Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuli mendadak (sudden hearing loss) didefiniskan sebagai tuli yang terjadi
secara tiba-tiba, berlangsung selama lebih dari 72 jam, biasanya terjadi pada satu
telinga, dengan penyebabnya tidak dapat langsung diketahui. Bangun dengan
penurunan pendengaran, tuli progresif dalam beberapa hari, tuli pada frekuensi
rendah atau tinggi, atau perbedaan persepsi pendengaran termasuk dalam tuli
mendadak. Kriteria umum yang digunakan adalah penurunan pendengaran
sensorineural 30 dB atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada
pemeriksaan audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari.6,7
Di Amerika Serikat, kejadian tuli mendadak ditemukan pada 27 per 100.000
orang per tahun dengan rata-rata 66.594 kasus baru per tahun. Distribusi laki-laki dan
perempuan hampir sama. Tuli mendadak dapat ditemukan pada semua kelompok
usia, umumnya pada rentang usia 40-20 tahun, dengan puncak insidensi pada dekade
keenam. Insiden tuli mendadak di poli THT-KL RS. M. Djamil Padang pada satu
tahun terakhir periode Agustus 2010 sampai Agustus 2011 berkisar 37 orang pasien.
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
audiometri. Karakteristik tambahan dapat berupa vertigo, tinitus dan tidak adanya
keterlibatan saraf kranialis.8,9
Tuli mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan yang
memerlukan penanganan segera, walaupun beberapa kepustakaan menyatakan bahwa
tuli mendadak dapat pulih spontan.Angka pemulihan pasien yang tidak mendapat
pengobatan adalah 32-64%, dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Masalah yang
umum ditemukan pada kasus tuli mendadak adalah keterlambatan diagnosis, sehingga
pengobatan

tertunda

yang

akhirnya

menyebabkan

kehilangan

pendengaran

permanent.Oleh sebab itu, penting untuk mengenali dan mendeteksi kelainan ini sejak
dini agar dapat menunjang pemulihan fungsi pendengaran dan meningkatkan kualitas
hidup pasien.10,11

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), kompetensi


dokter umum untuk tuli mendadak adalah 2, artinya lulusan dokter harus mampu
membuat diagnosis klinik dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan. Referat ini akan membahas mengenai tuli mendadak sehingga
dapat ditatalaksana dengan tepat.
I.2. Rumusan Masalah
Referat ini membahas tentang definisi, etiologi, insidensi, patogenesis,
diagnosis, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari Tuli Mendadak.
I.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan referat ini yaitu untuk memahami definisi,
etiologi, insidensi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan
dari Tuli Mendadak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi Telinga
2.1.1. Telinga Luar
Telinga luar atau pinna (aurikula = daun telinga) merupakan gabungan
dari rawan yang diliputi kulit. Kulit dapat terlepas dari rawan di bawahnya
oleh hematoma atau pus, dan rawan yang nekrosis dapat menimbulkan
deformitas kosmetik pada pinna (telinga kembang kol) (Gambar 1).1,2,3,4 Liang
telinga memiliki tulang rawan (pars cartilago) pada bagian lateral namun
bertulang keras (pars osseus) di sebelah medial. Seringkali ada penyempitan
liang telinga pada perbatasan tulang rawan dan tulang keras ini (Gambar 2).
1,2

Gambar 1. Aurikula3

Gambar 2. Sistem auditori periferal dapat dibagi menjadi 3 bagian: telinga luar (biru); telinga
tengah (hijau); telinga dalam (merah). Dan nervus vestibulaokoklearis diwarnai dengan warna
kuning.4

2.1.2 Telinga Tengah


Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu
kotak dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding
anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding
medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membran timpani sehingga kotak
tersebut lebih sempit pada bagian tengah. Membran timpani atau gendang
telinga adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncaknya, umbo,
mengarah ke medial. Membran timpani umumnya bulat. Pada rongga telinga
tengah yaitu epitimpanum yang terdapat korpus maleus dan inkus, meluas
melampaui batas atas membrane timpani, dan bahwa ada bagian
hipotimpanum yang meluas melalui batas bawah membrane timpani. 1,2,4
Membran timpani berbentuk oval dan tipis, tingginya sekitar 2 mm
dari apex sampai ke bawah, luas permukaannya sekitar 85 mm. Membran

timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di
bagian tengah dimana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa bagian
dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas prosessus lateralis maleus dan ini
menyebabkan bagian membrane timpani yang disebut membrane Shrapnell
menjadi lemas (flaksid) (Gambar 3).2,5.

Gambar 3. Membran Timpani1.

