Anda di halaman 1dari 6

Aspirin

Obat anti radang bukan steroid atau yang lazim dinamakan non streroidal anti inflammatory
drugs (NSAIDs) atau anti inflamasi non steroid (OAINS) adalah golongan obat yang bekerja
terutama di perifer yang berfungsi sebagai analgesic (pereda nyeri), antipirektik (penurun panas)
dan anti inflamasi (anti radang). Obat asam asetil salisilat (aspirin) ini mulai digunakan pertama
kalinya untuk pengobatan simptomatis penyakit-penyakit rematik pada tahun 1899 sebagai obat
anti radang bukan steroid sintetik dengan kerja antiradang yang kuat. Obat anti radang bukan
steroid diindikasikan pada penyakit-penyakit rematik yang disertai radang seperti rheumatoid
dan osteoarthritis untuk menekan reaksi peradangan dan meringankan nyeri. Dibandingkan
dengan obat antiradang bukan steroid yang lain, penggunaan asam asetil salisilat jauh lebih
banyak, bahkan termasuk produk farmasi yang paling banyak digunakan dalam pengobatan
dengan kebutuhan dunia mencapai 36.000 ton per tahun. Obat anti radang nonsteroid (OAINS)
menurut Insel, (1991) dan Reynolds, (1982) dibagi dalarn 8 golongan yaitu turunan asam salisilat
(asam asetil salisilat dan diflunisal), turunan pirazolon (fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin
dan arninopirin), turunan paraaminofenol (fenasetin), Indometasin (indometasin dan sulindak),
turunan asam propionat (ibuprofen, naproksen, fenoprofen, ketoprofen dan flurbiprofen), turunan
asam antranilat (asam flufenamat dan asam mafenamat),obat anti radang yang tidak mempunyai
penggolongan tertentu (tolmetin, piroksikam, diklofenak, etodolak, nebumeton, senyawa emas)
dan obat pirro (gout), kolkisin, alopurinol. Asam asetil salisilat (ASA) yang lebih dikenal sebagai
asetosal adalah analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan dan
digolongkan dalam obat bebas.
Farmakokinetik aspirin
Absorpsi
Aspirin cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan Dan segera Dihidrolisis menjadi asam salisilat,
dengan kadar puncak asam salisilat dalam plasma tercapaidalam12 Jam. Sediaan tablet salut
selaput menunjukkan kecepatan absorpsi yang bervariasi, Dimana konsentrasi puncak dalam
plasma tercapai dalam 46 jam setelah pemberian, namun onset ini dapat tertunda sampai 812
jam pada dosis tinggi Kecepatan absorpsi ini dipengaruhi oleh bentuk sediaan, ada tidaknya
makanan
Dalam lambung, tingkat keasaman lambung, dan faktor fisiologis lainnya.

Distribusi
Di dalam sirkulasi, sebanyak 8090% salisilat terikat dengan protein plasma, terutama albumin.
Salisilat ini dapat didistribusikan ke hamper seluruh cairan tubuh dan jaringan, serta mudah
melalui sawar darah plasenta sehingga dapat masuk ke dalam sirkulasi darah janin. Pada dosis
rendah (konsentrasi dalam plasma <10 mg/dL), 90% salisilat terikat oleh albumin, sedangkan
pada konsentrasi yang lebih tinggi (>40 mg/dl), hanya 75% salisilat yang terikat oleh albumin.
Metabolisme
Aspirin dihidrolisis menjadi asam salisilat di dalam system gastrointestinal dan sirkulasi darah
(dengan waktu paruh aspirin15 menit) Dalam bentuk asam salisilat, waktu paruh dalam plasma
dalam dosis terapetik menjadi 24,5 jam, namun dalam dosis yang berlebihan (overdosis) waktu
ini dapat lebih panjang, antara 18 sampai 36 jam Jadi dapat dikatakan bahwa waktu paruh asam
salisilat ini terkait dengan dosis. Semakin tinggi dosis aspirin yang diminum, maka waktu paruh
asam salisilat juga semakin panjang. Pada pemberian aspirin dosis tinggi, jalur metabolism asam
salisilat menjadi jenuh; akibatnya kadar asam salisilat dalam plasma meningkat tidak sebanding
dengan dosis aspirin yang diberikan Karena aspirin segera dihidrolisis sebagai salisilat di dalam
tubuh, maka salisilat inilah yang bertanggungjawab terhadap terjadinya intoksikasi Kira kira
80% asam salisilat dosis kecil akan dimetabolisir di hepar, dikonjugasikan dengan glisin
membentuk asam salisil urat, dan dengan asam glukoronat membentuk asam salisil glukoronat,
dan salisil fenolat glukoronat. Sebagian kecil dihidroksilasi menjadi asam gentisat metabolisme
salisilat ini dapat mengalami saturasi (kejenuhan). Pada orang dewasa normal, saturasi kinetika
salisilat terjadi pada pemberian aspirin dosis 12 g. Apabila kapasitas metabolism ini terlampaui,
maka akan menyebabkan waktu paruh asam salisilat dalam plasma semakin tinggi dan
meningkatkan risiko timbulnya efek samping. Kinetika saturasi salisilat inilah yang berperan
besar dalam kasus kasus intoksikasi salisilat.

