Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Biologi molekuler mengalami transformasi dramatis karena terlibat dalam area genomik.
Usaha bersama dalam sekuensing genom manusia telah menghasilkan draft yang mewakili
sekitar 75% genom dan 30.000-40.000 gen (Kirk B W, Feinsod M, Favis R, et al, 2002). Pada
tahun 2003, seluruh sekuen DNA manusia telah dipetakan melalui Human Genome Project.
Pemetaan ini juga berdampak pada sekuen gen yang sebelumnya tidak diketahui
(Pendrianto,2012).
Penelitian polimorfisme pertama pada manusia dilaporkan pada tahun 1901 dan butuh waktu
satu generasi untuk menemukan polimorfisme kedua. Pada tahun 1960 diketahui ada 17
polimorfik pada golongan darah dimana isozim merupakan penyebabnya. Pada tahun 1980,
seratus lima puluh buah polimorfisme protein berhasil diketahui yang mana akhirnya mereka
digantikan oleh marker nukleotida (Collins A, Lonjou C, Morton N E,1999)
Polimorfisme DNA merupakan terminologi yang terkait dengan variasi normal suatu urutan
DNA. Beberapa literatur menyatakan bahwa untuk menyatakan suatu varian urutan DNA adalah
polimorfisme, varian tersebut setidaknya

mewakili 1% populasi. Polimorfisme nDNA dan

mDNA diturunkan dari generasi ke generasi melalui mekanisme berbeda. Seseorang memperoleh
nDNA dari kedua orangtuanya yaitu 50% dari ibu dan 50% dari ayah, sedangkan mDNA 100%
diperoleh dari pihak ibu. Selalu ada kemungkinan urutan DNA berubah setelah diturunkan
kepada satu generasi (Syukriani,2012)
Pada tahun 1980, Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) dideteksi dengan menggunakan
enzim restriksi untuk mengidentifikasi ada tidaknya daerah pemotongan dan dicapai dengan
mengobservasi hasil variasi fragment length. Pada awal tahun 1990, SNPs pada samarannya
didaerah restriksi polimorfisme telah digantikan oleh simple tandem repeat (STR) sebagai
penanda pilihan pada penelitian linkage. Pada akhir tahun 1990, penggunaan SNPs kembali
populer dikalangan genetikis molekuler. SNPs dianggap merupakan marker genetik yang ideal
1

dalam menetapkan pertalian genetik dan sebagai indikator penyakit genetik (Gray I C, Campbell
D A, Spurr N K,2000)
Pada rangkaian DNA, baik di inti maupun mitokondria, ternyata hanya sebagian daerah yang
mengkode protein (gen). Sebagian lainnya tidak diketahui fungsinya dengan jelas sehingga
disebut non coding regions. Variasi dapat terjadi karena perbedaan satu nukleotida saja (SNPs)
atau akibat panjang urutan nukleotida (STR). Mutasi dapat terjadi pada semua sel, namun hanya
mutasi yang terjadi pada sel germinal saja yang akan diturunkan kepada anaknya. Jika mutasi
hanya terjadi pada satu nukleotida, tidak berkaitan dengan penyakit dan dimiliki oleh cukup
banyak orang, maka disebut Single Nucleotide Polymorphisms (Syukriani,2012)
Beberapa masalah masih belum teratasi sehubungan dengan SNPs. Penelitian SNPs dan
penyakit akan lebih efisien jika beberapa masalah telah terpecahkan. Pertama, walaupun 82%
dari varian SNPs ditemukan pada frekuensi lebih dari 10% dalam populasi manusia global
namun mikrodistribusi SNPs pada populasi individu belum diketahui. Kedua, tidak semua SNPs
diciptakan sama dan sangat penting untuk mengetahui efeknya dari analisis komputer sebelum
mempelajari keterlibatannya dalam penyakit. Ketiga, teknologi assay SNPs belum banyak
berkembang . Dengan mengidentifikasi variasi disepanjang genom manusia dan
pemetaan SNPs, diharapkan bisa menjadi penuntun kita dalam memahami
alam (Chakravarti A,2001)
1.2. Batasan Masalah
Dalam referat ini akan dibahas tentang :
1. Apakah definisi Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs)?
2. Bagaimanakah metode analisis Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs)?
3. Apakah peranan Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) dalam bidang kedokteran?
1.3. Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai

Single Nucleotide

Polymorphisms (SNPs) dan merupakan tugas dalam mata kuliah Biologi Molekuler pada
2

Program Studi Ilmu Kedokteran Klinik Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
1.4. Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada
berbagai literatur.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs)
Single Nucleotide Polymorphisms adalah perubahan kecil pada genetik atau variasi yang
terjadi dalam sekuen DNA seseorang. Kode genetik ditentukan oleh empat nukleotida A (adenin),
C (sitosisn), T (timin), dan G (guanin). Variasi SNPs terjadi bila satu nukleotida seperti A
menggantikan salah satu dari tiga nukleotida lainnya seperti C,G atau T. Sebuah contoh dari
SNPs adalah perubahan dari segmen DNA AAGGTTA menjadi ATGGTTA, dimana basa A
dalam sekuen kedua digantikan oleh T (Brooks,2003)
SNPs adalah jenis yang paling umum dari variasi genetik dan dapat terjadi setiap 100 hingga
300 basa. Secara umum SNPs terjadi pada 1 persen populasi manusia. Dari sekitar 3-5% dari
sekuen DNA individu yang dikodekan ekson untuk produksi protein, hanya sejumlah kecil SNPs
ditemukan berada dalam ekson karena sebagian besar SNPs ditemukan berada diluar ekson
(intron). Keberadaan SNPs pada daerah promoter situs pemotongan pasca transkripsi pada
coding region suatu gen, intron dan non coding region lainnya menarik perhatian para peneliti
karena SNP tersebut mungkin dapat merubah fungsi regulasi dan ekspresi suatu protein yang
berasosiasi dengan suatu fenotip atau penyakit (Brooks,2003)
SNPs merupakan pasangan basa tunggal pada genom DNA yang mempunyai sekuen berbeda
(alel) pada orang normal dalam sebuah populasi. Struktur SNPs sangat sederhana(Goodwin W,
Linacre A, Hadi S, 2007)

Gambar 2.1. Struktur sederhana SNP, SNP merupakan bialelik,


dan hanya punya 2 alel berbeda. Pada gambar diatas, basa timin
digantikan oleh sitosin. (sumber: Goodwin W, Linacre A, Hadi S, 2007)

SNPs dibentuk oleh point mutation, dimana satu pasang basa digantikan oleh pasangan basa
lainnya. Genom manusia mengandung 30 00035 000 gen, akan tetapi coding regions. Dari gengen tersebut hanya 1.11.5% dari jumlah genom. SNPs yang berada diluar coding regions dapat
terpengaruh ekspresi gen jika mereka berada dipengaturan sekuen DNA (Wang et al., 2005), tapi
mayoritas SNPs mungkin memiliki fungsi sedikit atau tidak ada konsekuensinya sama sekali
bagi organisme(Goodwin W, Linacre A, Hadi S, 2007)
Keberadaan SNPs didalam gen mungkin memiliki efek bermacam-macam bagi fungsi seluler
protein yang dikode gen. Jika SNPs berada di coding region sebuah gen, alel yang berbeda akan
mengkode protein berbeda karena sekuen trinukleotida (kodon) yang mengkode asam amino
berbeda (Borsting C, Sanchez J J, Morling N,2007)

Gambar 2.2. Contoh SNPs bisa merubah sekuens asam amino protein.
(sumber Borsting C, Sanchez J J, Morling N,2007)

Terdapat perbedaan antara Single Nucleotide Polymorphism (SNPs) dengan Short Tandem
Repeat (STR)

Tabel 2.1. Perbedaan SNPs dengan STR(sumber: Goodwin W, Linacre A, Hadi S, 2007)

2.2. Metode Analisis SNPs


Aplikasi analisis SNP telah melalui jalan panjang yang bermula dari investigasi sejumlah
kecil varian sekuen yang diketahui berhubungan dengan penyakit sampai ke investigasi genom
marker. Banyak metode analisis SNPs yang tersedia sekarang ini yang bertujuan untuk
memonitor apapun dari yang tunggal sampai ribuan SNPs per assay (Goodwin W, Linacre A,
Hadi S, 2007)