Tuba eustakius menghubungkan rongga telinga tengah dengan


nasofaring. Bagian lateral tuba eustakius adalah yang bertulang, sementara
duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani
terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak
di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar
tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriktor superior. Bagian ini
biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum
dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus faringealis dan

saraf mandibularis. Tuba eustacius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan


udara pada kedua sisi membran timpani. 1,2,5.
2.1.3

Telinga Dalam
Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut

sebagai labirin. Terdiri dari labirin membrane dan labirin tulang, labirin
membrane yang terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraseluler dalam
tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin membrane dikelilingi
oleh cairan perilimfe (tinggi natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam
kapsula otika bertulang. Labirin tulang dan membrane memiliki bagian
vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibular (pars superior) berhubungan
dengan keseimbangan, sementara bagian koklearis (pars inferior) merupakan
organ pendengaran (Gambar 4).1,2,4
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah
putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas
saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan
menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai
sel-sel sensorik organ Corti (Gambar 5b). Rongga koklea bertulang dibagi
menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi
endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibule, berisi perilimfe dan dipisahkan
dari duktus koklearis oleh mebran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah
skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus
koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrane basilaris. Perilimfe pada
kedua skala berhubungan apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu
duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema.
Membrane basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada
apeks (nada rendah).2,5

Gambar 4. Potongan axial dari koklea9

B
A

Gambar 5. Gambaran skematik dari (a) Sel rambut koklea; (b) Organ korti4

2.2

Fisiologi Telinga
Ada lima langkah dalam proses mendengar, yaitu hantaran udara sepanjang

telinga luar sampai membrane timpani, hantaran tulang sepanjang telinga tengah
sampai telinga dalam, hantaran air sampai Organ Corti, hantaran saraf menuju otak
dan interpretasi oleh otak. Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi
bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
7

tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke


telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi
getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan
diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada
skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion
terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter
ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di
lobus temporalis.7
2.3.

Definisi
Tuli mendadak atau sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) adalah tuli

yang terjadi secara tiba-tiba, sensorineural, penyebabkan tidak dapat langsung


diketahui, biasanya terjadi pada satu telinga. Tuli mendadak pertama kali
dideskripsikan oleh De Klyen pada Tahun 1944 sebagai penurunan pendengaran
sensorineural 30 dB atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada
pemeriksaan audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari. Kerusakan
terutama terjadi di koklea dan biasanya bersifat permanen, kelainan ini dimasukkan
ke dalam keadaan keadaan darurat neurotologi. Dapat disimpulkan, tuli mendadak
adalah bentuk sensasi subjektif kehilangan pendengaran sensorineural pada satu atau
kedua telinga yang berlangsung secara cepat dalam periode 72 jam, dengan kriteria
audiometri berupa penurunan pendengaran 30 dB sekurang kurangnya pada 3
frekuensi berturut-turut, yang menunjukkan adanya abnormalitas pada koklea, saraf
auditorik, atau pusat persepsi dan pengolahan impuls pada korteks auditorik di otak.

Jika penyebab tuli mendadak tidak dapat diidentifikasi setelah pemeriksaan yang
adekuat, disebut idiopathic sudden sensorineural hearing loss (ISSNHL).6,7,10,12
2.4.

Epidemiologi
Gangguan pendengaran adalah masalah umum di seluruh dunia dan bahkan

lebih bermasalah di negara-negara berkembang. Laporan Departemen Otolaringologi


Universitas Texas melaporkan sekitar 15.000 kasus ISSNHL per tahun di seluruh
dunia, dengan 4000 diantaranya terjadi di Amerika Serikat.

Laporan lain

menunjukkan insidensi tuli mendadak berkisar 5-30 kasus per 100.000 orang per
tahun di dunia. Namun, penelitian dari Jerman telah menunjukkan kejadian tuli
mendadak sebanyak 160 kasus per 100 000 orang per tahun. Di Indonesia, Insiden
tuli mendadak di poli THT-KL RS. M. Djamil Padang pada satu tahun terakhir
periode Agustus 2010 sampai Agustus 2011 berkisar 37 orang pasien.9,12,13
Tuli mendadak dapat mengenai semua golongan usia, walaupun pada beberapa
penelitian, hanya sedikit ditemukan pada anak-anak dan lansia. Puncak insidensi
muncul pada usia 50-an, paling muda pada usia 20-30 tahun, dengan usia rata-rata
sekitar 40-54 tahun. Distribusi antara pria dan wanita terlihat hampir sama.
Berdasarkan data dari beberapa penelitian, menyimpulkan bahwa sekitar 53% pria
terkena tuli mendadak dibandingkan wanita. Namun pada penelitian lain didapatkan
wanita lebih banyak mengalami tuli mendadak. Sehingga diduga jenis kelamin bukan
merupakan suatu faktor risiko yang mempengaruhi kejadian kasus ini. Frekusensi tuli
bilateral adalah 1-2% dari keseluruhan kasus.10,13
2.5.

