Anda di halaman 1dari 18

KONSEP MEDIS

GAGAL NAPAS AKUT


I.
A.

LANDASAN TEORI
PENGERTIAN

Gagal napas akut adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia,
hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis (Corwin, 2009).
Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang mendadak dan
mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon dioksida dan oksigen yang tidak adekuat
(Morton, 2011).
Urden, Stacy dan Lough mendifinisikan gagal napas akut sebagai suatu keadaan klinis yaitu
sistem pulmonal tidak mampu mempertahankan pertukaran gas yang adekuat (Chang, 2009).
Gagal nafas adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia
(peningkatan konsentrasi karbondioksida arteri) dan asidosis.
B.

ANATOMI DAN FISIOLOGI

1.

Saluran Nafas Bagian Atas

a.

Rongga hidung

Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :

Dihangatkan

Disaring

Dan dilembabkan

Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi ( terdiri dari : Psedostrafied
ciliated columnar epiteliumyang berfungsi menggerakkan partikel partikel halus kearah
faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan kelenjar
serous yang berfungsi melembabkan udara yang masuk, pembuluh darah yang berfungsi
menghangatkan udara). Ketiga hal tersebut dibantu dengan concha. Kemudian udara akan
diteruskan ke
b.

Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsildan Tuba Eustachius)

c.

Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal lidah)

d.

Laringofaring(terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan)

e.

Laring
Terdiri dari tiga struktur yang penting

Tulang rawan krikoid

Selaput/pita suara

Epilotis

Glotis

2.

Saluran Nafas Bagian Bawah

a.

Trakhea

Merupakan pipa silider dengan panjang 11 cm, berbentuk cincin tulang rawan
seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan oleh membran fibroelasticmenempel pada
dinding depan usofagus.
b.

Bronkhi

Merupakan

percabangan trakhea kanan

disebut carina.Brochus kanan

lebih

dan
pendek,

kiri. Tempat
lebar

percabangan
dan

lebih

ini
dekat

dengan trachea.Bronchuskanan bercabang menjadi : lobus superior, medius, inferior.


Brochuskiri terdiri dari : lobus superior dan inferior
c.

Paru

Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan
rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua
bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri
(pulmo sinister)yang terdiri atas 2 lobus.
Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang
langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan selaput yang
menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura
parietalis).Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang
berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang masuk
secara eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat lain.
Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Paru-paru
berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat lebar untuk
pertukaran gas.
Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter 1 mm,
dindingnya makin menipis jika dibanding dengan bronkus. Bronkiolus ini memiliki
gelembung-gelembung halus yang disebut alveolus. Bronkiolus memiliki dinding yang tipis,
tidak bertulang rawan, dan tidak bersilia.
Gas memakai tekanannya sendiri sesuai dengan persentasenya dalam campuran, terlepas dari
keberadaan gas lain (hukum Dalton). Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi
rongganya masih mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk

kubus bersilia. Pada bagian distal kemungkinan tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada
gugus kantung udara (alveolus).
Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu sisinya
terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon. Oleh karena alveolus berselaput
tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya difusi gas
pernapasan.
Merupakan jalinan atau susunan bronhus bronkhiolus, bronkhiolus terminalis,bronkhiolus
respiratoty, alveoli, sirkulasi paru, syaraf, sistem limfatik.
d.

Alveoli

Terdiri dari : membran alveolar dan ruang interstisial.


Membran alveolar :

Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah rongga alveoli

Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang menghasilkan surfactant.

Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri yang saling berhubungan

langsung, ini terdiri dari : sel endotel, aliran darah dalam rongga endotel.
Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh : endotel kapiler,epitel alveoli,
saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit serum.
e.

Sirkulasi Paru

Mengatur aliran darah vena vena dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis dan mengalirkan
darah yang bersifat arterialmelaului vena pulmonalis kembali ke ventrikel kiri.
Kepatenan Ventilasi tergantung pada empat faktor :
a.

Kebersihan jalan nafas, adanya sumbatan atau obstruksi jalan nafas akan menghalangi

masuk dan keluarnya dari dan ke paru-paru.


b.

Adekuatnya system syaraf pusat dan pusat pernafasan

c.

Adekuatnya pengembangan dan pengempesan peru-peru

d.

Kemampuan oto-otot pernafasan seperti diafpragma, eksternal interkosa, internal

interkosa, otot abdominal.


