Anda di halaman 1dari 17

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN


BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
TAHUN 2015/2016

ANALISIS PERMASALAHAN KEJAHATAN


CARDING SERTA SOLUSI PERLINDUNGAN
IDENTITAS NASABAH PENGGUNA KARTU
KREDIT

Disusun oleh :

Dea Maharani Indika 041311331042

Fina Putri Damayanthi 041211331047

Rahmi Izzati Putri 041211333135

15/04/2015
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini hampir seluruh aktivitas bisnis, baik bagi perusahaan berskala kecil maupun
skala besar tidak dapat terlepas dari peran sistem informasi, baik melalui jaringan kabel
maupun nirkabel (wireless). Pengguna sistem informasi dan teknologi digital umumnya
hanya memiliki pengetahuan dasar mengenai dasar-dasar cara pengoperasian teknologi.
Sebaliknya, cara pengamanan sistem infromasi dan teknologi masih sangat sedikit yang
mengetahuinya, sehingga terdapat sangat banyak celah bagi peretas (hacker) dalam
memanfaatkan celah tersebut demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Tidak sedikit kasus pemindahan dana dalam rekening secara legal (pencurian),
penipuan, dan identity theft atau disebut sebagai cybercrime yang terjadi dalam dunia
perbankan (e-banking) maupun perdagangan online (e-business dan e-commerce). Dengan
perkembangan kebutuhan alat bayar yang lebih efisien, mudah dan nyaman untuk
digunakan, masyarakat mulai beralih menggunakan kartu kredit maupun e-money dalam
bertransaksi. Nasabah pemakai kartu kredit juga semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang Bank Indonesia (LSPPU
BI) tahun 2009 jumlah pemegangkartu kredit di Indonesia sudah mencapai lebih dari 12 juta
kartu yang beredardari total 20 penerbit (issuer) di Indonesia. Jumlah tersebut semakin
bertambah hingga tahun 2014.
Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan
penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam
hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui
sistem elektronik. Carding merupakan bagian dari cyber crime dalam transaksi perbankan
yang menggunakan sarana internet sebagai basis transaksi khususnya sistem layanan
perbankan online (online banking). Terjadinya carding oleh pelaku (carder) dengan cara
memperoleh data kartu kredit secara tidak sah dengan memanfaatkan teknologi informasi
(Internet) dengan cara menggunakan nomor kartu kredit orang lain untuk melakukan
pemesanan barang secara online. Komunikasi awalnya dibangun melalui e-mail untuk
menanyakan kondisi barang dan melakukan transaksi. Setelah terjadi kesepakatan, pelaku
memberikan nomor kartu kreditnya dan penjual mengirimkan barangnya. Hal tersebut tentu
saja tidak disadari bahkan tidak diketahui oleh pemilik asli kartu kredit.
Salah satu contoh kasus terjadi pada Mei 2008, Albert Gonzales (28) segera
ditangkap polisi dengan barang bukti dua perangkat komputer, uang sebesar $ 22.000, dan
senjata Glock 9. Albert Gonzales adalah seorang hacker kartu kredit buronan polisi yang
dikenal dengan nama "soupnazi" di internet. Gonzalez dituduh membobol sistem komputer
jaringan bisnis dan mencuri kartu kredit serta kartu debit. Gonzales pernah menjadi
informan untuk U.S. Secret Service. Sebanyak 170 juta akun kartu kredit berhasil dia bobol.
Atas sepak terjangnya ini Gonzales dijuluki hacker kartu kredit terbesar sepanjang dekade.
Jika terbukti bersalah, Gonzales akan dipenjara seumur hidup. Saat ini dia masih menunggu
proses pengadilan di New York, Massachusetts, serta New Jersey.
Kasus kedua terjadi pada September 2014, perusahaan retail AS The Home Depot
mengumumkan telah jadi korban aksi peretasan. Peristiwa itu membuat 53 juta alamat email
serta 56 juta informasi kartu kredit dan kartu debit pelanggan bocor. Peretas The Home
Depot telah masuk ke dalam sistem komputer perusahaan sejak April. Dia masuk ke dalam
komputer internal perusahaan dengan memanfaatkan informasi yang dicuri dari vendor
pihak ketiga lalu. Baru lima bulan kemudian perusahaan itu mengetahui sistem
keamanannya telah disusupi secara ilegal.
Di Indonesia pada tahun 1982 telah terjadi penggelapan uang di bank melalui
komputer sebagaimana diberitakan “Suara Pembaharuan” edisi 10 Januari 1991 tentang dua
orang mahasiswa yang membobol uang dari sebuah bank swasta di Jakarta sebanyak Rp.
372.100.000,00 dengan menggunakan sarana komputer. Perkembangan lebih lanjut dari
teknologi komputer adalah berupa computer network yang kemudian melahirkan suatu ruang
komunikasi dan informasi global yang dikenal dengan internet. Pada kasus tersebut, modus
kasus ini adalah murni kriminal, kejahatan jenis ini biasanya menggunakan internet hanya
sebagai sarana kejahatan. Penyelesaiannya, karena kejahatan ini termasuk penggelapan uang
pada bank dengan menggunakan komputer sebagai alat melakukan kejahatan. Sesuai dengan
undang-undang yang ada di Indonesia maka, orang tersebut diancam dengan pasal 362
KUHP atau Pasal 378 KUHP, tergantung dari modus perbuatan yang dilakukannya.
Kasus selanjutnya terjadi pada Pada tanggal 13 Februari 2009, Mabes Polri berhasil
menangkap tersangka Andre Christian Brail (Usia 28 thn) dan Khayrunisa (Usia 44 thn)
yang diketahuitelah melakukan kejahatan ini sejak tahun 2000. Modus kejahatan carding
memanfaatkan PIN dan nomor kartu kredit nasabah yang masih bisa digunakan untuk
otorisasi secara ilegal. Selanjutnya, kartu kredit kosong dicetak melalui perangkat komputer
dan mesin cetak canggih. Setelah itu kartu kredit bisa digunakan untuk transaksi seperti
belanja di merchant (toko), menginap di hotel serta melakukan transaksi tarik tunai. Dari
tangan para carder tersebut, Polisi berhasil mengumpulkan berbagai barang bukti yakni, 27
lembar kartu kredit palsu, delapan buah ponsel, sebuah mesin cetak embosser, sebuah
skimmer merek MSR 2006, dua buah laptop, sebuah alat pembaca (umron) dansebuah hard
disk.
Dengan mengambil studi kasus mengenai tindakan carding yang sangat merugikan
masyarakat, maka perlu adanya tindak lanjut melalui aspek penguatan hukum cybercrime
dan aspek sistem keamanan jaringan yang dapat melindungi privasi, data penting dan
rahasia, serta melindungi hak karya cipta yang saat ini sangat marak terjadi pembajakan.
Pentingnya pengetahuan dan kesadaran diri bagi tiap individu sangat diperlukan untuk terus
menekan angka cybercrime sekaligus memproteksi diri agar terhindar dari kejahatan serupa.
Hukum yang salah satu fungsinya menjamin kelancaran proses pembangunan
nasional sekaligus mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai harus dapat melindungi hak
para pemakai jasa internet sekaligus menindak tegas para pelaku cybercrime. Maka, penting
bagi pemerintah untuk memberlakukan kembali UU ITE (Informasi dan Transaksi
Elektronik) No.11 Tahun 2008, melakukan pengawasan, memblokir situs-situs fraud, dan
merancang sistem yang baik untuk melindungi nasabah pemilik kartu kredit dari ancaman
cybercrime.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana permasalahan carding dalam kaitannya dengan cybercrime?

