Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dibidang teknologi dan
informasi memberikan kemudahan bagi manusia untuk melakukan aktivitas seharihari. Salah satu bentuk kemajuan di bidang teknologi dan informasi adalah internet.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, internet merupakan jaringan komunikasi
elektronik yang menghubungkan jaringan komputer dan fasilitas komputer yang
terorganisasi di seluruh dunia melalui telepon atau satelit (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2008). Melalui internet, orang-orang dapat mengakses informasi dengan
cepat dan mengetahui peristiwa yang terjadi baik di wilayahnya sendiri bahkan
seluruh dunia.
International Telecommunications Union (ITU) mengatakan bahwa hingga
akhir tahun 2015 nanti jumlah pengguna internet di seluruh dunia diprediksi akan
mencapai 3,2 miliar penduduk. Sekitar 2 miliar dari jumlah tersebut merupakan
penduduk yang berasal dari negara-negara berkembang (Suarababel, 2015). Di
Indonesia sendiri, berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet pada tahun 2010 mencapai 42 juta orang
dan meningkat menjadi 55 juta orang pada tahun 2011. Di tahun 2012, pengguna
internet di Indonesia mencapai 63 juta orang dan sebanyak 71,19 juta orang
menggunakan internet pada tahun 2013. Ketua Umum APJII, Samuel A. Pangerapan
dalam artikelnya (2015), mengatakan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia
pada tahun 2014 sebesar 88,1 juta orang atau mengalami peningkatan sebesar 34,9
persen dari tahun sebelumnya (APJJI, 2015).

Pengguna internet menggunakan internet dengan berbagai tujuan. Kebanyakan


pengguna internet membuka internet untuk menggunakan jejaring sosial (87,4%),
mencari info/browsing (68,7%), instant messaging (59,9%), dan mencari berita terkini
(59,7%). Para pengguna internet dapat mengakses internet di rumah, tempat kerja,
kampus, area hotspot, pusat perbelanjaan, sekolah, warung internet, perjalanan, dan
kafe selama yang perangkat yang digunakan terhubung dengan jaringan internet.
Pengguna internet di Indonesia didominasi oleh kalangan muda yang berusia 18-25
tahun dengan persentase pengguna sebesar 49% (APJII, 2014). Persentase pengguna
internet di Indonesia berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Usia Pengguna Internet di Indonesia
2,4%

0,2%
Usia

14,6%

18-25 tahun
26-35 tahun

49%

36-45 tahun
46-55 tahun

56-65 tahun

33,8%

Memanfaatkan layanan internet yang ada untuk menyelesaikan suatu tugas


maupun pekerjaan dapat memberikan hasil yang berguna bagi penggunanya sendiri.
Namun, kadangkala individu menggunakan internet secara berlebihan yang dapat
mengakibatkan individu tersebut melupakan hal-hal lain yang berhubungan dengan
pekerjaannya (Jahanian, 2013). Pada sebuah organisasi, karyawan yang dengan
sengaja menjelajah dunia maya untuk kepentingan pribadi seperti membaca berita,
mengakses forum-forum pertemanan lainnya, yang tidak berhubungan dengan
2