Ekskresi
Ekskresi asam salisilat melalui ginjal sebesar 5,6% sampai 35,6%. Terdapat korelasi positif
antara pH urin dengan klirens asam salisilat dimana alkalinisasi (peningkata pH urin) akan
meningkatkan klirens asam salisilat yang selanjutnya meningkatkan ekskresi asam salisilat
melalui urin Akibatnya waktu paruh asam salisilat dapat diperpanjang oleh pH urin yang rendah
(asam) dan pada fungsi ginjal yang terganggu Selain itu pada urin asam, salisilat berada dalam
bentuk tidak terion sehingga direabsorpsi kembali sehingga menyebabkan konsentrasi salisilat
dalam darah lebih tinggi. Oleh karena itu dinyatakan bahwa ekskresi salisilat selain dipengaruhi
filtrasi glomerular juga dipengaruhi oleh reabsorpsi dalam tubulus klirens melalui ginjal ini bisa
berbeda nilainya dari nilai standar, tergantung pada Pengaruh lokal daerah Bahkan variasi
kinetika ini berbeda antara lakilaki dan perempuan dalam daerah yang sama, dan berbeda pula
dengan penduduk dari daerah yang berbeda Salisilat diekskresi ke dalam urin melalui proses
filtrasi Glomerular dan sekresi aktif tubulus. Ekskresi salisilat dalam urin adalah dalam bentuk
asam salisilat bebas (10%), asam salisilurat (75%), fenolat salisilat (10%), asilglukoronat (5%),
dan asam gentisat (1%). Dalam cairan tubuh lain, ekskresi asam salisilat bervariasi. Ekskresi
asam salisilat dalam ASI dianggap tidak aman sehingga tidak disarankan bagi ibu menyusui.
Ekskresi asam salisilat dan konsentrasinya dalam air mata bervariasi antara 1% sampai 8%
daripada konsentrasi asam salisilat plasma sebagai antiinflamasi.
Farmakodinamika Aspirin
Penggunaan aspirin sebagai antiinflamasi terutama adalah untuk pengobatan rheumatoid arthritis,
yaitu suatu penyakit kronis sistemik yang melibatkan banyak organ, dan dianggap sebagai
penyakit autoimun. Aspirin mampu mereduksi proses inflamasi di dalam sendi dan jaringan
sehingga mengurangi gejala dan memperbaiki mobilitas penderita. Meskipun demikian, obat ini
tidak mampu menghambat progresivitas cidera jaringan patologis Jika dengan aspirin saja belum
efektif, maka dapat diganti dengan AINS lain, kortikosteroid, atau obat yang bersifat disease
modifying drug . Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika akan menggunakan kombinasi
AINS dengan obat lain untuk rheumatoid arthritis (misalnya AINS dengan methotrexate), maka
sebaiknya digunakan AINS selain aspirin

