1. Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik (mahmudah)
dan menjauhkan diri tingkah laku yang buruk (madzmumah).
2. Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan
didasarkan pada ajaran Allah SWT (Al Quran) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
3. Etika Islam bersifat universal dan komprenhesif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia
disegala lapisan, waktu dan tempat.
4. Dengan fitrah (naluri) dan akal fikiran manusia, maka etika Islam dapat dijadikan pedoman
bagi seluruh umat manusia.
5. Etika Islam mengatur dan mengarah fitrah manusia kepada akhlak yang luhur dan
meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT sehingga
selamatlah manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan
menyesatkan.
C. Hubungan Tasawuf dengan Akhlak
Sikap istimewa kaum sufi adalah dalam memberikan makna terhadap institusi-institusi Islam.
Ajaran Islam mereka pandang dari dua aspek, yaitu : aspek lahiriyah-seremonial dan aspek
batiniyah-spiritual, atau aspek luar dan aspek dalam. Tanggapan perenungan mereka lebih
berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih
mementingkan pengagungan Tuhan dan bebas dari egois. Kultur spiritual itulah yang disebut
dengan tasawuf, sebab cara perilaku perorangan yang terbaik dalam mengontrol kesetiaan dan
realisasi kehadiran Tuhan yang tetap dalam segala perilaku dan perasaan seseorang.
Semua sufi sependapat, bahwa satu-satunya jalan yang dapat menganjurkan seseorang ke
hadirat Allah hanya dengan kesucian jiwa. Oleh karena jiwa manusia merupakan refleksi atau
pancaran dari zat Allah yang suci,maka segala sesuatu itu harus sempurna dan suci, sekalipun
tinggi kesucian dan kesempurnaan itu bervariasi menurut dekat dan jauhnya dari sumber aslinya.
Untuk mencapai tinggi kesempurnaan dan kesucian jiwa memerlukan pendidikan dan latihan
mental yang panjang. Oleh karena itu pada tahap pertama teori dan amalan tasawuf
diformulasikan kepada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat.
Dengan kata lain untuk dapat berada di hadirat Allah dan sekaligus mencapai tingkat
kebahagiaan yang optimal dan manusia harus lebih dulu mengidentifikasikan eksistem dirinya
dengan cirri-ciri ke-Tuhan-an melalui pensucian jiwa-raga yang ber,ula dari pembentukan pribadi
yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia. Untuk merehabilitasi sikap mental akhlakyang
tidak baik, menurut kaum sufi, tidak akan berhasil baik apabila terapinya hanya dari aspek
lahiriyah saja. Itulah sebabnya, seorang murid diharuskan melakukan amalan dan latihan
kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu, untuk menekan
hawa nafsu sampai ke titik terendah dan atau bila mungkin mematikan hawa nafsu itu sama
sekali.
System pembinaan akhlak itu mereka susun sebagai berikut :
1. Takhalli
Langkah pertama yang harus ditempuh adalah usaha mengosongkan diri dari sikap
ketergantungan, terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan
menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan
hawa nafsu.
2. Tahalli
Sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang tidak baik dapat
dilalui, usaha itu harus berlanjut terus ke tahap kedua yang disebut tahalli. Kata ini mengandung
pengertian, menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan
yang baik dan terpuji. Pengisian jiwa yang telah dikosongkan tadi berusaha agar dalam setiap
gerak perilaku selalu diatas ketentuan Agama, baik kewajiban yang bersifat luar maupun yang
bersifat dalam. Dimaksud dengan aspek luar dalam hal ini adalah kewajiban-kewajiban yang
bersifat formal, seperti sholat, puasa, haji dan lain-lain. Sedangkan aspek dalam seperti iman,
ketaatan, kecintaan kepada Tuhan dan lain-lain. Tahalli ini bisa dilakukan dengan beberapa hal,
yaitu : at-taubah, cemas dan harap, az-zuhud, al-faqr as-shabru, ridla, dan muraqabah. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. At-Taubah
At-taubah adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati, serta tidak
akan mengulangi lagi dengan disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala
perbuatan yang dapat menimbulkan dosa. Al-Gazali mengklasifikasikan taubat itu ke
dalam tiga tingkatan, yaitu :
1) Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan
karena takut kepada siksa Allah.
2) Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju ke situasi yang lebih baik.
Dalam tasawuf keadaan ini disebut inabah.
3) Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan
kepada Allah, hal ini disebut aubah.
b. Cemas dan harap
Menurut Hasan Basri, yang dimaksud dengan cemas atau takut itu adalah suatu
perasaan takut yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah
diri
dari
rasa
ketergantungan
terhadap
kehidupan
duniawi
dengan
dihadapkan kepada penanggulangan hawa nafsu perut dan seksual maka kemampuan
mengatasinya disebut dengan Iffah. Kesanggupan seseorang menguasai diri agar tidak
marah, dinamakan Hilm. Ketahanan hati untuk menerima nasib sebagaimana adanya
adalah Qanaah. Sedangkan orang yang bersifat pantang menyerah dan satria dikatakan
Sajaah.
f. Ridla
Sikap mental ridla merupakan kelanjutan dari rasa cinta atau perpaduan dari
mahabbah dan sabar. Term ini mengandung pengertian menerima dengan lapang dada
dan hati terbuka apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima serta
melaksanakan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenan dengan maslah nasib
dirinya.
g. Ridla Muraqabah
Seorang calon sufi, sejak awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas
dari pengawasan Allah. Sebaliknya, seluruh aktivitas hidupnya ditujukan untuk dapat
berada sedekat mungkin pada Allah. Ia tahu dan sadar, bahwa Allah memandang
kepadanya, maka kesadaran itu membawanya kepada sikap mawas diri atau muraqabah.
Kata ini mempunyai arti yang mirip dengan introspeksi atau self correction. Dengan
kalimat yang lebih popular dapat dikatakan bahwa muqarabah adalah setiap saat siap dan
siaga meneliti keadaan diri sendiri.
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka
dilanjutkan dengan fase: manusia harus zuhud terhadap dunia, yaitu meninggalkan kehidupan
duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi. Kata ini berarti terungkapnya nur ghaib bagi
hati. Apabila jiwa telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan organ-organ tubuh sudah
terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur, maka perlu penghayatan rasa ke-Tuhan-an,
agar hasil yang telah diperoleh itu tidak berkurang. Tajalli ini dilakukan dengan cara, antara lain:
munajat dan zikir maut. Penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Munajat
Secara sederhana kata munajat mengandung arti melaporkan diri ke hadirat Allah atas
segala aktivitas yang dilakukan. Menyampaikan semacam laporan yang baik maupun yang
jelek dengan cara khas oleh seorang sufi. Dalam munajat itu disampaikan segala keluhan,
mengadukan nasib dengan untaian kalimat yang indah seraya memuji keagungan Allah. Ini
adalah salah satu bentuk doa yang diucapkan dengan sepenuh hati disertai dengan air mata
dan dengan bahasa yang puitis. Tangis rindu ingin berjumpa dengan Tuhannya, biasanya
dilakukan dalam suasana keheningan malam seusai shalat Tahajjud. Seolah berhadapan
dengan Allah, ia melihat Allah melalui mata hatinya.
b. Zikir maut
Ingat kepada kematian setiap saat dan dimanapun, adalah satu hal yang amat penting.
Sadar akan kenyataan itu, seorang sufi berkeyakinan, bahwa ingat akan mati berkelanjutan
termasuk rangkaian kematian. Sebab dengan melekatnya ingatan kepada mati, akan
menimbulkan rangsangan untuk mempersiapkan diri semaksimal mungkin. Zikir, menurut
penafsiran al-Kalabazi adalah ingatan yang terus menerus kepada Allah dalam hati serta
menyebut namanya dengan lisan (al-Kalabazi: 124). Zikir berfungsi sebagai alat control bagi
hati dan perbuatan agar jangan sampai menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
Lebih dari itu zikir akan mengantarkan seseorang kea lam ketenangan batin.