Tabel 2.2. Berbagai macam metode analisis SNPs (sumber: Goodwin W, Linacre A, Hadi S, 2007)

Berbagai macam metoda telah dikembangkan untuk genotyping SNPs. Semua metode
deteksi SNPs pasti memakai salah satu dari empat teknologi umum berikut yaitu hibridisasi,
ekstensi, ligasi atau pembelahan invasif.
Sekuensing Sanger
Sekuensing Sanger, disebut juga dengan sekuensing terminasi berantai dikembangkan pada
ajhir tahun 1970an dan merupakan batu loncatan untuk perkembangan biologi molekuler.
Sekuensing ini memanfaatkan reaksi biokimia replikasi DNA. Tahap pertama dari analisis ini
adalah amplifikasi daerah target menggunakan PCR, kemudian produk amplifikasi digunakan
sebgai templat dari reaksi sekuensing. Reaksi sekuensing DNA sama dengan amplifikasi PCR
dan reaksi campurannya juga sama menggunakan Taq DNA polymerase termofilik dan
deoxynucleotide triphosphates (dNTPs). Hal ini berbeda dari PCR yang hanya menggunakan
satu buah primer dan sebagai tambahan terhadap dNTPs, disini terdapat empat buah
fluorescently labelled dideoxyribonucleotides (ddNTPs); setiap ddNTP dilabel dengan warna
berbeda. ddNTPs tidak mengandung hydroxyl group pada rantai 3_ carbon, yang mencegah
pemanjangan apapun molekul DNA. Konsentrasi dNTPs lebih tinggi daripada ddNTPs dan oleh
7

karena itu pada kebanyakan kasus dNTP ditambahkan. ddNTPs tidak berikatan pada interval
random disepanjang molekul. Hal ini menghasilkan jarak pada ukuran molekul berbeda. Produk
dari reaksi sekuensing dianalisis menggunakan sistem elektroforesis gel kapiler seperti ABI
PRISM R _310 Genetic Analyzer, yang membagi DNA menjadi resolusi pasangan basa tunggal
dan secara simultan mendeteksi ke empat label fluorescent (Goodwin W, Linacre A, Hadi S,
2007)

Gambar 2.3. Skema sekuensing Sanger (sumber: Goodwin W, Linacre A, Hadi S, 2007)

Primer extension/Pemanjangan primer


Pemanjangan primer adalah metode yang kuat untuk membedakan antara alel berbeda dan
beberapa metodologi telah dikembangkan untuk hal ini.Salah satu dari metoda umum yang
digunakan adalah reaksi sekuensing mini Prinsip reaksi ini sama dengan sekuensing Sanger.
Tahap pertama dari prosedur ini adalah amplifikasi daerah target menggunakan PCR. Primer
internal kemudian meng-annealing sampai produk PCR terdenaturasi, ujung 3_ primer
berbatasan dengan daerah polimorfik. Primer kemudian diperpanjang dengan Taq polymerase
akan tetapi hanya ddNTPs yang dilabel dengan pewarnaan fluorescent yang tersedia, primer
hanya akan diperpanjang oleh satu nukleotida. Primer yang diperpanjang dapat dianalisis dengan
elektroforesis gel kapiler dan warnanya dapat dideteksi untuk mengenali SNPs. Kit komersial
yang digunakan berdasarkan metode ini secara luas adalah SNaPshotTM (Applied Biosystems)

Dengan menggunakan ukuran primer yang berbeda, fluorescen berbeda akan tampak untuk
setiap ke empat basa, sejumlah besar SNPs secara simultan akan terdeteksi (Goodwin W, Linacre
A, Hadi S, 2007)

Gambar 2.4. Skema Primer Extension (sumber: Goodwin W, Linacre A, Hadi S, 2007)

Allele specific hybridization/Hibridisasi Alel Khusus


Pada kondisi yang ketat, sekalipun satu nukleotida tidak sepadan antara templat, primer dapat
membedakan antara dua buah alel.

