Kelas : IX-C
Sinopsis novel Siti Nurbaya
Seorang penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmudsyah dengan isterinya, Siti
Mariam yang berasal dari orang kebanyakan mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang
bernama Syamsul Bahri. Rumah Sutan Mahmudsyah dekat dengan rumah seorang saudagar
bernama Baginda Sulaeman. Baginda Sulaeman yang mempunyai seorang anak perempuan
tunggal bernama Siti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti kakak dengan adik
saja.
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti Nurbaya ke
gunung Padang bersama-sama dua orang temannya, yakni Zainularifin, anak seorang jaksa
kepala di Padang yang bernama Zainularifin akan melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Dokter
Jawa di Jakarta. Sedang Bahtiar melanjutkan ke Sekolah Opzicther (KWS) di Jakarta pula.
Syamsul Bahri pun akan melanjutkan ke Sekolah Dokter tersebut. Pada hari yang ditentukan,
berangkatlah mereka bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah Syamsul
Bahri menyatakan cintanya kepada Siti Nurbaya dan mendapat balasan. Sejak itulah mereka
itu mengadakan perjanjian akan sehidup semati.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri melanjutkan
sekolahnya ke Jakarta. Sekolahnya menjadi satu dengan Zainularifin.
Di Padang ada seorang orang kaya bernama Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan
secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatnya dengan cara
tidak halal. Untuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga,
Pendekar empat, dan Pendekar Lima.
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka
semua kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki
tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko Baginda Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh
berisi muatan ditenggelamkannya.
Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada
Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang pinjaman
itu ia masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya
ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu
oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak
ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih
semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya.
Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga
ia tidak dapat membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih
ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.Karena Baginda Sulaeman tak dapat membayar
utangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda
Sulaeman, kecuali jika Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti
Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara, maka
secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun sebenarnya hatinya sangat
benci padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera
diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di Jakarta.
Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke
Padang. Setelah menjumpai orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah
Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sakit.
Sesampainya ke tempat yang dituju, dijumpainya Baginda Sulaeman sedang terbaring karena
sakit. Tak lama setelah kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya karena ayahnya
sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk
Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari tempat yang
tersembunyi pula.
Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar, pergilah
Pendekar Lima mencari tempat Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati Siti Nurbaya, iapun segera
menyeret Siti Nurbaya hendak membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu Pak Ali
membelanya, tetapi iapun mendapat pukulan Pendekar Lima dan tak mampu melawannya
karena Pendekar Lima jauh lebih kuat daripadanya. Siti Nurbaya pun berteriak sekuatkuatnya sampai ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh orang-orang yang ada dalam
kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketehuan akan perbuatannya itu, Pendekar
Lima lari menyembunyikan dirinya. Siti Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar
untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri sudah
gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu
merapat ke darat, maka naiklah Syamsul Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah
terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali tentang peristiwa yang terjadi
atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Syamsul Bahri
ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan
payah.
Pada saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah berjumpa
dengan Kapten kapal dan Syamsul Bahri, diberitahukan kepada mereka itu bahwa
kedatangannya mencari Siti Nurbaya itu ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat
telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Siti Nurbaya telah melarikan diri
dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar orang itu di
tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri bahwa hal
itu tidak lain akal busuk Datuk Maringgih belaka. Ia pun minta kepada Polisi itu agar hal
tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya
yang menghawatirakan itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu dirawat
dulu di Jakarta sampai sembuh sebelun kembali ke Padang. Permintaan Syamsul Bahri itu
dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas
diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu
kepada kekasihnya. Kabar itu diterima oleh Siri Nurbayadengan senang hati. Ia bermaksud
kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang di dakwakan atas dirinya. Setelah
permintaan Syamsul Bahri kepada yang berwajib agar perkara kekasihnya itu diperiksa di
Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan, berangkatlah Siti Nurbaya ke
Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang ternyata bahwa
Siti Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan atas dirinya
itu. Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah
Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli kue yang dijajakan
oleh Pendekar Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus
untuk Siti Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjaja kue itu pergi, Siti Nurbaya makan
kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya
pening. Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak itu, terkejutlah ibu
Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga menyebabkan
kematiannya. Kedua jenajah itu dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda
Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya itu juga dikawatkan kepada Syamsul
Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri
memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya ia menulis surat kepada guru
dan kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta dari berpisah
untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos
bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu
dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak mengetehuinya.
Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah dengan Zainularifin sengan alasan
bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zainularifin
memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia menikuti gerak-gerik
sahabatnya itu, karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada suatu tempat di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya
dan kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Zainularifin segera mengejarnya
sambil berteriak. Karena teriakan Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak
mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta
yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar
itu sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang berwajib agar
berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan setelah itu Syamsul Bahri berhenti
sekolah. Karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim kemanamana antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana.
Karena keberaniannya, makan dalam waktu sepuluh tahun saja pangkat Syamsul Bahri
dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi
memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakkan mengenai masalah balasting
(pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke
makam ibu dan kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk
Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok
sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya.
Tetapi sebelum meninggal Datuk Maringgih masih sempat membalasnya. Dengan ayunan
pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah di atas
timbunan mayat, dan yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima.
Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak lama
lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya agar
dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena dikatakannya
ada masalah yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun
berkata kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan sekarang berada di Padang untuk
memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena luka-luka
yang dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Syamsul Bahri sekarang bernama
Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula
kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di
kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Maryam. Setelah berkata
itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya,
barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah
anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul Bahri. Kemudian dengan upacara
kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dinamakanlah jenazah
Letnan Mas atau Syamsul Bahri itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya seperti
yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, karena sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud
Syah beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti
Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar
dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam
dan Sutan Mahmud Syah.
Beberapa bulan kemudian berziarahlah Zainularifin dan Baktiar telah lulus dalam ujiannya
sehingga masing-masing telah menjadi dokter san opzichter.
Kutipan
Arifin, aku belum menceritakan penglihatanku tadi malam, kepadamu, bukan? kata
Syamsul Bahri kepada sahabatnya, pada keesokan harinya daripada malam Nurbaya kena
racun, kira-kira pukul dua siang, tatkala mereka itu pulang dari rumah tempatnya membayar
makan.
Penglihatan apa, Sam? tanya Arifin.
Ajaib benar! Sampai kepada waktu ini belum habis kupikirkan, karena belum juga
kuketahui, apa itu dan apa maksudnya?
Cobalah ceritakan, kata Arifin pula.
Sebagai biasa, kata Samsu, pukul sepuluh malam, pergilah aku tidur. Kira-kira pukul dua
belas, dengan tiada kuketahui apa sebabnya, tiba-tiba terbangunlah aku dengan terperanjat,
seperti apa yang membangunkan. Tatkala kubuka mataku, kelihatan olehku dekat meja
tulisku, sesuatu bayang-bayang putih, berdiri di belakang kursiku. Sangatlah terperanjat aku,
ketika melihat bayang-bayang itu, sebab pada sangkaku, ia pencuri atau penjahat yang telah
masuk ke dalam bilikku,
Tetapi kalau pencuri atau penjahat, mengapakah berpakaian putih? kata Arifin.
Itulah sebabnya maka terpikir pula olehku, barangkali aku bermimpi; lalu kupijitlah pahaku,
beberapa kali. Akan tetapi, tatkala telah nyata benar kepadaku, bahwa aku tiada tidur lagi,
barang yang putih itu masih kelihatan juga.
Barangkali pemandangan tiada benar, kata Arifin, yang belum hendak percaya hendak
hilang.
Oleh sebab itu, kugosoklah mataku beberapa lamanya; tetapi yang putih itu tek hendak
hilang.
Barangkali engkau takut atau tatkala hendak tidur, banyak mengingat perkara setan dan
hantu; jadi segala yang kau lihat, rupanya sebagai setan, sehut Arifin pula.
Engkau tahu sendiri, Arifin, aku tiada penakut kepada segala yang demikian. Lagipula,
tatkala baru saja kubuka mataku, telah kelihatan bayang-bayang yang putih itu olehku.
Betapa orang yang baru bangun tidur akan takut, jika tiada bermimpi yang dahsyat!
Bagaimana bentuknya? tanya Arifin, yang rupanya mulai percaya akan cerita Samsu ini.
Sebagai manusia, berkepala, berbadan, bertangan, dan berkaki, sahut Samsu, serta
memakai pakaian sutra putih yang jarang.
Sebagai manusia? tanya Arifin yang mulai merasa takut, walaupun hari pada waktu itu
pukul dua siang dan orang penuh di jalan besar, Hih! Seram buluku mendengar ceritamu.