Etiologi
Etiologi pasti tuli mendadak sampai saat ini masih belum diketahui

(idiopatik). Beberapa kepustakaan menyatakan bahwa mekanisme tersering tuli


mendadak adalah akibat iskemik koklea, infeksi virus dan ruptur membran koklea.
Iskemik koklea menyebabkan berkurang aliran darah ke koklea dan menurunnya
oksigenasi perilimfe, infeksi virus menyebabkan inflamasi pada koklea atau telinga
dalam, sedangkan ruptur membran koklea menyebabkan terjadi hidrops endolimfe.

Mekanisme tersebut memegang peranan penting terhadap patofisiologi tuli


mendadak.6,7
Beberapa faktor risiko tuli mendadak diantaranya penyakit metabolik
(Diabetes), penyakit kardiovaskuler Dislipidemia; hiperkolesterol, hipertrigliserida
dan hiperfibrinogenemia), infeksi virus (Varicela/ Herpes simpleks), psikosoial
(Stress), neoplasma (Neuroma akustik, Cerebellopontin angle tumor), autoimun
(Sindroma Wagener), kelelahan dan sebagainya8,10
2.6

Patofisiologi
Ada beberapa teori utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli

mendadak, yakni infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan membran intrakoklea,


dan kelainan imunologi. Meskipun sampai saat ini masih belum ditemukan bukti
kuat, infeksi virus dianggap sebagai salah satu penyebab tuli mendadak. Sebuah studi
oleh Wilson (1986) menunjukkan adanya hubungan antara infeksi virus dengan
kejadian tuli mendadak. Dalam studi ini, ditemukan tingkat serokonversi untuk virus
herpes secara signifikan lebih tinggi pada populasi pasien tuli mendadak. Pada studi
lain, dilakukan pemeriksaan histopatologi tulang temporal dan ditemukan kerusakan
pada koklea yang konsisten dengan infeksi virus. Terdapat pula temuan lain, seperti
hilangnya sel rambut dan sel penyokong, atrofi membran tektoria, atrofi stria
vaskularis, dan hilangnya sel neuron, yang berhubungan dengan mumps virus,
maternal rubella, dan virus campak.15,7,8
Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak. Koklea
memperoleh asupan darah dari arteri labirintin atau arteri auditiva interna. Pembuluh
darah ini merupakan end artery yang tidak memiliki vaskularisasi kolateral, sehingga
jika terganggu dapat mengakibatkan kerusakan koklea. Kelainan yang menyebabkan
iskemia koklea atau oklusi pembuluh darahseperti trombosis atau embolus,
vasospasme, atau berkurangnya aliran darahdapat mengakibatkan degenerasi luas
sel ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis yang diikuti pembentukan jaringan
ikat dan penulangan.7,15

10

Teori kerusakan membran intrakoklea menyebutkan terdapat membran tipis


yang memisahkan telinga dalam dari telinga tengah dan ada membran halus yang
memisahkan ruang perilimfe dengan endolimfe dalam koklea. Robekan salah satu
atau kedua membran tersebut secara teoretis dapat menyebabkan tuli sensorineural.
Kebocoran cairan perilimfe ke dalam telinga tengah melalui tingkap bundar dan
tingkap lonjong dapat menyebabkan ketulian dengan membentuk hidrops endolimfe
relatif atau menyebabkan robeknya membran intrakoklea. Robekan membran
intrakoklea memungkinkan terjadinya percampuran perilimfe dan endolimfe sehingga
mengubah potensial endokoklea. Teori ini diakui oleh Simmons, Goodhill, dan
Harris, dengan pembuktian histologi yang didokumentasikan oleh Gussen.7,8
Sebuah studi oleh Chung

menunjukkan bahwa anemia defisiensi besi

meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural mendadak. Pada


penelitiannya, yang melibatkan sekitar 4000 orang dengan gangguan pendengaran
sensorineural mendadak dan sekitar 12.000 kontrol, ditemukan bahwa 4,3% dari
kelompok dengan gangguan pendengaran, sebelumnya telah didiagnosis dengan
anemia defisiensi besi, dibandingkan dengan 3,0% dari kelompok kontrol. Hubungan
antara gangguan pendengaran dan anemia tampaknya tertinggi padausia 44 tahun atau
lebih muda.8,9
Tuli sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun diperkenalkan oleh
McCabe pada tahun 1979. Pada kondisi ini, ditemukan adanya kehilangan
pendengaran progresif. Adanya aktivitas imun pada koklea mendukung konsep teori
ini. Gangguan pendengaran pada sindrom Cogan, SLE, dan kelainan reumatik
autoimun lainnya telah lama diketahui. Sebagai pendukung lain teori ini, terdapat
sebuah studi prospektif pada 51 pasien tuli mendadak dan ditemukan beberapa
kelainan

