Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan kasus yang sering ditemui
pada praktik dokter umum maupun di unit gawat darurat. Infeksi virus dengue
memiliki beberapa manifestasi dari asimtomatik hingga kasus yang berat seperti
syok yang dapat berakibat fatal.1,2 Indonesia merupakan salah satu negara endemis
DBD dengan angka pelaporan kasus paling tinggi dibandingkan negara-negara
lain di Asia Tenggara.3 Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam
stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang
mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat
DBD, khususnya pada anak. Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa
pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah
penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case
fatality rate sebesar 1,01% (2007).4
Seperti penyakit tropik infeksi lainnya, penyakit DBD dipengaruhi oleh
faktor host (manusia), agent (virus dengue), dan lingkungan. Keterkaitan antara
hal-hal ini sangat kompleks sehingga DBD sangat sulit diberantas walaupun kasus
DBD telah ada sejak abad ke-18 dan pemerintah Indonesia telah mengusahakan
pengendalian vektor nyamuk.5-8
Pasien DBD yang datang ke unit gawat darurat bervariasi dari infeksi
ringan hingga berat disertai tanda-tanda perdarahan spontan masif dan syok.
Diagnosis harus ditetapkan secara cepat dan pentalaksanaan pada keadaan ini
tentu harus dilakukan sesegera mungkin. Hingga saat ini penatalaksanaan DBD
belum ada yang spesifik dan hanya dilakukan terapi suportif yaitu dengan
penggantian cairan. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit,
gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat
dilakukan secara efektif dan efisien.4-6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Dengue
2.1.1. Virus Dengue
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue yang sekarang lebih dikenal sebagai genus
Flavivirus. Virus ini memiliki empat jenis serotipe yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4. Antibodi yang terbentuk dari infeksi salah satu jenis serotipe tidak
memberikan perlindungan yang memadai untuk serotipe lain. Serotipe DEN-3
merupakan serotipe yang dominan dan paling banyak menimbulkan manifestasi
klinis yang berat.1,2,5,8
Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Nyamuk aedes dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yakni dua hari sebelum
panas hingga 5 hari setelah demam timbul. Virus yang terdapat pada kelenjar liur
kemudian berkembang biak dalam waktu 8-10 hari dan selanjutnya dapat
ditularkan kepada manusia lain melalui gigitan. Sekali virus masuk dan
berkembang biak dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut dapat menularkan virus
(infektif) sepanjang hidupnya.2,8
2.1.2. Patogenesis
Patogenesis DBD masih kontroversial. Dua teori yang banyak dianut
adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan
hipotesis immune enhancement. Menurut hipotesis infeksi sekunder, akibat infeksi
sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien
akan terpicu dan menyebabkan kenaikan titer tinggi IgG antidengue. Replikasi
virus dengue mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang
selanjutnya
menyebabkan

mengaktivasi
peningkatan

sistem komplemen.
permeabilitas

Pelepasan C3a

dinding

pembuluh

dan C5a
darah

dan

merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar

hematokrit (Ht), penurunan natrium (Na) dan terdapatnya cairan dalam rongga
serosa. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam dan bila tidak ditangani secara
adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia yang dapat berakibat fatal.1,2
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi
heterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran
leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi
sekresi

mediator

vasoaktif

yang

kemudian

menyebabkan

peningkatan

permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan


syok.1,2
2.1.3. Perjalanan Penyakit
Setelah masa inkubasi, penyakit ini diikuti oleh tiga fase, yaitu febris,
kritis, dan recovery (penyembuhan) (gambar-1).5

Gambar-1. Perjalanan Penyakit DBD.5


3

Fase Febris
Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang suhu
tubuh sangat tinggi hingga 40oC dan tidak membaik dengan obat penurun panas.
Fase ini biasanya akan bertahan selama 2-7 hari dan diikuti dengan muka
kemerahan, eritema, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan nyeri kepala.
Beberapa pasien mungkin juga mengeluhkan nyeri tenggorokan atau mata merah
(injeksi konjungtiva). Sulit untuk membedakan dengue dengan penyakit lainnya
secara klinis pada fase awal demam. Hasil uji torniquet positif pada fase ini
meningkatkan kemungkinan adanya infeksi dengue. Demam juga tidak dapat
dijadikan parameter untuk membedakan antara kasus dengue yang gawat dan
tidak gawat. Oleh karena itu, memperhatikan tanda-tanda peringatan (warning
signs) dan parameter lain sangat penting untuk mengenali progresi ke arah fase
kritis.2,5,10 Warning signs meliputi:5

Klinis: nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, perdarahan

mukosa, pembesaran hati >2 cm


Laboratorium: peningkatan Ht dengan penurunan trombosit.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran

mukosa (hidung dan gusi) dapat terjadi. Petekie dapat muncul pada hari-hari
pertama demam, namun dapat juga dijumpai pada hari ke-3 hingga hari ke-5
demam. Perdarahan vagina masif pada wanita usia subur dan perdarahan
gastrointestinal (hematemesis, melena) juga dapat terjadi walau lebih jarang. 2,5,10
Bentuk perdarahan yang paling ringan, uji torniquet positif, menandakan adanya
peningkatan fragilitas kapiler. Pada awal perjalanan penyakit 70,2% kasus DBD
mempunyai hasil positif.2
Hati sering ditemukan membesar dan nyeri dalam beberapa hari demam.
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit,
bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah arcus costae.
Pada sebagian kecil dapat ditemukan ikterus. Penemuan laboratorium yang paling
awal ditemui adalah penurunan progresif leukosit, yang dapat meningkatkan
kecurigaan ke arah dengue.2,5