Ventilasi paru mengacu kepada pergerakan udara dari atmosfir masuk dan keluar paru.
Ventilasi berlangsung secara bulk flow.Bulk flow adalah perpindahan atau pergerakan gas
atau cairan dari tekanan tinggi ke rendah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ventilasi antara lain :

tekanan

resistensi bronkus

persyarafan bronkus.

C.

ETIOLOGI

1.

faktor penyebab gagal napas

a.

penyakit paru/ jalan napas instrinsik

1)

obstruksi jalan napas besar:

a)

deformitas kongenital

b)

laringitis akut, epiglotis

c)

Benda asing

d)

Tekanan ekstrinsik

e)

Cedera traumatik

f)

Pembesaran tonsil dan adenoid

g)

Apnea tidur obstruktif

2)

Penyakit bronkial:

a)

Bronkitis kronis

b)

Asma

c)

Bronkiolitis akut

3)

Penyakit parenkim:

a)

Emfisems pulmonal

b)

Fibrosis pulmonal dan penyakit infiltratif difusi kronis lainnya.

c)

Pneumonia berat.

d)

Cedera paru akut akibat berbagai penyebab (sindrom gawat napas akut).

4)

Penyakit kardiovaskulaer:

a)

Edema jantung paru

b)

Embolisme paru masif atau berulang

c)

Vaskulitis pulmonal

b.

Gangguan ekstra pulmonal:

1)

Penyakit pleura dan dinding dada:

a)

Pneumototaks

b)

Efusi pleura

c)

Fibrotoraks

d)

Deformitas dinding dada

e)

Cedera traumatik pada dinding dada: flail chest

f)

Obesitas

2)

Gangguan otot pernapasan dan taut neuromuskuler:

a)

Miastenia gravis dan gangguan mirip miastenia

b)

Distrofi muskuler

c)

Polimiositis

d)

Botulisme

e)

Obat paralisis otot

f)

Hipokalemia berat dan hipofosfatemia

3)

Gangguan saraf perifer dan medula spinalis:

a)

Poliomielitis

b)

Sindrom Guillain-Barre

c)

Trauma medula spinalis (kuadriplegia)

d)

Sklerosis lateral amiotropik

e)

Tetanus

f)

Sklerosis multipel

4)

Gangguan sistem saraf pusat:

a)

Overdosis obat sedatif dan narkotik

b)

Trauma kepala

c)

Hipoksia serebral

d)

Cedera serebrovaskuler

e)

Infeksi sistem saraf pusat

f)

Kejang epilepsi: status epileptikus

g)

Gangguan metabolik dan endokrin

h)

Poliomielitis bulbar

i)

Hipoventilasi alveolar primer

j)

Sindrom apnea tidur

k)
2.

Faktor pemicu gagal napas akut:

a.

Perubahan sekret trakeobronkus

b.

Infeksi virus atau bakteri

c.

Gangguan pembersih trakeobronkus

d.

Obat-obat: sedatif, narkotik, anestesi, oksigen

e.

Inhalasi atau aspirasi iritan, muntah, benda asing

f.

Gangguan kardiovaskuler: gagal jantung, embolisme paru, syok

g.

Faktor mekanis: pneumothoraks, efusi pleura, distensi abdomen

h.

Trauma termasuk pembedahan

i.

Abnormalitas neuromuskuler

j.

Gangguan allergi: bronkospasme

k.

Peningkatan kebutuhan oksigen: demam, infeksi

l.

Keletihan otot inspirasi (Morton, 2012)

D.

Patofisiologi

Gagal nafas akut dapat disebabkan oleh berbagai keadaan, diantaranya mengakibatkan
ventilasi yang tidak adekuat. Salah satu penyebab terpenting pada ventilasi yang tidak
adekuat adalah obstruksi saluran pernapasan atas.
Depresi sistem saraf pusat juga akan mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat. Pusat
pernapasan, yang mengendalikan pernapasan, terletak di bagian bawah batang otak /pons dan
medulla oblongata (muttaqin)
E.