D. Sumber Akhlak san Aktualisasinya dalam Kehidupan
1. Sumber akhlak
Apabila kita perhatikan kehidupan umat manusia, maka akan dijumpai tingkah laku
manusia yang bermacam-macam. Yang satu berbeda dengan yang lain, bahkan dalam penilaian
tingkah laku ini pun berbeda, tergantung kepada batasan pengertian baik dan buruk suatu
masyarakat atau yang lebih dikenal dengan sebutan norma. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa akhlak seseorang dibentuk di dalam kehidupan norma yang berlaku di dalam masyarakat
di mana seseorang itu hidup. Norma itulah yang menjadi sumber akhlak seseorang.
Ahli kemasyarakatan melihat terjadinya norma disebab dua hal, yaitu : kebudayaan dan
agama. Kebudayaan artinya hasil pemikiran manusia atau budi daya manusia dalam mengatur
hidupnya, supaya lebih baik dan lebih bermanfaat. Tujuan kebudayaan adalah kebaikan dan
keserasian
peraturan-peraturan/norma, baik dibuat secara tertulis maupun mengikuti adat kebiasaan yang
diterima dan diakui oleh masyarakat. Norma yang berdasarkan kebudayaan ini akan berubah
sedikit demi sedikit, sesuatu dengan kemajuan jaman dan lingkungan yang mengelilingi dan
mempengaruhinya. Sedangkan norma agama adalah suatu norma yang datangnya dari Allah
SWT dan Rasulullah SAW. Norma yang berdasarkan agama pada hakekatnya bersifat tetap, tidak
boleh diubah tetapi manusia itu sendiri yang harus mengubah tingkah laku kehidupannya,
disesuaikan dengan ajaran agama. Inilah perbedaan pokok yang harus difahami oleh setiap
Muslim, bahwa terdapat suatu perbedaan pokok antaranorma kebudayaan dengan norma agama.
Kalau norma kebudayaan itu dibuat oleh manusia, sehingga norma itu akan berkembang dan
berubah, sesuai dengan kemajuan pola berpikir dan kehidupan manusia itu sendiri. Tetapi norma
agama diciptakan Allah untuk mengatur hidup manusia, sehingga manusia yang bagaimanapun
majunya, dalam berakhlak harus sesuai dengan batasan-batasan ketentuan yang diajarkan agama.
Akhlak, menurut Islam mempunyai sumber, yaitu hidayah. Hidayah tersebut dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu :
a. Hidayat Ghariziyah (Naluri)
Ada manusia yang seluruh perjalanan hidupnya diisi dengan melakukan segala
sesuatu yang tujuannya hanya memenuhi keperluan nalurinya saja, missal : aktifitas yang
dikerjakan sejak bangun tidur secara rutin seperti : olahraga, makan, bekerja untuk cari
makan, hubungan seksual, istirahat, makan dan tidur lagi. Perjalanan orang seperti itu,
menurut Islam sama dengan perjalanan hidup naluri binatang/hewan. Sebab binatang, sapi
misalnya, juga sehabis tidur tidak langsung makan, tetapi merentangkan tubuhnya (olah
raga) terlebih dahulu, kemudian makan, pergi berjalan-jalan untuk mencari makan,
istirahat, berhubungan lawan jenis, istirahat, makan lagi dan kemudian tidur. Benarlah
firman Allah SWT, Orang-orang kafir menikmati hidup dan makan-makannya binatangbinatang ternak, tempat kembali mereka adalah neraka (Q.S. Muhammad: 12). Apabila
diperhatikan, secara seksama seseorang yang tampaknya hidup mewah, bertempat tinggal
di gedung besar, bermobil mewah, berpakaian istimewa, tetapi apakah artinya itu semua
kalau orang itu mati?