Fase Kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat demam
mulai cenderung turun dan pasien tampak seakan-akan sembuh, maka hal ini
harus diwaspadai sebagai awal kejadian syok. Saat demam mulai turun hingga
dibawah 37,5-38oC yang biasanya terjadi pada hari ke 3-7, peningkatan
permeabilitas kapiler akan terjadi dan keadaan ini berbanding lurus dengan
peningkatan hematokrit. Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis
biasanya terjadi selama 24-48 jam.2,5
Leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang cepat
merupakan tanda kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma dapat bervariasi.
Temuan efusi pleura dan asites secara klinis bergantung pada derajat kebocoran
plasma dan volume terapi cairan. Derajat peningkatan hematokrit sebanding
dengan tingkat keparahan kebocoran plasma.2,5
Keadaan syok akan timbul saat volume plasma mencapai angka kritis
akibat kebocoran plasma. Syok hampir selalu diikuti warning signs. Terdapat
tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari
dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah,
kecil sampai tak teraba.Saat terjadi syok berkepanjangan, organ yang mengalami
hipoperfusi akan mengalami gangguan fungsi (impairment), asidosis metabolik,
dan koagulasi intravaskula diseminata (KID). Hal ini menyebabkan perdarahan
hebat sehingga nilai hematokrit akan sangat menurun pada keadaan syok hebat.
1,2,5

Pasien yang mengalami perbaikan klinis setelah demam turun dapat


dikatakan menderita dengue yang tidak gawat. Beberapa pasien dapat berkembang
menjadi fase kritis kebocoran plasma tanpa penurunan demam sehingga pada
pasien perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya
kebocoran plasma.5

Fase Penyembuhan (Recovery)


Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis, reabsorpsi
gradual cairan ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum
pasien membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal berkurang, status
hemodinamik meningkat, dan diuresis normal. Beberapa pasien akan mengalami
ruam kulit putih yang dikelilingi area kemerahan disekitarnya dan pruritus
generalisata. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi juga sering ditemukan
pada fase ini. Hematokrit akan stabil atau lebih rendah karena efek dilusi yang
disebabkan reabsorpsi cairan. Jumlah leukosit biasanya akan meningkat segera
setelah demam turun, namun trombosit akan meningkat kemudian. Pemberian
cairan pada fase ini perlu diperhatikan karena bila berlebihan akan menimbulkan
edema paru atau gagal jantung kongestif.5
2.2. Manajemen Kasus DBD
Manajemen kasus DBD meliputi beberapa tahap yakni:5
1. Penilaian:
Riwayat penyakit sekarang, riwayat pengobatan lalu, dan riwayat
keluarga
Pemeriksaan fisik, termasuk fisik umum dan mental
Investigasi, termasuk laboratorium rutin dan spesifik-dengue
2. Diagnosis, penilaian fase penyakit, dan keparahan
3. Manajemen: menetapkan tatalaksana berdasarkan manifestasi klinis dan
hal-hal terkait lainnya:
Rawat jalan (kelompok A)
Rawat inap (kelompok B)
Membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi (kelompok C)

2.2.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis harus meliputi:5 (1) Onset demam/penyakit, (2) Jumlah intake


oral,

(3)

Warning

signs,

(4)

Diare,

(5)

Perubahan

status

mental/kejang/ketidaksadaran, (6) Urin output (frekuensi, volume, dan waktu


terakhir kencing), (7) Riwayat keluarga atau tetangga yang mengalami DBD,
riwayat bepergian ke daerah endemis, kondisi penyerta (bayi, kehamilan, obesitas,
diabetes mellitus, hipertensi), bepergian ke hutan dan berenang di air terjun
(mengarahkan leptospirosis, tipus, malaria), riwayat penggunaan narkoba dan seks
bebas (HIV serokonversi akut).
Sedangkan pemeriksaan fisik harus meliputi:5 (1) Status mental, (2) Status
hidrasi, (3) Status hemodinamik, (4) Takipnoe/pernapasan asidosis/efusi pleura,
(5) Nyeri abdomen/ hepatomegali/asites, (6) Ruam dan manifestasi perdarahan,
(7) Uji torniquet.
2.2.2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin (Hb), kadar
hematokrit (Ht), jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3).1
Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel
neutrofil. Pada akhir demam, jumlah leukosit, dan sel neutrofil bersama-sama
menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat.1,2,10
Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/l. Pada umumnya
trombosit terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu
turun. Jumlah trombosit <100.000/l biasanya ditemukan antara hari sakit 3-7.
Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit
dalam batas normal atau menurun.1,2
Peningkatan

kadar

hematokrit

(>20%)

yang

menggambarkan

hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan
terjadinya perembesan plasma sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit
secara berkala. Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh penggantian cairan dan
perdarahan.1,2

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya


gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.1,2,5
2.2.3. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto toraks (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II)
didapatkan efusi pleura, terutama di hemitoraks sebelah kanan. Pemeriksaan foto
toraks sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.1
2.2.4. Pemeriksaan Antigen dan Antibodi Virus
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.1,11
Pada infeksi primer, antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari kelima seelah
onset penyakit, yakni setelah jumlah virus dalam darah berkurang. Kadar IgM
meningkat dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam 2 minggu dan menurun
hingga tak terdeteksi lagi setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG muncul beberapa hari
setelah IgM dan pada infeksi primer, produksi IgG lebih rendah dibandingkan
IgM, namun dapat bertahan beberapa tahun dalam sirkulasi, bahkan seumur
hidup.11 Sedangkan pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat lebih banyak
dibandingkan IgM dan muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM. IgG
merupakan antibodi predominan pada infeksi sekunder.11
Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen
spesifik virus dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan
metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari

pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer dengue atau sampai hari ke
5 pada infeksi sekunder dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena itu, WHO
menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk
pelayanan primer.
2.2.5. Diagnosis
Diagnosis DBD dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Berdasarkan
kriteria WHO 1997, diagnosis DBD secara klinis dapat ditegakkan bila semua hal
di bawah ini terpenuhi:1,9
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis, dan
melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi

cairan

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.


Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
dan hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:1,9

Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah uji torniquet.


Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan

perdarahan lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di

sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.


Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.
Sedangkan

menurut

WHO

2009,

berdasarkan

riwayat

penyakit,

pemeriksaan fisik dan/atau darah lengkap dan hematokrit, diagnosis DBD


ditegakkan dengan melihat fase penyakit (febris, kritis, atau penyembuhan),
9

menentukan adanya warning signs, hidrasi, dan status hemodinamik pasien, serta
apakah pasien memerlukan rawat.5
Kriteria sugestif untuk mengetahui kasus tersangka DBD adalah pasien
tinggal atau baru bepergian dari daerah endemis dengue, adanya riwayat demam
lebih dari tiga hari, jumlah leukosit rendah atau menurun, dan/atau
trombositopenia uji torniquet positif.
2.2.6. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip terapi utama adalah
terapi suportif. Pemeliharaan cairan sirkulasi merupakan hal terpenting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan, terutama melalui oral, harus
dipertahankan. Jika tidak bisa, maka diperlukan suplemen cairan melalui jalur
intravena.1,4 Menurut WHO 2009, berdasarkan manifestasi klinis dan kondisi
lainnya, pasien dapat dibagi tiga kategori: rawat jalan (kelompok A),
membutuhkan penanganan di rumah sakit/rawat inap (kelompok B), dan
membutuhkan penanganan emergensi atau urgensi (kelompok C).5
Kelompok-A5
Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang dapat dimotivasi
untuk minum secara adekuat, masih dapat berkemih setidaknya sekali tiap enam
jam, dan tidak mempunyai warning signs, khususnya saat demam mereda.
Pasien rawat jalan harus diobservasi setiap hari untuk mencegah progresi
hingga melewati periode kritis. Pasien dengan Ht stabil dapat dipulangkan setelah
dirawat dan diberikan edukasi untuk segera kembali ke rumah sakit apabila
warning signs muncul. Apabila warning signs muncul maka tindakan selanjutnya
adalah:

Memotivasi minum oral rehydration solution (ORS), jus buah, dan cairan
lain yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan yang

hilang akibat demam.


Memberikan parasetamol bila pasien merasa tidak nyaman akibat demam.
Interval pemberian parasetamol sebaiknya tidak kurang dari enam jam.

10

Petugas kesehatan harus setiap hari memantau temperatur, asupan dan


keluaran cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, tanda
perembesan plasma atau perdarahan, hematokrit, jumlah leukosit, dan
trombosit (kelompok-B).

Kelompok-B5
Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase
kritis. Kriteria rawat pasien DBD adalah:5
1. Adanya warning signs
2. Terdapat tanda dan gejala hipotensi: dehidrasi, tidak dapat minum,
hipotensi postural, berkeringat sedikit, pingsan, ekstremitas dingin.
3. Perdarahan
4. Gangguan organ: ginjal, hepar (hati membesar dan nyeri walaupun tidak
syok), neurologis, kardiak (nyeri dada, gangguan napas, sianosis).
5. Adanya peningkatan Ht, efusi pleura, atau asites
6. Kondisi penyerta: hamil, DM, hipertensi, ulus peptikum, anemia
hemolitik, overweight/ obese, bayi, dan usia tua
7. Kondisi sosial: tinggal sendiri, jauh dari pelayanan kesehatan tanpa
transpor memadai.
Apabila pasien memiliki warning signs maka hal yang harus dilakukan adalah:

Periksa Ht sebelum pemberian cairan. Berikan larutan isotonik seperti


normosalin 0,9%, RL. Mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu
kurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kurangi lagi menjadi

2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai respon klinis.


Nilai kembali status klinis, ulangi Ht. Bila Ht sama atau meningkat sedikit,
lanjutkan dengan jumlah sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam. Bila tanda
vital memburuk dan Ht meningkat drastis, tingkatkan pemberian cairan 5
10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai kembali status klinis, ulang Ht, dan

periksa kecepatan cairan infus berkala.


Berikan volume intravena minimum untuk menjaga perfusi dan urin
output 0,5 ml/kg/jam selama 24-48 jam. Kurangi jumlah cairan infus
berkala saat kebocoran plasma berkurang, yakni saat akhir fase kritis. Hal

11

ini bisa diketahui dari urin output dan/atau asupan minum cukup dan Ht

menurun.
Pasien dengan warning signs harus diobservasi hingga fase kritis lewat.
Parameter yang harus dimonitor adalah tanda vital dan perfusi perifer (tiap
1-4 jam hingga lewat fase kritis), urin output (tiap 4-6 jam), Ht (sebelum
dan setelah pemberian cairan, selanjutnya tiap 6-12 jam), glukosa darah,
dan fungsi organ sesuai indikasi.

Pada pasien tanpa warning signs, hal berikut harus dilakukan:

Motivasi minum. Jika tidak bisa, mulai infus intravena dengan NS 0,9%
atau RL dengan atau tanpa dekstrosa dengan dosis pemeliharaan. Untuk
pasien obese atau overweight digunakan dosis sesuai berat ideal. Berikan
volume minimum untuk memelihara perfusi dan urine output selama 24-

48 jam.
Pasien harus dimonitor: temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin
output (volume dan frekuensi), warning signs, hematokrit, leukosit, dan
trombosit. Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan sesuai indikasi.

