Preseptor:
Hj. Elly Marliyani, dr., Sp.KJ, M.KM
I.
PENDAHULUAN
Bahan-bahan psikoaktif sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, sering
digunakan untuk ritual keagamaan, sosialisasi, rekreasi. Pada tahun 1927 di
Indonesia telah dibuat undang-undang impor, distribusi dan penggunaan obat bius.
Dengan dasar tersebut orang-orang asal Cina (lansia) mendapat jatah candu secara
teratur dan ketika terjadi invasi Jepang tahun 1942 hal itu diberhentikan. Namun
pada tahun 1969 sebagai awal mulainya penyalahgunaan bahan-bahan psikoaktif
(2 kasus di Jakarta). Sampai sekarang kejadian ini semakin meningkat dan
menjadi masalah kesehatan nasional.
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA
(Narkotika dan Bahan/Obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat
kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan
melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat
secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan
konsisten.
Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan NAPZA masih
bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak
menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai
peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun
masyarakat luas khususnya generasi muda.
Dengan memandang keterkaitan pada masalah kesehatan nasional,
khususnya yang menyangkut generasi muda perlu bagi dokter untuk mengetahui
berbagai aspek tentang penyalahgunaan baik dari segi medis, sosial dan hukum.
Dalam clinical science session ini akan menjelaskan aspek-aspek penyalahgunaan
napza, bagaimana cara mendiagnosis, mengenal berbagai jenis napza, pedoman
diagnostik dan penanggulangan penyalahgunaan napza.
II.
2.1
Definisi
Dalam PPDGJ III, ICD 10 disebutkan substansi psikoaktif antara lain:
Narkotika
Menurut UU RI No 22 tahun 1997 adalah zat/obat yang berasal dari
dengan
menghilangkan
rasa
nyeri
dan
dapat
menimbulkan
ketergantungan.
Narkotika adalah bahan yang berasal dari 3 jenis tanaman Papaper
Somniferum (Candu), Erythroxyion coca (kokain), dan cannabis sativa (ganja)
baik murni maupun bentuk campuran. Cara kerjanya mempengaruhi susunan
syaraf dan dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
2
yaitu
seperti
amfetamin,
metadon,
dekstropropakasifen,
Narkotika berdasarkan aspek legal atau hukum terbagi menjadi 3 golongan, yaitu;
- Golongan I
dan
berpotensi
tinggi
menimbulkan
:
untuk
berkhasiat
terapi
pengobatan
maupun
untuk
dan
banyak
tujuan
ilmu
2.1.2
Psikotropika
3. Tembakau
2.2
Terminologi
Toleransi adalah penurunan respon terhadap dosis semula akibat
Etiologi
sosial
yang
pesat
merupakan
individu
yang
rentan
untuk
Rasa kurang percaya diri (low self-confidence), rendah diri dan memiliki
citra diri negatif (low self-esteem)
Putus sekolah
2.3.2
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik
Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA
Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten)
b. Lingkungan Sekolah
Sekolah
yang
kurang
memberi
kesempatan
pada
siswa
untuk
d. Lingkungan Masyarakat/Sosial
2.3.3
Faktor Napza
Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga terjangkau
Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba.
Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri,
menidurkan, membuat euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain.
Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selalu membuat seseorang
kelak menjadi penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor
diatas, semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA.
Penyalahgunaan NAPZA harus dipelajari kasus demi kasus.Faktor individu, faktor
lingkungan keluarga dan teman sebaya/pergaulan tidak selalu sama besar
perannya dalam menyebabkan seseorang menyalahgunakan NAPZA. Karena
faktor pergaulan, bisa saja seorang anak yang berasal dari keluarga yang harmonis
dan cukup komunikatif menjadi penyalahguna NAPZA.
2.4
Taraf Penyalahgunan
2.4.1
Intoxication
Merupakan efek langsung dari penggunaan narkotika, yang dapat muncul
lebih cepat ketika narkotika dikonsumsi melalui rute intravena atau nasal. Tanda
fisik yang dapat muncul adalah ucapan yang inkoheren, perilaku tidak wajar,
kurangnya koordinasi, pupil terbatas dan sembelit (yang disebabkan oleh
pengeringan sekresi alami). Efek psikologis termasuk euforia, ketenangan, apatis
dan pemahaman terganggu. Meskipun efek awal umumnya menenangkan, agitasi
psikomotor dan agresivitas dapat terjadi
2.4.2
Overdose (OD)
Keracunan yang parah, terjadi ketika terlalu banyak obat memasuki tubuh
terlalu cepat , biasanya setelah injeksi IV. Variasi dalam potensi , kualitas dan
dosis obat-obatan narkotika menyebabkan sebagian overdosis. Depresi pernafasan
yang parah dan kematian dapat terjadi akibat OD.