b. Hidayah Aqliyah (Akal)
Lebih tinggi kedudukannyadari akhlak binatang, karena sebagai manusia ada yang
telah mendapat manfaat dari akalnya. Artinya orang tersebut telah mendapat hidayah
aqliyah. Manfaat akal bagi seseorang adalah bahwa seseorang di dalam kehidupannya
telah dapat berpikir tentang manfaat kemasyarakatan dan kepentingan bersama dalam
masyarakat. Tetapi kendatipun telah banyak manusia yang ahli dalam masalah
kemasyarakatan, namun harus mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Alangkah banyak
orang yang kehilangan norma di dalam hidupnya sehingga hidupnya merasa kacau,
bimbang dan bingung, tidak tahu arah tujuan hidupnya, sedangkan dia seorang sarjana,
cendekiawan dan berakhlak sesuai dengan akal rationya. Allah SWT menggambarkan
orang yang demikian dalam firman-Nya : Dan orang-orang itu berkata, seandainya kami
mau (nasehat agama) dan kami menggunakan akal-akal kami pasti kami tidak menjadi
penghuni neraka Sair (Q.S. Al-Mulk: 10). Penyesalan tidak ada gunanya dan putusan
Allah pasti berlaku, Neraka Sair tidak bisa dielakkan. Di sinilah manusia memerlukan
hidayah yang lebih tinggi dari hidayah akalnya, agar hidup mereka tidak kacau, bimbang
dan bingung. Hidayah dari Allah akan membimbing mereka hidup dengan tenang, karena
tahu arah dan tujuan mereka di dunia.
c. Hidayah Diniyah (Agama)
Hidayah inilah yang paling tinggi dari hidayah-hidayah lainnya. Hidayah inilah yang
selalu diminta oleh setiap Muslim. Orang berakhlak agama (mendapat hidayah diniyah),
pada hakikatnya mendapat pengakuan kebaikan akhlaknya. Sebagai bukti adalah
Muhammad SAW dalam perjalanan hidupnya tidak pernah mempunyai cela, yaitu akhlak
yang tidak baik. Hal ini diakui oleh masyarakat yang ada disekitarnya, baik yang
beragama Nasrani, Yahudi, Animisme, golongan komunis (pada zamannya) maupun
orang-orang kafir dan musyrik. Oleh karena itu, secara aklamasi seluruh lapisan
masyarakat memberikan bintang jasa berupa gelar Al-Amin kepada Muhammad SAW.
Inilah suatu bukti, bahwa akhlak Islam adalah akhlak hidayah tertinggi, yang berarti
akhlak Islam adalah akhlak yang sangat mulia. Demikian besar perhatian Islam terhadap
akhlak, bahkan akhlak merupakan unsure penting ajaran Islam. Akhlak yang baik
merupakan syarat kesempurnaan iman seseorang, sebagaimana dijelaskan Rasulullah
SAW di dalam sabdanya : Orang mumin yang paling sempurna imannya, adalah orang
yang paling baik akhlaknya. (HR. Tirmidzi). Demikianlah kedudukan akhlak menurut
ajaran Islam, dan bukan oleh ajaran Islam saja, namun lebih dari itu agama-agama
terdahulu juga mempunyai misi, di samping mengajak manusia untuk taqwa, juga misi
penting agar manusia berakhlak mulia.
2. Penerapan akhlak
a. Akhlak dalam masyarakat
Islam sejak dahulu mempunyai ibadah-ibadah tertentu yang wajib dilaksanakan
kaum Muslimin (orang Islam). Umat Islam tidak ada hubungan dengan pemeluk agamaagama lain dalam masalah ibadah, dan ajaran akhlak tidak dilihat dari segi ini. Setiap
Muslim wajib berbuat jujur dengan siapa saja, juga menepati janji, kerjasama, pemurah.
Kaum Muslimin jangan terperangkap hasutan orang Yahudi dan Nasrani di dalam
perdebatan yang membawa permusuhan, sebab tak ada kebaikkannya bagi agama.