Klasifikasi

Berdasarkan penyebab organ yang terganggu dapat dibagi menjadi 2, yaitu:


1.

kardiak

Gangguan gagal nafas bisa terjadi akibat adanya penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2
akibat jauhnya jarak difusi akibat edema paru. Edema paru ini terjadi akibat kegagalan
jantung untuk melakukan fungsinya sehinmgga terjadi peningkatan perpindahan cairan dari
vaskuler ke interstitial dan alveoli paru. Terdapat beberapa penyakit kardiovaskuler yang
mendorong terjadinya disfungsi miokard dan peningkatan LVEDV dan LVEDP yang
menyebabkan

mekanisme

backward-forward sehingga

terjadi peningkatan

tekanan

hidrostatik kapiler paru, cairan berpindah ke -Penyakit yang menyebabkan disfungsi


miokard : infark miokard, kardiomiopati, dan miokarditis
Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
a.

Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan Coartasio Aorta

b.

Meningkatkan volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi. ASD dan VSD

c.

Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis, dan trikuspidal insufisiensi

interstitial alveolar paru dan terjadilah edema paru.


2.

Nonkardiak

Terutama terjadi gangguan di bagian saluran pernafasan atas dan bawah serta proses difusi.
Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya obstruksi, emfisema, atelektasis,
pneumothorax, ARDS dll.
1.

mekanisme oksigenasi yang tidak adekuat atau hipoksemia.

Tipe 2 gagal napas hipoksemia hiperkapnea : kegagalan ini menunjukkan abnormalitas


oksigenasi darah dan ketidakmampuan sistem
pernapasan untuk mengeliminasi karbon dioksida. Pada tipe ini, PaO2 pasien dapat rendah
( 60 mmHg atau kurang ), sedangkan PaCO2 dapat naik ( lebih dari 45 mmHg ). Dengan
demikian Berdasarkan perubahan O2 dan CO2 dapat dibagi menjadi :
Kegagalan pada sistem respirasi dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan eliminasi
karbodioksida.
Akibatnya gagal napas di bagi menjadi dua tipe utama, yaitu : kegagalan hipoksia dan
kegagalan hipoksemia hiperkapnea.
2.

Tipe 1 gagal nafas hipoksemia : kegagalan ini dideskripsikan sebagai oksigenasi darah

yang abnormal. Sebagaimana ditunjukkan oleh namanya, pada tipe gagal nafas ini, PaO2
pasien ini dapat rendah ( 60 mmHg atau kurang ) dan SaO2 akan rendah
( kurang dari 90 % ), namun PaO2 dapat normal hingga rendah. Jadi, mekanisme primer pada
tipe kegagalan ini adalah kegagalan tipe 2 merupakan kombinasi retensi CO2 ( hiperkapnea )
dengan oksigenasi yang tidak adekuat ( hipoksemia ).
F.

ManifestasiKlinis

1.

Sianosis

2.

Dispneaberat

G.

Pemeriksaan diagnostik

1.

Hb : dibawah 12 gr %

2.

Analisa gas darah :

a.

pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45

b.

paO2 Hipoksemiaringan

: PaO2 < 80 mmHg

Hipoksemiasedang

: PaO2 < 60 mmHg

Hipoksemiaberat

: PaO2 < 40 mmHg

c.

pCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg

d.

BE di bawah -2 atau di atas +2

3.

Saturasi O2 kurang dari 90 %

4.

Ro : terdapat gambaran akumulasi udara/cairan , dapat terlihat perpindahan letak

mediastinum
5.

EKG mungkin memperhatikan bukti- bukti regangan jantung di sisi kanan distritmia.

6.

Radiografi dada

7.

Pemeriksaan sputum

8.

Pemeriksaan fungsi paru

9.

Angiografi

10. Pemindaian ventilasi perfusi


11. CT
12. Skrinning toksikologi
13. Hitung darah lengkap
14. Elektrolit serum
15. Sitology
16. Urinalisis
17. Bronkogram
18. Bronkoskopii
19. Ekokardiografi
20. Torasentesis
H.

Penatalaksanaan

Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan kausatif/spesifik.


Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.
Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung ditujukan untuk
memperbaiki pertukaran gas, seperti pada tabel 2 berikut ini
1.

Atasi Hipoksemia

Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2
sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut
kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan
tidak terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya
kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan
oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur

dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan
menghindari toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan
keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen
harusdiberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik
diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus.
(Brusasco dan Pellegrino, 2003)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem arus
tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang
digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan
aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran
menjadi kering. Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa
alat, diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal
cathethers, dan dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan
efisien. Alat oksigen arus tinggi di antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders.
Alat ventury maskmenggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini
bermanfaat untuk mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada
pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko
retensi CO2 dan memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan
masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem
arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya
cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan
arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia
dengan ventilasi abnormal (Sue dan Bongard, 2003).
2.