Ada banyak metode untuk melakukan pemeriksaan

hibridisasi meliputi reverse dot blots, Taqman R _assays, LightCycler R _assays, molecular
Beacons, dan GeneChips R _(Goodwin W, Linacre A, Hadi S, 2007)

Gambar 2.5. Skema Hibridisasi Alel Khusus (sumber: Goodwin W, Linacre A, Hadi S, 2007)

Single Base Extension (SBE)/Pemanjangan Basa Tunggal


SBE adalah metode yang akhir-akhir ini lebih dipilih karena sangat akurat dan bisa dilakukan
dengan instrumen yang sama untuk analisis STR (mesin PCR dan alat elektroforesis). Reaksi
SBE dilakukan berupa siklus beruntun dari denaturasi DNA double-stranded, annealing primer
SBE ke produk PCR dan SBE. Primer SBE anneal dan segera menjadi single-stranded produk
PCR

kepangkal

posisi

SNPs

dan

DNA

polimerase

menambah

label

flurescent

dideoxyribonukleat, mengisi nukleotida pada posisi SNPs ke primer SBE. Reaksi Single Base
Extension dapat digandakan dan banyak produk SBE dapat dianalisis secara simultan dengan
elektroforesis. Pada elektroferogram, panjang primer SBE menentukan lokus SNPs dan warna
label fluorescen menentukan alel SNPs (Borsting C, Sanchez J J, Morling N,2007)

Gambar 2.6 Skema Single Base Extension(sumber Borsting C, Sanchez J J, Morling N,2007)

Tetra-Primer ARMS-PCR
Analisis SNPs telah meningkat pemanfaatannya dalam berbagai disiplin genetika, khususnya
studi tentang faktor yang berhubungan dengan penyakit kompleks. Beberapa studi tentang
genotyping SNPs difasilitasi oleh metodologi yang canggih, simpel, dan berharga murah. Salah
satu dari metodologi tersebut dikenal dengan nama Tetra-Primer ARMS-PCR, yang memakai 2
pasang primer untuk diamplifikasi, masing-masing 2 alel berbeda dari SNPs dalam reaksi PCR
tunggal. Program komputer untuk mendesaim primer telah dikembangkan. Tetra-Primer ARMS10

PCR dikombinasikan microplate array diagonal gel electrophoresis untuk mendapatkan produk
Tetra-Primer ARMS-PCR gel-based. Teknik ini diaplikasikan untuk menganalisis sejumlah SNPs
dan hasilnya sama dengan metode independen, analisis restriksi fragment length polymorphisms
(Ye S, Dhillon S, Ke X, et al,2001)

Gambar 2.7 Skema Tetra-primer ARMS-PCR (sumber Ye S, Dhillon S, Ke X, et al,2001)

Matrix Assisted Laser Desorption/Ionization time of flight mass spectrometry (MALDI)


MALDI telah diaplikasikan untuk analisis variasi DNA, dari produk PCR sampai ke
pendekatan dengan sekuensing, terminasi alel spesifik, reaksi pemanjangan primer single
nucleotida, dan hibridisasi dengan PNAs. Kekurangan utama dari pendekatan ini adalah mereka
memiliki prosedur pemurnian ketat daripada MALDI. Penggunaan MALDI untuk genotyping
SNPs memiliki efisiensi dalam menghasilkan produk alel spesifik (Sauer S, Lechner D, Berlin K,
et al, 2000)

11

Gambar 2.8 Skema MALDI (sumber:Sauer S, Lechner D, Berlin K, et al, 2000)

2.3. Peranan Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) dalam bidang kedokteran


2.3.1 Dalam bidang kedokteran forensik
Tes Paternitas
Pada keragu-ayahan dimana terduga ayah (Fp), ibu (M) dan anak (C) dilakukan tes DNA
jika tidak ada keraguan hubungan antara ibu dan anak. Indeks paternitas (Pi) secara umum akan
membentuk hubungan genotip sebagai berikut:
a Kelas 1: Kondisi dimana ketiga profil DNA sama dan homozigot (misalnya. M = AA; C = AA;
Fp = AA) atau pada keadaan dimana ayah mesti homozigot (misalnya. M = AA; C = AB; Fp =
BB), kemudian Pi = 1/a.
b Kelas 2: Jika profil anak bisa diterangkan secara galur keturunan , apakah A atau B dari ayah
karena baik ibu maupun anak heterozigot, kemudian index paternitasnya adalah 1/(a + b)
(dimana M = AB; C = AB; Fp = AA). Indeks paternitas selalu 1.
c Kelas 3: Jika ibu homozigot dan ayah heterozigot (dimana M = AA; C = AB; Fp = AB)
kemudian indeks paternitas adalah 1/2b (Gill P,2001)