2. Bagaimana pengaturan hukum mengenai carding di Indonesia?

3. Bagaimana cara penanggulangan carding demi melindungi identitas dan pin kartu kredit
nasabah?
1.3 Tujuan Penulisan

2. Untuk mengetahui permasalahan carding dalam kaitannya dengan cybercrime.

3. Untuk mengetahui sejauh mana pengaturan hukum mengenai carding di Indonesia.

4. Untuk memberikan solusi mengenai cara penanggulangan carding demi melindungi


identitas dan pin kartu kredit nasabah.
BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Cyber Crime

Perkembangan teknologi jaringan komputer global atau Internet telah


menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace, sebuah dunia komunikasi berbasis
komputer yang menawarkan realitas yang baru, yaitu realitas virtual. Istilah cyberspace
muncul pertama kali oleh William Gibson berjudul Neuromancer pada tahun 1984.
Istilah cyberspace pertama kali digunakan untuk menjelaskan dunia yang terhubung
langsung (online) ke internet.
Secara etimologis, istilah cyberspace sebagai suatu kata merupakan suatu istilah
baru yang hanya dapat ditemukan di dalam kamus mutakhir
(http://dictionary.cambridge.org ) yakni Cambridge Advanced Learner's Dictionary
memberikan definisi cyberspace sebagai “the Internet considered as an imaginary area
without limits where you can meet people and discover information about any subject”.