Atasi Hiperkarbia: Perbaiki Ventilasi

Jalan napas (Airway)


Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obat pernapasan.
Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi
jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti endotracheal

tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas
alami (Sue dan Bongard, 2003).
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan respon
batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya resistensi
dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi obstruksi jalan
napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan
positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik (Sue dan
Bongard, 2003).
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen, obat-obatan
pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik
dengan jalan napas artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada
Tabel 1 di atas dan juga tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Indikasi Intubasi dan ventilasi mekanik
Secara Fisiologis:
a.

Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen

b.

PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25

c.

Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskular


Secara Klinis:

a.

Perubahan status mental dengan dengan gangguan proteksi jalan

napas
b.

Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik

c.

Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi)

d.
Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien
Catatan: Perimbangkan trakeostomi jika obstruksi di atas trakea
(Sue dan Bongard, 2003)
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di atas mungkin
berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor
lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan
positif tanpa pipa trakea (ventilasi tekanan positif non invasif) (Sue dan Bongard, 2003).
Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut atau mulut ke
hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan
memompa kantungnya untuk memasukkan udara ke dalam paru (Muhardi, 1989)..

Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari turunnya
ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan imbalan
ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan asidosis
respiratoris. Namun, kegagalan ventilasi kronik (PaCO2>46 mmHg) biasanya tidak
berkaitan dengan asidosis karena kompensasi metabolik. Dan koreksinya pada asidosis
respiratoris (pH < 7.25) dan masalahnya tidak mengkoreksi PaCO2. Pada pasien dimana
pemulihan awal diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau face
mask merupakan alternatif yang efektif, namun seperti telah diketahui, pada keadaan
pemulihan

yang

lama/tertunda

pemasangan

ET

dengan

ventilasi

mode assist-

control atausynchronized intermittent ventilation dengan setting rate sesuai dengan laju nafas
spontan pasien untuk meyakinnkan kenyamanan pasien (Nemaa, 2003).
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas (Tabel 1 dan tabel 4) atau
keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang tidak segera teratasi).
Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter,
hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang
tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi
PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk
memasang ventilator harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang
dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang
terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah
sakit

(bukan

saja

lepas

dari

ventilator)

jadi

lebih

kecil.

Secara

statistik

angka survival berhubungan sekali dengan diagnosis utama, usia, dan jumlah organ yang
gagal. Pasien asma bronkial lebih dari 90 % survive sedangkan pasien kanker kurang dari 10
%. Usia diatas 60 tahun kemungkinan survive kurang dari 50 %. Sebagian penyebab
rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini adalah akibat komplikasi pemakaian
ventilator sendiri, terutama tipe positive pressure. Secara umum bantuan napas mekanik
(ventilator) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator (IPPV),
dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non
Invasive Positive Pressure Ventilator(NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan
ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah efek samping akibat tindakan
intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang bisa
bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat (Sue dan Bongard, 2003).
3.

Terapi suportif lainnya

a.

Fisioterapi dada.

Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk
mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan
baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada
saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada
dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainagepostural. Kadang-kadang diperlukan
juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator (Muhardi, 1989)
b.

Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik).

Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika diberikan
secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping sacara
inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif
mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik yang dua hingga empat kali lebih
banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada
nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering
kali dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan
efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Efek
samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada
pasien dengan penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia,
walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan
kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartement ekstrasel ke intrasel
sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik (Sue dan Bongard, 2003).
c.

Antikolinergik/parasimpatolitik.

Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis
intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan
dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih
berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan bronkitis
kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta
adrenergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau
solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi
urin (Sue dan Bongard, 2003).
d.

Teofilin.

Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta adrenergik. Mekanisme
kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP), translokasi
kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi.

Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih parah adalah
aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan kejang (Sue dan Bongard, 2003).
e.

Kortikosteroid.

Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak diketahui pasti,
tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah
pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal
napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping
kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati
steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis
dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh
otot non depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan
menimbulkan kesulitan weaning (Sue dan Bongard, 2003).
f.

Ekspektoran dan nukleonik.

Cairan peroral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karateristik sputum pada
pasien yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral mungkin berguna untuk meningkatkan
volume

dan

menipiskan

sputum

yang

kental.