yang

berkaitan

dengan

sistem

imun

(multiple

immune-mediated

disorders).8,12
Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan bereaksi dengan DNA, protein,
dengan rasio molekul-molekul, reseptor permukaan sel, dan memecah membran lipid.
ROS yang dihasilkan oleh mitokondria menginduksi peroksidasi lipid dalam koklea
11

melalui pembentukan malondialdehid dan 4-hydroxynonenal menyebabkan apotosis


sel koklea. Selain apoptosis, ROS juga menyebabkan peradangan, dan produksi
sitokin interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF). Kehadiran vasoaktif
peroksidasi lipid produk seperti isoprostanes berpotensi juga menyebabkan
berkurangnya aliran darah koklea. Ekspresi nicotinamide adenine dinucleotide
phosphate (NADPH) oksidase, yang merupakan komponen utama dalam sel
antioxidation sistem, diubah dalam HCs dan mengurangi HC dalam koklea. 17,19
2.7

Gejala Klinis
Keluhan pasien pada umumnya berupa hilangnya pendengaran pada satu sisi

telinga saat bangun tidur. Sebagian besar kasus bersifat unilateral, hanya 1-2% kasus
bilateral. Kejadian hilangnya pendengaran dapat bersifat tiba-tiba, berangsur-angsur
hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan progresif. Kehilangan pendengaran
bisa bersifat fluktuatif, tetapi sebagian besar bersifat stabil. Tuli mendadak ini sering
disertai dengan keluhan sensasi penuh pada telinga dengan atau tanpa tinitus;
terkadang didahului oleh timbulnya tinitus.4 Selain itu, pada 28-57% pasien dapat
ditemukan gangguan vestibular, seperti vertigo atau disequilibrium.14,16
2.8

Diagnosis
Menurut Panduan AAO-HNS (American Academy of Otolaryngology-Head

and Neck Surgery), langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah membedakan
tuli sensorineural dan tuli konduktif melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes penala,
pemeriksaan audiometri, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Ketulian atau hearing
loss diklasifikasikan menjadi tuli konduktif, tuli sensorineural, atau campuran. Tuli
konduktif disebabkan oleh abnormalitas telinga luar, membran timpani, rongga udara
telinga tengah, atau tulang pendengaran, struktur yang menghantarkan gelombang
suara ke koklea. Sementara itu, tuli sensorineural disebabkan oleh adanya
abnormalitas koklea, saraf auditorik, dan struktur lain yang mengolah impuls neural

12

ke korteks auditorik di otak. Tuli konduktif dan tuli sensorineural memerlukan


penanganan yang sangat berbeda. 7,16
Pada anamnesis ditanyakan onset dan proses terjadinya ketulian (berlangsung
tiba-tiba, progresif cepat atau lambat, fluktuatif, atau stabil), persepsi subjektif pasien
mengenai derajat ketulian, serta sifat ketulian (unilateral atau bilateral). Selain itu,
ditanyakan juga gejala yang menyertai seperti sensasi penuh pada telinga, tinitus,
vertigo, disequilibrium, otalgia, otorea, nyeri kepala, keluhan neurologis, dan keluhan
sistemik lainnya. Riwayat trauma, konsumsi obat-obat ototoksik, operasi dan
penyakit sebelumnya, pekerjaan dan pajanan terhadap kebisingan, serta faktor
predisposisi lain yang penting juga perlu ditanyakan.7,14,16,
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan inspeksi saluran telinga dan membran
timpani untuk membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural. Penyebab tuli
konduktif berupa impaksi serumen, otitis media, benda asing, perforasi membran
timpani, otitis eksterna yang menyebabkan edema saluran telinga, otosklerosis,
trauma, dan kolesteatoma. Sebagian besar kondisi ini dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan otoskopi. Di lain pihak, pemeriksaan otoskopi pada pasien tuli
sensorineural hampir selalu mendapatkan hasil normal. Pemeriksaan fisik umum dan
pemeriksaan neurologis juga dilakukan, terutama pada pasien dengan tuli mendadak
bilateral, tuli mendadak dengan episode rekuren, dan tuli mendadak dengan defisit
neurologis fokal, untuk mencari kelainan serta penyakit penyerta lainnya.6,14,16
Selain itu, Pemeriksaan hum test dan tes penala dilakukan untuk membantu
klinisi membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural sebelum dilakukan
pemeriksaan audiometri. Pada hum test, pasien diminta bersenandung dan kemudian
memberitahu apakah suara didengar lebih keras di satu telinga atau sama di
keduanya. Pada tuli konduktif, suara akan terdengar lebih keras pada telinga yang
sakit, sebaliknya pada tuli sensorineural suara akan terdengar lebih keras pada telinga
yang sehat.16,17
Menurut panduan AAO-HNS, tes penala dapat digunakan untuk konfirmasi
temuan audiometri. Tes penala berupa tes Weber dan tes Rinne dilakukan dengan alat
13