Perkembangan teknologi komputer juga menghasilkan berbagai bentuk kejahatan


komputer di lingkungan cyberspace yang kemudian melahirkan istilah baru yang dikenal
dengan Cybercrime, Internet Fraud, dan lain-lain. Collin Barry C. (1996) menjelaskan
istilah cybercrime sebagai berikut :
“Term “cyber-crime” is young and created by combination of two words: cyber and
crime. The term “cyber” means the cyber-space (terms “virtual space”, “virtual world”
are used more often in literature) and means (according to the definition in “New hacker
vocabulary” by Eric S. Raymond) the informational space modeled through computer, in
which defined types of objects or symbol images of information exist – the place where
computer programs work and data is processed.”

Computer crime dan cybercrime merupakan 2 (dua) istilah yang berbeda


sebagaimana dikatakan oleh Nazura Abdul Manap (2001: 3) sebagai berikut:
“Defined broadly, “computer crime” could reasonably include a wide variety of criminal
offences, activities or issues. It also known as a crime committed using a computer as a
tool and it involves direct contact between the criminal and the computer…..There is no
Internet line involved, or only limited networking used such as the Local Area Network
(LAN). Whereas, cyber-crimes are crimes committed virtually through Internet online.
This means that the crimes committed could extend to other countries… Anyway, it
causes no harm to refer computer crimes as cyber-crimes or vise versa, since they have
same impact in law.”
Sebagian besar dari perbuatan Cybercrime dilakukan oleh seseorang yang sering
disebut dengan cracker. Berdasarkan catatan Robert H’obbes’Zakon, seorang internet
Evangelist, hacking yang dilakukan oleh cracker pertama kali terjadi pada tanggal 12
Juni 1995 terhadap The Spot dan tanggal 12 Agustus 1995 terhadap Crackers Move Page.
Berdasarkan catatan itu pula, situs pemerintah Indonesia pertama kali mengalami
serangan cracker pada tahun 1997 sebanyak 5 (lima) kali.
Voos (1994-1999) menguraikan beberapa jenis Cybercrime berdasarkan beberapa
isu yang menjadi bahan studi atau penyelidikan pihak FBI dan National White Collar
Crime Center sebagai berikut :
 Computer network break-ins
 Industrial espionag
 Software piracy
 Child pornography
 E-mail bombings
 Password sniffers
 Spoofing
 Credit card fraud
Kegiatan hacking atau cracking yang merupakan salah satu bentuk cybercrime
tersebut telah membentuk opini umum para pemakai jasa internet bahwa Cybercrime
merupakan suatu perbuatan yang merugikan bahkan amoral. Para korban menganggap
atau memberi stigma bahwa cracker adalah penjahat. Perbuatan cracker juga telah
melanggar hak-hak pengguna jasa internet sebagaimana digariskan dalam The
Declaration of the Rights of Netizens yang disusun oleh Ronda Hauben. Berdasarkan
pemikiran JoAnn L. Miller yang membagi kategori white collar crime menjadi empat
kategori, yaitu meliputi organizational occupational crime, government occupational
crime, profesional occupational crime, dan individual occupatinal crime, maka Agus
Raharjo berpendapat bahwa Cybercrime dapat dikatakan sebagai white collar crime
dengan kriteria berdasarkan kemampuan profesionalnya.
David I. Bainbridge (1993:155) mengingatkan bahwa pada saat memperluas
hukum pidana, harus ada kejelasan tentang batas-batas pengertian dari suatu perbuatan
baru yang dilarang sehingga dapat dinyatakan sebagai perbuatan pidana dan juga dapat
dibedakan dengan misalnya sebagai suatu perbuatan perdata.
2.2 Carding

Carding merupakan salah satu bentuk pencurian informasi kartu kredit milik
orang lain untuk kemudian dimanfaatkan pelaku dalam melakukan transaksi pembelian
barang atau jasa maupun pencairan nominal saldo yang terdapat pada kartu kredit ke
dalam rekening pelaku melalui online payment gateway (Wahid dan Labib, 2009)

2.3 Internet Banking

Internet banking merupakan salah satu bentuk Electronic Banking yang


ditawarkan melalui internet, dimana para nasabah dapat melakukan transaksi jasa
keuangan dalam suatu lingkungan semu, oleh karena itu suatu Bank yang memiliki
website tapi tidak dapat melakukan transaksi di web tersebut tidak termasuk Internet
Banking (Hadri dan Susilowati, 2007:127).