kepentingan pekerjaannya pada jam kerja dapat dikategorikan sebagai cyberloafing


(Ozler & Polat, 2012).
Lim (2002) mengatakan cyberloafing sebagai perilaku menyimpang karyawan
yang menggunakan status dirinya sebagai karyawan untuk mengakses internet dan
email selama jam kerja yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Penggunaan
internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan di tempat kerja memiliki istilah yang
berbeda-beda namun mengandung konsep yang sama. Istilah tersebut seperti nonwork related computing, cyberloafing, cyberslacking, cyberbludging, online loafing,
internet deviance, problematic internet use, personal web usage at work, internet
dependency, internet abuse, dan internet addiction (Kim & Byrne, 2011).
Cyberloafing memiliki pengaruh positif apabila digunakan dalam waktu yang
singkat. Menurut Vitak, Crouse, dan LaRose (2011), cyberloafing dapat mengurangi
kebosanan, kelelahan ataupun stres, meningkatkan kepuasaan kerja dan kreativitas,
meningkatkan kesejahteraan, recreation and recovery, dan dapat membuat karyawan
lebih bahagia. Internet juga dapat digunakan sebagai bentuk pengalihan yang
dibutuhkan karyawan di tempat kerja untuk dapat meningkatkan kreativitas,
fleksibilitas, dan menumbuhkan suasana belajar (Blanchard & Henle, 2008).
Meskipun demikian, menggunakan internet dalam jangka waktu yang lama di
tempat kerja juga memiliki pengaruh negatif. Perilaku cyberloafing di Amerika dapat
merugikan perusahaan sebesar $54 juta setiap tahunnya (Conlin, 2000). SurfWatch
(Lim, 2002) melakukan survei online di Amerika Serikat dengan hasil sekitar 84
persen karyawan mengirim surat elektronik bukan untuk kepentingan pekerjaan dan
sekitar 90 persen karyawan mengakses internet hanya untuk rekreasi dan kesenangan
pribadi. Dari hasil survei tersebut dapat diartikan bahwa perilaku cyberloafing dapat
mengurangi produktivitas kerja karyawan dari 30 hingga 40 persen. eMarketer juga

melakukan survei di Amerika dengan hasil 40 persen karyawan mengakses internet


setiap hari, 88 persen diantaranya mengakses hal-hal yang tidak berhubungan dengan
pekerjaan, dan 66 persen karyawan dalam tiap kali pengaksesannya menggunakan
internet selama sepuluh menit dan rata-rata satu jam tiap harinya (Henle & Blanchard,
2008).
Indonesia sendiri, karyawan rata-rata mengalokasikan waktunya hingga satu
jam per hari untuk membuka situs internet yang sama sekali tidak berhubungan
dengan pekerjaan, seperti browsing facebook, kaskus, dan lain-lain. Hal ini dapat
diartikan dengan selama sebulan seorang karyawan bisa menghabiskan waktu
pekerjaannya hingga 20 jam lebih atau 2,5 hari kerja penuh hanya untuk
menggunakan internet (Antariksa, 2012). Sehingga waktu yang seharusnya digunakan
untuk bekerja terbuang sia-sia hanya untuk mengakses internet dan ini dapat
merugikan organisasi yang didudukinya.
Sebagian besar karyawan memikirkan untuk melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan hobi mereka dan berbagai hiburan menarik lainnya selama
beberapa menit seperti mengakses situs sosial (facebook, twitter, myspace), mengirim
email dengan teman, dan mengakses berbagai situs lainnya yang tidak berhubungan
dengan pekerjaan (Abidin, 2014). Namun demikian, beberapa menit pun waktu yang
digunakan karyawan untuk mengakses berbagai situs internet dapat berubah menjadi
beberapa jam. Waktu dan sumber daya yang terbuang dapat menjadi sumber masalah
bagi organisasi itu sendiri. Dari hasil penelitian sebelumnya mengenai cyberloafing
ditemukan bahwa perilaku cyberloafing karyawan meningkat dari perkiraan waktu
kurang lebih 3 jam per minggu menjadi 2,5 jam per hari (Greenfield & Davis, 2002).
Ahmad mengatakan bahwa cyberloafing akan mempengaruhi produktivitas
karyawan jika waktu yang digunakan lebih banyak untuk hiburan dan bukan untuk