Kelompok-C5
Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila
mengalami DBD berat untuk memudahkan akses intensif dan transfusi darah.
Resusitasi cairan dengan kristaloid isotonik secepatnya sangat penting untuk
menjaga volume ekstravaskular saat periode kebocoran plasma atau larutan koloid
pada keadaan syok hipotensi. Pantau nilai Ht sebelum dan sesudah resusitasi.
Tujuan akhir resusitasi cairan adalah meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer
(takikardia berkurang, tekanan darah dan nadi meningkat, ekstremitas tidak pucat
dan hangat, dan CRT <2 detik) dan meningkatkan perfusi organ (level kesadaran
membaik, urin output >0,5 ml/kg/jam, asidosis metabolik menurun).
Terapi pada Pasien Syok Terkompensasi

12

Gambar-3. Algoritma Pasien Syok Terkompensasi

Terapi pada Syok Hipotensi

13

Gambar-4. Algoritma Pasien Syok Hipotensi

2.2.7. Indikasi Pulang Pasien DBD


Pasien dapat pulang apabila memenuhi semua kriteria berikut:5

14

Klinis:
o Bebas demam selama minimal 48 jam
o Terdapat perbaikan ststus klinis (keadaan umum baik, nafsu makan
makan membaik, status hemodinamik stabil, urine output normal, tidak

ada gangguan pernapasan)


Laboratoris:
o Peningkatan jumlah trombosit
o Hematokrit stabil tanpa cairan intravena

15

STATUS PENDERITA
I.Anamnesis
Identitas
Nama Lengkap

: Nn. S

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 23 thn

Suku Bangsa

: Bugis

Aga ma

: islam

Pekerjaan

: Pelajar

Alamat

: BTP blok AD Makassar

Tanggal masuk

: 28 oktober 2013

Pukul

: 05.05 WITA

Riwayat Penyakit
Keluhan utama

: Demam

Anamnesis terpimpin :
Keluhan dialami sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam
dirasakan terus menerus dan hanya reda ketika minum obat penurun panas. Pada
saat demam hari ke 2 OSI masuk ke RS di Bandung dan dirawat selama dua hari.
Di RS di Bandung OSI didiagnosis dengan DBD, saat itu OSI diberi tahu
trombositnya 142.000. OSI tiba di Makassar minggu malam dan masih demam.
Sakit kepala (+), tidak terus menerus, pusing (+). Batuk (-), dahak (-).
Mual(+), muntah (-), NUH (+), riwayat sering nyeri uluhati (+), OSI sering
mengkonsumsi promag bila nyeri ulu hati. Riwayat mimisan (-), riwayat gusi
berdarah (+) bila menggosok gigi. Saat ini OSI sedang menstruasi hari ke dua,
lebih cepat dari jadwal biasanya (terakhir menstruasi akhir bulan oktober) darah

16

yang kelua lebih banyak dari biasanya. OSI mengeluh nyeri diseluruh badan dan
tulang.
Riwayat keluar kota (+), OSI satu tahun terakhir menetap di Bandung karena
kuliah.
BAK : Lancar, kuning.
BAB : belum hari ini, kemarin 1x biasa, warna kuning, padat.
Riwayat Penyakit sekarang
Riwayat Demam Berdarah Dengue (-)
Riwayat pengobatan (+), dengan Paracetamol yang didapat dari RS di Bandung
Riwayat opname selama 2 hari yang lalu di RS Bandung dengan trombosit :
142.000.
Riwayat penyakit terdahulu
Tidak ada
Riwayat keluarga dan lingkungan menderita penyakit yang sama tidak ada
Riwayat penyakit darah (-), riwayat Hepatitis (-), riwayat transfusi darah (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga tidak ada yang menderita sakit seperti ini.
Tetangga dan orang sekitar rumah tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.
II.Pemeriksaan Fisik (Tanggal 28 oktober 2013)
Status Present
- Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

- Kesadaran

: Compos mentis

17

- Sakit Sedang / Gizi Cukup / Sadar


- Tekanan darah
: 90/60 mmHg
- Nadi

: 80 x/menit

- Respirasi

: 20 x/menit

- Suhu

: 36,80 C

STATUS GENERALIS
Kepala

- Bentuk

: Normal, simetris

- Rambut

: Hitam, lurus, distribusi merata, tidak mudah dicabut

- Muka
: Bulat, simetris
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus
: (-)
Gerakan
: ke segala arah
Tekanan bola mata
: dalam batas normal
Kelopak Mata
: edema palpebra (-)
Konjungtiva
: anemis (-)
Sklera
: ikterus (-)
Kornea
: jernih
Pupil
: bulat, isokor 2,5mm/2,5 Reflex cahaya +/+
Telinga
Pendengaran
: dalam batas normal
Tophi
: (-)
Nyeri tekan di prosesus mastoideus
: (-)
Hidung
Perdarahan
: (-)
Sekret
: (-)
Mulut
Bibir
: pucat (-), kering (-)
Lidah
: kotor (-),tremor (-), hiperemis (-)
Tonsil
: T1 T1, hiperemis (-)
Faring
: hiperemis (-),
Gigi geligi
: caries (-)
Gusi
:perdarahan gusi (-)
LEHER
- Trakhea : Di tengah
- KGB

: Tidak ada pembesaran

- JVP

: R-1 cm H2O

18

THORAKS
- Bentuk

: Normal, simetris

- Retraksi suprasternal

: (-)

- Retraksi interkostal
JANTUNG

: (-)

- Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

- Palpasi

: Iktus kordis teraba sela iga IV garis midlavikula kiri

- Perkusi

: Batas atas sela iga II garis parasternal kiri


Batas kanan sela iga IV garis parasternal kanan
Batas kiri sela iga IV garis midklavikula

- Auskultasi
PARU

: Bunyi jantung I II normal, reguler, murmur (-)

- Inspeksi

: Bentuk dan pergerakan hemitoraks kiri sama dengan kanan

- Palpasi

: Fremitus taktil dan vokal hemitoraks kiri sama dengan kanan

- Perkusi

: Sonor

- Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)


ABDOMEN
- Inspeksi

: Datar, simetris

- Palpasi

: Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

- Perkusi

: Timpani

- Auskultasi : Peristaltik (+) normal


GENITALIA EKSTERNA

- Kelamin
: Edema vulva (-)
EKSTREMITAS
- Superior

: Akral hangat, uji tourniqet (+) di tangan kiri.