Allah memberikan perintah pada kaum Muslimin untuk berbuat adil sekalipun
pada orang jahat dan orang kufur. Firman Allah : Dan janganlah kamu berdebat dengan
Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim
di antara mereka dan katakanlah : Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang
diturunkan kepadamu, Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan kami hanya kepadaNya berserah diri (Q.S. Al-Ankabut ayat 46). Dalam sebuah hadits, Nabi SAW juga
mengatakan : Doa orang-orang yang teraniaya itu mustajab, dan jika ia berbuat jahat
(maksiat dengan zina), maka kejahatannya menjadi tanggungan sendiri (HR. Thalani
dari bin Abi Hurairah).
Dengan demikian orang Islam tidak boleh seenaknya berbuat sendiri melainkan
langkah dan perbuatannya harus baik, tidak menyalahi tuntunan akhlak. Islam juga
memerintahkan manusia melakukan silaturahmi (menyambung tali persaudaraan)
terhadap kerabat-kerabatnya, kendati mereka ingkar terhadap agama yang dipeluknya.
Karena kalau ia setia kepada kebenaran, tentu ia tidak akan membangkang kepada
keluarganya, sebagaimana tuntunan Allah dalam Al-Quran. Firman Allah : Dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu. Maka Kuberikan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan (Q.S. Lukman : 15).
b. Akhlak terhadap Allah SWT
Sikap laku setiap umat Islam terhadap Khaliq berlandaskan kesadaran bahwa
Allah yang menciptakan dirinya dan apa saja yang merupakan kelengkapan hidupnya,
Allah berkuasa pula untuk mencabut apa saja yang diberikan itu. Juga ia sadar bahwa
Allah mengetahui, bukan saja yang nyata dari segala sepak terjangnya, tapi juga yang
jauh tersembunyi dalam lubuk hati seseorang. Allah SWT berfirman sebagai berikut :
Allah mengetahui apa yang kamu sembunyikan, dan apa yang kamu nyatakan. (Q.S.
Al-Baqarah : 77). Umat Islam yakin dan percaya, tidak ada satupun dari perbuatannya
yang tidak diketahui dan dicatat oleh Allah, dan bahwa tiap perbuatan yang tidak
dilakukannya di dunia ini tidak terhenti dengan kematiannya, tapi ia harus
bertanggungjawab kelak pada hari Pembalasan.
Oleh karena itu setiap umat Islam akan selalu bersikap dan berakhlak sebagai
berikut :
1) Mengabdi/beribadah hanya kepada Allah
Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk
menyembah-Nya
sesuai
dengan
perintah-Nya.
Seorang
Muslim
beribadah
Sesudah manusia berusaha dan bertawakal, maka ridha dan ikhlas kepada
keputusan Allah merupakan rangkaian akhlak berikutnya dihadapan Allah.
6) Penuh harap kepada Allah
Penuh harap terhadap janji dan pertolongan Allah SWT. Firman Allah :
Siapa-siapa yang mengharapkan pertemuan (dengan) Allah, maka sesungguhnya
waktu (perjanjian) Allah akan datang, dan Dia Yang Mendengar, Yang Mengetahui
(Q.S. Al-Ankabut : 5).
Al-Quran itu diturunkan untuk memimpin umat yang taqwa, yaitu umat yang
bertaqwa menyembah Allah dan mengikuti semua perintah-Nya. Dan Al-Quran
menjadi ancaman dan peringatan bagi mereka yang durhaka, dan yang tidak
melaksanakan perintah-Nya.
7) Takut dengan rasa tunduk dan patuh
Takut tidak dapat melaksanakan perintah Allah, sehingga bekerja keras dan
berjuang dengan sungguh-sungguh menegakkan setiap perintah Allah, karena
mengharap
kasih
sayang-Nya.
Allah
SWT
berfirman
sebagai
berikut
Sesungguhnya umat yang memakmurkan masjid Allah, ialah umat yang kepada
Allah dan kepada hari Kemudian serta mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat,
dan tidak takut kepada yang lain kecuali hanya kepada Allah lantaran itu mudahmudahan mereka termasuk ke dalam golongan umat yang terpimpin (Q.S. AtTaubah : 18).
