Anda di halaman 1dari 15

TRAUMA PRE INJURY

DEFINISI
Trauma adalah cedera fisik atau emosional. Secara medis, trauma mengacu pada cedera
serius atau kritis, luka, atau syok. Dalam psikiatri, trauma memiliki makna yang berbeda
dan mengacu pada pengalaman emosional yang menyakitkan, menyedihkan, atau
mengejutkan, yang sering menghasilkan efek mental dan fisik berkelanjutan. (Haddad and
Arbi, 2012)
Trauma merupakan reaksi fisik dan psikis yang bersifat stress buruk akibat suatu peristiwa,
kejadian atau pengalaman spontanitas/secara mendadak (tiba-tiba), yang membuat individu
mengejutkan, kaget, menakutkan, shock, tidak sadarkan diri, dsb yang tidak mudah hilang
begitu saja dalam ingatan manusia. Trauma adalah setiap luka, kesakitan atau shock yang
terjadi pada fisik dan mental individu yang berakibat timbulnya gangguan serius.
(Dorotazysko dkk, 2014)
Trauma sebagai pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan dan meninggalkan bekas (kesan)
yang mendalam pada jiwa seseorang yang mengalaminya. Dari dua pendapat ini, dapat
dianalisis bahwa trauma merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan atau buruk yang
datang secara spontanitas dan merusak seluruh sendi/fungsi pertahanan kejiwaan individu,
sehingga membuat individu tidak berdaya dalam mengendalikan dirinya. (Haddad and Arbi,
2012)
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur
kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak (Haddad and Arbi, 2012). Menurut Brain Injury Association of America, cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik (E. Sander Connolly, 2012)

KLASIFIKASI
Pada umumnya trauma kepala terjadi sebagai akibat kecelakaan. Pada trauma kepala
mempunyai beberapa macam, (Harsono, 2000) yaitu :
1. Trauma kepala terbuka
Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak. Fraktur longitudinal sering
menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba
eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru dibelakang telinga diatas os
mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma
kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak.
Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat
dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )


Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung )
Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga) (Harsono, 2000)

2. Trauma Kepala Tertutup


Trauma kepala tertutup terjadi pada Komusio serebri (Gegar otak), Kontusio serebri (Memar
otak), Perdarahan sub dural, Perdarahan Intraserebral .
a. Komusio serebri (Gegar otak)
Komusio serebri (Gegar otak) merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi
pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan
mata dan linglung.
Berdasarkan atas lokasi benturan, lesi dibedakan atas koup kontusio dimana lesi terjadi
pada sisi benturan, dan tempat benturan. Pada kepala yang relatif diam biasanya terjadi
lesi koup, sedang bila kepala dalam keadaan bebas bergerak akan terjadi kontra koup.
Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin
menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese
kontralateral. SEdangkan perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak

memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak
membaik setelah beberapa hari.
b. Perdarahan sub dural
Perdarahan sub duralmerupakan perdarahan antara duramater dan arakhnoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena. Perdarahan subdural dibedakan atas akut, subakut,
dan kronis.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera
batang otak. Tanda-tanda akan gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan kantuk, dan
kebingungan, respon yang lambat, dan gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya
perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural subakut, biasanya berkembang 7 sampai 10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan serebral yang terusmenerus menyuebabkan penurunan tingkat kesadaran yang dalam.
Perdarahan subdural kronik, terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil
memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran
vaskuler dan pelan-pelan meluas. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa mingggu
atau bulan. Keadaan ini pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan
motorik.
c. Perdarahan Intraserebral
Merupakan

penumpukan

darah

pada

jaringan

otak.

Perdarahan

mungkin

menyertai contra coup phenomenon. Kebanvalan dihubungkan dengan kontusio dan


terjadi dalam area frontal dan temporal. Akibat adanya substansi darah dalam jaringan
otak akan menimbulkan edema otak. Gejala neurologik tergantung dari ukuran dan lokasi
perdarahan.
d. Lokasi Terjadinya Trauma Kepala:
Pada kulit kepala: terjadi robekan pada kulit kepala atau pada jenis trauma kepala

ringan.
Pada tengkorak atau otak: terjadi benturan keras, terkena benda tumpul pada kepala
atau pada jenis trauma kepala terbuka dan berat. (Haddad and Arbi, 2012)

e. Berdasarkan berat ringannya trauma kepala terbagi menjadi 3 yaitu:


1. Cedera kepala ringan :

Jika GCS (Skala Koma Glasgow) antara 15-13, dapat terjadi kehilangan kesadaran
kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematoma.
a) Tidak kehilangan kesadaran
b) Satu kali atau tidak ada muntah
c) Stabil dan sadar
d) Dapat mengalami luka lecet atau laserasi di kulit kepala
e) Pemeriksaan lainnya normal
2. Cedera kepala sedang :
Jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai 24 jam, dapat
disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan.
a) Kehilangan kesadaran singkat saat kejadian
b) Saat ini sadar atau berespon terhadap suara. Mungkin mengantuk
c) Dua atau lebih episode muntah
d) Sakit kepala persisten
e) Kejang singkat (<2menit) satu kali segera setelah trauma
f) Mungkin mengalami luka lecet, hematoma, atau laserasi di kulit kepala
g) Pemeriksaan lainnya normal
3. Cedera kepala berat :
Jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio,
laserasi atau adanya hematoma dan edema serebral.
a) Kehilangan kesadaran dalam waktu lama
b) Status kesadaran menurun responsif hanya terhadap nyeri atau tidak responsif
c) Terdapat kebocoran LCS dari hidung atau telinga
d) Tanda-tanda neurologis lokal (pupil yang tidak sana, kelemahan sesisi)
e) Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial:
Herniasi unkus: dilatasi pupil ipsilateral akibat kompresi nervus okulomotor
Herniasi sentral: kompresi batang otak menyebabkan bradikardi dan hipertensi
f) Trauma kepala yang berpenetrasi
g) Kejang (selain Kejang singkat (<2menit) satu kali segera setelah trauma)
(Harsono, 2000)

PATOFISIOLOGI
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Pada trauma kepala terjadi akselerasi (gerakan
yang cepat dan mendadak yang terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala
yang diam) dan deselerasi (penghentian akselerasi secara mendadak yaitu jika kepala
membentur benda yang tidak bergerak). Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi dua
kejadian yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak (kup) dan pergeseran otak ke arah yang
berlawanan dengan arah dampak primer (kontra kup). Apabila akselerasi disebabkan oleh

pukulan pada oksiput, maka pada tempat di bawah tampak terdapat tekanan positif akibat
identasi ditambah tekanan positif yang dihasilkan oleh akselerasi tengkorak ke arah dampak
dan penggeseran otak ke arah yang berlawanan. Di seberang tempat terdapat tekanan negatif
akibat akselerasi kepala yang ketika itu juga akan ditiadakan oleh tekanan yang positif yang
diakibatkan oleh pergeseran seluruh otak. (Dorotazysko dkk, 2014)
Maka pada trauma kepala dengan dampak pada oksiput, gaya kompresi di bawah berdampak
cukup besar untuk bisa menimbulkan lesi. Lesi tersebut bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil tanpa kerusakan pada duramater
(lesi kontusio). Jika lesi terjadi di bawah dampak disebut lesi kontusio kup dan jika terjadi
di seberang dampak disebut lesi kontusio kontra kup. Sehingga dari sana bisa timbul
gejala-gejala deficit neurologist berupa reflek babinski yang positif dan kelumpuhan UMN.
Setelah kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan gambaran organic
brain syndrom dan berdampak juga pada autoregulasi pembuluh darah serebral, sehingga
terdapat vasoparalisis. (E. Sander Connolly, 2012)
Akselerasi dan penggeseran otak yang terjadi bersifat linear dan bahkan akselerasi yang
sering kalidiakibatkan oleh trauma kepala disebut akselerasi rotarik. Pergeseran otak pada
akselerasi dan deselerasi linear dan rotarik bisa menarik dan memutuskan vena-vena yang
menjembatani selaput arakhnoida dan dura sehingga timbul perdarahan subdural. Vena-vena
tersebut Bridging Veins. (Dorotazysko dkk, 2014)

MANIFESTASI KLINIS
Menurut (Harsono, 1996) gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
a.
b.
c.
d.

Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)


Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

1. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;


Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.

c. Mual atau dan muntah. d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
d. Perubahan keperibadian diri.
e. Letargik. (Harsono, 1996)
2. Tanda tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala sedang
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana (GCS 9-13).
a. Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, perdarahan
hidung/mulut/telinga, kejang
b. - Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
- Pemeriksaan neurologis
- Transport ke pusat trauma/bedah saraf. (Harsono, 1996)
3. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan
kesadaran (GCS 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS
> 8).
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun
atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun,

hipertensi,

depresi

pernafasan).