12

Identifikasi Forensik
Mayoritas analisis DNA forensik melibatkan materi biologis dari tempat kejadian perkara
(TKP). Beberapa panel SNPs telah dikembangkan dengan desain kekuatan diskriminasi
maksimal untuk identifikasi forensik.Panel-panel tersebut mengandung SNPs yang polimorfik
pada semua kelompok populasi. Sebuah panel berisi

52 SNPs

yang dikembangkan oleh

SNPforID Consortium. Menggunakan panel SNPs menghasilkan kemungkinan cocok dalam


kisaran 5.01019 pada populasi Asia sampai 5.01021 pada populasi Eropa. Jika
diaplikasikan pada tes paternitas, rata-rata indeks paternitas antara 336 000 pada populasi Asia
dan 550 000 pada populasi Eropa tercapai. Walaupun dengan kekuatan diskriminasi yang tinggi,
usaha yang terlibat dalam analisis 50 SNPs lebih besar dibanding usaha analisis STR standar.
Daya tarik utama penggunaan SNPs dengan teknologi terkini adalah karena analisis SNPs
memberikan kita hasil yang baik walaupun DNA telah terdegradasi dimana pemeriksaan STR
konvensional gagal (Goodwin W, Linacre A, Hadi S, 2007)
Perkiraan asal geografis leluhur
Pada banyak kasus, identifikasi kelompok populasi dari tempat kejadian perkara dimana
sampel berasal dapat menjadi sangat berharga tinggi untuk investigasi; apakah orang yang
meninggalkan material biologis ditempat kejadian perkara tersebut berasal dari ras kaukasia,
asia, afrika atau keturunan campuran? Panel yang mengandung mtDNA SNPs danY SNPs
dirasakan berguna untuk tujuan ini, akan tetapi pada hakekatnya dibatasi oleh fakta bahwa
mereka hanya menyediakan informasi dari salah satu pihak, leluhur ayah atau ibu. SNPs autosom
yang mempunyai frekuensi berbeda pada sebagian besar kelompok populasi berbeda bisa
memberikan informasi berharga tentang asal geografis leluhur. Banyak dari SNPs diseleksi untuk
tujuan ini berhubungan dengan coding regions yang telah diperlakukan untuk tekanan seleksi.
Dalam hal ini termasuk gen pigmentasi dan gen yang terlibat dalam metabolisme xenobiotics.
Gen-gen pigmentasi selain memberikan informasi mengenai asal geografis leluhur juga
memberikan informasi tentang fenotip orang yang meninggalkan material biologis di tempat
kejadian perkara, termasuk warna kulit, warna rambut dan warna mata (Goodwin W, Linacre A,
Hadi S, 2007)
2.3.2. Dalam bidang genetika, penyakit dan pengobatan
13