Penekan

batuk

seperti

kodein

dikontraindikasikan bila kita menghendaki pengeluaran sekret melalui batuk. Obat mukolitik
dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas, terutama pasien dengan ETT. Sedikit (35ml) NaCl 0,9 %, salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan
sebelum penyedotan (suctioning) dan bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak (Sue
dan Bongard, 2003).

g.

Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik

Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal nafas.
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing-masing
penyakit akan berlainan (Muhardi, 1989).
Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal nafas di UGD
sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut terutama masalah
penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan pasien gagal
nafas di ICU pada tahap berikutnya.
I.

Komplikasi

1.

Oksigenasi ke organ lain yang buruk dapat menyebabkan kegagalan multi organ

2.

Individu yang mengalami gagal nafas beresiko tinggi terhadap kematian

3.

Infeksi paru dan abdomen merupakan komplikasi yang sering dijumpai. Adanya edema

paru, hipoksia alveoli, penurunan surfaktan akan menurunkan daya tahan paru terhadap
infeksi.
J.

Prognosis

Mortalitas rata-rata sekitar 50-60%. Mortalitas sekitar 40% didapatkan pada pasien dengan
gagal nafas saja, sedangkan pada pasien dengan sepsis atau adanya kegagalan organ utama
didapatkan mortalitas sekitar 70-80% dan bahkan bisa sampai 90% kalau sindrom gagal nafas
amat berat. Pada pasien yang bertahan hidup, umumnya fungsi paru akan kembali setelah
berbulan-bulan, namun harapan tersebut sangat kecil karena pasien yang menderita ARDS
akan mengalami kerusakan paru yang permanen dengan infeksi dan fibrosis.
II.
A.

KONSEP DASAR KEPERAWATAN


Pengkajian

Pengkajian Primer
1.

Airway

a.

Peningkatansekresipernapasan

b.

Bunyinafaskrekels, ronkidanmengi

2.

Breathing

a.

Distress pernapasan :pernapasancupinghidung, takipneu/bradipneu, retraksi.

b.

Menggunakanototaksesoripernapasan

c.

Kesulitanbernafas : diaforesis, sianosis

3.

Circulation

a.

Penurunancurahjantung : gelisah, letargi, takikardia

b.

Sakitkepala

c.

Gangguantingkatkesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk

d.

Papiledema

e.

Penurunanhaluaran urine

f.

Kapiler refill

g.

Sianosis.

PengkajianSekunder

1.

Pemeriksaanfisik head to toe.

2.

Pemeriksaankeadaanumum dan kesadaran

3.

Eliminasi

Kajihaluaranurin, diare/konstipasi.
4.

Makanan/cairan

Penambahan BB yang signifikan, pembengkakanekstrimitasoedemapadabagiantubuh.


5.

Nyeri/kenyamanan

Nyeripadasatusisi, ekspresimeringis.
6.

Neurosensori

Kelemahan :perubahankesadaran.
B.

DiagnosaKeperawatan

1.

Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungandenganpeningkatanproduksi secret.

2.

Gangguanpertukaran gas berhubungandengansekresitertahan di permukaan alveoli,

alveolar hipoventilasi.
3.

Ketidakefektifan pola napas berhubungandengan PPOM, distensidinding dada,

kelelahan, kerjapernafasan.
4.

Penurunanperfusijaringanberhubungandenganmenurunnyacurahjantung,

hipoksiajaringan, asidosisdankemungkinantrombusatau emboli.


5.

Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake

yang tidak adekuat


6.

Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologi

7.

Defisit perawatan diri berhubungan penurunan kesadaran.

C.

Rencana Keperawatan

1.

Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungandenganpeningkatanproduksi secret

NOC :
a.

Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif.

b.

Mengeluarkan sekresi secara efektif

c.

Mempunyai irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal.

d.

Mempunyai fungsi paru dalam batas normal


NIC :

Airway suction
a.

Pastikankebutuhan oral/ tracheal suctioning

b.

Auskultasisuaranafassebelumdansesudah suctioning

c.

Informasikankepadakliendankeluargatentang suctioning

d.

Berikan O2 dgnmenggunakan nasal untukmemfasilitasikansoctionnasotrakeal

e.

Anjurkanalat yang sterilsetiapmelakukantindakan

f.