- Inferior

: Akral hangat, petechie (+) dikedua paha dan betis.

III. Laboratorium (Tanggal 28 0ktober 2013)

19

Jenis Pemerikaan

Hasil (28/10/2013)

Nilai Rujukan

WBC

1.54x103/uL

4 - 10 x 103/uL

RBC

5.01x106/uL

46 x 106/uL

HGB

14,4 g/dL

12 - 18 g/dL

HCT

39.4%

37 48%

PLT

52x 103/uL

150-400x103/uL

KIMIA

SGOT

77 U/L

<38 U/L

DARAH

SGPT

32 U/L

<41 U/L

FUNGSI

Ureum

14 mg/dL

10-50 mg/dL

GINJAL

Creatinin

0.6 mg/dL

L(<1.3), P(<1.1)

NS 1

Positif

IgM
IgG

Negatif
Negatif

DARAH
RUTIN

IV.

ASSESMENT :
DHF Grade II
V. PLANNING
Pengobatan :
Banyak minum 2- 3 liter / hari.
IVFD NaCl 0,9% (challenge fluid 100cc), lanjut 40 tts / menit.
Paracetamol 500 mg 3 x 1.
Domperidon 3 x 1.
Rencana :
Awasi tanda vital dan manifestasi perdarahan
Periksa DDR, ADT.
Foto thorax
PROGNOSA
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
FOLLOW UP

20

TANGGAL
29/10/2013

PERJALANAN PENYAKIT
S:
Demam (-), sakit kepala (-), pusing (-), batuk (+), sesak (-), nyeri dada (-), mual (-), nyeri ulu hati (+).

INSTRUKSI DOKTER
P:
Banyak minum 2-3 liter
IVFD NaCl 0,9 %
Paracetamol 500 mg 3x1
Domperidone 3x1

Haid hari ke 2
BAK : lancar, kuning
BAB : belum 2hari ini.
O:
SS/GC/CM
TD : 90/60 mmhg
P : 80 x/menit
N : 20 x/menit
S

: 36,6C

Anemis -/-, ikterus -/-.


MT(-), NT(-), DVS R-1cmH2O
Pembesaran KGB (-).
BP : vesikuler,
BT : Rh -/-, Wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N,
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ext : remple leede (+) di tangan
kiri, peteki (+) di kedua paha dan
betis.

Hasil Lab :

21

WBC : 6.23 x 103/uL


RBC : 4.68 x 106/uL
HCT : 36,9 %
HGB : 13,2 g/dL
PLT : 23.000
A :DHF grade II
30/10/2013

S:
Demam (-) bebas demam hari ke 2, riwayat demam 4 hari. Sakit kepala (-), pusing (-). Batuk (+), dahak (-) -

P:
Banyak minum 2-3 liter
IVFD NaCl 0,9 %
Paracetamol 500 mg 3x1
Domperidone 3x1
Ranitidin 1 amp/ 12 jam/ IV

sesak (-), nyeri dada (-). Mual (-),


muntah (-), nyeri perut (+) nyeri ulu
hati (+).
Haid hari ke 3
BAK : lancar, kuning
BAB : biasa, warna kuning.
O:
SS/GC/CM
TD : 90/60 mmhg
P : 80 x/menit
N : 20 x/menit
S

: 36,5C

Anemis

-/-,

ikterus

-/-,

konjungtivitis (+)
22

MT(-), NT(-), DVS R-1cmH2O


Pembesaran KGB (-).
BP : vesikuler,
BT : Rh -/-, Wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N,
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ext : remple leede (+) di tangan
kiri, peteki (+) di seluruh tubuh.

Hasil RT :
Sfingter

mencekik,

mukosa

licin,

ampulla kosong, darah (-).


Hasil Lab :
WBC : 7.0 x 103/uL
RBC : 4.54 x 106/uL
HCT : 36,2 %
HGB : 12,7 g/dL
PLT : 27000
A :DHF grade II
31/10/2013

S:
Demam (-) bebas demam hari ke 3, riwayat demam 4 hari. Sakit kepala (-), pusing (-). Batuk (-), dahak (-) -

P:
Banyak minum 2-3 liter
IVFD NaCl 0,9 %
Paracetamol 500 mg 3x1
Domperidone 3x1
Ranitidin 1 amp/ 12 jam/ IV

sesak (-), nyeri dada (-). Mual (-),


muntah (-), nyeri perut (-) nyeri ulu
hati (-).
Haid hari ke 4
OSI kuat minum.

23

BAK : biasa, lancar


BAB : biasa, kesan normal
O:
SS/GC/CM
TD : 110/80 mmhg
P : 72 x/menit
N : 20 x/menit
S

: 36,5C

Anemis -/-, ikterus -/-.


MT(-), NT(-), DVS R-1cmH2O
Pembesaran KGB (-).
BP : vesikuler,
BT : Rh -/-, Wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N,
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ext : peteki (+) di seluruh tubuh
.