bantu garpu tala 256 Hz atau 512 Hz juga melihat ada tidaknya lateralisasi ke salah
satu sisi telinga. Pemeriksaan audiometri lengkap, termasuk audiometri nada murni,
audiometri tutur (speech audiometry) dan audiometri impedans (timpanometri dan
pemeriksaan refleks akustik), merupakan pemeriksaan yang wajib dilakukan dalam
mendiagnosis tuli mendadak. Hal ini sesuai dengan salah satu kriteria defi nisi tuli
mendadak menurut NIDCD 2003, yakni terdapat penurunan pendengaran 30 dB
sekurang-kurangnya

pada

frekuensi

berturut-turut

pada

pemeriksaan

audiometri.6,16,17
Pemeriksaan audiometri diperlukan untuk membuktikan ketulian dan
menentukan derajat penurunan pendengaran. Hantaran tulang dan hantaran udara
dalam audiometri nada murni membantu menentukan jenis ketulian, baik tuli
konduktif, tuli sensorineural, maupun tuli campuran. Audiometri tutur dapat
digunakan untuk memverifikasi hasil audiometri nada murni. Timpanometri dan
pemeriksaan refleks akustik juga dapat membedakan tuli konduktif dan tuli
sensorineural serta memberikan petunjuk tambahan untuk etiologi. Timpanometri
dapat membantu dalam mengeksklusi kemungkinan adanya komponen konduktif
pada pasien dengan penurunan pendengaran sangat berat.10,14
Pemeriksaan laboratorium dilakukan berdasarkan keluhan dan riwayat pasien
serta kemungkinan etiologi. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak spesifik
direkomendasikan sebab jarang terbukti membantu menentukan etiologi tuli
mendadak. Pemeriksaan auditory brainstem response (ABR) dapat memberikan
informasi tambahan mengenai sistem auditorik, mengevaluasi kemungkinan etiologi
retrokoklea dan dapat digunakan untuk menetapkan ambang batas pendengaran pada
pasien yang sulit diperiksa, seperti anak-anak, orang tua, dan malingerers.
Pemeriksaan ABR memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi lesi retrokoklea,
tetapi terbatas hanya untuk mendeteksi vestibular schwannoma yang berukuran lebih
dari 1 cm. Sensitivitas ABR untuk mendeteksi vestibular schwannoma ukuran kecil
sekitar 8-42%1; saat ini menurun bila dibandingkan dengan akurasi diagnostik
pencitraan resonansi magnetik (MRI).6,14,15
14

Pemeriksaan MRI merupakan baku emas diagnosis vestibular schwannoma.


Pemeriksaan MRI dengan Gadolinium dinilai memiliki sensitivitas tinggi dan
digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan abnormalitas retrokoklea, seperti
neoplasma, stroke, atau penyakit demielinisasi. Pada pasien dengan alat pacu jantung,
implan logam, dan klaustrofobia, yang menjadi kontraindikasi pemeriksaan MRI,
dapat dilakukan alternatif lain berupa pemeriksaan tomografi komputer (CT Scan),
pemeriksaan ABR, atau keduanya; kedua pemeriksaan ini memiliki sensitivitas lebih
rendah dibandingkan MRI dalam mendeteksi kelainan retrokoklea.6,16
2.9

Diagnosis Banding

Tabel 1. Diagnosis Banding Tuli Mendadak.

2.10

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dapat lebih fokus jika penyebab tuli mendadak diketahui.

Penatalaksanaan dapat dilakukan secara konservatif ataupun tindakan pembedahan.


Penatalaksanaan

secara

konservatif

medikamentosa,

steroid

intratimpani,

dengan

beberapa

karbogen,

dan

modalitas
oksigen

meliputi
hiperbarik.