Sesungguhnya, jawab Samsu. Melihat hal yang ajaib ini, meskipun berapa beraniku,
berdebar juga hatiku dan sejurus lamanya, tidaklah tahu aku, apa yang hendak kuperbuat.
Hendak berteriak, malu rasanya. Lagipula suaraku tak hendak keluar, sebagai dicekik orang.
Hendak berdiri, badan dan kaki berat rasanya. Dibiarkan saja, takut kalau-kalau dianiaya aku.
Walaupun kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan punggungku sebagai terkena air
dingin.
Sudah itu? tanya Arifin, yang makin bertambah-tambah takut.
Tatkala kuamat-amati benar bayang-bayang yang putih itu, kelihatanlah mukanya seperti
muka Nurbaya.
Nurbaya? tanya Arifin dengan heran.
Ya, tak ada ubahnya; hanya wajah mukanya pucat sedikit. Sebab itu meskipun hatiku masih
khawatir, dapatkah juga kuberanikan diriku, akan mengeluarkan perkataanku, lalu bertanya,
Siapa ini?
pintunya, karena hendak membaca kabar itu seorang diri; lebih-lebih, karena kedua surat
kawat itu sangat memberi khawatir hatinya.
Dari siapakah kabar kawat ini, dan bagaimanakah bunyinya? katanya dalam hati. O,
barangkali dari Nurbaya, memberitahu ia akan datang kemari.
Tetapi yang sebuah lagi, dari siapa pula? Demikianlah pertanyaan yang timbul dalam
hatinya.
Sambil berpikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat kawat itu dengan tangan yang
gemetar. Setelah dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia pingsan, tiada kabar darinya, sebab
kedua surat itulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Berapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah diketahuinya. Ketika ia sadarkan dirinya
pula, adalah halnya seperti seorang yang gila, tak dapat berpikir dan berkata-kata. Menangis
pun tiada kuasa, sebagai tak berair lagi matanya. Sesudah termenung sejurus lamanya,
diambilnya kertas, dan kalam, lalu ditulisnya sepucuk surat kepada ayahnya.
Dikutip dari Novel Siti Nurbaya hal 215 217,
Masalah utama yang dihadapi suami istri tersbut adalah tidaka adanya
rasa saling cinta diantara mereka. Tono memperistri Tini karena
kecantikan, kecerdasan, dan keceriaan diantara mereka. Tini bersedia
diperistri Tono karena ingin melupakan masa lalunya tang kurang baik.
Kekacauan bertambah dengan hadirnya Rohayah alias Siti Hayati. Ia
seorang penyanyi keroncong, yang juga seorang wanita panggilan. Ia
mencintai Tono sejak dahulu. Namun ia menjadi korban kawin paksa dan
jatuh ke limbah kenistaan.
Lama-kelamaan hubungan Yah dengan Tono diketahui oleh Sumartini.
Betapa panas hatinya ketika mengethui hubungan gelap suaminya
dengan wanita bernama Yah. Dia ingin melabrak wanita tersebut. Secara
diam-diam Sumartini pergi kehotel tempat Yah menginap. Dia berniat
hendak memaki Yah sebab telah mengambil dan dan menggangu
suaminya. Akan tetapi, setelah bertatap muka dengan Yah, perasaan
dendamnya
menjadi
luluh.
Sepulang dari pertemuan dengan Yah, Tini mulai berintropeksi terhadap
dirinya. Dia merasa malu dan bersalah kepada suaminya. Dia merasa
dirinya belum pernah memberi kasih sayang yang tulus pada suaminya.
Selama ini dia selalu kasar pada suaminya. Dia merasa telah gagal
menjadi Istri. Akhirnya, dia mutuskan untuk berpisah dengan Suaminya.
Betapa sedih hati Dokter Sukartono akibat perceraian tersebut. Hatinya
bertambah sedih saat Yah juga pergi. Yah hanya meninggalkan sepucuk
surat yang mengabarkan jika dia mencintai Dokter Sukartono. Dia akan
meninggalkan tanah air selama-lamanya dan pergi ke Calidonia.
Dokter Sukartono merasa sedih dalam kesendiriannya. Sumartini telah
pergi ke Surabaya. Dia mengabdi pada sebuah panti asuhan yatim piatu,
sedangkan Yah pergi ke negeri Calidonia.