Hasil Lab :
WBC : 4.2 x 103/uL
RBC : 4.22 x 106/uL
HCT : 34.9 %
HGB : 11,9 g/dL
PLT : 54000
A :DHF grade II
01/11/2013

S:

P:
- Banyak minum 2-3 liter

Demam (-) bebas demam hari ke 4,


24

riwayat demam 4 hari. Sakit kepala (-), pusing (-). Batuk (-), dahak (-)
sesak (-), nyeri dada (-). Mual (-), -

IVFD NaCl 0,9 %


Paracetamol 500 mg 3x1
Domperidone 3x1
Ranitidin 1 amp/ 12 jam/ IV

muntah (-), nyeri perut (-) nyeri ulu


hati (-).
Haid hari ke 5
OSI kuat makan dan minum.
BAK : biasa, lancar
BAB : biasa, kesan normal
O:
SS/GC/CM
TD : 110/70 mmhg
P : 80 x/menit
N : 20 x/menit
S

: 36,5 C

Anemis -/-, ikterus -/-.


MT(-), NT(-), DVS R-1cmH2O
Pembesaran KGB (-).
BP : vesikuler,
BT : Rh -/-, Wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N,
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ext : peteki (+) di seluruh tubuh
.

Hasil Lab :
WBC : 4.3 x 103/uL
25

RBC : 4.20 x 106/uL


HCT : 34.3 %
HGB : 11,6 g/dL
PLT : 124.000
A :DHF grade II
02/11/2013

S:

P:
- Banyak minum 2-3 liter
Demam (-) bebas demam hari ke 5, - Aff infus
- Paracetamol 500 mg 3x1(jika
riwayat demam 4 hari. Sakit kepala
demam)
(-), pusing (-). Batuk (-), dahak (-) - Ranitidin tab 3x1
sesak (-), nyeri dada (-). Mual (-),
muntah (-), nyeri perut (-) nyeri ulu
hati (-).
Haid hari ke 6
OSI kuat makan dan minum.
BAK : biasa, lancar
BAB : biasa, kesan normal
O:
SS/GC/CM
TD : 110/70 mmhg
P : 80 x/menit
N : 20 x/menit
S

: 36,5 C

Anemis -/-, ikterus -/-.

26

MT(-), NT(-), DVS R-1cmH2O


Pembesaran KGB (-).
BP : vesikuler,
BT : Rh -/-, Wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan N,
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ext : peteki (+) di seluruh tubuh
.

A :DHF grade II

VI. RESUME
Seorang perempuan berumur 23 tahun masuk rumah sakit dengan demam.
Demam dialami sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, saat ini hari ke 5.
Demam dirasakan terus menerus dan hanya reda ketika minum obat penurun
panas. Pada saat demam hari ke 2 OSI masuk ke RS di Bandung dan dirawat
selama dua hari. Di RS di Bandung OSI didiagnosis dengan DBD, saat itu OSI
diberi tahu trombositnya 142.000. OSI tiba di Makassar minggu malam dan masih
demam.
Sakit kepala (+), tidak terus menerus, pusing (+). Batuk (-), dahak (-).
Mual(+), muntah (-), NUH (+), riwayat sering nyeri uluhati (+), OSI sering
mengkonsumsi promag bila nyeri ulu hati. Riwayat mimisan (-), riwayat gusi
berdarah (+) bila menggosok gigi. Saat ini OSI sedang menstruasi hari ke dua,
lebih cepat dari jadwal biasanya (terakhir menstruasi akhir bulan oktober) darah
yang kelua lebih banyak dari biasanya. OSI mengeluh nyeri diseluruh badan dan
tulang. BAK : Lancar, kuning. BAB : belum hari ini, kemarin 1x biasa, warna
kuning, padat.
Riwayat Demam Berdarah Dengue (-) Riwayat pengobatan (+), dengan
Paracetamol yang didapat dari RS di Bandung Riwayat opname selama 2 hari
yang lalu di RS Bandung dengan trombosit : 142.000.Riwayat penyakit terdahulu
27

tidak ada. Riwayat keluarga dan lingkungan menderita penyakit yang sama tidak
ada, Riwayat penyakit darah (-), riwayat hepatitis (-), Riwayat transfusi (-).
Pada pemeriksaan fisis ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran Compos mentis, tekanan darah
respirasi 20x/menit, suhu

90/60 mmhg, nadi 80 x/menit,

36,8C. Ekstremitas

akral hangat, uji tourniqet (+)

pada tangan kiri, petechie (+) pada kedua paha dan betis.
Pada

pemeriksaan

penunjang

diperoleh

hasil

Laboratorium

NS 1 (+), trombosit pada pemeriksaan pertama 52.000, kedua 23.000, ketiga


27.000, keempat 54.000 dan pemeriksaan kelima 124.000.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan, maka pasien didiagnosis DBD grade II.

28

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini datang dengan keluhan demam yang dialami 4 hari sebelum
masuk Rumah Sakit. Demam dirasakan terus menerus dan hanya reda ketika
minum obat penurun panas. Pada pasien juga terdapat gejala klinis tidak khas
seperti lemas, nyeri kepala, mual dan nyeri ulu hati. Pasien juga memiliki riwayat
gusi berdarah pada saat gosok gigi. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan
keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran Compos mentis, tekanan darah
90/60 mmhg, nadi 80 x/menit, respirasi 20x/menit, suhu

36,8C.

Ekstremitas

akral hangat, uji tourniqet (+) pada tangan kiri, petechie (+) pada kedua paha dan
betis.
Menurut WHO 2009, kriteria sugestif untuk mengetahui kasus tersangka
DBD adalah pasien tinggal atau baru bepergian dari daerah endemis dengue,
adanya riwayat demam lebih dari tiga hari, jumlah leukosit rendah atau menurun,
dan/atau trombositopenia uji torniquet positif. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan laboratorium, pasien ini memenuhi semua kriteria tersebut
sehingga dapat dipikirkan pasien ini tersangka DBD.
Uji torniquet merupakan tanda peningkatan fragilitas kapiler. Uji torniquet
pada pasien ini bermanfaat dan perlu dilakukan karena pada pasien ini terdapat
gejala dan tanda klinis yang mengarah DBD dan uji torniquet memberikan hasil
positif pada 70,2% di awal perjalanan penyakit. Uji torniquet dinyatakan positif
bila terdapat lebih dari 10 petekie dalam diameter 2,8 cm (1 inci persegi) di lengan
bawah bagian depan (volar) termasuk pada lipatan siku (fossa cubiti) saat
diberikan tekanan diantara sistolik dan diastolik pada lengan atas pasien selama 5
menit.