Jenis-jenis Internet Banking dapat dibagi menjadi :

1. Virtual Companies
Bank sebagai institusi yang membangun cabangnya secara virtual dan tidak
memerlukan fasilitas atau alamat kantor perusahaan secara fisik dan hanya
melayani jasa perbankan melalui internet saja.
2. Hybrid Model
Sebagai bank yang sudah mapan sebelumnya dan kemudian membangun situs
web sebagai jasa pemasaran dan saluran distribusi tambahan dari pelayanan jasa
tradisionalnya.
3. Strategic Partnership
Bank-bank atau jasa keuangan yang secara individual atau membangun
konsorsium dengan perusahaan perangkat lunak terkemuka seperti Microsoft,
untuk membangun perangkat lunak aplikasi keuangan yang terintegrasi dengan
sistem keuangan di perusahaan tersebut untuk melayani kebutuhan pengelolaan
keuangan pribadi atau perusahaan. Internet Banking, juga dikenal sebagai
Cyberbanking, Virtual Banking, Online Banking dan Home Banking, melakukan
berbagai macam aktivitas perbankan dari rumah, dalam perjalanan daripada
datang ke tempat fisik bank. Konsumen dapat menggunakan Internet Banking
untuk membayar tagihan online atau melakukan pinjaman secara elektronik
(Windara dan Ketut, 2013)
BAB 3

PEMBAHASAN

3. 1. Permasalahan carding dalam kaitannya dengan cybercrime

Pada penelitian sebelumnya1 hingga tahun 2011 bahkan sampai sekarang,


transaksi carding atau transaksi yang fraud (kecurangan/pemalsuan) masih tetap terjadi
meskipun dengan tren yang mulai menurun .Pertumbuhan transaksi fraud atau carding ini
mengalami puncaknya pada tahun 2008 sebesar 13% (Rp.1,197 Miliar), lalu menurun
sebesar 8% (Rp. 1,103 Miliar) di tahun 2009 dan menurun kembali di tahun 2010 sebesar
41% (Rp.653 Juta). Dilain pihak, di era ICT (Information and Communication
Technology) transaksion-line atau belanja internet tetap menjadi salah satu transaksi yang
paling digemari oleh para nasabah, maka pihak-pihak terkait seharusnya tidak boleh
lengah dalam menjaga keamanan transaksi dan data pribadi mereka dari peretasan cyber.

Sebelum membahas lebih jauh, istilah carding (credit card fraud) dalam
cybercrime menurut Wahid dan Labib (2009), merupakan kejahatan yang dilakukan
seseorang untuk mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan digunakan dalam
transaksi perdagangan di internet. Hal tersebut tentu saja ilegal, tidak sah, dan melanggar
Pasal 30 UU ITE tahun 2008 ayat 3 yang berbunyi,

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses computer
dan/atau system elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol system pengaman (cracking, hacking, illegal access).
Ancaman pidana pasal 46 ayat 3 setiap orang yang memebuhi unsure sebagaimana
dimaksud dalam pasal 30 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)".

Dengan melihat potensi semakin berkembangnya bisnis berbasis teknologi sistem


informasi dan komunikasi, maka akan semakin bertambah pula jumlah user, nasabah,
maupun pelanggan yang menggunakan akses elektronik berbasis internet dalam
menjalankan transaksi bisnis tersebut. Banyaknya celah dan kelemahan sistem informasi
berupa kurang amannya akses dalam jaringan dunia maya, maka hal tersebut akan
semakin memudahkan penjahat dunia maya untuk melakukan kriminalitas yang
merugikan banyak pihak, terutama kerugian finansial.