Mekanisme Aksi
Sediaan OAINS memiliki aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat
biosintesis prostaglandin dari asam arakhidonat melalui penghambatan aktivitas enzim
siklooksigenase. Berbeda dengan OAINS lainnya, AAS merupakan inhibitor irreversibel
siklooksigenase (COX). Kerusakan yang terjadi pada sel dan jaringan karena adanya noksi akan
membebaskan berbagai mediator substansi radang. Asam arakhidonat mulanya merupakan
komponen normal yang disimpan pada sel dalam bentuk fosfolipid dan dibebaskan dari sel
penyimpan lipid oleh asil hidrosilase sebagai respon adanya noksi . Asam arakidonat kemudian
mengalami metabolisme menjadi dua alur. Alur siklooksigenase yang membebaskan
prostaglandin, prostasiklin, tromboksan. Alur lipoksigenase yang membebaskan leukotrien dan
berbagai substansi seperti HPETE (Hydroperoxieicosatetraenoic) .
Prostaglandin yang dihasilkan melalui jalur siklooksigenase berperan dalam proses timbulnya
nyeri, demam dan reaksi-reaksi peradangan. Selain itu, prostaglandin juga berperanan penting
pada proses-proses fisiologis normal dan pemeliharaan fungsi regulasi berbagai organ. Pada
selaput lendir saluran pencernaan, prostaglandin berefek protektif dengan meningkatkan
resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotis, termis atau kimiawi. Karena
prostaglandin berperan dalam proses timbulnya nyeri, demam, dan reaksi peradangan, maka
AAS melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase mampu menekan gejala-gejala
tersebut. Enzim ada dalam dua bentuk (isoform) , yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan
siklooksigenase-2 (COX-2). COX-1 merupakan enzim konstitutif yang mengkatalisis
pembentukan prostonoid regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada selaput lendir saluran
pencernaan, ginjal, platelet dan epitel pembuluh darah. COX-2 tidak konstitutif tetapi dapat
diinduksi, seperti bila ada stimulasi radang mitogenesis atau onkogenesis terbentuk prostonoid
yang merupakan mediator radang.

Penggunaan klinik
Aspirin sering dipakai untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang, sedangkan untuk mengatasi
nyeri berat (misalnya nyeri pada kanker) kadang dikombinasi dengan opiat. Dosis aspirin dalam
terapi berbeda tergantung pada indikasi penggunaan dan usia pasien

Indikasi
Analgetik dan antipiretik

Dosis
Dewasa dan remaja
325 500 mg tiap 3 jam,325650 tiap 4
jam, atau 650 1000 mg tiap 4 jam (bila
perlu) Dosis maksimum harian: 4 g

Analgetik

Anak: 1,5 g/m2 LPT Dalam 46 Dosis


terbagi
24 th: 160 Mg tiap 4 jam
46 th: 240 Mg tiap 4 Jam
69 th: 320325 Mg tiap 4 jam
911th: 320400 Mg tiap 4 jam
1112th: 320 480 Mg tiap 4 jam
Dewasa dan remaja:
3,65,4 g/hari dalam dosis terbagi
Anak:
80100 mg/kg/hari dalam dosis terbagi
81325 mg/hari (kasus tanpakomplikasi)
3251000 mg/hari (setelah Episode
iskemik)
325 mg pre operasi, dilanjutkan 325 mg
tiga kali/hari

Antirematik (antiinflamasi)

Profilaksis jantung dan anti agregasi


platelet (dewasa)
Pencegahan thrombosis (dewasa)

Efek samping
Efek samping aspirin misalnya resah tidak enak di perut, mual dan perdarahan saluran cerna
biasanya dapat dihindari bila dosis perhari tidak melebihi 325 mg. penggunaan bersama antacid
atau antagonis H2 reseptor dapat mengurangi efek tersebut. Obat ini dapat mengganggu
homeostasis pada tindakan operasi dan bila diberikan bersama heparin atau antikoagulan oral
dapat meningkatkan resiko perdarahan.

Kontraindikasi
Aspirin dikontraindikasikan pada pasien yang diketahui memiliki hipersensitivitas / alergi
terhadap komponen dari aspirin, jenis salisilat lain, atau obat obatan anti-inflamasi non-steroid
lain, asma, ulkus peptik yang aktif / riwayat sakit maag, kelainan perdarahan, gangguan fungsi
hati yang berat, gangguan fungsi ginjal yang berat, gagal jantung yang berat, kehamilan pada
trimester ke 3, anak dibawah 16 tahun (kecuali secara spesifik diindikasikan seperti pada
penyakit Kawasaki). Selain itu, penggunaan obat ini juga perlu mendapatkan perhatian khusus
pada pasien dengan asma di mana dapat memicu serangan pada pasien dengan hipersensitivitas,
polip nasal, penyakit saluran napas kronik, anemia, gagal jantung, dehidrasi, defisiensi enzim
glukosa-6-fosfat dehidrogenase, gout (asam urat tinggi), pasien dengan gejala perdarahan
tertentu, pasien dengan reaksi kulit yang berlebihan.

Dapus :
Abdelrahim H.E.A., 2008, Therapeutic Drug Monitoring Service in Malaysia: Current
Practice and Cost Evaluation, Thesis, University Sains Malaysia.
Agrawal Y., 2011, Critical values for therapeutic drug levels, www.clronline.com, Diakses:
27 Oktober 2016.

Anda mungkin juga menyukai