2.4.3
Withdrawal
Dapat terjadi 4 sampai 12 jam setelah berhenti penggunaan narkotika berat
dan berkepanjangan, tergantung pada obat dan bisa berlangsung 14 hari . Tandatanda fisik meliputi merinding , nyeri otot (sering di kaki dan punggung), kram
perut, diare dan insomnia. Secara mental, seseorang bisa mengalami depresi,
kecemasan, panik, marah dan keinginan.
2.4.4
Tolerance
Menggambarkan kebutuhan tubuh untuk meningkatkan jumlah obat untuk
mendapatkan efek yang sama. Orang yang memiliki kecanduan lama dapat
memiliki dosis tinggi yang berbahaya yang akan membunuh pengguna pertama
kali.
2.4.5
Abuse
Didefinisikan sebagai penggunaan zat dengan tujuan bersenang senang
Dependence
Berarti bahwa pengguna narkoba tidak dapat mengurangi dosis atau
Dampak Penyalahgunaan
2.5.1
Jasmaniah
Hal hal yang dapat diperhatikan adalah sebagai berikut :
gastrointestinal
konstipasi
(opiat),
gastritis,
pankreatitis,
Kejiwaan
Gangguan persepsi, daya pikir, daya ingat, kemampuan belajar, daya
kreasi, emosi, gangguan prilaku. Pada keadaan lebih lanjut bisa menyebabkan
gangguan psikotik (organik, fungsional), tindakan kekerasan, bunuh diri,
sindroma amotivasi (ganja).
2.5.3
Sosial
Produktivitas
kerja/sekolah
menurun,
pengendalian
diri
menurun,
JENIS-JENIS NAPZA
3.1
Alkohol
11
3.1.2
Gejala-gejala
Bicara cadel
Inkoordinasi
Nistagmus
4. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Kriteria diagnostik untuk putus alkohol
1. Penghentian pemakaian alkohol yang telah lama dan berat
2. Dua atau lebih tanda berikut ini, yang berkembang dalam beberapa jam
sampai beberapa hari setelah kriteria 1 :
hiperaktivitas otonomik
tremor tangan
insomnia
12
agitasi psikomotor
kecemasan
adalah
ephedrine
dan
Gejala-gejala
Intoksikasi amphetamin
1. Pemakaian amphetamin atau zat yang berhubungan yang belum lama terjadi
2. Perilaku maladapif atau perubahan perilaku yang bermakna secara klinis yang
berkembang selama atau segera setelah pemakaian amphetamin atau zat yang
berhubungan
3. Dua atau lebih hal berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian amphetamin atau zat yang berhubungan :
13
Dilatasi pupil
4. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Putus amphetamin
Keadaan setelah intoksikasi amphetamin dapat disertai dengan kecemasan,
gemetar, mood disforik, letargi, fatigue, mimpi menakutkan, nyeri kepala, banyak
berkeringat, kram otot. Kram lambung dan rasa lapar ayng tidak pernah
kenyang.gejala yang paling serius adalah depresi yang dapat disertai dengan ide
atau usaha bunuh diri.
Kriteria diagnosis putus amphetamine :
1. Penghentian amphetamine yang telah lama atau berat
2. Mood disforik dan dua atau lebih perubahan fisiologis berikut yang
berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria 1 :
Kelelahan
3.3 Cocaine
3.3.1
Gejala-gejala
dilatasi pupil
4. Gejala bukan dari kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Kriteria diagnosis putus kokain
1. Penghentian atau penurunan pemakaian kokain yang telah lama
15
2. Mood disforik dan dua atau lebih perubahan fisiologis berikut yang
berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria 1 :
Kelelahan
protein G inhibitor (Gi) yang berikatan dengan adenil siklase didalam pola
menginhibisi. Reseptor kanabioid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di gangglia
basalis, hipokampus, dan serebelum dengan konsentrasi yang lebih rendah di
korteks serebral. Reseptor tidak ditemukan di batang otak sehingga efek kannabis
minimal pada sistem pernafasan dan jantung.
3.4.2
Gejala-gejala
16
Injeksi konjungtiva
Mulut kering
Takikardia
4. Gejala bukan dari kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
17
3.5.2
18
3.5.4
Gejala-gejala Opioid
Penggunaan Opioid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut:
Menimbulkan semangat
Intoksikasi Opioid
Kriteria diagnosis untuk intoksikasi opioid:
1. Pemakaian opioid yang belum lama
2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya euphoria awal diikuti oleh apati, disforia, agitasi, atau retardasi
psikomotor, gangguan pertimbangan, atau gangguan fungsi sosial atau
pekerjaan) yang berkembang selama atau segera setelah pemakaian opioid
3.
Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat)
dan satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian opioid
Bicara cadel
19
4. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.