Monitor status oksigenpasien

Airway management
a. Bukajalannafas
b. Posiskanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
c. Indentifikasipasienperlunyapemasanganalatjalannafasbuatan
d. Lakukanfisioterapi dada jikaperlu
e. Berikan bronchodilator bilaperlu
f.

Monitor respirasidan status O2

2.

Gangguanpertukaran gas berhubungandengansekresitertahan di permukaan alveoli,

alveolar hipoventilasi
NOC :
a.

Dapat memepertahankan Pertukaran CO2 atau O2 di alveolar dalam keadaan normal

b.

Tidak terdapat cyanosis pada pasien

c.

Pasien tdk mengalami nafas dangkal atau ortopnea

NIC :
Air way management
a.
b.

Bukajalannafas
Posisikanpasienuntukmemaksimalkanventilasi

c.

Pasang mayo bilaperlu

d.

Lakukan suction pada mayo

e.

Auskultasisuaranafas, catatadanyasuatutambahan

f.

Monitor konsentrasidan status O2

Respiratory monitoring :
a.
b.

Monitor rata-rata, kedalaman, iramadanusaharespirasi


Catatpengerakandada,amatikesimetrisan,

retraksiototsupraclavikulardanintercostatis
c.

Monitor suaranafas, sprtdengkur

penggunaanotottambahan,

d.

Catatlokasitrakea

e.

Monitor kelelahanototdiafragma ( gerakanparadoksis )

Tentukankebutuhan suction denganmengaukultasicreklesdanronchipadajlannafasutama


Auskultasisuaraparusetelahtindakanuntukmengetahuihasilnya
3.

Ketidakefektifan pola napas berhubungandengan PPOM, distensidinding dada,

kelelahan, kerjapernafasan.
NOC :
a.

Pertukaran gas dan ventilasi pasien tidak bermasalah

b.

Tidak menggunakan pernafasan mulut

NIC :
Airway management
a.
b.

Bukajalannafas
Posiskanpasienuntukmemaksimalkanventilasi

c.

Pasang mayo bilaperlu

d.

Lakukan suction pada mayo

e.

Auskultasisuaranafas, catatadanyasuatutambahan

f.

Monitor konsentrasidan status O2

Terapioksigen
a.

Bersihkanmulut, hidungdan secret trakea

b.

Pertahankanjalannafas yang paten

c.

Aturperalatanoksigenasi

d.

Monitor aliranoksigenasi

e.

Monitor adanyakecemasanpasientrhadapoksigenasi

Vital sign management


a.

Monitor TD, nadi, suhu, dan RR

b.

Catatadanyafluktasitekanandarah

c.

Monitor VS saatverbaring, duduk, atauberdiri

d.

Auskultasitekanandarahpadakedualengandanbandingkan

e.

Monitor frekuensidaniramapernafasan

f.

Monitor suhu,warnadankelembabankulit

g.

Monitor adanyatekanannadi yang melebar, bradikardi, peningkatansistolik

h.

Indentifikasipenyebabdariperubahan vital sign

D.

Implementasi

1.

Implementasi tindakan keperawatan gagal nafas didasarkan pada rencana yang telah

ditentukandengan prinsip : ABC (airway, breathing, circulation).


2.

Mempertahankan ventilasi yang adekuat.

3.

Menjaga bersihan jalan nafas

4.

Mengatasi perubahan proses keluarga dan antisipasi berduka/ cemas

E.

Evaluasi

Setelah tindakan keperawatan dilaksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu pada kriteria
evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing diagnosa keperawatan sehingga :
1.

Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervensi di hentikan)

2.

Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi dilanjutkan.

3.

Masalah tidak teratasi / tujuan tidak tercapai (perlu dilakukan pengkajian ulang &

intervensi dirubah).
DAFTAR PUSTAKA
Chang, Ester, 2009, Patofisiologi: aplikasi pada praktik keperawatan,
EGC: Jakarta
http://kegawatdaruratan.blogspot.com/2008/02/asuhan-keperawatan-klien-gagal-napas.html
Corwin, Elizabeth J, (2001), BukusakuPatofisiologi, Edisibahasa Indonesia,
EGC: Jakarta
Muttaqin, Arif, 2012, Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan
EGC: Salemba Medika
Morton, Patricia Gonce, 2011, Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Kep. Holistik, Ed.
8,Egc: Jakarta
http://curupmedicalcomunnity.blogspot.com/p/anatomi-dan-fisiologi-sistem-pernapasan.html

Anda mungkin juga menyukai