15

Medikamentosa meliputi antiinflamasi, antiviral, dan vasodilator. Antiviral tidak


menjadi pengobatan yang wajib diberikan kecuali jika penyebabnya diketahui adalah
virus.15,18
Kortikosteroid dapat diberikan secara oral maupun intratimpani. Salah satu
penelitian menyatakan bahwa terapi steroid dapat memodifikasi inflamasi kematian
sel pada kejadian tuli mendadak. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek
antiinflamasi dan kemampuan dalam meningkatkan aliran darah ke koklea. Sebuah
studi RCT membandingkan penggunaan steroid dengan placebo pada tatalaksana
sudden deafness didapatkan perbaikan lebih signifikan pada penggunaan steroid.
Tappering off kortikosteroid oral merupakan standar pengobatan sudden deafness.
Efek samping kortikosteroid diantaranya perdarahan, hipertensi, katarak, miopati,
osteoporosis, dan lain-lain.12,13
Untuk hasil pengobatan yang maksimal, dosis terapi prednison oral yang
direkomendasikan adalah 1 mg/kg/hari dosis tunggal dengan dosis maksimum 60
mg/hari selama 10-14 hari. Dosis ekuivalen prednison 60 mg setara dengan
metilprednisolon 48 mg dan deksametason 10 mg. Sebuah data yang representatif
menggunakan regimen pengobatan dengan dosis maksimum selama 4 hari diikuti
tapering off 10 mg setiap dua hari. Beberapa pustaka menyebutkan penggunaan
kortikosteroid dosis tinggi (250 mg prednisone) meningkatkan recovery pendengaran
sebesar 95% pada tuli pendengaran ringan, 50% pada tuli derajat sedang, dan 48%
pada tuli derajat berat. Pemberian steroid dosis tinggi pada pasien dengan penyakit
sistemik seperti diabetes, hipertensi dan dislipidemia memerlukan pemahaman
mengenai farmakologi dan interaksi obat terhadap kombinasi obat yang digunakan
mengingat efek samping yang tidak diinginkan. Salah satunya yaitu pemberian
steroid dosis tinggi pada pasien DM yang merupakan kontrainsikasi relatif karena
efek glukokortikoidnya yang menyebabkan hiperglikemia. Oleh karena itu pemberian
steroid pada pasien DM harus melalui pengawasan khusus untuk menjaga kadar gula
darah dalam batas stabil. Teknik pengawasan ini diantaranya berupa kontrol secara
klinis dan laboratorium berkala gula darah pasien.6,8,9
16

Terapi kortikosteroid intratimpani direkomendasikan sebagai pengganti terapi


kortikosteroid sistemik pada pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan
kortikosteroid sistemik. Keuntungan terapi kortikosteroid intratimpani adalah
memberikan steroid konsentrasi tinggi langsung pada jaringan target (perilimfe)
dengan efek samping sistemik minimal. Sebuah studi mengenai terapi kombinasi
kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan kortikosteroid intratimpani menunjukkan
hasil perbaikan fungsi pendengaran secara signifikan. Steroid intratimpani yang biasa
diberikan adalah deksametason atau metilprednisolon. Efek samping terapi
intratimpani yang harus diantisipasi adalah efek lokal, seperti otalgia, dizziness,
vertigo, perforasi membran timpani, atau infeksi (otitis media).8,9
Terapi oksigen hiperbarik dapat dijadikan sebagai terapi tambahan dalam
kasus sudden deafness. Terapi ini berprinsip memberikan oksigen 100% dengan
tekanan lebih dari 1 ATA (atmosphere absolute). Tujuan terapi oksigen hiperbarik
adlaah meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat
menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan,
terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan inkemik. Menurut panduan
AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu hingga 3
bulan dari saat diagnosis tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan respons lebih
baik dibandingkan pasien yang lebih tua (usia bervariasi antara 50-60 tahun). Hal
penting yang perlu dipertimbangkan dalam terapi oksigen hiperbarik ini adalah
manfaat dan risiko efek samping. Terapi ini memiliki efek samping berupa kerusakan
pada telinga, sinus, dan paru akibat perubahan tekanan, myopia yang memburuk
sementara, klaustrofobia, dan keracunan oksigen.6,18
Hemodilusi pada penatalaksanaan tuli mendadak bertujuan untuk menurunkan
viskositas darah sehingga memperbaiki aliran darah ke koklea. Terdapat variasi jenis
dan metode pemberian hemodilusi, salah satu diantaranya yaitu pentoksifilin yang
diberikan dengan dosis 300 mg selama 3 jam, 2 kali sehari selama 10 hari. Namun
kepustakaan menyatakan tidak ada perbedaan signifikan dari berbagai jenis dan
metode pemberian hemodilusi terhadap keberhasilan terapi. Pada kasus ini
17

