Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KAPASITAS VITAL PARU


Kapasitas paru-paru adalah kemampuan paru-paru menampung udara pernapasan.
Volume udara pernapasan pada setiap orang berbeda-beda, tergantung pada ukuran
paru-paru, kekuatan bernapas, dan cara bernapas. Alat yang digunakan untuk
mengetes kapasitas paru-paru disebut spirometer. Metode yang digunakan untuk
mengukur kapasitas paru-paru disebut spirometri. Metodenya adalah dengan
mencatat volume udara yang masuk dan keluar dari paru-paru. Umumnya pada
orang dewasa, volume paru-paru berkisar antara 5-6 liter. Bagian kapasitas paru-paru
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Volume Tidal
Volume tidal adalah volume udara yang masuk dan keluar paru-paru pada
pernapasan normal. Jumlah volume udaranya adalah sebesar 500 ml.
2. Volume Cadangan Inspirasi
Volume cadangan inspirasi adalah udara yang masih dapat dihirup setelah
inspirasi biasa sampai mencapai inspirasi maksimal. Volume cadangan
inspirasi juga disebut udara komplementer. Umumnya pada laki-laki sebesar
3.300 ml dan pada wanita sebesar 1.900 ml.
3. Volume Cadangan Ekspirasi
Volume cadangan ekspirasi adalah udara yang masih dapat dikeluarkan
setelah melakukan ekspirasi biasa sampai mencapai ekspirasi maksimal.
Volume cadangan ekspirasi juga disebut udara suplementer. Pada laki-laki
1.000 ml, sedangkan perempuan 700 ml.
4. Volume Residu
Volume residu adalah udara yang masih terdapat di dalam paru-paru setelah
melakukan respirasi sekuat-kuatnya. Kapasitas volume residu pada laki-laki
adalah 1.200 ml dan perempuan 1.100 ml.
5. Kapasitas Inspirasi

Kapasitas inspirasi adalah banyaknya udara yang dapat dihirup setelah taraf
ekspirasi biasa hingga pengembangan paru-paru secara maksimal (sekitar
3.500 mililiter). Kapasitas respirasi sama dengan volume tidal ditambah
dengan volume cadangan inspirasi.
6. Kapasitas Residu Fungsional
Kapasitas residu fungsional adalah jumlah udara di dalam paru-paru pada
akhir respirasi biasa. Kapasitasnya berkisar 2.300 mililiter. Kapasitas residu
fungsional sama dengan volume cadangan ekspirasi ditambah dengan
volume residu.
7. Kapasitas Vital
Kapasitas vital adalah volume udara maksimal yang dapat masuk dan keluar
paru-paru selama sistem pernapasan pada manusia. Kapasitas vital adalah
volume cadangan inspirasi ditambah dengan volume tidal ditambah lagi
dengan volume cadangan ekspirasi. Volume kapasitas vital kira-kira 4.600
mililiter.
8. Kapasitas Paru-Paru Total
Kapasitas paru-paru total adalah seluruh udara yang dapat ditampung oleh
paru-paru. Kapasitas paru-paru total adalah kapasitas vital ditambah dengan
volume residu. Kapasitas paru-paru total berkisar 5.800 mililiter.
B. PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai
penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi
berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan
tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon
inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang
berbahaya. Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering
ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang
berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan
emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik
merupakan

diagnosis

klinis,

sedangkan

emfisema

merupakan

diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan


klinis yang ditandai
4

KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi
kronik adalah sebagai berikut:
1. Bronchitis Kronis
a. Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai
dengan pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus
dan

termanifestasikan

bentuk

batuk

kronis

dalam
dan

pembentuk sputum selama 3


bulan dalam setahun, paling
sedikit 2 tahun berturut turut.
b. Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab
bronchitis yaitu:
(1)Infeksi

: stafilokokus,

sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.


(2)Alergi
(3)Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
c. Manifestasi klinis
(1)Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi
besar, yang mana akanmeningkatkan produksi mukus.
(2)Mukus lebih kental
(3)Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme
pembersihan mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence"
dari

paru

mengalami

kerusakan

dan

meningkatkan

kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul,


kelenjar

mukus akan menjadi

hipertropi

dan

hiperplasia

sehingga produksi mukus akan meningkat.


(4)Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai
dua kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara.
Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang
banyakakan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mulamula mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi
biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.

(5)Mukus

yang

kental

dan

pembesaran

bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama selama


ekspirasi. Jalan

nafas

mengalami

kollaps,

dan

udara

terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini


menyebabkan

penurunan

ventilasi

alveolar, hypoxia dan

asidosis.
(6)Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi
perfusi

abnormal

timbul,

dimana

terjadi

penurunan

PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai


PaCO2.
(7)Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia,
maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat
penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam,
biasanya karena infeksi pulmonary.
(8)Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan
peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak
ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju
penyakit cor pulmonal dan CHF
ETIOLOGI
Faktor faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru
Obstruksi Kronis antara lain adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan
penyakit paru obstruksi kronis adalah :
1. Merokok

merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15%

perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan


mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap
rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi
paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama
perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen

alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan


awal emfisema.
3. Infeksi saluran

nafas

berulang

pada

masa

kanak

kanak

berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal


yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat
dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan
peningkatan resiko morbiditas PPOK.
Setiono w (2014) menambahkan bahwa secara keseluruhan penyebab
terjadinya PPOK tergantung dari jumlah partikel gas yang dihirup
oleh seorang individu selama hidupnya. Partikel gas ini termasuk :
1. asap rokok
a. perokok aktif
b. perokok pasif
2. polusi udara
a. polusi di dalam ruangan- asap rokok - asap kompor
b. polusi di luar ruangan- gas buang kendaraan bermotor- debu
jalanan
3. polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
a. infeksi saluran nafas bawah berulang
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk
bernafas.
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK
adalah

malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi

awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya


yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang
berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak
(pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten
yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
7

Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan


kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya
pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan
tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab
pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik
banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan
berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu
makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya
kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan
kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi
sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien

dengan PPOK

lebih

membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan


tenaga dalam melakukan pernafasan.
Menurut Setiono (2014) manifestasi klinis PPOK bahwa Batuk
merupakan keluhan pertama yang biasanya terjadi pada pasien
PPOK. Batuk bersifat produktif, yang pada awalnya hilang timbul lalu
kemudian berlangsung lama dan sepanjang hari. Batuk disertai
dengan produksi sputum yang pada awalnya sedikit dan mukoid
kemudian berubah menjadi banyak dan purulen seiring dengan
semakin bertambahnya parahnya batuk penderita.
Penderita PPOK juga akan mengeluhkan sesak yang berlangsung
lama, sepanjang hari, tidak hanya pada malam hari, dan tidak pernah
hilang sama sekali, hal ini menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas
yang

menetap. Keluhan

sesak

inilah

yang

biasanya

membawa

penderita PPOK berobat ke rumah sakit. Sesak dirasakan memberat


saat melakukan aktifitas dan pada saat mengalami eksaserbasi akut.
Gejala-gejala PPOK eksaserbasi akut meliputi:
1.
2.
3.
4.

Batuk bertambah berat


Produksi sputum bertambah
Sputum berubah warna
Sesak nafas bertambah berat
8

5. Bertambahnya keterbatasan aktifitas


6. Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis
7. Penurunan kesadaran
PATOFISIOLOGI
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri
dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah
proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah
peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah,
sedangkan

perfusi

adalah

distribusi

darah

yang

sudah

teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu


gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa
perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering
dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV),
sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi
paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP)
(Sherwood, 2001), dalam Setiono W (2014).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponenkomponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan

atau

disfungsional

serta

metaplasia. Perubahan-

perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu


sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran
napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme
penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan
yang

menyebabkan

edema

jaringan. Proses

ventilasi

terutama

ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang


memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara
9

progresif

merusak

struktur-struktur

penunjang

di

paru. Akibat

hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka


ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi
karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru
secara

pasif

setelah

inspirasi. Dengan

demikian,

apabila

tidak

terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan
saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan
berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada
PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi
makrofag untuk melepaskan

Neutrophil Chemotactic Factors dan

elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi


kerusakan jaringan (Kamangar,

2010). Selama

eksaserbasi

akut,

terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan


ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya
inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi
mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada
arteriol (Chojnowski, 2003), dalam Setiono W (2014).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat
menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah
terinfeksi.Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan
struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol
yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang
berlebihan oleh leukosit dan polusidan asap rokok (Khairani 2014).
A. PATHWAY

10

Setiono W (2014)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan rutin
a. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan
atau VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk

menilai

beratnya

PPOK

dan

memantau

perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti

harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%


Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak
ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20%
nilai awal dan < 200 ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
11

b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
2. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a. Faal paru
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
DLCO menurun pada emfisema
Raw meningkat pada bronkitis kronik
Sgaw meningkat
Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b. Uji latih kardiopulmoner
Sepeda statis (ergocycle)
Jentera (treadmill)
Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
d. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pasca bronkodilator >
20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
e. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
Gagal napas kronik stabil
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f. Radiologi
CT - Scan resolusi tinggi

12

Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat


emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks
polos
Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung

yang

ditandai

oleh

Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.


h. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
i. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1

rendah

pada

emfisema

herediter

(emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang


ditemukan di Indonesia.
KOMPLIKASI
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari
55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya
klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan
pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda
yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines,
tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa.Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas
dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus

diobservasi

terutama
13

pada

klien

dengan

dyspnea

berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis


kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami
masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit

ini

sangat

berat,

potensial

mengancam

kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang


biasa diberikan.Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat.
PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak
hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam

melaksanakan

aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat
dideteksi lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK
berikut:
1. Meniadakan

faktor

pada usia lanjut

etiologi/presipitasi,

adalah
misalnya

menghentikan merokok, menghindari polusi udara.


2. Membersihkan
sekresi
bronkus
dengan

sebagai
segera

pertolongan

berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada
infeksi antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba
harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai
hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat

bronkodilator.

Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi


(bronkospasme) masih kontroversial.
5. Pengobatan simtomatik.
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus
diberikan dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.
Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
14

1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran


secret bronkus.
2. Latihan pernapasan,

untuk

melatih

penderita

agar

bisa

melakukan pernapasan yang paling efektif.


3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk
memulihkan kesegaran jasmani.
4. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap
penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula
Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)
1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi
udara
2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S.
Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau
eritromisin

40.56/hari

Augmentin

(amoksilin

dan

asam

klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya


adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B.
Laktamase

Pemberiam

antibiotik

seperti

kotrimaksasol,

amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami


eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun
hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila
terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka
dianjurkan antibiotik yang kuat.
b. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan
karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap
CO2
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum
dengan baik.
d. Bronkodilator,

untuk

mengatasi

obstruksi

jalan

napas,

termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan anti


kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan
atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan
nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang di lakukan :

15

a.

Antibiotik
ampisilin

untuk

kemoterapi

preventif

jangka

panjang,

40,25-0,5/hari

dapat

menurunkan

kejadian

eksaserbasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung

tingkat

reversibilitas

obstruksi

saluran napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini


dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi
4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
5. Mukolitik dan ekspektoran
6. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal
napas tipe II dengan PaO2 (7,3Pa (55 MMHg)
7. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui

kesulitan

bekerja,

merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi


agar terhindar dari depresi.
C. METODE PERNAPASAN PURSED LIPS
Pernapasan pursed-lip dapat membantu mengontrol jumlah pernafasan (rate respirasi)
dan napas pendek. Membantu memasukkan udara ke dalam paru dengan demikian
menyertakan energi untuk bernapas. Manuver ini akan membantu mengontrol dan
juga akan membantu lebih mudah beraktifitas. Tujuan nafas dalam adalah untuk
mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efektif,pernapasan pursed lips dapat
meningkatkan volume ekspirasi akhir dan meningkatkan inspirasi akhir. bahwa
pernapasan Pursed lips memperlambat laju pernapasan, dan mengurangi penurunan
tekanan resistif di saluran udara, sehingga mengurangi penyempitan saluran napas
selama ekspirasi ang dapat menurunkan dipsnea, latihan pernapasan pursed lips untuk
pasien PPOK akan merangsang pola pernapasan lambat dan lebih baik dilakukan saat
istirahat.
Teknik latihan pernapasan pursed lips breathing untuk memperbaiki ventilasi
dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Latihan pernapasan umumnya
dilakukan 20-30 menit perhari (sekaligus atau 2x sehari) dengan frekuensi minimal 3x
perminggu selama 4-12 minggu.
Pernapasan pursed lips breathing dilakukan dengan cara penderita duduk dan
bernafas dengan cara menghembuskan melalui mulut yang hampir tertutup (seperti
bersiul) selama 4-6 detik. Cara itu diharapkan dapat menimbulkan tekanan saat
ekspirasi sehingga aliran udara melambat dan meningkatkan tekanan dalam rongga
16

perut yang diteruskan sampai bronkioli sehingga kolaps saluran nafas saat ekspirasi
dapat dicegah. Pernapasan pursed lips breathing ternyata dapat memperbaiki
pertukaran gas yang dapat dilihat dengan membaiknya saturasi oksigen arteri. Purselips breathing juga memperbaiki pola nafas dan meningkatkan volume tidal. Selain
itu, pursed-lips breathing bertujuan memberikan manfaat subjektif pada penderita
yaitu mengurangi sesak, rasa cemas dan tegang karena sesak.

Pursed lips breathing


1. menarik napas (inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung (bukan
menarik napas dalam) dengan mulut tertutup
2. kemudian mengeluarkan napas (ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut dengan
posisi seperti bersiul
3. PLB dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selama ekspirasi
4. Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang mengalir melalui hidung
D. TRUE EXPERIMENT
Dikatakan true experiment (eksperimen yang sebenarnya/betul-betul) karena dalam
desain ini peneliti dapat mengontrol semua variabel luar yang mempengaruhi jalannya
eksperimen. Dengan demikian validitas internal (kualitas pelaksanaan rancangan
penelitian) dapat menjadi tinggi. Ciri utama dari true experimental adalah bahwa,
sampel yang digunakan untuk eksperimen maupun sebagai kelompok kontrol diambil
secara random (acak) dari populasi tertentu. Jadi cirinya adalah adanya kelompok
kontrol dan sampel yang dipilih secara rando.

17

DAFTAR PUSTAKA
Alimul, A. (2007), Metode Penelitian Penulisan Ilmiah, Jakarta: Salemba Medika.
Notoadmodjo, S. (2005) Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Nursalam, (2003) Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan,
Jakarta: Salemba Medika.
http://www.spektrumonline.bpn-ismki.org/2014/05/latihan-pernapasan-kunciutama.html
http://hedisasrawan.blogspot.co.id/2014/01/kapasitas-paru-paru-pada-manusiamateri.html
http://www.klikparu.com/2013/02/penyakit-paru-obstruktif-kronik-ppok.html
http://jatiarsoeko.blogspot.co.id/2012/04/nafas-dalam-dan-batuk-efektif.html

18

Anda mungkin juga menyukai