SNPs bermanfaat untuk riset biomedik dan untuk mengembangkan produk farmasetikal serta
diagnosis medik. Ilmuwan percaya bahwa peta SNPs akan membantu mengidentifikasi gen-gen
rangkap yang berhubungan dengan penyakit kompleks seperti penyakit stroke, diabetes, kanker,
penyakit liver, penyakit yang berhubungan dengan pola hidup dan tingkat stress seseorang, dan
penyakit lain yang berhubungan dengan genetik. Assosiasi ini sulit untuk ditetapkan dengan
metode pencarian gen konvensional karena gen yang berubah tunggal mungkin hanya berperan
sedikit pada penyakit. Peta SNPs juga bermanfaat untuk mengidentifikasi ribuan marker
tambahan dalam genom, sehingga menyederhanakan navigasi peta genom yang jauh lebih besar
untuk tujuan kesehatan. SNPs tidak menyebabkan penyakit, tetapi meraka dapat membantu
menentukan kemungkinan bahwa seseorang akan mengidap suatu penyakt serius. Salah satu
contoh yang telah diketahui adalah penyakit Alzheimir yang tergantung kepada apolipoprotein E.
Apolipoprotein E mengandung dua SNPs yang menghasilkan tiga kemungkinan alel untuk gen
ini: E2,E3 dan E4. Masing-masing alel berbeda oleh satu basa DNA dan produk protein masingmasing gen berbeda satu asam amino (Tetriana D,2012)
Sebagian kecil SNPs menjadi penanda biologis untuk penentuan suatu penyakit pada peta
genom manusia karena SNPs tersebut terletak pada gen yang ditemukan terkait dengan penyakit.
SNPs yang diasosiakan dengan suatu penyakit dan digunakan untuk mencari dan mengisolasi
gen penyebab penyakit tersebut. Pola SNPs di gen-gen target dari hasil studi perbandingan antara
kelompok kasus dan control pada studi asosiasi dapat digunakan untuk merancang target terapi
dan desain serta respon obat pada suatu populasi. Studi ini didefinisikan sebagai farmakogenetik.
(Pendrianto,2012)

BAB 3

14

KESIMPULAN
1. Single Nucleotide Polymorphisms adalah perubahan kecil pada genetik atau variasi yang
terjadi dalam sekuen DNA seseorang
2. Berbagai macam metoda telah dikembangkan untuk genotyping SNPs. Semua metode
deteksi SNPs pasti memakai salah satu dari empat teknologi umum berikut yaitu
hibridisasi, ekstensi, ligasi atau pembelahan invasif.
3. SNPs bermanfaat dalam riset biomedik, farmasetikal dan diagnosis medik serta
kedokteran forensik.

DAFTAR PUSTAKA
Borsting C, Sanchez J J, Morling N,2007. Application of Single Nucleotide Polymorphisms
(SNPs) in forensic casework. Molecular Forensic, John wiley&sons,Ltd,West Sussex UK,pp
92-101
Chakravarti A,2001. Single Nucleotide Polymorphisms to a future of genetic
medicine.Macmillan magazine,Ltd vol 409. www.nature.com
Collins A, Lonjou C, Morton N E,1999. Genetic epidemiology of Single Nucleotide
Polymorphisms. PNAS vol 96 no 26

15

Gill P,2001. An Assesment of the utility of Single Nucleotide Polymorphisms for forensic
purposes. Int J Leg Med 2001 114:204-210
Goodwin W, Linacre A, Hadi S, 2007. Single Nucleotide Polymorphisms. An Introduction to
forensic genetics, John Wiley&sons,Ltd, West sussex UK.pp 115-121
Gray I C, Campbell D A, Spurr N K,2000. Single Nucleotide Polymorphisms as tools in human
genetic. Human Molecular Genetics,2000 vol 9no 16.Oxford University Press
Kirk B W, Feinsod M, Favis R, et al, 2002. Survey and Summary Single Nucleotide
Polymorphisms seeking longterm association with complex disease. Nucleic Acids Research
vol 30 no 15
Landegren U, Nilsson M, Kwok P Y, 1998. Reading bits of genetics information: Methods to
Single Nucleotide Polymorphisms analyses.www.genome.cship.org
Pendrianto, 2012. Asosiasi Single Nucleotide Polymorphisms X kromosom 15 dengan
kerentanan terhadap kolorektal kanker sporadic berdasarkan pendekatan genomic di populasi
Makassar, Sulawesi Selatan.Tesis Magister Farmasi FFUI.2012
Sauer S, Lechner D, Berlin K, et al, 2000. A novel procedure for efficinet genotyping for Single
Nucleotide Polymorphisms. Nucleic Acids Research 2000 vol 28 no 5
Syukriani Y,2012. DNA Forensik. Sagung seto, Jakarta
Tetriana D,2012. Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) sebagai biomarker radiosensitivitas
sel kanker untuk keberhasilan radioterapi. Buletin Alara vol 14 no1 2012.
Ye S, Dhillon S, Ke X, et al,2001. An efficient procedure for genotyping Single Nucleotide
Polymorphisms. Nucleic Acids Research 2001 vol 29 no 17

16

17

Anda mungkin juga menyukai