Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat, sehingga ada sebuah adagium yang dikenal dalam ilmu hukum,
yaitu ubi societas ibi ius, dimana ada masyarakat maka ada hukum. Kehadiran
hukum dalam masyarakat sangat penting, dimana fungsi hukum sebagai sosial
kontrol merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan masyarakat. Sebagai
alat pengendali sosial, hukum dianggap berfungsi untuk menetapkan tingkah
laku yang baik dan tidak baik atau perilaku yang menyimpang dari hukum,
dan sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai perilaku tidak baik.
Namun, sesuatu yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu baik menurut
yang lainnya. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup
bersama atau berkelompok, memerlukan perangkat patokan agar tidak terjadi
pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda
mengenai kebaikan tersebut. Manusia selalu ingin hidup tentram dan damai,
manusia memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya.
Maka kemudian terciptalah perlindungan kepentingan berwujud kaidah sosial,
termasuk didalamnya kaidah hukum.
Tatanan kaidah sosial dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kaidah sosial dengan aspek kehidupan pribadi dan kaidah sosial dengan aspek
kehidupan antar pribadi. Kaidah sosial dengan aspek kehidupan pribadi
meliputi kaidah agama dan kaidah kesusilaan, karena kaidah ini ditunjukan
kepada manusia sebagai individu, sedangkan kaidah sosial dengan aspek
kehidupan antar pribadi adalah kaidah sopan santun atau tata karma yang
meliputi antara lain sopan santun dalam pergaulan, berbusana, kaidah hukum,

dan sebagainya, karena kaidah-kaidah ini ditujukan bagi manusia dalam


kehidupan bermasyarakat dalam kaitannya manusia sebagai makhluk sosial.1
Norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami
kesenangan atau kedamaian dalam berinteraksi bersama dengan orang-orang
lain. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian dan
keadilan

dalam

masyarakat.

Dimana

dalam

aliran sociological

jurisprudencemenganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai


dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga dalam penegakan
hukum hendaknya selain memperhatikan aspek hukumnya juga melihat aspek
sosial, sehingga terciptalah hukum yang bermanfaat bagi orang banyak.
Penegakan

hukum

yang

sebenarnya

merupakan

barometer

berlangsungnya kehidupan ketatanegaraan bangsa Indonesia, baik itu yang


memiliki implikasi terhadap tatanan budaya, sosial, dan ekonomi yang
terganggu, karena perspektif penegakan hukum yang labilitas. Adanya
kehendak bahwa hukum sebagai suatu supremasi dari negara yang berasaskan
hukum tampaknya masih menimbulkan keragu-raguan manakala ada suatu
relevansi yang ketat antara hukum dengan politik kekuasaan, khususnya
terhadap kasus yang memiliki padanan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN).
Dewasa ini pemberitaan di Indonesia selalu dipenuhi dengan kasus
korupsi para pejabat negara, seolah korupsi telah mendarah daging sehingga
sulit untuk diberantasi. Korupsi merupakan perbuatan penyalahgunaan
kekuasaan oleh orang-orang yang berkuasa atau para pejabat negara yang
memiliki kewenangan dimana ia menyalahgunakan kewenangan tersebut.
Akibat dari perbuatan korupsi ini adalah berdampak bagi seluruh rakyat
Indonesia. Inilah mengapa korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) karena yang melakukan kejahatan korupsi adalah
segolongan orang-orang tertentu tetapi dampaknya besar dan merugikan orang
banyak.
1 Soedikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta,
2012, hlm. 15

Kesenjangan sosial dan kekuasaan yang cukup lebar dalam struktur


masyarakat Indonesia, dipahami oleh para ahli turut menyuburkan hubungan
patron-klien (pengayoman) yang pada gilirannya memberikan kontribusi besar
bagi langgengnya budaya korupsi di masyarakat.2 Misalnya dalam membuat
SIM (Surat Izin Mengemudi), kita seolah dibiasakan untuk membayar lebih
guna mendapatkan SIM secara cepat dan instan. Contoh lain pejabat politik
harus membayar mahal untuk ikut serta dalam Pemilihan Umum, dan untuk
mencapai jabatan yang diinginkan dibutuhkan pendukung yang banyak, untuk
mendapatkan pendukung yang banyak dicarilah organisasi masyarakat atau
kelompok tertentu yang bisa membawa masa, tentu saja hal tersebut
membutuhkan dana, dimana bukan rahasia lagi setiap kampanye para calon
legislatif memberikan uang kepada masyarakat untuk memilihnya. Setelah
terpilih tidak menutup kemungkinan pejabat tersebut berpikir untuk
mengembalikan uangnya melalui uang negara.
Peraturan mengenai pemberantasan korupsi sudah ada, bahkan disertai
dengan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Walaupun demikian, kondisi
korupsi di Indonesia tidak berkurang, hukuman mati rupanya tidak membuat
para koruptor takut untuk melakukan korupsi. Karena dalam penegakannya
pun belum ada koruptor di Indonesia yang dijatuhi hukuman mati. Seringkali
korupsi dilakukan tidak secara personal, tetapi dilakukan secara kolektif,
struktural, dan sistemis. Sehingga secara tidak langsung korupsi lambat laun
menjadi sebuah budaya.
Sehubungan dengan uraian diatas, maka penulis pada kesempatan ini
mencoba untuk membahas dan menuangkan masalah tersebut dalam suatu
makalah dengan judul:
PENEGAKAN

HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI DIKAJI MELALUI SOSIOLOGI HUKUM.

2 Zainudin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 163

B. Identifikasi Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan teori efektitivitas hukum?
2. Bagaimana peranan sosiologi hukum dalam memberantas tindak pidana
korupsi?
3. Bagaimana penegakan hukum di Indonesia dalam memberantas tindak
pidana korupsi dikaji melalui sosiologi hukum?

Anda mungkin juga menyukai