Universitas Sumatera Utara


d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal
ekstrimitas. (Harsono, 1996)

PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT


1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH
Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi (tekanan darah sistolik
<90 mm Hg*) adalah parameter yang nyata berkaitan dengan outcome yang buruk
Oksigenasi darah : Prosentase saturasi oksigen darah diukur dengan oksimeter denyut
nadi (bila ada). Tekanan darah sistolik dan diastolik diperiksa sesering yang
dimungkinkan dan dimonitor secara berkelanjutan. Kerusakan otak sekunder pada cedera
kepala berat sering terjadi dan sangat mempengaruhi outcome.
*) 0-1 tahun : <65; 2-5 tahun : < 75; 6-12 tahun : <80; 13-16 tahun : < 90. (Harsono,
2000)
2. SKOR SKALA KOMA GLASGOWGCS

adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam kaitannya dengan perbaikan atau
perburukan pada pemeriksaan berulang. Penilaian tunggal GCS tidak dapat memprediksi
outcome, namun perburukan 2 poin dimana GCS sembilan atau kurang menunjukkan
cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk. GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien,
secara verbal atau pada pasien yang tidak ikut perintah dengan rangsang nyeri pada
pangkal kuku atau anterior ketiak dll. GCS dinilai lagi setelai penilaian inisial (pada
penilaian inisial dapat digunakan AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas
motorik), setelah jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan respiratori.
Hipoksemi dan hipotensi berdampak negatif terhadap GCS. GCS dinilai pula sebelum
pemberian sedatif atau agen paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi. GCS
inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih memprediksikan outcome buruk. 20 %
dengan GCS 3-5 hidup, 8-10 % dengan hidup yang fungsional. (Harsono, 2000)
3. PUPIL
Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan 1 mm. Pupil yang tidak bereaksi terhadap
cahaya : reaksi tidak ada atau kurang dari 1 mm. Perhatikan pula adanya trauma orbital.
Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya. Apakah satu atau
kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan
berdilatasi.

Pupil

dinilai

lagi

setelah

resusitasi

dan

stabilisasi.

Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar evaluasi. Kelainan pupil
membantu menentukan tindakan, terutama bila berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan
tidak bereaksi terhadap cahaya bilateral, mengarahkan pada herniasi otak yang
memerlukan tindakan darurat untuk menurunkan tekanan intrakranial. Konstriksi
terhadap cahaya adalah fungsi simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk
(ipsilateral) dan respons konsensual (kontralateral), tergantung intaknya sistem aferen
yang membawa sinyal dari retina ke otak tengah, serta sistem eferen parasimpatik pada
bagian luar saraf ketiga dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah
terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak. Karenanya pemeriksaan pupil
sangat penting pada pasien dengan gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar dari otak
tengah dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam untuk terkompresi sebagai
akibat edema, perdarahan intrakranial, dan hematoma epidural atau subdural. Kompresi
saraf ketiga unilateral menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat respons cahaya
langsung, disaat respons konsensual utuh. Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga
berhubungan dengan dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf ketiga

disertai tidak adanya trauma intrakranial yang nyata bisa menyebabkan kelainan pupil
walau biasanya disertai dengan kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil
berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain mendapatkan 91 % tewas. 54
% pasien dengan refleks cahaya negatif pulih dengan baik. Tingkat yang paling ringan
ialah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya
beberapa menit saja. Atas dasar ini trauma Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera
dan lokasinya. Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan
kesadaran penderita. kepala dapat digolongkan menjadi ringan bila derajat koma Glasgow
(Glasgow Coma Scale, GCS) total adalah 13-15, sedang bila 9-12, dan berat bila 3-8.
lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinik. (Harsono, 2000)

DIAGNOSIS
Anamnesis :
Hampir selalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja
atau trauma lainnya. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah perlu
dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadangkadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, apakah jatuh kemudian tidak sadar atau
kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh. Anamnesis yang lebih terperinci meliputi
sifat kecelakaan atau sebab-sebab trauma untuk estimasi berat ringannya benturan, saat
terjadi beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit, ada tidaknya benturan kepala
langsung dan keadaan penderita saat kecelakaan misalnya kejang, kelemahan motorik,
gangguan bicara dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa serta adanya nyeri kepala,
mual muntah. (Haddad and Arbi, 2012)
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwa sejak sebelum terjadinya
kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia
retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu
dalam keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi
(kesadaran berubah). (E. Sander Connolly, 2012)
Pemeriksaan fisik lengkap meliputi:
1. Tanda vital,

2. Tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale atau Pediatric Coma Scale,
3. Ada tidaknya cedera luar yang terlihat: cedera pada kulit kepala, perdarahan hidung
ataupun telinga, hematom periorbital dan retroaurikuler,
4. Tanda-tanda neurologis fokal seperti ukuran pupil dan reaksi cahaya, gerakan mata, pola
aktivitas motorik dan fungsi batang otak,
5. Reflek tendon,
6. Fungsi sensorik dan serebeler perlu diperiksa jika pasien sadar. (Japardi Iskandar, 2004)
Hal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status fungsi vital
dan status kesadaran pasien.
Status fungsi vital
Yang dinilai dalam status fungsi vital adalah:
1. Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera
dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus
berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury).
2. Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes, Biot /
hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya tingkat
kesadaran.
3. Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga adanya
shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma
abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan
melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan
intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.
(Harsono, 1996)
Status kesadaran pasien
Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara ini
sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan balk oleh dokter
maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke
waktu dapat diikuti secara akurat. Yang dinilai adalah respon membuka mata, respon verbal
dan respon motorik. (Japardi Iskandar, 2004)

Status neurologis
Pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi
adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini

perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori, paresis / paralisis, dan refleks
patologis.Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat lain
seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu
dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin. (Japardi Iskandar, 2004)

Kriteria Diagnosis
Cedera kepala ringan (CKR dengan GCS 13-15); Cedera kepala sedang (CKS dengan GCS 912); Cedera kepala berat (CKB dengan GCS <= 8). Diagnosis morfologi: fraktur cranium,
perdarahan EDH; SDH; ICH, lesi intrakranial difus komosio ringan; komosio klasik;diffuse
axonal injury. (Haddad and Arbi, 2012)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen foto tengkorak 3 posisi: menilai ada tidaknya fraktur
2. CT Scan kepala: menilai ada tidaknya perdarahan, edema serebri dan kelainan morfologi
lain (bila memungkinkan)
3. Darah rutin dan pemeriksaan lain sesuai indikasi. (Japardi Iskandar, 2004)

DD
1. Diagnosis Kerja
Epidural hematom, subdural hematom, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intracranial
atau hematoma jaringan lunak
2. Diagnosis Banding
Stroke, tumor otak (Japardi Iskandar, 2004)

PENATALAKSANAAN
PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 1315)
1. Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan
abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedangberat,
pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur tengkorak, rinorea-otorea, cedera
penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah, tidak mungkin kembali ke
rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia. Bila tidak memenuhi kriteria rawat maka
pasien dipulangkan dengan diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah sakit
bila dijumpai tanda-tanda perburukan.
2. Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap - 2 jam.
3. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali memang sama
sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal. (Harsono, 1996)

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-12)


1. Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik.
2. Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi memburuk
dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.
(Japardi Iskandar, 2004)

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS <= 8)


1. Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100% dan jangan
banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat disingkirkan.

2. Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi korban agar tetap
normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi darah jika Hb kurang
dari 10 gr/dl.
3. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan
pemeriksaan batang otak secara periodik.
4. Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin pada penderita
dengan ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang mencolok.
5. Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 31, furosemide diuretik
1 mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada edema cerebri, berikan anti perdarahan.
6. Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti kejang jika penderita
kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala terbuka, rhinorea, otorea.
7. Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin iv untuk mencegah perdarahan gastrointestinal.
8. Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.
9. Operasi cito pada perkembangan ke arah indikasi operasi.
10. Fisioterapi dan rehabilitasi. (Japardi Iskandar, 2004)

PENGOBATAN
1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ingat ABC)
2. Mengurangi edema otak dengan cara:
Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga men-cegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu
menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis.
Bila dapat diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 2530

mmHg.
Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk
"menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol
harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan

0,51 g/kgBB dalam 1030 menit.


Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak
beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa
kortikosteroid tidak / kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya

berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat
ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan
akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan

dengan pengawasan yang ketat.


Pada 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 15002000 ml/24 jam agar

tidak memperberat edema jaringan.


3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan dapat
membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan
koma.
4. Perawatan luka da pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini.
5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan
fungsi pembekuan normal. Perdarahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan
hemostatik.
6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus kepala
dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat diberikan dengan
dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan 250-500 mg fenitoin

per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd 100 mg/hari per oral atau intravena.
Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena
efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan depresi pernapasan. (Haddad and Arbi,
2012), (Japardi Iskandar, 2004)

PROGNOSIS
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan
total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang
terjadi.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami
kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan
fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat
peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah
kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.
Penderita bisa mengalami sindroma pasca konkusio, dimana sakit kepala terus menerus
dirasakan dan terjadi gangguan ingatan.Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak
sadarkan diri dalam waktu yang lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang
mendekati normal.
Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non fatal.
Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang mengendalikan fungsi
mental), sedangkan talamus dan batang otak (yang mengatur siklus tidur, suhu tubuh,
pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh. Jika status vegetatif terus berlangsung selama
lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil. (Harsono,
2000)

Anda mungkin juga menyukai