Toleransi, Ketergantungan, dan Putus Opioid
Terjadi dengan cepat pada penggunaan opioid jangka panjang, yang
menyebabkan
perubahan
jumlah
dan
sensitivitas
reseptor
opioid
dan
c. Terapi komunitas
Terapi kelompok dimana suatu tempat tinggal yang anggotanya semua
memiliki masalah penyalahgunaan zat yang sama.
d. Intervensi lain
Penyuluhan tentang penularan HIV, psikoterapi individu atau kelompok.
3.5.5
Gejala-gejala Morfin
Penggunaan morfin dapat mengakibatkan gejala-gejala sebagai berikut:
Menimbulkan euforia.
Kebingungan (konfusi).
Berkeringat.
3.5.6
timbul rasa kesibukan yang sangat cepat/rushing sensastion ( 30-60 detik) diikuti
rasa menyenangkan seperti mimpi yang penuh kedamaian dan kepuasan atau
ketenangan hati (euforia). Ingin selalu menyendiri untuk menikmatinya. Gejalagejala lainnya, antara lain:
21
yang
termasuk
Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik:
Benzodiazepin
22
3.6.2
Gejala-gejala
Intoksikasi Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
Kriteria diagnosis untuk intoksikasi Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
1. Pemakaian sedatif, hipnotik, ansiolitik yang belum lama
2. Perilaku maladaptive atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya perilaku seksual atau agresif yang tidak semestinya, labilitas mood,
gangguan pertimbangan, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang
berkembang selama, atau segera setelah pemakaian hipnotik, sedatif, atau
ansiolitik
3. Satu (atau lebih) tanda berikut, berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian hipnotik, sedatif, atau ansiolitik:
bicara cadel
inkoordinasi
nistagmus
4. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.
Gejala Putus Sedatif Hipnotik Ansiolitik
Kriteria diagnosis untuk putus sedatif, hipnotik, atau ansiolitik:
1. Penghentian (atau penurunan) pemakaian sedatif, hipnotik, atau ansiolitik
yang telah lama dan berat
2. Dua (atau lebih) berikut yang berkembang dalam beberapa jam sampai
beberapa hari setelah kriteria 1:
insomnia
23
agitasi psikomotor
kecemasan
Gejala-gejala
24
Intoksikasi Halusinogen
Kriteria diagnosis
1. Pemakaian halusinogen yang belum lama
2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya kecemasan atau depresi yang nyata, ideas of reference, ketakutan
kehilangan pikiran, ide paranoid, gangguan pertimbangan, atau gangguan
fungsi sosial atau pekerjaan)
3. Perubahan persepsi yang terjadi dalam keadaan terjaga penuh dan sadar
(misalnya penguatan persepsi subjektif, depersonalisasi, derealisasi, ilusi,
halusinasi, sinestesia) yang berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian halusinogen
4. Dua (atau lebih) tanda berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian halusinogen : dilatasi pupil, takikardi, berkeringat, palpitasi,
pandangan kabur, tremor, inkoordinasi
5. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain
Gangguan Persepsi Menetap Halusinogen
Setelah penghentian penggunaan halusinogen, seseorang dapat mengalami
suatu kilas balik (flashback) berupa gejala halusinogenik. Sindrom ini disebut
gangguan persepsi menetap halusinogen. Flashback ini dapat dipicu oleh stress
emosional, pemutusan sensorik (misalnya mengendarai secara monoton) atau
menggunakan zat psikoaktif lainnya (alkohol, marijuana).
V.
5.1
Penatalaksanaan
5.1.1
Dasar Hukum
Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-
25
5.1.3
rehabilitasi sukar dpisahkan. Perlu waktu dan kerjasama yang luas (keluarga,
petugas sosial, instansi yang mengatur latihan dan lapangan pekerjaan).
5.2
Tahap-tahap Terapi
Terapi dan rehabilitasi ketergantungan NAPZA tergantung kepada teori
abstinensia
bukan
merupakan
sasaran
utama.
Terapi
rumatan
1. Intoksikasi opioida
Beri Naloxone HC 1 0,4 mg IV, IM atau SC dapat pula diulang setelah 2-3
menit sampai 2-3 kali
2. Intoksikasi kanabis (ganja)
Ajaklah bicara yang menenangkan pasien. Bila perlu beri Diazepam 10-30 mg
oral atau parenteral, Clobazam 3x10 mg.
3. Intoksikasi kokain dan amfetamin
Beri Diazepam 10-30 mg oral atau pareteral atau Klordiazepoksid 10-25 mg
oral atau Clobazam 3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit sampai 60
menit. Untuk mengatasi palpitasi beri propanolol 3x10-40 mg oral
4. Intoksikasi alkohol
Mandi air dingin bergantian air hangat. Minum kopi kental. Aktivitas fisik
(sit-up,push-up). Bila belum lama diminum bisa disuruh muntahkan
5. Intoksikasi sedatif-hipnotif (Misalnya Valium, pil BK, MG, Lexo, Rohip)
Melonggarkan pakaian. Membersihkan lender pada saluran napas. Beri
oksigen dan infus garam fisiologis
5.2.3
28
opioid itu sendiri di reseptornya maka secara kompetitif opioid dipaksa keluar dari
tubuh. Dengan demikian dipastikan akan berdampak putus opioid yang jauh lebih
hebat daripada yang biasanya dialami. Karena itu sangat manusiawi bila cara ini
dilakukan dengan pembiusan sehingga pasien tidak merasakan gejala putus opioid
yang dipicu oleh antagonisnya.
Sejauh apakah Peran Obat Antagonis Opioid?
Karena berpengaruh lebih kuat di tingkat reseptor maka obat ini akan menghambat semua efek opioid termasuk kenikmatan atau euforia maupun analgesia.
Dengan demikian pemakaian antagonis opioid secara teratur selama kurun waktu
tertentu akan meniadakan gejala putus opioid sekaligus mengurangi serta menghilangkan ketagihan atau craving. Misalnya 50 milligram tablet naltrekson dapat
menghambat efek 25 milligram heroin murni yang setara dengan 62.5 milligram
morfin.
Berapa Lama Terapi dengan Obat Antagonis Opioid?
Secara statistik lama pengobatan rumatan (maintenance therapy) dengan obat
anta-gonis opioid bergantung pada lama pemakaian opioid. Misalnya seseorang
telah me-makai heroin selama kurang lebih 3 tahun maka dianjurkan terapi
rumatan naltrekson rutin tiap hari adalah 10 bulan. Namun rata-rata dibutuhkan
waktu berkisar 1 tahun dalam rumatan naltrekson untuk menata sugesti atau
manajemen craving bersama-sama dengan intervensi psiko-sosial-spiritual oleh
ahlinya masing-masing. Sehingga pe-nanggulangan ketergantungan opioid merupakan satu kesatuan (holistik).
Siapa Saja yang Memerlukan DOCA?
D.O.C.A. hanya berguna untuk terapi ketergantungan opioid bukan untuk
zat adiktif lainnya seperti shabu (metamfeta-min), ganja (kanabis), alkohol atau
kokain. Namun demikian Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB.IDI)
menganjurkan D.O.C.A. dilakukan pada kasus-kasus keter-gantungan opioid
sebagai berikut :
30
31
32
Rehabilitasi
Setelah selesai detoksifikasi, penyalahguna NAPZA perlu menjalani
Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di
lingkungannya.
33
rindu itu. Apabila pasien menggunakan opat lagi, ia tidak merasakan efek
euforiknya sehingga dapat terjadi overdosis. Oleh karena itu perlu seleksi dan
psikoterapi untuk membangun motivasi pasien yang kuat sebelum
memutuskan pemberian antagonis. Antagonis opiat diberikan dalam dosis
tunggal 50 mg sekali sehari secara oral, selama 3- 6 bulan. Karena
hepatotoksik, perlu tes fungsi hati secara berkala.
b. Program Metadon
Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk menggantikan heroin
yang dapat diberikan secara oral sehingga mengurangi komplikasi medik.
Program ini masih kontroversial, di Indonesia program ini masih berupa uji
coba di RSKO
c. Program yang berorientasi psikososial
Program
ini
menitik
beratkan
berbagai
kegiatannya
pada
terapi
yang
berorientasi
analitik
mengambil
keberhasilan
34
NAPZA masih harus mengikuti program pasca rawat (after care) untuk
memperkecil kemungkinan relaps (kambuh). Setiap tempat/panti rehabilitasi yang
baik mempunyai program pasca rawat ini.
35
5.5
Rujukan
Karena keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan petugas puskesmas,atau
karena fasilitas yang tersedia terbatas, pasien yang tak dapat diatasi, sebaiknya
dirujuk ke dokter ahli yang sesuai atau dirujuk untuk rawat inap di rumah
sakit (misalnya : RS Umum/Swasta,RS Jiwa,RSKO).
Pasien juga dapat dirujuk hanya untuk konsultasi atau meminta pemeriksaan
penunjang saja, seperti pemeriksaan laboratorium (tes urine), pemeriksaan
radio-diagnostik,
elektro
diagnostik,
maupun
test
psikologik
(IQ,
PROGNOSA
Kesuksesan 1 tahun setelah terapi 40-80% (WHO). Menurut Allgulander
36
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
www.asiamaya.com/undangundang/uu_psikotropika
/uu_psikotropikababI.htm
6.
www.depkes.go.id/downloads/napza.pdf
7.
www.narcotics.com
37