pentoksifilin diberikan dengan dosis 300 mg dalam cairan infus Ringer Laktat selama
8 jam, tiga kali sehari selama 7 hari dilanjutkan denga pentoksifilin oral selama 7
hari. 13,16
Vasodilator pada tuli mendadak bertujuan meningkatkan aliran darah ke
koklea dan mencegah hipoksia. Salah satu jenis vasodilator adalah terapi inhalasi
karbogen yaitu oksigen 95% dan karbondioksida 5%. Teknik ini telah diperkenalkan
sejak tahun 2000, dimana kombinasi terapi klasik dengan teknik inhalasi Karbogen
akan memberikan peningkatan pendengaran lebih baik pada tuli mendadak. Teknik
ini lebih diindikasikan untuk tuli mendadak yang gagal dengan terapi konservatif.8,9,13
Vitamin B kompleks (B1, B6, B12), Vitamin C, dan mineral serta preparat
herbal adalah sebagai adjuvan. Gingko biloba merupakan preparat herbal
gingkoflavon glikosida yang berperan sebagai vasodilator sentral dan perifer. Dosis
gingko biloba 120-480 mg perhari, dapat diberikan selama 2 sampai 3 bulan.
Beberapa literatur juga ada yang memberikan vitamin E yang berfungsi sebagai
antioksidan terhadap radikal bebas sehingga mencegah kerusakan koklea lebih lanjut.
Vitamin E dapat diberikan dengan dosis 2 x 600 mg perhari selama 1 sampai 2 bulan.
Sedangkan pemberian diuretik diindikasikan untuk tuli mendadak yang dicurigai
akibat ruptur membran koklea.16,17 Penatalaksaan tuli mendadak di RSUP dr
Mohammad Hoesin tertera pada Lampiran 1.
Evaluasi fungsi pendengaran dilakukan setiap satu minggu selama satu bulan.
Definisi perbaikan pendengaran pada tuli mendadak adalah sebagai berikut:

Sangat baik, apabila perbaikan lebih dari 30 dB pada 5 frekuensi.

Sembuh, apabila perbaikan ambang pendengaran kurang dari 30 dB pada


frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan di bawah 25 dB pada
frekuensi 4000 Hz.

Baik, apabila bila rerata perbaikan 10-30 dB pada 5 frekuensi.

Tidak ada perbaikan, apabila terdapat perbaikan kurang dari 10 dB pada 5


frekuensi.

18

Bila gangguan pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan di atas, dapat


dipertimbangkan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Apabila dengan alat
bantu dengar masih belum dapat berkomunikasi secara adekuat maka perlu dilakukan
psikoterapi dengan tujuan agar pasien dapat menerima keadaan.7,8
2.11

Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu usia, derajat

gangguan pendengaran, metode pengobatan yang digunakan, saat memulai


pengobatan, ada tidaknya gejala vestibular, dan faktor predisposisi lainnya. Usia
lanjut, gangguan pendengaran sangat berat, dan adanya gejala vestibular subjektif
dikaitkan dengan rendahnya tingkat kesembuhan. Usia lanjut, hipertensi, diabetes,
dan hiperlipidemia berkaitan dengan disfungsi mikrovaskuler di koklea, yang
merupakan faktor prognosis buruk.13,15

19

BAB III
KESIMPULAN
Tuli mendadak (sudden hearing loss) didefiniskan sebagai tuli yang terjadi
secara tiba-tiba, berlangsung selama lebih dari 72 jam, biasanya terjadi pada satu
telinga, dengan penyebabnya tidak dapat langsung diketahui. Tuli mendadak
dimasukkan ke dalam keadaan darurat otologi, oleh karena kerusakannya terutama di
daerah koklea dan biasanya bersifat permanen walaupun bisa kembali normal atau
mendekati normal.
Etiologi pasti tuli mendadak sampai saat ini masih belum diketahui
(idiopatik). Beberapa kepustakaan menyatakan bahwa mekanisme tersering tuli
mendadak adalah akibat iskemik koklea, infeksi virus dan ruptur membran koklea.
Terdapat beberapa faktor risiko tuli mendadak diantaranya penyakit metabolik
(Diabetes), penyakit kardiovaskuler, dislipidemia, hiperkolesterol, hipertrigliserida
dan hiperfibrinogenemia, infeksi virus (Varicela/ Herpes simpleks), psikosoial
(Stress), neoplasma (Neuroma akustik, Cerebellopontin angle tumor), autoimun
(Sindroma Wagener), kelelahan dan sebagainya.
Gejala klinis tuli mendadak berupa hilangnya pendengaran pada satu sisi
telinga saat bangun tidur, dapat unilateral atau bilateral. Kejadian dapat bersifat tibatiba, berangsur-angsur hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan progresif.
Penyakit ini sering disertai dengan keluhan sensasi penuh pada telinga dengan atau
tanpa tinitus.Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu telinga,
dapat disertai dengan tinnitus dan vertigo.Pada iskemia koklea, tuli dapat bersifat
mendadak atau menahun secara tidak jelas. Selain itu, pada 28-57% pasien dapat
ditemukan gangguan vestibular, seperti vertigo atau disequilibrium.
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis mengenai proses
terjadinya ketulian, gejala yang menyertai, serta faktor predisposisi penting untuk
mengarahkan diagnosis, pemeriksaan fisik, audiometri, laboratorium serta pemeriksaan

20

penunjang lainnya. Karakteristik tambahan dapat berupa vertigo, tinitus dan tidak
adanya keterlibatan saraf kranialis.
Terapi yang dilakukan antara lain pemberian kortikosteroid sistemik,
kortikosteroid intratimpani, terapi oksigen hiperbarik, terapi hemodilusi, vasodilator
dan pemberian vitamin. Kemudian dilakukan evaluasi fungsi pendengaran setiap satu
minggu selama satu bulan.

Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu usia, derajat
gangguan pendengaran, metode pengobatan yang digunakan, saat memulai
pengobatan, ada tidaknya gejala vestibular, dan faktor predisposisi lainnya. Usia
lanjut, gangguan pendengaran sangat berat, dan adanya gejala vestibular subjektif
dikaitkan dengan rendahnya tingkat kesembuhan. Usia lanjut, hipertensi, diabetes,
dan hiperlipidemia berkaitan dengan disfungsi mikrovaskuler di koklea, yang
merupakan faktor prognosis buruk.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Moller AR. Hearing Impairment. Hearing: Anatomy, Physiology, and Disorders
of The Auditory System. 2nd Ed. Texas: Elsevier; 2000. p 234-5
2. Liston, Stephen L, Duvall, Arndt J. 1997. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi
Telinga, Chapter 2 pada Adams, George L., MD., Boies, Lawrence R., Jr., MD.,
Higler, Peter A., MD.; alih bahasa, Caroline Wijaya; editor, Harjanto Efendi;
Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6.
Jakarta : EGC. Pp 30-38.
3. Kahle W, Frotscher M. Nervous System and Sensory Organs, Volume3. In: Color
Atlas and Textbook of Human Anatomy. 5th revised edition. New York: Thieme;
2003. pp 361-382.
4. Probst R. Ear: Anatomy and physiology of the ear, Anatomy and function of the
cochlea. In: Probs R, Grevers G, Iro H, editors. Basic Otorhino-laryngology.
New York: Thieme; 2006. p 153, 160-1
5. Netter H.F, Craig A.J, Perkins J. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology.
USA: Icon Custom Communications. 2002.
6. Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR, Barrs
DM, Brown SR, Fife TD, Ford P, Ganiats TG, Hollingsworth DB. Clinical
practice guideline sudden hearing loss. Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
2012 Mar 1;146(3 suppl):S1-35.
7. Bashiruddin J, Soetirto I. Tuli mendadak. di: Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.
8. Egli Gallo D, Khojasteh E, Gloor M, Hegemann SC. Effectiveness of systemic
high-dose dexamethasone therapy for idiopathic sudden sensorineural hearing
loss. Audiology and Neurotology. 2013 Feb 27;18(3):p161-70.
9. Hidayat H, Edward Y, Hilbertina N. Gambaran Pasien Tuli Mendadak di Bagian
THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016 Aug
11;p1-12.

22

10. Alexander TH, Harris JP. Incidence of sudden sensorineural hearing loss.
Otology & Neurotology. 2013 Dec 1;34(9): p.1586-9.
11. Handzel O, Ben-Ari O, Damian D, Priel MM, Cohen J, Himmelfarb M.
Smartphone-based hearing test as an aid in the initial evaluation of unilateral
sudden sensorineural hearing loss. Audiology and Neurotology. 2013 May
14;18(4):p201-7.
12. Schreiber, Benjamin E., et al. Sudden sensorineural hearing loss. The Lancet
2010;375: p.1203-11.
13. Salahaldin, A. H., et al. Management of idiopathic sudden sensorineural hearing
loss: experience in newly developing Qatar. The international tinnitus
journal.10.2; 2004: p165-9.
14. Cummings CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA, Robbins
KT, et al. Cummings otolaryngology head and neck surgery. 4th Ed.
Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005.
15. Bailey BJ, Johnson JT. Head and neck surgery-otolaryngology. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
16. Rauch SD. Clinical practice: Idiopathic sudden sensorineural hearing loss. N
Engl J Med. 2008;359:833-40.
17. National Institute of Deafness and Communication Disorders. Sudden Deafness.
2003. http://www.nidcd.nih.gov/health/hearing/Pages/sudden.aspx. [sitasi tanggal
1 Desember 2016]
18. Korpinar S, Alkan Z, Yigit O, Gor AP, Toklu AS, Cakir B, et al. Factors infl
uencing the outcome of idiopathic sudden sensorineural hearing loss treated
with hyperbaric oxygen therapy. EurArch Otorhinolaryngol. 2011;268(1):41-7.
19. Wong, Ann CY, and Allen F. Ryan. Mechanisms of sensorineural cell damage,

death and survival in the cochlea. Front. Aging Neurosci; 2015(7:58): p1-15.

23

Anda mungkin juga menyukai