29

Pasien ini juga memenuhi 4 kriteria diagnosis DBD yang ditetapkan WHO
1997, antara lain:
1. Demam yang berlangsung 2-7 hari dan sifatnya bifasik (tinggi pada harihari pertama dan membaik pada hari-hari selanjutnya). Pasien ini
mengalami demam selama 4 hari dan hanya membaik jika minum obat
penurun panas. Selanjutnya pasien sudah tidak demam lagi (demam
bersifat bifasik).
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan. Pada pasien didapatkan uji
Rumple Leed positif, dan terdapat tanda perdarahan spontan yaitu peteki
pada kedua paha dan betis. Serta riwayat perdarahan gusi saat gosok gigi.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000). Pada pasien ini terdapat
trombositopenia dari pada pemeriksaan pertama 52.000, kedua 23.000,
ketiga 27.000, keempat 54.000 dan pemeriksaan kelima 124.000. Keadaan
trombositopenia pada pasien ini disebabkan oleh penghancuran trombosit
oleh sistem retikuloendotelial karena terjadi agregasi trombosit.
4. Terdapat tanda-tanda kebocoran plasma. Pada pasien ini tidak terdapat
tanda klinis kebocoran plasma seperti asites dan efusi pleura. Namun,
tanda kebocoran plasma dapat diketahui dari hasil pemeriksaan
laboratorium. Penilaian kebocoran plasma juga dapat ditandai dengan
adanya leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang cepat.
Pada pasien ini terdapat leukopenia yang terjadi sebanding dengan derajat
leukopenia:
Tanggal

Trombosit

Leukosit

28 oktober 2013

52.000

1.540

29 oktober 2013

23.000

6.230

30 oktober 2013

27.000

7.000

31 oktober 2013

54.000

4.200

1 november 2013

124.000

4.300

Selanjutnya, menurut WHO 1997, derajat spektrum klinis pasien ini adalah
DBD derajat III, karena terdapat tanda kegagalan sirkulasi berupa nadi cepat dan
lemah serta hipotensi.

30

Menurut WHO 2009, berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik


dan/atau darah lengkap dan hematokrit, diagnosis DBD ditegakkan dengan
melihat fase penyakit (febris, kritis, atau penyembuhan), menentukan adanya
warning signs, hidrasi, dan status hemodinamik pasien, serta apakah pasien
memerlukan rawat.
Pasien ini sedang berada pada hari ke-6 dan tekanan darah saat masuk
90/60 mmHg. Jadi pasien ini dapat digolongkan ke dalam fase kritis syok
hipotensi. Pasien juga memiliki warning sign berupa nyeri abdomen, mual
persisten, dan penurunan trombosit. Status hemodinamik juga terganggu, karena
didapatkan hipotensi, takikardia, dan nadi teraba lemah. Pasien ini memerlukan
rawat atas dasar adanya warning signs dan hipotensi.
Untuk membuktikan etiologi DBD, pada pasien ini telah dilakukan
pemeriksaan NS 1 dan hasilnya positif sedangkan serologi anti Ig-M dan Ig-G dan
hasilnya keduanya negatif . Pada infeksi primer, antibodi IgM dapat terdeteksi
pada hari kelima setelah onset penyakit, yakni setelah jumlah virus dalam darah
berkurang. Kadar IgM meningkat dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam 2
minggu dan menurun hingga tak terdeteksi lagi setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG
muncul beberapa hari setelah IgM dan pada infeksi primer, produksi IgG lebih
rendah dibandingkan IgM, namun dapat bertahan beberapa tahun dalam sirkulasi,
bahkan seumur hidup. Sedangkan pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat
lebih banyak dibandingkan IgM dan muncul sebelum atau bersamaan dengan
IgM. IgG merupakan antibodi predominan pada infeksi sekunder.
Dengan menggunakan kriteria WHO 1997 dan 2009 serta didukung hasil
NS 1 positif maka diagnosis DBD pada pasien ini dapat ditegakkan.
Setelah

diagnosis

ditegakkan

maka

langkah

selanjutnya

adalah

menentukan tatalaksana yang sesuai untuk pasien. Menurut WHO 2009, pasien ini
masuk dalam kelompok-C dengan syok hipotensi. Tatalaksana untuk keadaan ini
bersifat emergensi dan urgensi untuk memudahkan akses intensif dan transfusi
darah. Resusitasi cairan dengan kristaloid isotonik atau koloid secepatnya sangat
penting untuk menjaga volume ekstravaskular saat periode kebocoran plasma.