8) Takut terhadap siksa Allah
Takut terhadap siksa Allah, adalah takut melanggar semua perintah Allah.
Apabila melanggar perintah Allah berupa larangan, maka siksa Allah akan
dialaminya, dan mendapat penderitaan di dunia dan di akhirat kelak. Firman Allah :
Dan bagi mereka (orang yang berdosa) mendapatkan siksaan yang pedih Q.S. Ali
Imran : 4).
9) Berdoa mohon pertolongan kepada Allah
Berdoa kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Doa
merupakan inti ibadah. Karena doa merupakan pengakuan akan keterbatasan dan
ketidakmampuan manusia sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap
segala sesuatu. Kekuatan doa dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu
menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena itu, berusaha dan berdoa adalah
aktivitas hidup setiap Muslim yang utuh.
10) Cinta dengan penuh harap kepada Allah
Cinta dengan penuh harap ini merupakan kelengkapan akhlak setiap mukmin
dihadapan Khaliqnya. Dengan rasa cinta yang penuh harap ini, manusia mukmin
tidak pernah merasa bahwa dirinya perlu istirahat dalam berjuang, tetapi bagi setiap
mukmin setelah menyelesaikan tugas langsung tegak berdiri untuk tugas baru, karena
cinta kepada Allah.
11) Takut kehilangan rahmat Allah
Manusia sering merasa takut, bentuk atau sifat takut ini sendiri bermacammacam. Takut kepada harimau berbeda dengan takut kehilangan jabatan. Takut
kehilangan jabatan berlainan dengan rasa takut tidak mendapat bagian rizki. Bahkan
ada orang yang takut dengan air, dengan api, dengan cahaya terang, dan sebaliknya
takut dengan cuaca gelap dan sebagainya. Takut kehilangan rahmat dan harapan yang
sangat diperlukan seseorang adalah wajar. Tetapi apabila takut ini menyebabkan
seseorang ini berani berbuat maksiat kepada Allah atau mengalahkan kepentingan
agama, hal tersebut merupakan pelanggaran yang jelas terhadap ajaran agama.
12) Berzikir kepada Allah
Zikir adalah mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik
diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan
ketenangan dan ketentraman hati sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah :
Ingatlah dengan zikir kepada Allah akan menentramkan hati. (Q.S. Ar-Radu : 1328).
c. Akhlak pada diri sendiri
Setiap umat Islam harus menyadari sepenuhnya bimbingan Allah melalui Sunnah
Rasulullah SAW agar selalu membersihkan dan mensucikan dirinya, dan sadar
sepenuhnya bahwa ukuran dasar Islam tentang akhlak adalah : Tiada berilmu orang
yang tidak berakhlak atau berkarakter. Seorang Muslim berkewajiban memperbaiki
dirinya sebelum bertindak keluar. Ia harus beradab, berakhlak terhadap dirinya sendiri,
karena ia dikenakan tanggung jawab terhadap keselamatan dan kemaslahatan dirinya dan
lingkungan masyarakatnya.
Untuk melaksanakan perintah Allah dan bimbingan Nabi Muhammad SAW, maka
setiap umat Islam harus berakhlak dan bersikap sebagai berikut :
1) Sabar, adalah perilaku seorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil dari
pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang menimpanya. Sabar
diungkapkan ketika melaksanakan perintah menjauhi larangan, dan ketika ditimpa
musibah dari Allah.
2) Syukur, adalah sikap berterima kasih atas pemberian nikmat Allah yang tidak bisa
terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan.
3) Tawadhu, yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang
tua, muda, kaya atau miskin. Sikap tawadhu lahir dari kesadaran akan hakikat dirinya
sebagai manusia yang lemah dan serba terbatas yang tidak layak untuk bersikap
sombong dan angkuh di muka bumi.
4) Menghindari meminum racun, setiap Muslim harus menjaga dirinya sebagai suatu
kewajiban, untuk tidak meracuni dirinya dengan minuman alcohol, narkoba atau
kebiasaan buruk lainnya yang merugikan diri dan bersifat merusak.