tujuan pekerjaan. Produktivitas karyawan yang rendah akan berkontribusi terhadap


penurunan kinerja karyawan dalam sebuah organisasi. Hal ini merupakan penggunaan
sumber daya dengan sia-sia yang disebabkan oleh penggunaan email dan akses
internet lainnya dengan tidak tepat (Abidin, 2014).
Kebiasaan dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
cyberloafing. Hal ini merupakan faktor yang berasal dari individu itu sendiri. Menurut
LaRose (2010), lebih dari setengah perilaku media adalah kebiasaan. Individu yang
selalu berhubungan dengan internet memiliki kemungkinan yang tinggi untuk
mengakses internet yang tidak berhubungan dengan tugas maupun pekerjaannya.
Selain kebiasaan, organisasi juga dapat menjadi salah faktor yang berasal dari luar
individu untuk melakukan cyberloafing. Faktor-faktor organisasi tersebut terdiri dari
peraturan mengenai batasan penggunaan internet dalam organisasi, hasil yang
diharapkan, managerial support, pandangan rekan kerja tentang norma cyberloafing,
sikap kerja karyawan, dan karakteristik pekerjaan (Ergun & Polat, 2012).
Managerial support memiliki peranan penting bagi karyawan dalam
efektivitas organisasi (Drucker, 1992). Dalam sebuah organisasi, manajer atau
pemimpin diperlukan untuk memotivasi karyawan. Karyawan melihat manajer atau
pemimpin sebagai individu yang menilai performa kerja dan melaporkannya ke
pimpinan puncak sebagai representasi organisasi. Dick & Metcalfe mengatakan, bagi
karyawan seorang manajer merupakan orang yang memenuhi syarat, dapat dipercaya,
gaya kepemimpinan yang cenderung untuk berbagi nilai dan tujuan organisasi, dan
menghargai organisasi (Emhan, 2012).
Managerial support menentukan bagaimana aturan penggunaan fasilitas
internet tersebut. Tanpa adanya pengaturan penggunaan internet perusahaan dapat
membuka peluang bagi karyawan untuk menggunakan internet secara pribadi (Vitak

et al, 2011). Apabila kegiatan ini berlangsung secara terus-menerus akan


menyebabkan munculnya cyberloafing.
Menjaga agar karyawan fokus terhadap pekerjaan dan meningkatkan
produktivitas merupakan tanggung jawab manajer. Adanya kebijakan perusahaan
tentang penggunaan internet membantu manajer untuk mengontrol perilaku karyawan
dalam menggunakan internet. Dengan adanya kebijakan yang berlaku dapat
mengurangi kebebasan karyawan untuk menggunakan internet pada jam kerja
(Peterson, 2002).
Organisasi memerlukan seseorang yang mampu menjalankan dan mengemban
tugas sebagai seorang pemimpin (Nawawi, 2006). Menurut Robbins (2006),
kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah
tercapainya suatu tujuan yang meliputi proses penentuan tujuan organisasi,
memotivasi perilaku karyawan untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk
memperbaiki kelompok dan budayanya. Seorang pemimpin memiliki tanggung jawab
terhadap para karyawan dalam menjalankan setiap tugas yang dikerjakan karyawan.
Siagian (2002) mengatakan bahwa seorang pemimpin memiliki tiga peran
didalam sebuah organisasi atau perusahaan, yaitu peran yang bersifat interpersonal,
peran bersifat informasional, dan peran dalam pengambilan keputusan. Pada peran
pengambilan keputusan, seorang pemimpin memiliki tugas sebagai perencana dan
pengendali di sebuah organisasi (Tika, 2006). Pemimpin membuat rancangan kerja
dan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh seluruh karyawan dan mengendalikan
karyawan untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar.
Peran pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak terlepas dari gaya
kepemimpinan yang diterapkan (Rivai & Mulyadi, 2009). Pemimpin yang efektif
dalam menerapkan gaya tertentu dalam kepemimpinannya terlebih dahulu harus