31

Menurut protokol WHO 2009 untuk syok hipotensi, pada fase awal cairan
kristaloid atau koloid di-loading sebanyak 20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 1530 menit. Bila renjatan teratasi, yang ditandai dengan tekanan darah sistolik 100
mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi <100 kali/menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat, serta
diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam, maka jumlah cairan dikurangi menjadi 10
ml/kgBB/jam. Bila keadaan tetap stabil, pemberian cairan diturunkan menjadi 5-7
ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu 3-5 ml/kg/hari selama 2-4 jam, dan kurangi lagi
menjadi 2-3 ml/kg/jam, dan selanjutnya bergantung pada status hemodinamik.
Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi, tanda-tanda vital dan Ht tetap stabil serta
diuresis cukup maka pemberian cairan per infus harus dihentikan.
Hal yang kurang sesuai dalam penatalaksanaan pasien ini sesuai protokol
WHO 2009 antara lain:
1. Tidak dilakukan pencatatan diuresis. Urin output perlu dicatat untuk
memantau respon klinis pasien terhadap terapi dan menentukan jumlah
cairan yang akan diberikan kepada pasien selanjutnya.
2. Saat renjatan teratasi, setiap pemberian cairan pada penurunan gradual
tidak diikuti dengan pemantauan tanda-tanda vital dan klinis pasien.
Sama seperti pencatatan diuresis, pemantauan tanda vital berguna
dalam menentukan rencana terapi selanjutnya.
3. Pada pasien diberikan maintenance cairan berupa IVFD RL 500 cc/6
jam dan Haemacell 500 cc/12 jam. Seharusnya pemberian cairan hanya
perlu RL 600 cc/6 jam, sesuai dengan kebutuhan cairan rumatan
pasien. Perhitungan jumlah cairan rumatan pada pasien berdasarkan
perhitungan:
4 ml/kg/jam untuk 10 kg berat badan pertama
2 ml/kgBB/jam untuk 10 kg berat badan kedua
1 ml/kgBB/jam untuk 10 kg berat badan selanjutnya.
Pasien ini memiliki berat badan 60 kg, jadi kebutuhan cairan rumatan
adalah 40 ml + 20 ml + 40 ml = 100 ml/jam. 6 jam = 600 cc.
WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada
terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih
mudah didapat dan lebih murah. RL memiliki kadar natrium rendah

32

(131 mmol/L) dan klorida rendah (115 mmol/L) serta osmolaritas 273
mOsm/L sehingga tidak bisa digunakan pada pasien dengan
hiponatremia berat. RL juga sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan penyakit hati dan sedang dalam terapi metformin karena
mengganggu metabolisme laktat. Pasien ini memiliki kadar Na sedikit
rendah (133 mmol/L), nilai SGOT/SGPT dalam batas normal, dan
tidak mengkonsumsi metformin sehingga RL cukup aman diberikan.
4. Pemberian rumatan pada pasien ini dilakukan selama 72 jam.
Seharusnya rumatan dipertahankan cukup selama 24-48 jam saja untuk
mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung kongestif akibat
overload cairan.
Selain pemberian cairan, pada pasien juga diberikan terapi simtomatik
yakni parasetamol 3 x 500 mg bila demam, domperidon 3 x 10 mg dan ranitidin
ampul 12 jam/ IV. Domperidon bersifat antiemetik yang disebabkan kombinasi
efek periferal (gastrokinetik) dan antagonis terhadap reseptor dopamin di
chemoreceptor trigger zonhatie. Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati dan di beri
terapi ranitidin. Terapi ini sudah sesuai karena pasien mengalami mual yang
mengakibatkan turunnya nafsu makan.
Pasien ini sudah bisa dipulangkan pada hari keenam karena sudah bebas
demam selama 6 hari, terdapat perbaikan status klinis (keadaan umum baik, nafsu
makan membaik, status hemodinamik stabil, tidak ada gangguan pernapasan),
jumlah trombosit sejak hari kelima perawatan terus meningkat.

33

BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Pada pasien ini didiagnosis DBD berdasarkan adanya demam akut 2-7 hari
pola

bifasik,

terdapat

mainfestasi

perdarahan

(uji

Rumple

Leed

+),

,trombositopenia, dan kebocoran plasma. Pemeriksaan NS 1 juga (+). Pasien ini


mengalami DBD fase syok hipotensi karena terdapat hipotensi, takikardia, dan
nadi teraba lemah. Hipotensi dan adanya warning signs menjadi indikasi rawat
bagi pasien ini.
5.2. Saran
Prinsip tatalaksana utama DBD pada fase syok adalah pemberian terapi
suportif dengan resusitasi cairan. Jumlah pemberian cairan harus disesuaikan
dengan keadaan klinis pasien dan mencegah terjadinya overload cairan karena
justru akan menimbulkan komplikasi. Prinsip pemberian cairan yang efektif
sebaiknya disesuaikan dengan protokol yang dikeluarkan WHO tahun 2009.
Namun, terdapat kekurangsesuaian antara penatalaksanaan pasien ini dengan
protokol pasien syok berdasarkan WHO 2009, antara lain:
1. Tidak dilakukan pencatatan diuresis.
2. Saat renjatan teratasi, setiap pemberian cairan pada penurunan gradual
tidak diikuti dengan pemantauan tanda-tanda vital dan klinis pasien.

DAFTAR PUSTAKA
34

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue


Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2009.p.2773-9.
2. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2004.
3. Situation update of dengue in the SEA Region, 2007 diunduh dari
www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_dengue-SEAR-2008.pdf
4. Chen K, Pohan HT, Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicines 2009:22;1.
5. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control.
World
Health
Organization,
2009.
Diunduh
dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf
6. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control.
2nd edition. Geneva : World Health Organization. 1997. Diunduh dari
http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublicati
on/en/print.html
7. Guidelines for Treatment of Dengue Fever/Dengue Haemorrhagic Fever in
Small
Hospitals.
1999.
diunduh
dari
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_Guideline-dengue.pdf
8. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses.
In: Braunwald, et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17 th ed.
USA: McGraw Hill Companies, 2008.
9. Anonim. Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam: Sastroasmoro S, et.al.
(editor). Panduan Pelayanan Medis. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, 2007.p.156-7.
10. Fact Sheet on Dengue and Dengue haemorrhagic fever. World Health
Organization
Sudan,
2005.
Diunduh
dari
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
11. World Health Organization. Dengue Fever. Diunduh dari
www.emro.who.int/sudan/pdf/cd_trainingmaterials_dengue.pdf
12. Estuningtyas A, Arif A. Obat Lokal. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R,
Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2007. P.522.

35

Anda mungkin juga menyukai