Akibat banyaknya kasus carding, regulasi mengenai kartu kredit semakin


ditingkatkan dari tahun ketahun oleh Bank Indonesia. Migrasi kartu magnetic stripe
(kartu digesek) telah dilakukan oleh seluruh issuer ke kartu berbasis chip atau yang
dikenal sebagaikartu EMV (European Master Visa Payment System). Per 01 Januari 2009
seluruh issuer kartu kredit di Indonesia telah sukses melakukan compliance
(kepatuhan)regulasi BI. Pemakaian kartu EMV ini dapat meminimalisir risiko fraud
karenakartu chip ini cukup terlindungi dari tindakan skimming atau counterfeit yang
dilakukan oleh penjahat cyber. Umumnya, modus – modus kejahatan dalam carding,
antara lain (Muladi, 2002):

1. Mendapatkan nomor kartu kredit (CC) dari tamu hotel, khususnya orang asing
2. Mendapatkan nomor kartu kredit melalui kegiatan chatting di Internet.
3. Melakukan pemesanan barang ke perusahaan di luar negeri dengan menggunakan
Jasa Internet.
4. Mengambil dan memanipulasi data di Internet.
5. Memberikan keterangan palsu, baik pada waktu pemesanan maupun pada saat
pengambilan barang di Jasa Pengiriman (kantor pos, UPS, Fedex, HL, TNT, dsb).

3. 2. Pengaturan hukum mengenai carding di Indonesia

Di Indonesia sendiri, telah ada ketentuan Undang-Undang yang mengatur masalah


cybercrime yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Dalam Undang-Undang ini terdapat beberapa persoalan yang
menonjol yaitu :(1) Perihal pembuktian yang terkait dengan perbuatan hukum yang
dilaksanakan melaluisistem elektronik. (2) Berkaitan dengan penafsiran tentang asas-asas
dan norma hukum ketika menghadapipersoalan kebendaan yang tidak berwujud. Dalam
kenyataannya Cybercrime bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena kegiatannya
tidak lagi dibatasi oleh teritorial suatu negara. Kerugian dapat terjadi baik padapelaku
transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi
sepertipencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet (carding).
Dalam Cybercrime pembuktian merupakan faktor yang sangat penting mengingat
informasi elektronik belumterakomodasi dalam sistem hukum acara pidana
Indonesia.Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21
April 2008,walaupun sampai dengan hari ini belum ada sebuah Peraturan Pemerintah
yang mengaturmengenai teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi sebuah
undang-undang cyberatau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tidak
bertanggungjawab danmenjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna
teknologi informasi dalam mencapaikepastian hukum. Sedangkan pada penelitian
sebelumnya2, kendala dalam hal penyidikan yang dihadapi Indonesia saat ini dan agar
segera dapat diperbaiki antara lain:
Perangkat hukum yang belum memadai

Penulis telah menyebarkan tiga puluh angket kepada 30 orang responden yang
bertugassebagai penyidik di lingkungan unit tugas Serse POLDA Sumatera Utara.
Seluruhresponden mengaku telah mengetahui tentang cybercrime dan yakin bahwa
cybercrime telah terjadi di Sumatera Utara, namun para responden masih menganggap
lemahnyaperaturan perundang-undangan yang dapat diterapkan terhadap pelaku
cybercrime, sedangkan penggunaan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHP seringkali
masihcukup meragukan bagi penyidik.

Kemampuan penyidik

Beberapa faktor yang sangatberpengaruh (determinan) adalah:


a. Kurangnya pengetahuan tentang komputer.
b. Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani
kasus-kasus cybercrime masih terbatas.
c. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik. Dari penelitian
dilakukan, ternyata masih sangat kurang jumlah penyidik yang pernah
terlibat dalam penanganan kasus cybercrime (10%), bahkan dari 30 orang
responden yang ada, tidak ada satu orang pun yang pernah mendapat
pendidikan khusus untuk melakukan penyidikan terhadap kasus
cybercrime. Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik
yang cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya
diarahkan untuk menguasaiteknis penyidikan dan menguasai administrasi
penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil
hacker.

Alat Bukti yang Memadai

Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime


antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu:a.
Sasaran atau media cybercrime adalah data dan atau sistem komputer atau sistem internet
yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya.Oleh karena
itu, data atau sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut
harus direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan.
Permasalahan timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman
(recorder)yang belum diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah. Hal yang paling
mendesak adalah pengaturan mengenai kedudukan alat bukti yang sah bagi beberapa alat
bukti yang sering ditemukan di dalam Cybercrime seperti data atau sistemprogram yang
disimpan di dalam disket, hard disk, chip, atau media recorder lainnya.