5) Menghindari perbuatan yang tidak baik, merupakan akhlak seorang Muslim untuk
tidak menganjurkan melakukan sesuatu yang tidak baik tetapi dirinya sendiri
melaksanakan apa yang dianjurkannya. Firman Allah : Menghindari perbuatan yang
tidak baik, merupakan akhlak seorang Muslim untuk tidak menganjurkan melakukan
sesuatuyang tidak baik tetapi dirinya sendiri tidak bersedia melaksanakan apa yang
dianjurkannya. Firman Allah : Dosa besar di sisi Allah, engkau mengatakan
sesuatu, tetapi engkau tidak melakukannya (Q.S. Ash-Shaff:3).
6) Memelihara kesucian jiwa, pembersihan dan pensucian diri yang dilakukan secara
terus menerus sebagai landasan amal saleh mereka. Untuk keperluan memelihara
kebersihan diri dan kesucian jiwa secara teratur, tersedia pelembagaan sebagai berikut
:
a) Taubat; senantiasa menyadari apabila seseorang telah melakukan suatu kesalahan
dan merasa menyesal atas perbuatan yang salah, karena telah melakukan
pelanggaran ketentuan Illahi, maka dia harus bertaubat. Selanjutnya ia berjanji
kepada dirinya untuk tidak melakukan lagi kesalahan tersebut, selama sisa
umurnya.
b) Muraqabah; usaha pendekatan diri kepada Allah senantiasa mengingat-Nya dalam
tiap detik kehidupannya, sampai ia mencapai suatu keyakinan bahwa Allah selalu
mengawasi dan menjaganya, memenuhi segala keperluannya, mengetahui segala
9) Hindarkan perbuatan tercela; setiap diri pribadi umat Islam harus menghindarkan diri
dari perbuatan yang tercela sebagai berikut :
i.. Perbuatan buruk ialah orang yang khianat terhadap janji dan berkata dusta, maka
untuk menjadi orang yang berakhlak baik, mereka harus menjauhkan perbuatan
menipu, menyogok dan korupsi.
ii. Hindarkan sifat buruk sangka dan mencari kesalahan orang lain dengan
merendahkan, menggunjing dan menfitnah.
iii. Menghindarkan diri dari sikap pemabuk dan penjudi, serta melakukan zina
(pelacuran)
iv. Bersikap sombong, egois (mementingkan diri sendiri) atau zalim, dan bersikap
keras atas suatu tindakan dengan main paksa.
v. Sikap boros yang menghamburkan nikmat Allah kepada tujuan yang salah, tetapi
juga tidak boleh bakhil, kikir yang tidak bersedia menolong kesukaran orang lain.
vi. Sifat tamak, selalu ingin mendapat lebih dari yang lain, dengan menghalalkan
semua cara. Ia tidak lagi memperhatikan peraturan dan undang-undang. Dan
termasuk sikap tamak adalah selalu mengharapkan bantuan orang lain.
vii. Umat Islam harus menghindarkan sifat lemah, malas dan penakut. Setiap umat
Islam harus memelihara akhlak. Pribadinya, keluarga di dalam rumah tangga dan
masyarakatnya. (KH. Abd.Salim).
10) Menjauhkan diri dari dosa-dosa besar:
a) Syirik yaitu menyekutukan Allah sehingga tersesat sejauh-jauhnya (Q.S. An-Nisa
: 116). Allah tidak akan mengampuninya, kecuali dosa selainnya (Q.S. An-Nisa :
48). Ia tidak akan masuk surga dan tempatnya di Neraka serta tidak ada
penolongnya (Q.S. Al-Maidah : 72).
b) Kufur, Nifak, Riddah (murtad), fasiq, melanggar perjanjian Allah, zina, menuduh
zina, minum khamar/berjudi, membunuh manusia tanpa salah, bersumpah palsu,
riba, dusta, menggunjing orang, mengadu domba, menjauhkan penyakit hati,
buruk sangka, hasut, sombong, riya (Miftah Farid).
d. Akhlak terhadap ibu bapak
Akhlak kepada ibu bapak adalah berbuat baik kepada keduanya (birrul walidain)
dengan ucapan dan perbuatan. Allah mewasiatkan agar manusia berbuat baik kepada ibu
bapak: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik dan merawatku dengan penuh kasih sayang ketika aku kecil
(Q.S. Al-Isra/17:24).
