Anda di halaman 1dari 39

RADIOGRAPH BASED DISCUSSION

PERDARAHAN SUBDURAL, PERDARAHAN SUBARACHNOID, DAN


CONTUSIO HEMORRHAGE
Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Oleh :
Ayu Intan Purnama Wulan
Dana Martha Melantika
Desy Failasufa
Kinanthi Asih Martyarifki
Lukman Faishal Fatharani

30101206771
012116356
30101206604
30101206652
30101206792

Pembimbing :
dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI


RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNGSEMARANG
2016

LEMBAR PENGESAHAN

RADIOGRAPH BASED DISCUSSION

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu radiologi


Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Nama :

Judul

Ayu Intan Purnama Wulan

30101206771

Dana Martha Melantika

012116356

Desy Failasufa

30101206604

Kinanthi Asih Martyarifki

30101206652

Lukman Faishal Fatharani

30101206792

: Perdarahan Subdural, Perdarahan Subarachnoid, dan


Contusio Hemorrhage

Bagian

: Ilmu Radiologi

Fakultas

: Kedokteran Unissula

Pembimbing : dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)

Telah diajukan dan disahkan


Semarang,
Desember 2016
Pembimbing,

dr. Bambang Satoto, Sp. Rad (K)


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................
2.1

Perdarahan Subdural ......................................................................................

2.2

Perdarahan Subarachnoid ............................................................................

2.3

Contusio Hemorrhage...................................................................................

BAB III LAPORAN KASUS......................................................................................


3.1

Identitas Penderita ........................................................................................

3.2

Anamnesis (Alloanamnesis) ........................................................................

3.3

Pemeriksaan Fisik ........................................................................................

3.4

Pemeriksaan Penunjang ...............................................................................

3.5

Pembacaan Hasil CT-Scan ...........................................................................

3.6

Kesan ............................................................................................................

3.7

Diagnosis ......................................................................................................

BAB IV PEMBAHASAN ..........................................................................................


BAB V KESIMPULAN .............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

Pada pasien dengan trauma kepala, perdarahan subarachnoid saat muncul


biasanya terbatas pada satu atau dua sulci, perdarahan subarachnoid yang luas,
menunjukkan adanya ruptur dari aneurisma atau pseudoaneurisma dan kadang
merupakan indikasi untuk pemeriksaan angiografi. Aneurisma kongenital
biasanya berlokasi pada circulus willisi dan pseudoaneurisma berlokasi pada
pembuluh darah yang dapat merenggang akibat pergeseran otak misalnya arteri
cerebral anterior di bawah falx cerebri (Gruenthal, 2009).
Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan spontan rongga subaraknoid
(rongga diantara otak dan selaput otak). Perdarahan subarachnoid merupakan

penemuan yang sering pada trauma kepala akibat yang paling sering adalah
robeknya pembuluh darah leptomeningeal pada vertex dimana terjadi pergerakan
otak yang besar sebagai dampak, atau pada sedikit kasus, akibat rupturnya
pembuluh darah serebral major. Pasien yang mampu bertahan dari perdarahan
subarachoid kadang mengalami adhesi arachnoid, obstruksi aliran cairan
cerebrospinal dan hidrocepalus. Cedera intrakranial yang lain kadang juga dapat
terjadi (Gerson dkk, 2016).
Perdarahan subdural akut (PSD akut) merupakan salah satu penyakit
bedah syaraf yang mempunyai mortalitas relatif tinggi apakah penderita dioperasi
atau tidak. Oleh karena itu perdarahan subdural perlu mendapatkan perhatian baik
didalam pengetahuan patofisiologinya maupun di dalam penguasaan tindakan
menanggulanginya (Wagner dkk, 2015).
Contusio Hemorrhage adalah gangguan fungsi otak akibat adanya
kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak
mengganggu jaringan. Contusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus
temporal, hal ini dikarenakan kedua lobus tersebut paling rentan terhadap
akselerasi dan deselerasi. (Runner & Suddarth, 2002)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perdarahan Subdural


2.1.1

Definisi
Perdarahan subdural adalah penimbunan darah di dalam
rongga subdural (diantara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini
sering terjadi akibat robeknya vena - vena jembatan yang terletak
antara

corteks

cerebri

dan

tadi bermuara, namun dapat terjadi

sinus

venous

tempat

vena

juga akibat laserasi

pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling


sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di
daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan

subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan


kerusakan otak dibawahnya berat (Wagner dkk, 2015).

a. Klasifikasi
b. Patofisiologi
c. Gambaran Klinis
d. Pemeriksaan CT Scan
2.2 Perdarahan Subarachnoid
a. Definisi

Gambar 2.1. Perdarahan Subdural (Wagner dkk, 2015)


Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena,
biasanya darah yang terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena
tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai

mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari.


Darah

yang

diserap

dengan pembuluh

meninggalkan

darah sehingga

jaringan

dapat memicu lagi

yang

kaya

timbulnya

perdarahan-perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong subdural


yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematom dibagi
menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila
kurang dari 72 jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan kronik bila
21 hari atau 3 minggu lebih setelah trauma (Wagner dkk, 2015).

2.1.2

Klasifikasi
A. Perdarahan Akut
Gejala yang timbul segera kurang dari 72 jam setelah
trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat
yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien
yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar
luas. Pada gambaran CT-scan, didapatkan lesi hiperdens (Jager
R dkk, 2007).

B. Perdarahan Sub Akut


Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4-21
hari sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak

sadar lalu mengalami perbaikan status neurologi yang bertahap.


Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
tanda - tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan dengan
meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit
dibangunkan dan tidak berespon terhadap rangsang nyeri
atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom
herniasi dan menekan batang otak. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi
isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah
dan resorbsi dari hemoglobin (Jager R dkk, 2007).

C. Perdarahan Kronik
Biasanya terjadi setelah 21 hari setelah trauma bahkan bisa
lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam
waktu berminggu - minggu ataupun bulan setelah trauma yang
ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur saja
bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah.
Pada perdarahan subdural kronik, kita harus berhati hati karena
perdarahan ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara
perlahan - lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan
herniasi (Jager R dkk, 2007).

Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat


terbentuk mengelilingi perdarahan, pada yang lebih baru,
kapsula masih belum terbentuk atau tipis didaerah permukaan
arachnoidea. Kapsula melekat pada arachnoidea bila terjadi
robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung
pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi
duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma
darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari
perdarahan. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan
perdarahan

baru

yang

menyebabkan

menggembungnya

perdarahan (Jager R dkk, 2007).

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental


yang dapat menghisap cairan dari ruangan subarachnoidea.
Perdarahan akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada
tumor serebri. Sebagaian besar perdarahan subdural kronik
dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens (Jager
R dkk, 2007).

2.1.3

Patofisiologi
Pada umumnya penyebab perdarahan subdural akut adalah
cedera kepala , kadang kadang ditemukan perdarahan subdural
akut tanpa adanya trauma seperti pada penderita penderita yang

mendapat antikoagulan, mengalami koagulopati atau rupture


aneurisma (Tate, 2004).
Saat cedera kepala, terjadi gerakan sagital dari kepala dan
otak mengalami akselerasi di dalam tengkorak menyebabkan
regangan (stretching) dari vena vena parasagital ( bridging vein )
yang membawa drainase dari permukaan otak dan sinus venosus
duramater. Bila vena vena yang melintas ruang subdural ini cukup
meregang maka akan terjadi ruptur pada vena vena dan darah
masuk ke ruang subdural (Tate, 2004).

2.1.4

Gambaran Klinis
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor yaitu beratnya
cedera otak yang terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan
pertambahan volume PSD. Pada penderita penderita dengan
benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada
waktu terjadinya trauma. PSD dan lesi massa intrakranial lainnya
yang dapat membesar hendaklah dicurigai bila ditemukan penurunan
kesadaran setelah kejadian trauma (Mayor, 2006).
Gejala gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan
tekanan oleh massa perdarahan. Pupil yang anisokor dan defisit
motorik adalah gejala gejala klinik yang paling sering ditemukan.
Lesi paska trauma baik perdarahan atau lesi parenkim otak biasanya
terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral
terhadap defisit motorik. Tetapi gambaran pupil dan motorik tidak

merupakan indikator yang mutlak untuk menentukan letak


perdarahan. Perubahan diameter pupil lebih dipercaya sebagai
indikator letak PSD (Mayor, 2006).

2.1.5

Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan CT-scan adalah modalitas pilihan utama bila
disangka terdapat suatu lesi paska trauma, karena prosesnya cepat,
mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan
sifat dan keberadaan lesi intraaksial dan ekstraaksial (Jones dkk,
2016).
Perdarahan subdural akut pada CT-Scan Kepala (non
kontras) tampak sebagai suatu massa hiperden (putih) ekstraaksial
berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table)
tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di
daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah
bagian atas tentorium cerebelli (Jones dkk, 2016).
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur
dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan
menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (midline
shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar
volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa
kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya
edema serebral yang mendasarinya (Gerson dkk, 2016).

10

Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena


serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi
terhadap bridgingveins yang terdapat disana. Perdarahan subdural
yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks
serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan dengan
child abused (Jones dkk, 2016).

Gambar 2.2. Perdarahan Subdural fase akut (Jones dkk, 2016)


Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens
terhadap jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran
CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering
dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48 72
jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi
subakut akan tampak hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan
kontras, vena - vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak

11

dan membatasi subdural perdarahan dan jaringan otak. Perdarahan


subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga
membingungkan

dalam

membedakannya

dengan

epidural

perdarahan. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit


melihat lesi subdural subakut tanpa kontras (Jones dkk, 2016).

Gambar 2.3. Perdarahan Subdural fase subakut (Jones dkk, 2016)


Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat
mudah dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Bila pada CT-Scan
kepala telah ditemukan perdarahan subdural, sangat penting untuk
memeriksa kemungkinan adanya lesi lain yang berhubungan,

12

misalnya fraktur tengkorak, kontusio jaringan otak dan perdarahan


subarachnoid (Jones dkk, 2016).

Gambar 2.4. Perdarahan Subdural fase kronik (Jones dkk, 2016)


2.2

Perdarahan Subarachnoid
2.2.1 Definisi
Perdarahan subarachnoid adalah perdarahan tiba - tiba ke
dalam rongga diantara otak dan selaput otak (rongga subarachnoid).
Perdarahan subarachnoid adalah gangguan yang mengancam nyawa
yang bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang serius. Hal ini

13

adalah satu - satunya jenis stroke yang lebih umum diantara wanita
(Gruenthal, 2009).
2.2.2

Anatomi
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges.
Lapisan luarnya adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan
dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan piamater
(Gruenthal, 2009).

Gambar 2.5. Lapisan Meningen (Gerson dkk,2016)

14

Gambar 2.6. Perdarahan Subarachnoid (Gerson dkk, 2016)

Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa
yang kuat dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar
(periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu,
kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk
menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus
terletak di antara lapisan - lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan
dalam membentuk sekat di antara bagian - bagian otak (Tate, 2004).

Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam
dura dan hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu
spatium subdural. Ia menutupi spatium subarachnoideum yang

15

menjadi

liquor

cerebrospinalis,

cavum

subarachnoidalis

dan

dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa - septa yang


membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga rongga yang saling berhubungan (Gerson dkk, 2016).

Cavum subarachnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan


piamater yang secara relatif sempit dan terletak di atas permukaan
hemisfer cerebrum, namun rongga tersebut menjadi jauh bertambah
lebar di daerah - daerah pada dasar otak. Pelebaran rongga ini disebut
cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak
yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan
cisterna yang berbatasan dengan rongga subarachnoid umum (Tate,
2004).

Piamater

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang


menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fissure
dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga
membentang ke dalam fissure transversalis di bawah corpus callosum.
Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan
lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh - pembuluh
darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel

16

- ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel
keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu (Tate, 2004).
2.2.3

Etiologi
Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan
dengan pecahnya aneurisma (85%), kerusakan dinding arteri pada
otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan dari pendarahan
aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar
kemungkinannya bisa pecah. Selanjunya 10% kasus dikaitkan
dengan non aneurisma perimesencephalic hemoragik, dimana darah
dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara
umum. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga arteri,
gangguan lain yang mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh
darah pada sumsum tulang belakang dan perdarahan berbagai jenis
tumor (Gruenthal, 2009).

2.2.4

Patofisiologi
Aneurisma merupakan luka yang yang disebabkan karena
tekanan hemodinamik pada dinding arteri percabangan dan
perlekukan. Saccular atau biji aneurisma dispesifikasikan untuk
arteri intrakranial karena dindingnya kehilangan suatu selaput tipis
bagian luar dan mengandung faktor adventitia yang membantu
pembentukan aneurisma. Suatu bagian tambahan yang tidak
didukung dalam ruang subarachnoid (Gruenthal, 2009).

2.2.5

Gambaran Klinis

17

Sebelum pecah aneurisma biasanya tidak menyebabkan


gejala - gejala sampai menekan saraf atau bocornya darah dalam
jumlah

sedikit,

biasanya

sebelum

pecahnya

besar

(yang

menyebabkan sakit kepala). Kemudian menghasilkan tanda bahaya,


seperti berikut di bawah ini :

Sakit kapala, yang bisa tiba - tiba tidak seperti biasanya dan

berat (kadangkala disebut sakit kepala thunderclap).


Nyeri muka atau mata.
Penglihatan ganda.
Kehilangan penglihatan sekelilingnya.
Sekitar

25%

orang

mengalami

gejala-gejala

yang

mengindikasikan kerusakan pada bagian spesifik pada otak, seperti


berikut di bawah ini:

Kelelahan atau lumpuh pada salah satu bagian tubuh (paling

sering terjadi).
Kehilangan perasa pada salah satu bagian tubuh.
Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa (aphasia).
Gangguan hebat bisa terjadi dan menjadi permanen dalam

hitungan menit atau jam. Demam adalah hal yang biasa selama 5
2.2.6

sampai 10 hari pertama (Gruenthal, 2009).


Gambaran Pada CT-Scan
Computed Tomography (CT) Scan adalah pilihan awal untuk
mengevaluasi perdarahan. Pada pasien yang mengeluh dengan
mengatakan nyeri kepala yang sangat hebat dapat di suspek

18

perdarahan di dalam ruang Subarachnoid. Darah yang berada dalam


ruang Subarachnoid pada fase akut mempunyai intensitas yang sama
dengan cairan Serebrospinal maka MRI tidak disarankan. Suspek
dengan kasus perdarahan Subarachnoid seharusnya dievaluasi
dengan CT-scan tanpa zat kontras (Jones dkk, 2016).
CT-scan bisa positif pada 90% kasus jika CT-scan dilakukan
dalam beberapa hari selepas perdarahan. Pada CT-scan, gambaran
perdarahan

Subarachnoid

menunjukkan

peningkatan

density

(hiperdens) pada ruang cairan serebrospinal. Aneurisma sering


terjadi pada SirkulusWillisi maka pada CT-scan, darah tampak pada
Cisterna Basalis. Perdarahan yang hebat bias menyebabkan seluruh
ruang Subarachnoid tampak opasifikasi. Jika hasil CT-scan negatiF
tetapi terdapat gejala perdarahan Subarachnoid yang jelas, pungsi
lumbal harus dilakukan untuk memperkuatkan diagnosis (Jones dkk,
2016).
Perdarahan Subarachnoid non-traumatik harus dilakukan
pemeriksaan angiografi untuk mendeteksi aneurisma karena bisa
terjadi perdarahan ulang. Melalui pemeriksaan angiografi dapat
dilakukan terapi intervensi neuroradiologi. Perdarahan dari rupture
aneurisma bias meluas hingga ke parenkim otak dan lebih jauh
kedalam system ventrikular. Perdarahan Subarachnoid yang hebat
bisa mengganggu absorpsi Cairan Serebrospinal dan hidrosefalus
bisa terjadi (Jones dkk, 2016).

19

Gambar 2.7. CT-scan kepala normal dan CT-scan kepala dengan SAH
(Jager R dkk, 2007).

20

Gambar 2.8 CT-scan kepala di mana terdapat gambaran hiperdens dalam


cisterna suprasellar (anak panah besar) dan dalam fissure Sylvian (anak
panah kecil) yang menunjukkan perdarahan Subarachnoid. (Jager R dkk,
2007).

21

Gambar 2.9. CT-scan kepala di mana terdapat gambaran hiperdens


dalam fissure Sylvian (anak panah) yang menunjukkan perdarahan
Subarachnoid (Jager R dkk; 2007).

22

Gambar 2.10. CT-scan kepala di mana terdapat gambaran hiperdens


dalam fissure Sylvian (anak panah) yang menunjukkan perdarahan
Subarachnoid (Jager R dkk; 2007).

2.3

Contusio Hemorrhage
2.3.1 Definisi
Contusio Cerebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak
akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang
secara makroskopis tidak mengganggu jaringan. Contusio sendiri
biasanya menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah
motorik atau sensorik otak, secara klinis didapatkan penderita pernah
atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan
adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak. Pada
pemerikasaan CT-Scan didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak,
sedangkan istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi
robekan membran piaarachnoid pada daerah yang mengalami
kontusio serebri yang gambaran pada CT-Scan disebut Pulp brain.

23

Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa


kontusio

serebri

meningkat

sejalan

dengan

meningkatnya

penggunaan CT-scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio


serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walaupun
dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan
serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra
serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja
dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk
pedarahan intra serebral.
2.3.2

Etiologi

2.3.3

Kecelakaan

Jatuh
Trauma akibat persalinan.
Patofisiologi
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan
yang kasat mata, meskipun neuron - neuron mengalami kerusakan
atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion ialah
adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif.
Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena
itu,

otak

membentang

batang

otak

terlalu

kuat,

sehingga

menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens


retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input

24

aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible


berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan
intermediate menimbulkan gejala defisit neurologik yang bisa
berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah
kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan
organic brain syndrome. Lesi akselerasi - deselerasi, gaya tidak
langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang
lain, tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan
densitas anar tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan
otot yang densitas yang lebih rendah, maka terjadi gaya tidak
langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dulu sedangkan
jaringan otak dan isinya tetap berhenti, pada dasar tengkorak
terdapat tonjolan - tonjolan maka akan terjadi gesekan antara
jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi
lesi intrakranial berupa hematom subdural, hematom intra serebral,
hematom intravertikal. kontra coup kontusio. Selain itu gaya
akselerasi dan deselarasi akan menyebabkan gaya tarik atau robekan
yang menyebabkan lesi diffuse berupa komosio serebri, diffuse
axonal injury.

25

Gambar 2.10. Primary impact dan secondary impact.


Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas,
autoregulasi pembuluh darah serebral terganggu, sehingga terjadi
vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi
lambat, atau menjadi cepat dan lemah.Juga karena pusat vegetatif
terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa
2.3.4

timbul.
Gambaran Klinis
Akan terjadi penurunan kesadaran. Apabila kondisi berangsur
kembali, maka tingkat kesadaranpun akan berangsur kembali tetapi
akan memberikan gejala sisa, tetapi banyak juga yang mengalami
kesadaran kembali seperti biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese.
Gejala lain yang sering muncul :
Gangguan kesadaran lebih lama.
Kelainan neurologik positif, reflek patologik positif, lumpuh,
konvulsi.
Gejala TIK meningkat.
Amnesia retrograd lebih nyata.
Pasien tidak sadarkan diri.

26

Pasien terbaring dan kehilangan gerakkan.


Denyut nadi lemah.
Pernafsan dangkal.
Kulit dingin dan pucat.
Sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari.
Hemiparese / plegi.
Aphasia disertai gejala mual-muntah.
Pusing sakit kepala
2.3.5

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk
melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka
pendek.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama
: Tn. S
Usia
: 59 tahun
Jenis kelamin : Laki laki
Alamat
: Bugangan Sidorejo, Sayung, Demak
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Suku bangsa : Jawa (WNI)
Ruangan
: ICU

27

3.2 Anamnesis (Alloanamnesis)


Seorang pasien laki laki usia 59 tahun bersama pengantar datang
dengan tidak sadarkan diri ke IGD RSI Sultan Agung Semarang. Pasien
sebelumnya terlibat KLL.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada data.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada data.
Riwayat Sosial Ekonomi
Biaya ditanggung oleh BPJS.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Kesadaran
Keadaan umum
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu

: GCS E1M1V1
: Tampak sakit berat
: 130/90 mmHg
: 104 x/menit regular
: 20 x/menit
o
: 36,7 C

3.4 Pemeriksaan Penunjang

28

29

30

31

32

33

Gambar 3.1. Hasil CT-Scan

3.5 Pembacaan Hasil CT-Scan

Sulci, fissura dan cysterna tampak sempit.


Tampak lesi hiperdens intrasulci, intracysterna dan perifalks.
Tampak lesi hiperdens bentuk cresent di regio fronto-temporoparieto-

occipital kiri.
Tampak lesi hiperdens multiple di lobus frontalis kanan-kiri dan lobus

temporalis kiri.
Ventrikel lateralis kiri tampak kompresi.
Tampak deviasi garis tengah ke kanan >5mm.
Batang otak dan cerebelum tak jelas kelainan.
Tampak discontinuitas os. Occipital kanan.
Pada potongan SPN : tampak penebalan mukosa sinus etmoid kanan-

kiri.
Tak tampak discontinuitas os. Nasal ataupun os. Maksillaris.

3.6 Kesan
Perdarahan

subdural

di

regio

fronto-temporoparieto-occipital

frontoparietal kiri.
Contusio hemorrhage lobus frontalis kanan kiri dan lobus temporalis
kiri.

34

Perdarahan subarachnoid.

3.7 Diagnosis
Perdarahan

subdural,

contusio

hemorrhage

dan

perdarahan

subarachnoid.
BAB IV
PEMBAHASAN

Di dalam kasus ini didapatkan pasien dengan kondisi tidak sadarkan diri
yang sebelumnya mengalami KLL. Setelah dilakukan alloanamnesa kepada sang
pengantar, dan dilakukan primary survey, pemeriksaan fisik, dan untuk
mengetahui penanganan lebih lanjut perlu diketahui penyebabnya, maka pasien
perlu menjalani pemeriksaan CT-scan kepala terlebih dahulu.
Dari hasil pemeriksaan CT-scan didapatkan gambaran lesi hiperdens
intrasulci, intracysterna dan perifalks yang menunjukkan adanya perdarahan
subarachnoid. Didapatkan pula gambaran lesi hiperdens bentuk cresent di regio
fronto-temporoparieto-occipital kiri yang menunjukkan perdarahan subdural akut
di regio fronto-temporoparieto-occipital kiri. Gambaran lesi hiperdens multiple di
lobus frontalis kanan-kiri dan lobus temporalis kiri juga menunjukkan adanya
contusio haemorrhage. Tampak tanda - tanda peningkatan tekanan intrakranial
yang berupa midline shifting, penyempitan ventrikel, sulci, fissura, cysterna.
Tampak penebalan mukosa sinus etmoid kanan-kiri pada potongan SPN yang

35

dicurigai hematosinus di sinus etmoid kanan-kiri. Tak tampak discontinuitas os.


Nasal ataupun os. Maksillaris. Tampak discontinuitas os. Occipital kanan.

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil CT-scan, pasien dalam kasus ini didapatkan diagnosis


perdarahan subdural di regio fronto-temporoparieto-occipital kiri disertai
contusio hemorrhage lobus frontalis kanan-kiri dan lobus temporalis kiri serta
perdarahan subarachnoid. Terdapat tanda - tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Curiga hematosinus di sinus etmoid kanan - kiri.

36

DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, A., 2010, Bilateral Biconvex Frontal Chronic Subdural Perdarahan

Mimicking Extradural Perdarahan, JSTCR, v.2(2); Jul-Dec 2010, Diakses


tanggal
29
November
2016,
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3214288/).
Runner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, Jakarta:
EGC.
Gerson, Abner, dan Robert Feld. 2016. "Subarachnoid hemorrhage." eMedicine. Eds.
Hugh J. Robertson, et al. 9 Maret 2016. Medscape. Diakses 29 November 2016.
(http://emedicine.medscape.com/article/344342-overview#a2).
Gruenthal M. 2009. Subarachnoid hemorrhage. In: Ferri FF, editor. Ferri's clinical
advisor 2009: instant diagnosis and treatment. 6th edition. United States of
America: Mosby.
Jager R, Saunders D. 2007. Cranial and intracranial pathology (2): cerebrovascular
disease and non-traumatic intracranial hemorrhage. In: Grainger RG, Allison
D, Adam A, Dixon AK, editor. Grainger& Allisons diagnostic radiology: a
textbook of medical imaging. 4th edition. London: Churchill Livingstone.
Jones, Graham. 2016. CT Brain SDH and SAH, Radiology Master Class, 2016.
Diakses
tanggal
28
November
2016,
(http://www.radiologymasterclass.co.uk/gallery/ct_brain/ct_brain_image
s/infarct_ct_brain).
Mayor NM. 2006. Neuroimaging. In: Mayor NM, editor. A practical approach to
radiology. Philadelphia: Saunders, an imprint of Elsevier Inc.

Sidharta, P. Dan Mardjono M. 2006. Neuorologi klinis dasar. Jakarta: Dian rakyat.
Rasad, Kartoleksono, Ekayuda. 2005. RadiologiDiagnostik. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI.
Tate SS. 2004. Brain and cranial nerves. In: Tate SS, editor. Anatomy and Physiology. 6th
edition.United State of America: The Mc Graw-Hill Companies, Inc.
Wagner, Coombs, dan Naul. 2015. Imaging in Subdural Hematoma. eMedicine. 8
Oktober 2015. Medscape. Diakses tanggal 28 November 2016.
(http://emedicine.medscape.com/article/344482-overview#a2).

Anda mungkin juga menyukai