memahami siapa bawahan yang dipimpinnya, mengerti kekuatan dan kelemahan


bawahannya, dan mengerti bagaimana cara memanfaatkan kekuatan bawahan untuk
mengimbangi kelemahan yang dimiliki oleh karyawannya (Thoha, 2002). Hal ini
bertujuan agar karyawan dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan benar
sehingga tujuan utama dari tugas tersebut dapat tercapai.
Kepemimpinan transaksional, dikenal juga dengan managerial leadership dan
berfokus pada peran pengawasan, organisasi, dan performa kelompok, merupakan
pemimpin yang mendorong karyawannya untuk patuh melalui hukuman dan hadiah
(Odumeru, 2013). Management by Exception-active merupakan salah satu
karakteristik dari kepemimpinan transaksional yang menekankan fungsi manajemen
sebagai kontrol dengan secara terus menerus melakukan pengawasan terhadap
karyawan untuk mengantisipasi adanya kesalahan (Yukl, 1999). Adanya pengawasan
langsung dari pemimpin terhadap karyawan dapat mengurangi perilaku karyawan
untuk melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan termasuk
cyberloafing.
Gaya kepemimpinan transaksional merupakan pemimpin yang membimbing
dan memotivasi karyawannya dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui
peran dan tugas yang jelas (Robbins, 2008). Salah satu cara yang digunakan
kepemimpin transaksional berfokus pada tingkat kebutuhan yang rendah yaitu
penekanan terhadap kinerja tugas tertentu (Hargis, Wyatt, & Piotrowski, 2001).
Kepemimpinan transaksional efektif jika tugas-tugas yang ada diselesaikan dengan
cara membagi tugas-tugas tersebut secara individu sehingga tujuan dari target yang
telah ditentukan dapat tercapai. Dengan demikian, kesempatan individu untuk dapat
membuka internet di tempat kerja dalam waktu yang lama semakin berkurang karena
adanya pembagian tugas yang jelas dan target yang harus dicapai.

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada pegawai negeri sipil (PNS)
yang bekerja di Kantor Walikota Pematangsiantar. Pegawai negeri di Kantor Walikota
Pematangsiantar memiliki kebebasan untuk mengakses berbagai situs internet tanpa
adanya kebijakan khusus dari atasan dalam menggunakan internet. Fasilitas internet
tersebut dilengkapi dengan tersedianya

wifi di wilayah Kantor Walikota

Pematangsiantar. Untuk dapat menggunakan wifi tersebut, para PNS harus memiliki
wifi id masing-masing.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai pengaruh gaya kepemimpinan transaksional terhadap perilaku cyberloafing
pada PNS di Kantor Walikota Pematangsiantar.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, peneliti merumuskan permasalahan
dari penelitian yaitu: Apakah terdapat pengaruh gaya kepemimpinan transaksional
terhadap perilaku cyberloafing pada PNS?

C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan
transaksional terhadap perilaku cyberloafing pada PNS.

D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat Teoritis

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk


pengembangan ilmu Psikologi khususnya Psikologi Industri dan Organisasi
mengenai peranan gaya kepemimpinan transaksional dan cyberloafing.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman untuk
melakukan penelitian-penelitian selanjutnya sebagai referensi teoritis maupun
empiris.

2. Manfaat Praktis
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan atasan di Kantor Walikota
Pematangsiantar mendapatkan gambaran sejauhmana gaya kepemimpinan
transaksional dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing pegawai. Selain itu
diharapkan dapat memberi informasi mengenai seberapa besar gaya
kepemimpinan transaksional yang diterapkan oleh atasan di Kantor Walikota
Pematangsiantar dan seberapa besar frekuensi perilaku cyberloafing PNS di
Kantor Walikota Pematangsiantar, sehingga apabila frekuensi perilaku
cyberloafing PNS tinggi atasan dapat memberikan intervensi yang tepat.

E. SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini disusun dalam suatu sistematika penulisan ilmiah yang teratur sehingga
memudahkan pembaca untuk membaca dan memahaminya. Sistematika penulisan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan
Bab ini menguraikan penjelasan mengenai latar belakang penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II: Landasan Teoritis

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek
penelitian. Meliputi definisi cyberloafing, tipe-tipe cyberloafing, faktor-faktor yang
mempengaruhi

cyberloafing,

definisi

gaya

transaksional,

komponen

gaya

kepemimpinan transaksional, dinamika antara cyberloafing dan gaya kepemimpinan


transaksional, dan hipotesa penelitian.
BAB III: Metode Penelitan
Bab ini menguraikan mengenai identifikasi variabel, definisi operasional, populasi,
dan metode pengambilan sampel, metode pengambilan data, serta metode analisa data
penelitian.
BAB IV: Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini menguraikan tentang gambaran umum subjek penelitian, uji asumsi, hasil
utama penelitian, hasil tambahan penelitian, serta pembahasan.
BAB V: Kesimpulan dan Saran
Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian serta
saran metodologis dan saran praktis.

10

Anda mungkin juga menyukai