Fasilitas komputer forensik

Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreacker dalam


melakukan kejahatan terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data
komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik. Fasilitas ini
diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpanbukti-
bukti berupa soft copy (image, program, dsb). Dalam hal ini Polri masih belum
mempunyai fasilitas forensic computing yang memadai.

3. 3. Solusi mengenai cara penanggulangan carding demi melindungi


identitas dan pin kartu kredit nasabah

Akibat semakin bertambahnya minat nasabah untuk melakukan transaksi dengan


menggunakan kredit card namun jika tidak didukung dengan pengamanan sistem dan
jaringan transaksi, maka kejahatan cybercrime juga akan semakin bertambah. Karena
sedikitnya bukti kejahatan dalam setiap kasus cybercrime, maka hal tersebut membuat
aparat juga kesulitan dalam melakukan penegakan hukum dan mengusut tuntas kasus-
kasus tersebut. Sekali lagi pihak yang akan dirugikan adalah para nasabah yang tidak
pernah tahu transaksi apa saja yang mengatasnamakan identitas mereka akibat terjadinya
creding.
Perlindungan hukum bagi nasabah pengguna kartu kredit mutlak diperlukan
seperti halnya perlindungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana lainnya.
Dalam upaya ini peran pemerintah dalam menegakkan Undang-undang No.11 Tahun
2008 mengenai ITE sangatlah penting dari sudut pandang nasabah, sebab merekalah yang
paling banyak menderita kerugian finansial. Menurut sistem perbankan Indonesia,
perlindungan terhadap nasabah dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu:
1. Perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection) yang diperoleh melalui
pembentukan lembaga yangmenjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur
dalam Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap
Kewajiban Bank Umum. Sehingga apabila bank mengalami kegagalan, maka
lembaga tersebut akan mengganti dana masyarakat yang disimpan dalam bank
yang gagal tersebut (Marulak Pardede, 2001)
2. Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection)Yaitu perlindungan yang
dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan banksecara efektif. Maksudnya agar
dapat menghindari terjadinyakebangkrutan bank yang diawasi (Marulak Pardede,
2001:1)
Dalam rangka menanggulangi Cybercrime, Resolusi Kongres PBB VIII/1990
mengenai Computer Related Crimes mengajukan beberapa kebijakan sebagai berikut :
(Nawawi, 2007: 247)
a. Menghimbau negara anggota untuk lebih intensif dalam melakukan upaya-upaya
penanggulangan penyalahgunaan komputer
b. Menghimbau negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam upaya
penanggulangan Cybercrime.
c. Merekomendasikan kepada Komite Pengendalian dan Pencegahan
Kejahatan(Committee on Crime Prevention and Control) PBB.
Menurut analisis penulis, opsi lainnya dalam mengamankan akun pribadi dari
para creder dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Melakukan rancangan kembali hukum pidana nasional beserta hukum acaranya,
yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan
tersebut. Tujuannya adalah menciptakan hukum pidana yang spesifik untuk kasus
cybercrime. Tujuan lain adalah menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan
2. Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar
internasional. Dalam hal ini, aparat kepolisian khusus yang menangani cybercrime
harus melakukan upgrade keamanan jaringan baik dari segi personil, sistem
informasi dan sistem keamanan. Langkah pertama dapat dilakukan dengan
membangun firewall yang memproteksi penyadapan, pencurian data, illegal
access, dan sejenisnya, serta melakukan blokade situs-situs tidak resmi dari luar
negeri yang berpotensi dalam penyebaran malware, khususnya situs pornografi
3. Meningkatkan pemahaman (knowledge) serta keahlian (skill) aparatur penegak
hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara
yang berhubungan dengan cybercrime.
4. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman warga negara mengenai masalah
carding serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi. Mencegah
kejahatan carding dapat dimulai dari masing-masing individu, dengan
memperluas pengetahuan mengenai ciri, karakteristik, modus, dan cara
mencegah/menanggulangi cybercrime, maka kita dapat terhindar dari akibat
jangka panjang yang ditimbulkan oleh para carder. Hal tersebut juga dapat dicapai
dengan melakukan upaya sosialisasi pada masyarakat luas
5. Mencipatakan keamanan diri sendiri dan kewaspadaan dengan cara berbelanja
online pada online shop yang terpercaya. Hindari menjadi member dalam situs
yang kurang terpercaya. Menurut penelitian, pencurian data banyak terjadi pada
member situs porno, game online, dan perjudian. Maka kesadaran dan
kewaspadaan diri dalam melakukan tindakan yang mungkin berbahaya adalah
penting
6. Meningkatkan kerjasama antar negara dalam upaya penanganan cybercrime,
antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Hacker dan cyber criminal sudah ada sejak lama. Cybercrime ada karena dampak
negative dari perkembangan teknologi. Di jaman sekarang, orang – orang hampir setiap menit
terhubung dengan internet. Jika tidak berhati – hati menggunakannya, maka kita bisa menjadi
korban cybercrime . Carding adalah jenis cybercrime dengan membobol informasi kartu kredit
agar dipakai oleh orang yang bukan pemilik kartu kredit itu. Sifat kejahatan carding adalah non-
violence dan kekacauan yang ditimbulkan tidak terlihat secara langsung, tapi dampak yang
ditimbulkan bisa sangat besar.

4.2 Saran

Cybercrime dan hacking tidak akan pernah hilang. Dari kasus tentang cybercrime di
dunia yang pernah ada, kita bisa mempelajarinya dan menggunakan informasi itu untuk
mencegah cybercrime di masa yang akan datang. Cyberlaw adalah peraturan yang dipakai suatu
negara untuk memerangi cybercrime. Cyberlaw harus diubah dan dikembangkan secepat atau
lebih cepat dari hacker agar dapat mengontrol cybercrime. Progammer juga harus lebih pintar
untuk membuat encrypt demi meningkatkan keamanan.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana

Bainbridge, David I. 1993. Komputer dan Hukum. Jakarta : Sinar Grafika

Collin, Barry C. 1996. The Future of CyberTerrorism, Proceedings of 11th Annual International
Symposium on Criminal Justice Issues. The University of Illinois at Chicago, dikutip dari
makalah Vladimir Golubev, cyber-crime and legal problems of usage network the INTERNET

Gibson, William. 1984. Neuromancer. New York : Ace

Hadri, Kusuma dan Dwi Susilowati. 2007. Determinan Pengadosian Layanan Internet Banking
:Perspektif Konsumen Perbankan Daerah Istimewa Yogyakarta. JAAI. Vol. 11 No. 2
Manap, Nazura Abdul. Cyber-crimes: Problems and Solutions Under Malaysian Law. Makalah
pada seminar nasional Money Laundering dan Cybercrime dalam Perspektif Penegakan Hukum
di Indonesia. Diselenggarakan oleh Lab. Hukum Pidana FH Univ. Surabaya. 24 Februari 2001

Muladi, 22 Agustus 2002. Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime. Media HukumVol. 1 No. 3,
Persatuan Jaksa Republik Indonesia

Natalie D Voss, Copyright © 1994-1999 Jones International and Jones Digital Century,
“Crime on The Internet”, Jones Telecommunications & Multimedia Encyclopedia, hal. 1-2,
http://www.digitalcentury.com/encyclo/update/articles.html

Pardede, Marulak. Efektivitas Pengawasan Perbankan dalam Perbankan Nasional. Jakarta:


Majalah Jurnal Hukum Bisnis, edisi September 2001. Verisign, Internet Security Intelligence
Briefing, Dulles VA USA, 2004.

Raharjo, Agus. 2002. Cybercrime (cetakan pertama). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Team of UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime). 2013. Draft : Comprehensive
Studies on Crime. New York : UN

Undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) cetakan tahun 2003

Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. 2009. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Bandung:
Refika Aditama

WEBSITE

http://dictionary.cambridge.org

http://www.bartleby.com.

Bruce Sterling, 1990, The Hacker Crackdown, Law and Disorder on the electronic Frontier,
Massmarket Paperback, electronic version available at http://www.lysator.liu.se/etexts/hacker.

PENELITIAN SEBELUMNYA

1. Panjaitan, Leo T. 2011. Analisis Penanganan Carding dan Perlindungan Nasabah dalam
Kaitannya dengan UU ITE no.11 Tahun 2008. Jurnal Teknik Elektro Universitas Mercu
Buana.

2. Windara, I Made Agus & AA. Ketut S. 2013. Kendala dalam Penanggulangan
Cybercrime sebagai Suatu Tindak Pidana Khusus. Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Udayana.

Anda mungkin juga menyukai