalu ia pun kembali ke belakang layer.
Tak berapa lama setelah ia kembali kebelakang layar yang tertutup,
diiringi oleh tepuk tangan yang ramai, maka terbukalah layar yang ungu
berombak-ombak tersebut. Ketika itu juga, padamlah lampu dalam
gedung itu dan di atas podium terpasang cahaya biru, amat dahsyat
sehingga menyinari pemandangan yang permai dan memikat itu.
Nama : Ahmad Fauzan
Kelas : IX-C
Sinopsis Novel Blenggu
Dokter Sukartono (Tono) adalah seorang dokter yang baik, bijaksana, dan
dermawan. Karena kesibukannya ia hampir tak memiliki waktu untuk
istrinya Sumartini. mereka tidak pernah akur. Mereka tidak saling
berbicara dan saling bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak
pernah dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suami istri.
Masing-masing memecahkan masalahnya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya
keluarga mereka tampak hambar dan tidak harmonis. Mereka sering salah
paham dan suka bertengakar.

Masalah utama yang dihadapi suami istri tersbut adalah tidaka adanya
rasa saling cinta diantara mereka. Tono memperistri Tini karena
kecantikan, kecerdasan, dan keceriaan diantara mereka. Tini bersedia
diperistri Tono karena ingin melupakan masa lalunya tang kurang baik.
Kekacauan bertambah dengan hadirnya Rohayah alias Siti Hayati. Ia
seorang penyanyi keroncong, yang juga seorang wanita panggilan. Ia
mencintai Tono sejak dahulu. Namun ia menjadi korban kawin paksa dan
jatuh ke limbah kenistaan.
Lama-kelamaan hubungan Yah dengan Tono diketahui oleh Sumartini.
Betapa panas hatinya ketika mengethui hubungan gelap suaminya
dengan wanita bernama Yah. Dia ingin melabrak wanita tersebut. Secara
diam-diam Sumartini pergi kehotel tempat Yah menginap. Dia berniat
hendak memaki Yah sebab telah mengambil dan dan menggangu
suaminya. Akan tetapi, setelah bertatap muka dengan Yah, perasaan
dendamnya
menjadi
luluh.
Sepulang dari pertemuan dengan Yah, Tini mulai berintropeksi terhadap
dirinya. Dia merasa malu dan bersalah kepada suaminya. Dia merasa
dirinya belum pernah memberi kasih sayang yang tulus pada suaminya.
Selama ini dia selalu kasar pada suaminya. Dia merasa telah gagal
menjadi Istri. Akhirnya, dia mutuskan untuk berpisah dengan Suaminya.
Betapa sedih hati Dokter Sukartono akibat perceraian tersebut. Hatinya
bertambah sedih saat Yah juga pergi. Yah hanya meninggalkan sepucuk
surat yang mengabarkan jika dia mencintai Dokter Sukartono. Dia akan
meninggalkan tanah air selama-lamanya dan pergi ke Calidonia.
Dokter Sukartono merasa sedih dalam kesendiriannya. Sumartini telah
pergi ke Surabaya. Dia mengabdi pada sebuah panti asuhan yatim piatu,
sedangkan Yah pergi ke negeri Calidonia.

Anda mungkin juga menyukai