Dalam ayat diatas Allah menyuruh manusia untuk berbakti kepada ibu bapak
dengan cara mengajak manusia untuk menghayati pengorbanan yang diberikan ibu ketika
mengandung, melahirkan, merawat dan mendidik anaknya. Karena itu doa yang
diajarkan Allah untuk orang tua diungkapkan sedemikian rupa dengan mengenang jasa
mereka.
Berbuat baik kepada ibu bapak dibuktikan dalam bentuk-bentuk perbuatan antara
lain : menyayangi dan mencintai ibu bapak sebagai bentuk terima kasih dengan cara
bertutur kata sopan dan lemah lembut, menaati perintah, meringankan beban, serta
menyantuni mereka jika sudah tua dan tidak mampu lagi berusaha. Berbuat baik kepada
orang tua tidak hanya ketika mereka hidup, tetapi terus berlangsung walaupun mereka
telah meninggal dunia dengan cara mendoakan dan meminta ampunan untuk mereka,
menepati janji mereka yang belum terpenuhi, meneruskan silaturahmi dengan sahabatsahabatnya sewaktu mereka hidup.
e. Akhlak kepada keluarga/kerabat
Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkan kasih sayang di antara anggota
keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi. Komunikasi dalam keluarga
diungkapkan dalam bentuk perhatian baik melalui kata-kata, isyarat-isyarat, maupun
perilaku. Komunikasi yang didorong oleh rasakasih sayang yang tulus akan dirasakan
oleh seluruh anggota keluarga. Apabila kasih sayang telah mendapat komunikasi orang
tua dengan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua dan demikian pula sebaliknya
akan lahir kepercayaan orang tua pada anak. Oleh karena itu, kasih sayang harus menjadi
muatan utama dalam komunikasi semua pihak dalam keluarga.
Pemdidikan yang ditanamkan dalam keluarga akan menjadi ukuran utama bagi
anak dalam menghadapi pengaruh yang datang kepada mereka diluar rumah. Dengan
dibekali nilai-nilai dari rumah, anak-anak dapat menjaring segala pengaruh yang datang
kepadanya. Sebaliknya anak-anak yang tidak dibekali nilai dari rumah, jiwanya kosong
dan akan mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan di luar rumah. Inilah yang dimaksud
dengan ayat : Dan ingatlah Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh
alam (Q.S. Al-Anbiyaa/21:107).
Misi tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di
muka bumi yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan, mengelola, dan
melestarikan alam. Berakhlak kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan
mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya.
Memakmurkan alam adalah mengelola sumber daya sehingga dapat memberi
manfaat bagi kesejahteraan manusia tanpa merugikan alam itu sendiri. Allah
menyediakan bumi yang subur ini untuk disikapi oleh manusia dengan kerja keras
mengolah dan memeliharanya sehinggamelahirkan nilai tambah yang tinggi sebagaimana
firman-Nya : Dia menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian sebagai
pemakmurnya (Q.S. Hud/11:61).
Akibat akhlak yang buruk terhadap lingkungan dapat disaksikan dengan jelas
bagaimana hutan yang dieksploitasi tanpa batas melahirkan malapetaka kebakaran hutan
yang menghancurkan hutan dan habitat hewan-hewannya. Eksploirasi kekayaan laut yang
tanpa memperhitungkan kelestarian ekologi laut melahirkan kerusakan hebat pada habitat
hewan laut. Semua itu karena semata-mata mengejar keuntungan ekonomi yang bersifat
sementara, mendatangkan kerusakan alam yang parah yang tidak bisa direhabilitasi
dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun.