Anda di halaman 1dari 38

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

GEJALA SINDROMA KETERGANTUNGAN DAN


INTOKSIKASI PENGGUNAAN NAPZA DAN
PENANGANANNYA
Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)
SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
Disusun oleh:
Angie Erditha Saklitnov
12100113007
Irna Herliani
12100113019
Fandi Dwi Cahyandi
12100113040

Preseptor:
Hj. Elly Marliyani, dr., Sp.KJ, M.KM

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RS JIWA PROVINSI JAWA BARAT
2014

I.

PENDAHULUAN
Bahan-bahan psikoaktif sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, sering
digunakan untuk ritual keagamaan, sosialisasi, rekreasi. Pada tahun 1927 di
Indonesia telah dibuat undang-undang impor, distribusi dan penggunaan obat bius.

Dengan dasar tersebut orang-orang asal Cina (lansia) mendapat jatah candu secara
teratur dan ketika terjadi invasi Jepang tahun 1942 hal itu diberhentikan. Namun
pada tahun 1969 sebagai awal mulainya penyalahgunaan bahan-bahan psikoaktif
(2 kasus di Jakarta). Sampai sekarang kejadian ini semakin meningkat dan
menjadi masalah kesehatan nasional.
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA
(Narkotika dan Bahan/Obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat
kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan
melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat
secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan
konsisten.
Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan NAPZA masih
bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak
menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai
peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun
masyarakat luas khususnya generasi muda.
Dengan memandang keterkaitan pada masalah kesehatan nasional,
khususnya yang menyangkut generasi muda perlu bagi dokter untuk mengetahui
berbagai aspek tentang penyalahgunaan baik dari segi medis, sosial dan hukum.
Dalam clinical science session ini akan menjelaskan aspek-aspek penyalahgunaan
napza, bagaimana cara mendiagnosis, mengenal berbagai jenis napza, pedoman
diagnostik dan penanggulangan penyalahgunaan napza.

II.

ASPEK PENYALAHGUNAAN NAPZA

2.1

Definisi
Dalam PPDGJ III, ICD 10 disebutkan substansi psikoaktif antara lain:

alkohol, opiod, cannabinoid, sedatif-hipnotik, cocaine, halusinogen, caffeine,


tobacco, pelarut yang mudah menguap, penggunaan zat multipel dan zat

psikoaktif lainnya. Sedangkan menurut DSM IV antara lain: alkohol, amfetamin,


caffeine, cannabis, cocaine, halusinogen, inhalasi, nikotin, opioid, pencyclidine
(PCP), sedatif, hipnotik dan ansiolitik. NAPZA adalah bahan/zat/obat yang bila
masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak atau
sistem saraf pusat sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan
fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi). NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang
bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan
pikiran.
Berdasarkan efeknya, NAPZA dibagi menjadi 3, yaitu:
Depresan (downer)
Mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Pemakai menjadi tenang, pendiam,
tertidur atau bahkan tidak sadarkan diri. Contoh : opioid (morfin, heroin,
kodein), sedatif, hipnotik, tranzquilizer.
Stimulan (upper)
Merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan gairah kerja. Pemakai menjadi
aktif, segar, bersemangat. Contoh : amfetamin (shabu, ekstasi), kafein, kokain.
Golongan halusinogen
Efek halusinasi yang mengubah perasaan dan pikiran dan menciptakan daya
pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Contoh :
kanabis, LSD, Mescalin.
2.1.1

Narkotika
Menurut UU RI No 22 tahun 1997 adalah zat/obat yang berasal dari

tanaman/bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat


menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai

dengan

menghilangkan

rasa

nyeri

dan

dapat

menimbulkan

ketergantungan.
Narkotika adalah bahan yang berasal dari 3 jenis tanaman Papaper
Somniferum (Candu), Erythroxyion coca (kokain), dan cannabis sativa (ganja)
baik murni maupun bentuk campuran. Cara kerjanya mempengaruhi susunan
syaraf dan dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
2

rasa, mempengaruhi mood dan perilaku dan menimbulkan ketergantungan.


Beberapa jenis narkotika diantaranya adalah: opium, morphine, codeine, thebaine,
methadone, dan LSD (lysergic acid). Banyak cara yang dapat digunakan untuk
mengkonsumsi narkotika, seperti injeksi, oral ingesti, suppositoria atau dihisap.
Golongan narkotik berdasarkan bahan pembuatannya :
1. Narkotika Alami
Zat dan obat yang langsung bisa dipakai sebagai narkotik tanpa perlu
adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa
langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut
umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena
terlalu beresiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
2. Narkotika Sintetis / Semi Sintesis
Narkotika jenis ini memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk
keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit / analgesik.
Contohnya

yaitu

seperti

amfetamin,

metadon,

dekstropropakasifen,

deksamfetamin, dan sebagainya.


Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut :
a.Depresan = membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
b.Stimulan = membuat pemakai bersemangat dalam berkativitas kerja dan merasa
badan lebih segar.
c. Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah
perasaan serta pikiran.

3. Narkotika Semi Sintesis / Semi Sintetis


Narkotika jenis ini yaitu zat / obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi,
dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.

Narkotika berdasarkan aspek legal atau hukum terbagi menjadi 3 golongan, yaitu;
- Golongan I

: hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan

dan tidak untuk terapi, berpotensi sangat tinggi untuk


menimbulkan ketergantungan. Contoh : heroin/putaw, kokain,
ganja.
- Golongan II

: berkhasiat pengobatan, sebagai pilihan

terakhir dan dapat digunakan untuk terapi ataupun ilmu


pengetahuan

dan

berpotensi

tinggi

menimbulkan

ketergantungan. Contoh : morfin, petidin.


- Golongan III
digunakan

:
untuk

berkhasiat
terapi

pengobatan

maupun

untuk

dan

banyak

tujuan

ilmu

pengetahuan dan berpotensi ringan dalam menimbulkan


ketergantungan. Contoh : kodein.
Efek Fisiologis
Beberapa efek biomedis utama dari zat narkotik yang bekerja pada sistem
syaraf pusat adalah euforia, sedasi, letargi, apatis and ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi. Zat aktif narkotika bekerja pada beberapa jenis reseptor di postsinaps syaraf dan akan menghasilkan berbagai macam efek sesuai dengan letak
kerja zat aktif pada reseptor. Berikut ini merupakan gambar skematis mekanisme
kerja zat aktif narkotika pada reseptor sel syaraf.
-

2.1.2

Psikotropika

Menurut UU RI No 5 tahun 1997 adalah zat/obat, baik alamiah maupun


sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Psikotropika terbagi menjadi 4 golongan, yaitu:
- Golongan I : berpotensi amat kuat dalam menimbulkan
ketergantungan.
Contoh : ekstasi, shabu, LSD
- Golongan II : berpotensi kuat dalam menimbulkan
ketergantungan.
Contoh : amfetamin, metilfenidat/ritalin
-Golongan III

: berpotensi sedang dalam menimbulkan

ketergantungan, banyak digunakan untuk terapi.


Contoh : pentobarbital, flunitrazepam.
-Golongan IV

: berpotensi ringan dalam menimbulkan

ketergantungan, sangat luas digunakan untuk terapi.


Contoh : diazepam, bromazepam, fenobarbital, klonazepam,
klordiazepoksid, nitrazepam, pil BK, pil koplo, Dum, MG.
Zat Adiktif Lainnya
1. Minuman beralkohol
Yaitu minuman yang mengandung etanol.
Terbagi menjadi 3 golongan:
Golongan A mengandung etanol 1%-5% (bir)
Golongan B mengandung etanol 5%-20% (berbagai jenis minuman
anggur)
Golongan C mengandung etanol 20%-45% (whiskey, vodka, TKW,
manson house, johny walker, kamput)
2. Inhalansia
Gas yang mudah dihirup dan solven (pelarut) yang mudah menguap berupa
senyawa organik pada berbagai alat rumah tangga. Contoh: lem, thinner,
penghapus cat kuku, bensin.
5

3. Tembakau
2.2

Terminologi
Toleransi adalah penurunan respon terhadap dosis semula akibat

pemakaian yang berkepanjangan. Sehingga dibutuhkan dosis yang lebih tinggi


untuk mencapai efek semula yang diharapkan. Lepas zat yaitu gejala-gejala yang
timbul akibat penghentian tiba-tiba zat psikoaktif yang sebelumnya sudah lama
digunakan. Ketergantungan adalah kumpulan perilaku dan gejala-gejala fisiologik
yang timbul setelah pemakaian zat psikoaktif jangka panjang. Gejala-gejala
penanda yaitu : toleransi, lepas zat, dorongan kuat untuk memakai zat tersebut dan
tidak mampu untuk mengontrolnya. Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan
salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala/ teratur diluar indikasi
medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, pikiran, dan fungsi
sosial.
2.3

Etiologi

2.3.1. Faktor Individu


Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa
remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik
maupun

sosial

yang

pesat

merupakan

individu

yang

rentan

untuk

menyalahgunakan NAPZA. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai


risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA.
Ciri-ciri tersebut antara lain :

Cenderung memberontak dan menolak otoritas

Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti depresi,


cemas, psikotik, kepribadian disosial.

Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku

Rasa kurang percaya diri (low self-confidence), rendah diri dan memiliki
citra diri negatif (low self-esteem)

Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif

Mudah murung, pemalu, pendiam

Mudah merasa bosan dan jenuh

Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran

Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)

Keinginan untuk mengikuti mode, karena dianggap sebagai lambang

Keperkasaan dan kehidupan modern.

Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.

Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang jantan

Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit

Mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas

Kemampuan komunikasi rendah

Melarikan diri dari sesuatu (kebosanan, kegagalan, kekecewaan,


ketidakmampuan, kesepian dan kegetiran hidup, malu dan lain-lain)

Putus sekolah

Kurang menghayati iman kepercayaannya

2.3.2

Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik

disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga,


terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau remaja
menjadi penyalahguna NAPZA antara lain adalah :
a. Lingkungan Keluarga

Komunikasi orang tua dengan anak kurang baik/efektif

Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga

Orang tua bercerai, berselingkuh atau kawin lagi

Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh

Orang tua otoriter atau serba melarang

Orang tua yang serba membolehkan (permisif)

Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan

Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA

Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten)

Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga

Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahguna NAPZA

b. Lingkungan Sekolah

Sekolah yang kurang disiplin

Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA

Sekolah

yang

kurang

memberi

kesempatan

pada

siswa

untuk

mengembangkan diri secara kreatif dan positif

Adanya murid pengguna NAPZA

c. Lingkungan Teman Sebaya

Berteman dengan penyalahguna

Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar

d. Lingkungan Masyarakat/Sosial

Lemahnya penegakan hukum

Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung

2.3.3

Faktor Napza
Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga terjangkau

Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba.
Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri,
menidurkan, membuat euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain.
Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selalu membuat seseorang
kelak menjadi penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor
diatas, semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA.
Penyalahgunaan NAPZA harus dipelajari kasus demi kasus.Faktor individu, faktor
lingkungan keluarga dan teman sebaya/pergaulan tidak selalu sama besar
perannya dalam menyebabkan seseorang menyalahgunakan NAPZA. Karena

faktor pergaulan, bisa saja seorang anak yang berasal dari keluarga yang harmonis
dan cukup komunikatif menjadi penyalahguna NAPZA.

2.4

Taraf Penyalahgunan

2.4.1

Intoxication
Merupakan efek langsung dari penggunaan narkotika, yang dapat muncul

lebih cepat ketika narkotika dikonsumsi melalui rute intravena atau nasal. Tanda
fisik yang dapat muncul adalah ucapan yang inkoheren, perilaku tidak wajar,
kurangnya koordinasi, pupil terbatas dan sembelit (yang disebabkan oleh
pengeringan sekresi alami). Efek psikologis termasuk euforia, ketenangan, apatis
dan pemahaman terganggu. Meskipun efek awal umumnya menenangkan, agitasi
psikomotor dan agresivitas dapat terjadi
2.4.2

Overdose (OD)
Keracunan yang parah, terjadi ketika terlalu banyak obat memasuki tubuh

terlalu cepat , biasanya setelah injeksi IV. Variasi dalam potensi , kualitas dan
dosis obat-obatan narkotika menyebabkan sebagian overdosis. Depresi pernafasan
yang parah dan kematian dapat terjadi akibat OD.
2.4.3

Withdrawal
Dapat terjadi 4 sampai 12 jam setelah berhenti penggunaan narkotika berat

dan berkepanjangan, tergantung pada obat dan bisa berlangsung 14 hari . Tandatanda fisik meliputi merinding , nyeri otot (sering di kaki dan punggung), kram
perut, diare dan insomnia. Secara mental, seseorang bisa mengalami depresi,
kecemasan, panik, marah dan keinginan.
2.4.4

Tolerance
Menggambarkan kebutuhan tubuh untuk meningkatkan jumlah obat untuk

mendapatkan efek yang sama. Orang yang memiliki kecanduan lama dapat
memiliki dosis tinggi yang berbahaya yang akan membunuh pengguna pertama
kali.

2.4.5

Abuse
Didefinisikan sebagai penggunaan zat dengan tujuan bersenang senang

yang mengakibatkan ketidakmampuan memperbaiki, konsekuensi negatif dan


penolakan. Biasanya, orang - orang yang menyalahgunakan zat menggunakannya
dan mengalami kecanduan lebih jarang dari pada mereka yang ketergantungan.
Namun bila berkepanjangan, kebanyakan mereka menjadi ketergantungan.
2.4.6

Dependence
Berarti bahwa pengguna narkoba tidak dapat mengurangi dosis atau

berhenti menggunakannya karena otak secara kimiawi tergantung pada obat.


Tanda yang paling signifikan dari ketergantungan secara psikologis adalah bahwa
pengguna berencana melakukan kegiatan sehari-hari demi mendapatkan dan
menggunakan obat. Tanda-tanda fisiologis ketergantungan mencakup kecanduan.
2.5

Dampak Penyalahgunaan

2.5.1

Jasmaniah
Hal hal yang dapat diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Cardiovascular : sub bakterial endokarditis, kardiomiopati alkoholik


2. Pulmonar dan traktus respiratorius: depresi pernapasan, apneu, anoxia,
fibrosis pulmoner, granuloma benda asing, iritasi mukosa hidung (kokain)
3. Tractus

gastrointestinal

konstipasi

(opiat),

gastritis,

pankreatitis,

perlemakan hati, hepatitis, sirosis (alkohol)


4. Tractus urinarius & sistem reproduksi : infeksi, gangguan fungsional
seksual, pada wanita hamil bisa menimbulkan kecacatan pada bayi
5. Dermatologik : abses, selulitis, needle tracks (bekas suntikan ), reaksi alergi
6. Hematopoitik : depresi sumsum tulang
7. Endokrin : hipogonadisme (opiat, alkohol), hipoglikemi (alkohol)
8. Muskuloskeletal : rhabmyolitis akut (heroin), myopati alkoholik, fraktur
9. Neurologik: kejang (overdosis opiat, halusinogen, putus zat sedatif/hipnotik,
gangguan kesadaran, sindroma Wernicke-Korsakoff (alkohol), polineuropati
(alkohol)
10

10. Lain-lain : AIDS (jarum tidak steril)


2.5.2

Kejiwaan
Gangguan persepsi, daya pikir, daya ingat, kemampuan belajar, daya

kreasi, emosi, gangguan prilaku. Pada keadaan lebih lanjut bisa menyebabkan
gangguan psikotik (organik, fungsional), tindakan kekerasan, bunuh diri,
sindroma amotivasi (ganja).
2.5.3

Sosial
Produktivitas

kerja/sekolah

menurun,

pengendalian

diri

menurun,

gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.sehingga menimbulkan


gangguan kehidupan dalam keluarga/sosial.
III.

JENIS-JENIS NAPZA

3.1

Alkohol

3.1.1. Aspek Biomolekular Alkohol


Istilah alkohol ditujukan pada sekelompok besar molekul organik yang
memiliki gugus hidroksil (-OH) yang melekat pada atom karbon jenuh. Etil
alkohol juga disebut etanol adalah bentuk alkohol yang umum, seringkali disebut
sebagai alkohol minuman, etil alkohol digunakan dalam minuman. Pada tingkat
0,05% alkohol didarah, pikiran, pertimbangan dan pengendalian mengendur
bahkan seringkali terputus. Pada konsentrasi 0,1% aksi motorik yang disadari
dirasakan canggung. Pada konsentrasi 0,2% fungsi seluruh daerah motorik di otak
terdepresi, bagian otak yang mempengaruhi perilaku juga terpengaruhi. Pada
konsentrasi 0,3% seseoang dapat mengalami konfusi atau stupor. Pada konsentrasi
0,4-0,5% orang berada dalam koma. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, pusat
primitif diotak yang mengatur psat pernafasan dan kecepatan denyut jantung
terpengaruhi dan dapat terjadi kematian.
Alkohol akan menyebabkan kerusakan hati. Berupa fatty liver, hepatitis
alkoholik dan sirosis hepatis. Alkohol juga dapat menyebabkan esofagitis, varises
esofagus, gastritis, aklorhidia dan ulkus lambung, selain itu akan mengganggu
proses pencernaan makanan dan absorbsinya..

11

3.1.2

Gejala-gejala

Kriteria diagnostik untuk intoksikasi alkohol


1. Baru saja menggunakan alkohol
2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bemakna secara klinis
yang berkembang selama atau segera setelah ingesti alkohol
3. Satu atau lebih tanda berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian alkohol :

Bicara cadel

Inkoordinasi

Gaya berjalan tidak mantap

Nistagmus

Gangguan atensi dan daya ingat

Stupor atau koma.

4. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Kriteria diagnostik untuk putus alkohol
1. Penghentian pemakaian alkohol yang telah lama dan berat
2. Dua atau lebih tanda berikut ini, yang berkembang dalam beberapa jam
sampai beberapa hari setelah kriteria 1 :

hiperaktivitas otonomik

tremor tangan

insomnia

12

mual atau muntah

halusinasi atau ilusi lihat raba atau dengar

agitasi psikomotor

kecemasan

stupor atau koma

3. Gejala dalam kriteria 2 menyebabkan penderitaan yang bermakna secara


klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
pentinglainnya
4. Gejala tidak disebabkam suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lainnya.
3.2 Amphetamine
3.2.1 Aspek Biomolekular Amphetamine
Tersedia di Amerika sebagai dextro amphetamine, methamphetamine, dan
methylphenidate. Nama jalanannya crack, crystal, crystal meth, dan speed. Zat
yang behubungan

dengan amphetamine lainnya

adalah

ephedrine

dan

propanolamine yang merupakan suatu dekongestan. Amphetamine klasik


memiliki efek primernya dengan menyebabkan pelepasan katekolamin terutama
dopamin dari terminal prasinaptik. Efek tersebut terutama kuat pada neuron
dopaminergik yang keluar dari area segmental ventralis kekorteks serebral dan
area limbik.
3.2.2

Gejala-gejala

Intoksikasi amphetamin
1. Pemakaian amphetamin atau zat yang berhubungan yang belum lama terjadi
2. Perilaku maladapif atau perubahan perilaku yang bermakna secara klinis yang
berkembang selama atau segera setelah pemakaian amphetamin atau zat yang
berhubungan
3. Dua atau lebih hal berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian amphetamin atau zat yang berhubungan :

13

Takikardia atau bradikardia

Dilatasi pupil

Peninggian atau penurunan tekanan darah

Berkeringat atau menggigil

Mual atau muntah

Tanda-tanda penurunan berat badan

Agitasi atau retardasi psikomotor

Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada dan aritmia jantung

Konfusi, kejang, diskinesia, distonia

4. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Putus amphetamin
Keadaan setelah intoksikasi amphetamin dapat disertai dengan kecemasan,
gemetar, mood disforik, letargi, fatigue, mimpi menakutkan, nyeri kepala, banyak
berkeringat, kram otot. Kram lambung dan rasa lapar ayng tidak pernah
kenyang.gejala yang paling serius adalah depresi yang dapat disertai dengan ide
atau usaha bunuh diri.
Kriteria diagnosis putus amphetamine :
1. Penghentian amphetamine yang telah lama atau berat
2. Mood disforik dan dua atau lebih perubahan fisiologis berikut yang
berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria 1 :

Kelelahan

Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan

Insomnia atau hipersomnia

Peningkatan nafsu makan

Retardasi atau agitasi psikomotor

3. Gejala dalam kriteria 2 menyebabkan penderitaan bermakna secara klinis atau


gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi lainnya
4. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
14

3.3 Cocaine
3.3.1

Aspek Biomolekular Cocaine


Efek utamanya adalah penghambatan kompetitif ambilan kembali

dopamin oleh transporter dopamin sehingga meningkatkan konsentrasi dopamin


dalam celah sinaps dan meningkatkan aktivasi reseptor dopamin tipe 1 dan 2.
Kokain juga menghambat ambilan katekolamin utama lainnya yaitu katekolamin
dan serotonin. Kokain juga menurunkan aliran darah ke otak dan menurunkan
penggunaan glukosa. Kokain memiliki kualitas adiktif yang kuat.
3.3.2

Gejala-gejala

Kriteria diagnosis intoksikasi kokain


1. Pemakaian kokain yang belum lama
2. Perilaku maladaptif
3. Dua atau lebih tanda berikut :

takikardia atau bradikardia

dilatasi pupil

peninggian atau penurunan tekanan darah

berkeringat atau menggigil

mual atau muntah

tanda-tanda penurunan berat badan

agitasi atau retardasi psikomotor

kelemahan otot-depresi pernafasan-nyeri dada atau aritmia jantung

konfusi- kejang- diskinesia-distonia atau koma

4. Gejala bukan dari kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Kriteria diagnosis putus kokain
1. Penghentian atau penurunan pemakaian kokain yang telah lama

15

2. Mood disforik dan dua atau lebih perubahan fisiologis berikut yang
berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria 1 :

Kelelahan

Mimpi yang tidak menenangkan

Insomnia dan hipersomnia

Peningkatan nafsu makan

Retardasi atau agitasi psikomotor

3. Gejala dalam kriteria 2 menyebabkan penderitan secara bermakna secra klinis


atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi lainnya
4. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari kondisi medis umum dan
tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain.
3.4 Cannabis
3.4.1

Aspek Biomolekular Cannabis


Resptor adalah anggota dari reseptor G. Reseptor kanabioid diikat dengan

protein G inhibitor (Gi) yang berikatan dengan adenil siklase didalam pola
menginhibisi. Reseptor kanabioid ditemukan dalam konsentrasi tinggi di gangglia
basalis, hipokampus, dan serebelum dengan konsentrasi yang lebih rendah di
korteks serebral. Reseptor tidak ditemukan di batang otak sehingga efek kannabis
minimal pada sistem pernafasan dan jantung.

3.4.2

Gejala-gejala

Kriteria untuk intoksikasi kanabis

16

1. Pemakaian kanabis yang belum lama


2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
yang berkembang segera setelah pemakaian kanabis
3. Dua atau lebih tanda berikut yang berkembang dalam 2 jam pemakaian
kanabis :

Injeksi konjungtiva

Peningkatan nafsu makan

Mulut kering

Takikardia

4. Gejala bukan dari kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.

3.5 Opiate atau Opium (candu)


Opiate atau opium (candu) merupakan golongan narkotika alami yang
sering digunakan dengan cara dihisap (inhalasi).
3.5.1

Aspek Biomolekular Opiate


Opioid bekerja pada reseptor opioid. Reseptor menyebabkan analgesia,

depresi pernapasan, konstipasi, dan ketergantungan. Reseptor K menyebabkan


analgesia, diuresis, dan sedasi. Reseptor menyebabkan analgesia. Opioid juga
bekerja pada sistem dopaminergik dan non adrenergik. Beberapa data menyatakan
bahwa sifat adiktif dan menyenangkan dari opiate dan opioid diperantarai oleh
aktivasi area tegmental ventral neuron dopaminergik yang berjalan ke korteks
serebral dan sistem limbik.

17

3.5.2

Aspek Biomolekular Morfin


Merupakan zat aktif (narkotika) yang diperoleh dari candu melalui

pengolahan secara kimia. Umumnya candu mengandung 10% morfin. Cara


pemakaiannya disuntik di bawah kulit, ke dalam otot atau pembuluh darah
(intravena).

3.5.3 Aspek Biomolekular Heroin


Heroin merupakan opiate yang paling sering disalahgunakan dan lebih
poten karena lebih larut lemak dibandingkan morfin. Heroin merupakan golongan
narkotika semisintetis yang dihasilkan atas pengolahan morfin secara kimiawi
melalui 4 tahapan sehingga diperoleh heroin paling murni berkadar 80% hingga
99%. Heroin murni berbentuk bubuk putih sedangkan heroin tidak murni
berwarna putih keabuan (street heroin). Zat ini sangat mudah menembus otak
sehingga bereaksi lebih kuat dari pada morfin itu sendiri. Karena sifat tersebut,
heroin melewati sawar darah-otak lebih cepat sehingga onset kerjanya juga lebih
cepat.

Heroin juga lebih bersifat adiktif. Umumnya digunakan dengan cara

disuntik atau dihisap.

18

3.5.4

Gejala-gejala Opioid
Penggunaan Opioid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut:

Menimbulkan rasa kesibukan (rushing sensation)

Menimbulkan semangat

Merasa waktu berjalan lambat.

Pusing, kehilangan keseimbangan/mabuk.

Merasa rangsang birahi meningkat (hambatan seksual hilang).

Timbul masalah kulit di sekitar mulut dan hidung.

Intoksikasi Opioid
Kriteria diagnosis untuk intoksikasi opioid:
1. Pemakaian opioid yang belum lama
2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya euphoria awal diikuti oleh apati, disforia, agitasi, atau retardasi
psikomotor, gangguan pertimbangan, atau gangguan fungsi sosial atau
pekerjaan) yang berkembang selama atau segera setelah pemakaian opioid
3.

Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat)

dan satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian opioid

Mengantuk atau koma

Bicara cadel
19

Gangguan atensi atau daya ingat

4. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.
Toleransi, Ketergantungan, dan Putus Opioid
Terjadi dengan cepat pada penggunaan opioid jangka panjang, yang
menyebabkan

perubahan

jumlah

dan

sensitivitas

reseptor

opioid

dan

meningkatkan sensitivitas reseptor dopaminergik, kolinergik, dan serotonergik.


Gejala putus opioid terutama berkaitan dengan hiperaktifitas dari neuron
noradrenergic. Putus opioid jarang merupakan suatu kegawatdaruratan medis.
Gejala klinisnya flu-like dan drug craving, cemas, lakrimasi, rhinorrhea,
berkeringat, insomnia, nyeri otot, nyeri perut, dilatasi pupil, tremor, restlessness,
piloerection, mual, muntah, diare, dan meningkatnya tanda vital. Hati-hati pasien
dengan malingering untuk mendapatkan obat, lihat tanda-tanda objektif (misalnya
piloerection, dilatasi pupil, takikardia, hipertensi). Jika tidak ada tanda-tanda
objektif, jangan berikan opioid.
Gejala putus opioid yang tidak diterapi tidak berakibat buruk secara medis.
Tujuan dari detoksifikasi hanyalah untuk meminimalisasi gejala-gejala putus
opioid.
a. Detoksifikasi
Diberikan 10 mg metadon, jika gejala tetap ada setelah 4-6 jam, berikan
tambahan dosis 5-10mg yang dapat diulang tiap 4-6 jam. Dosis total yang
diberikan dalam 24 jam, diberikan juga pada hari kedua. Kemudian dosis
diturunkan setiap hari sebanyak 5mg/hari. Selain metadon, dapat juga
digunakan pentazocine, klonidin, naltrexone (antagonis opiat).
b. Substitusi opioid
Merupakan terapi jangka panjang untuk ketergantungan opiate. Metadon dosis
rendah biasanya dipertahankan 60mg/hari atau kurang. Bisa juga digunakan
levomethadyl yang memiliki duration of action yang lebih panjang sehingga
bisa diberikan 3x seminggu. Atau dapat juga digunakan buprenorphine yang
campuran agonis-antagonis pada reseptor opiat.
20

c. Terapi komunitas
Terapi kelompok dimana suatu tempat tinggal yang anggotanya semua
memiliki masalah penyalahgunaan zat yang sama.
d. Intervensi lain
Penyuluhan tentang penularan HIV, psikoterapi individu atau kelompok.
3.5.5

Gejala-gejala Morfin
Penggunaan morfin dapat mengakibatkan gejala-gejala sebagai berikut:

Menimbulkan euforia.

Mual, muntah, sulit buang hajat besar (konstipasi).

Kebingungan (konfusi).

Berkeringat.

Dapat menyebabkan pingsan, jantung berdebar-debar.

Gelisah dan perubahan suasana hati.

Mulut kering dan warna muka berubah.

3.5.6

Gejala-gejala Heroin / Putauw


Penggunaan heroin atau putauw dapat mengakibatkan gejala-gejala seperti

timbul rasa kesibukan yang sangat cepat/rushing sensastion ( 30-60 detik) diikuti
rasa menyenangkan seperti mimpi yang penuh kedamaian dan kepuasan atau
ketenangan hati (euforia). Ingin selalu menyendiri untuk menikmatinya. Gejalagejala lainnya, antara lain:

Denyut nadi melambat.

Tekanan darah menurun.

Otot-otot menjadi lemas/relaks.

21

Diafragma mata (pupil) mengecil (pin point).

Mengurangi bahkan menghilangkan kepercayaan diri.

Membentuk dunia sendiri (dissosial) : tidak bersahabat.

Penyimpangan perilaku : berbohong, menipu, mencuri, kriminal.

Ketergantungan dapat terjadi dalam beberapa hari.

Efek samping timbul kesulitan dorongan seksual, kesulitan membuang


hajat besar, jantung berdebar-debar, kemerahan dan gatal di sekitar hidung,
timbul gangguan kebiasaan tidur.
Jika sudah toleransi, semakin mudah depresi dan marah sedangkan efek

euforia semakin ringan atau singkat.


3.6 Sedatif-Hipnotik
3.6.1 Aspek Biomolekular Sedatif-Hipnotik
Zat

yang

termasuk

Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik:

Benzodiazepin

(Diazepam, chlordiazepoxide, flurazepam, lorazepam, alprazolam, triazolam,


temazepam, oxazepam), Barbiturat (Secobarbital, pentobarbital), Zat mirip
barbiturat (Meprobamate, methaqualone, glutethimide, ethchlorvynol).
Efek Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
Benzodiazepin, barbiturat, dan zar mirip barbiturat semuanya memiliki
efek pada kompleks reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA) tipe A., yang
mempunyai suatu saluran ion klorida, suatu tempat ikatan untuk GABA, dan
tempat ikatan yang ditentukan dengan baik untuk benzodiazepine. Barbiturat dan
zat mirip barbiturat dianggap berikatan di suatu tempat pada kompleks reseptor
GABAA.

22

3.6.2

Gejala-gejala

Intoksikasi Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
Kriteria diagnosis untuk intoksikasi Sedatif-Hipnotik-Ansiolitik
1. Pemakaian sedatif, hipnotik, ansiolitik yang belum lama
2. Perilaku maladaptive atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya perilaku seksual atau agresif yang tidak semestinya, labilitas mood,
gangguan pertimbangan, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang
berkembang selama, atau segera setelah pemakaian hipnotik, sedatif, atau
ansiolitik
3. Satu (atau lebih) tanda berikut, berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian hipnotik, sedatif, atau ansiolitik:

bicara cadel

inkoordinasi

gaya berjalan tidak mantap

nistagmus

gangguan atensi atau daya ingat

stupor atau koma

4. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.
Gejala Putus Sedatif Hipnotik Ansiolitik
Kriteria diagnosis untuk putus sedatif, hipnotik, atau ansiolitik:
1. Penghentian (atau penurunan) pemakaian sedatif, hipnotik, atau ansiolitik
yang telah lama dan berat
2. Dua (atau lebih) berikut yang berkembang dalam beberapa jam sampai
beberapa hari setelah kriteria 1:

hiperaktivitas otonomik (misalnya berkeringat atau denyut nadi >100)

peningkatan tremor tangan

insomnia

23

mual atau muntah

halusinasi atau ilusi lihat, taktil, atau dengar yang transient

agitasi psikomotor

kecemasan

kejang grand mal

3. Gejala dalam kriteria 2 menyebabkan penderitaan yang bermakna secara


klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain
4. Gejala tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.
3.7 Halusinogen
3.7.1 Aspek Biomulekular Halusinogen
Halusinogen bersifat simpatomimetik dan menyebabkan hipertensi,
takikardi, hipertermi, dan dilatasi pupil. Efek fisiologisnya bervariasi dari yang
ringan sampai halusinasi berat. Umumnya hanya terjadi halusinasi ringan.
Pada pemakaian halusinogen, persepsi menjadi lebih kuat dari biasanya.
Warna menjadi lebih kaya daripada sebelumnya atau dipertajam, musik lebih
menonjol secara emosional, dan pembauan dan pengecapan meningkat. Terjadi
sinestesia; warna terdengar dan suara terlihat. Terdapat perubahan dalam persepsi
waktu dan ruang. Halusinasi biasanya adalah visual, seringkali bentuk dan gambar
geometric, tetapi kadang-kadang didapatkan juga halusinasi raba dan dengar.
Onset kerja halusinogen (dalam hal ini misalnya LSD) terjadi dalam satu
jam, memuncak dalam 2-4 jam, dan berlangsung selama 8-12 jam. Kematian
dapat terjadi pada pemakaian halusinogen. Penyebab kematian biasanya
berhubungan dengan

patologi kardiovaskular dan serebrovaskular yang

berhubungan dengan hipertensi atau hipertermi. Penyebab kematian juga


berhubungan dengan cedera fisik setelah suatu gangguan pertimbangan, misalnya
melanggar lalu lintas atau kemampuan seseorang untuk menyeberang.
3.7.2

Gejala-gejala

24

Intoksikasi Halusinogen
Kriteria diagnosis
1. Pemakaian halusinogen yang belum lama
2. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya kecemasan atau depresi yang nyata, ideas of reference, ketakutan
kehilangan pikiran, ide paranoid, gangguan pertimbangan, atau gangguan
fungsi sosial atau pekerjaan)
3. Perubahan persepsi yang terjadi dalam keadaan terjaga penuh dan sadar
(misalnya penguatan persepsi subjektif, depersonalisasi, derealisasi, ilusi,
halusinasi, sinestesia) yang berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian halusinogen
4. Dua (atau lebih) tanda berikut yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian halusinogen : dilatasi pupil, takikardi, berkeringat, palpitasi,
pandangan kabur, tremor, inkoordinasi
5. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain
Gangguan Persepsi Menetap Halusinogen
Setelah penghentian penggunaan halusinogen, seseorang dapat mengalami
suatu kilas balik (flashback) berupa gejala halusinogenik. Sindrom ini disebut
gangguan persepsi menetap halusinogen. Flashback ini dapat dipicu oleh stress
emosional, pemutusan sensorik (misalnya mengendarai secara monoton) atau
menggunakan zat psikoaktif lainnya (alkohol, marijuana).
V.

PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

5.1

Penatalaksanaan

5.1.1

Dasar Hukum
Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-

undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.


5.1.2

Penatalaksanaan Terhadap Potensial User


Penting dilihat dari sudut prevensi, sebaiknya ditangani dulu oleh orang

tua, keluarganya, guru pembimbing atau pembina pada kegiatan ekstrakulikuler.

25

5.1.3

Penatalaksanaan Terhadap User


Mencakup segi jasmani, psikologis dan sosial. Konsep terapi dan

rehabilitasi sukar dpisahkan. Perlu waktu dan kerjasama yang luas (keluarga,
petugas sosial, instansi yang mengatur latihan dan lapangan pekerjaan).
5.2

Tahap-tahap Terapi
Terapi dan rehabilitasi ketergantungan NAPZA tergantung kepada teori

dan filosofi yang mendasarinya. Dalam nomenklatur kedokteran ketergantungan


NAPZA adalah suatu jenis penyakit yang dalan International Classification of
Diseases and Health Related Problems-Tenth Revision 1992 (ICD-10) yang
dikeluarkan oleh WHO digolongkan dalam Mental and behavioral disorders due
to psychoactive substance use.
Tujuan dari terapi dan rehabilitasi

Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA. Tujuan ini


tergolong sangat ideal, namun banyak orang tidak mampu atau mempunyai
motivasi untuk mencapai tujuan ini, terutama kalau ia baru menggunakan
NAPZA pada fase-fase awal. Pasien tersebut dapat ditolong dengan
meminimasi efek-efek yang langsung atau tidak langsung dari NAPZA.
Sebagian pasien memang telah abstinesia terhadap salah satu NAPZA tetapi
kemudian beralih untuk menggunakan jenis NAPZA yang lain.

Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps Sasaran utamanya adalah


pencegahan relaps .Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah
clean maka ia disebut slip. Bila ia menyadari kekeliruannya,dan ia
memang telah dIbekali ketrampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan
kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinensia.
Pelatihan relapse prevention programe, Program terapi kognitif, Opiate
antagonist maintenance therapy dengan naltreson merupakan beberapa
alternatif untuk mencegah relaps.
26

Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial. Dalam kelompok


ini,

abstinensia

bukan

merupakan

sasaran

utama.

Terapi

rumatan

(maintenance) metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi


golongan ini.
Gawat darurat medik akibat penggunaan NAPZA merupakan tanggung
jawab profesi medis. Profesi medis memegang teguh dan patuh kepada etika
medis, karena itu diperlukan keterampilan medis yang cukup ketat dan tidak dapat
didelegasikan kepada kelompok profesi lain. Salah satu komponen penting dalam
keterampilan medis yang erat kaitannya dengan gawat darurat medik adalah
keterampilan membuat diagnosis. Dalam rehabilitasi pasien ketergantungan
NAPZA, profesi medis (dokter) mempunyai peranan terbatas. Proses rehabilitasi
pasien ketergantungan NAPZA melibatkan berbagai profesi dan disiplin ilmu.
Namun dalam kondisi emergensi, dokter merupakan pilihan yang harus
diperhitungkan.
5.2.1

Terapi Umum Terhadap Keadaan Overdosis atau Emergensi

1. Usahakan pernafasan berjalan lancar, yaitu :


- Lurus dan ekstensikan leher kepala pasien.
- Kendurkan pakaian yang terlalu ketat.
- Hilangkan obstruksi pada saluran nafas.
- Bila perlu berikan oksigen.
2. Usahakan agar peredaran darah berjalan lancar
- Bila jantung berhenti, lakukan masase jantung eksternal injeksi Adrenalin
0.1 0.2 cc IM
- Bila timbul asidosis (misalnya bibir dan ujung jari biru, hiperventilasi)
karena sirkulasi darah yang tidak memadai, beri infus 50 ml Sodium
Bikarbonas.
3. Pasang infus dan berikan cairan (misalnya RL atau NaCl 0.9%) dengan
kecepatan rendah (10-12 tetes per menit) terlebih dahulu sampai ada indikasi
untuk memberikan cairan. Tambahkan kecepatan sesuai kebutuhan, jika
didapatkan tanda-tanda dehidrasi.
27

4. Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat adanya kemungkinan


perdarahan atau trauma yang membahayakan.
5. Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang berikan
Diazepam 10 mg melalui IV atau per infus dan dapat diulang sesudah 20
menit jika kejang belum teratasi.
6. Bila ada hipoglikemi, beri 50 ml Glukosa 50% IV.
5.2.2

Terapi Terhadap Keadaan Intoksikasi

1. Intoksikasi opioida
Beri Naloxone HC 1 0,4 mg IV, IM atau SC dapat pula diulang setelah 2-3
menit sampai 2-3 kali
2. Intoksikasi kanabis (ganja)
Ajaklah bicara yang menenangkan pasien. Bila perlu beri Diazepam 10-30 mg
oral atau parenteral, Clobazam 3x10 mg.
3. Intoksikasi kokain dan amfetamin
Beri Diazepam 10-30 mg oral atau pareteral atau Klordiazepoksid 10-25 mg
oral atau Clobazam 3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit sampai 60
menit. Untuk mengatasi palpitasi beri propanolol 3x10-40 mg oral
4. Intoksikasi alkohol
Mandi air dingin bergantian air hangat. Minum kopi kental. Aktivitas fisik
(sit-up,push-up). Bila belum lama diminum bisa disuruh muntahkan
5. Intoksikasi sedatif-hipnotif (Misalnya Valium, pil BK, MG, Lexo, Rohip)
Melonggarkan pakaian. Membersihkan lender pada saluran napas. Beri
oksigen dan infus garam fisiologis
5.2.3

Terapi Pada Sindrom Putus Zat

1. Terapi putus zat opioida


Terapi ini sering dikenal dengan detoksifikasi. Terapi detoksifikasi dapat
dilakukan dengan cara berobat jalan maupun rawat inap. Detoksifikasi
hanyalah merupakan langkah awal dalam proses penyembuhan dari

28

penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA Lama program terapi detoksifikasi


berbeda-beda :

1-2 minggu untuk detoksifikasi konvensional

24-48 jam untuk detoksifikasi opioid dalam anestesi cepat (Rapid


Opiate Detoxification Treatment)

Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :


a. Tanpa diberi terapi apapun (abrupt withdrawal/cold turkey).
Terapi hanya simptomatik saja : untuk nyeri diberi analgetika kuat seperti
tramadol, analgetik non-narkotik, asam mefenamat dan sebagainya Untuk
rhinore beri dekongestan, misalnya fenilpropanolamin. Untuk mual beri
metopropamid Untuk kolik beri spasmolitik Untuk gelisah beri antiansietas
Untuk insomnia beri hipnotika,misalnya golongan benzodiazepin
b. Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal)
Dapat diberi morfin,petidin,metadon atau kodein dengan dosis dikurangi
sedikit demi sedikit. Misalnya yang digunakan di RSKO Jakarta, diberi kodein
3x60mg80mg kemudian selanjutnya dikurangi menjadi 10mg setiap hari dan
seterusnya.Disamping itu diberi terapi simptomatik
c. Terapi putus opioida dengan metode detoksifikasi cepat dalam anestesi
(Rapid Opioid Detoxification).
Penanganan awal untuk terapi putus zat opioid dikenal dengan
Detoksifikasi Opioid Cepat dengan Anestesia atau DOCA. Prinsip terapi ini
hanya untuk kasus single drug opiat saja,dilakukan di RS dengan fasilitas
rawat intensif oleh Tim Anestesiologi dan Psikiater, dilanjutkan dengan terapi
menggunakan anatagonist opiat (naltrekson) lebih kurang 1 tahun.
DOCA
D.O.C.A. adalah cara mutakhir detoksifikasi opioid yang efektif dan aman
yang berkembang saat ini untuk penanggu-langan awal ketergantungan opioid.
Cara ini akan mengeluarkan opioid dengan cepat dan sebanyak mungkin dari
reseptornya di otak yang dipicu oleh obat lawannya (antagonis opioid) selama
kurang lebih 4-6 jam. Karena pengaruh obat antagonis opioid lebih kuat daripada
29

opioid itu sendiri di reseptornya maka secara kompetitif opioid dipaksa keluar dari
tubuh. Dengan demikian dipastikan akan berdampak putus opioid yang jauh lebih
hebat daripada yang biasanya dialami. Karena itu sangat manusiawi bila cara ini
dilakukan dengan pembiusan sehingga pasien tidak merasakan gejala putus opioid
yang dipicu oleh antagonisnya.
Sejauh apakah Peran Obat Antagonis Opioid?
Karena berpengaruh lebih kuat di tingkat reseptor maka obat ini akan menghambat semua efek opioid termasuk kenikmatan atau euforia maupun analgesia.
Dengan demikian pemakaian antagonis opioid secara teratur selama kurun waktu
tertentu akan meniadakan gejala putus opioid sekaligus mengurangi serta menghilangkan ketagihan atau craving. Misalnya 50 milligram tablet naltrekson dapat
menghambat efek 25 milligram heroin murni yang setara dengan 62.5 milligram
morfin.
Berapa Lama Terapi dengan Obat Antagonis Opioid?
Secara statistik lama pengobatan rumatan (maintenance therapy) dengan obat
anta-gonis opioid bergantung pada lama pemakaian opioid. Misalnya seseorang
telah me-makai heroin selama kurang lebih 3 tahun maka dianjurkan terapi
rumatan naltrekson rutin tiap hari adalah 10 bulan. Namun rata-rata dibutuhkan
waktu berkisar 1 tahun dalam rumatan naltrekson untuk menata sugesti atau
manajemen craving bersama-sama dengan intervensi psiko-sosial-spiritual oleh
ahlinya masing-masing. Sehingga pe-nanggulangan ketergantungan opioid merupakan satu kesatuan (holistik).
Siapa Saja yang Memerlukan DOCA?
D.O.C.A. hanya berguna untuk terapi ketergantungan opioid bukan untuk
zat adiktif lainnya seperti shabu (metamfeta-min), ganja (kanabis), alkohol atau
kokain. Namun demikian Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB.IDI)
menganjurkan D.O.C.A. dilakukan pada kasus-kasus keter-gantungan opioid
sebagai berikut :

30

Mereka dengan tingkat keparahan putus opioid 2 dan 3 pada skala


Himmelsbach yaitu antara lain adanya gejala merasa sakit seluruh tubuh, panas
dingin, geme-taran, mual, dsb.

Mereka takut dengan cara detoksifikasi lain atau menghendakinya.


Bagaimana Bila Ada Penyakit Penyerta ?
Memang D.O.C.A. mempunyai syarat medis tertentu yang membatasi agar
tidak terjadi komplikasi berat yaitu termasuk tidak sedang hamil, tidak menderita
hepatitis akut, tidak mengalami gangguan jiwa berat (psikosis) atau tidak sakit
parah lainnya yang berisiko dengan anestesia seperti infeksi jantung, infeksi paruparu atau gagal ginjal.
Apa Saja Persiapan DOCA ?
Modal utama persiapan D.O.C.A. adalah motivasi atau keinginan mau
sembuh dari ketergantungan opioid. Motivasi yang bersangkutan harus didukung
oleh keluarga terutama dalam menekuni terapi rumatan naltrekson yang cukup
lama. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisis, laboratorium, foto toraks dan
puasa di rumah minimal 12 jam. Setelah syarat-syarat medis dipenuhi masih
diperlukan pernyataan per-setujuan bersangkutan atau walinya sebagai syarat
medikolegal untuk tindak medis yang diperlukan sesuai standar profesi atau prosedur yang berlaku (informed consent).
Tempat dan Waktu Yang Diperlukan Untuk DOCA
D.O.C.A. dilakukan di Rumah Sakit yang memiliki Unit Perawatan
Intensif (ICU) di bawah pengawasan dokter anestesiologi atau intensivis yang
sudah berpengalaman. Dalam hal ini peran dokter spesialis anestesiologi tidak
terbatas hanya melakukan pembiusan namun harus mengendalikan gejala putus
opioid serta menangani gejala sisa D.O.C.A. yang mungkin terjadi dalam
perawatan se-malam di ICU. Esok harinya pasien diperbo-lehkan pulang ke
rumah sekaligus dimulai te-rapi rumatan dengan naltrekson

31

Apa Saja Efek Samping Atau Gejala Sisa DOCA ?


Gejala sisa D.O.C.A. dapat timbul dalam beberapa hari setelah prosedur.
Secara pelan-pelan tapi pasti semua akan menjadi normal kembali sebagaimana
yang diharap-kan asal tidak lupa menggunakan naltrekson tiap hari. Gejala sisa
yang dialami dapat be-rupa nyeri otot, mual, letih, dsb yang dapat diobati dengan
cara-cara konservatif.
Beberapa Hal yang Perlu Diketahui

Naltrekson tidak menimbulkan kecanduan.

Naltrekson menurunkan kepekaan atau toleransi tubuh terhadap opioid.


Karena itu bila suatu sebab rumatan naltrekson dihentikan dan kembali
mencoba opioid lagi dengan dosis seperti yang terakhir dipakai maka
dapat terjadi reaksi luaptakar (overdosis).

Pemakaian naltrekson jangka lama mungkin dapat mengganggu fungsi hati


karena itu perlu pemeriksaan berkala sesuai dengan kondisi yang bersangkutan.

Bila suatu saat diperlukan tindakan pem-bedahan dengan pembiusan


sedangkan pasien dalam rumatan naltrekson maka perlu disampaikan
kepada dokter spesialis anestesiologi yang bersangkutan.

Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alkohol


Harus secara bertahap dan dapat diberikan Diazepam. Tentukan dahulu
test toleransi dengan cara memberikan benzodiazepin mulai dari 10 mg yang
dinaikan bertahap sampai terjadi gejala intoksikasi. Selanjutnya diturunkan
kembali secara bertahap 10 mg perhari sampai gejala putus zat hilang.
Terapi putus Kokain atau Amfetamin

32

Rawat inap perlu dipertimbangkan karena kemungkinan melakukan


percobaan bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi berikan antidepresi.
Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA
Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan Inj.
Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan peroral 3x2,5-5 mg/hari. Pada
gangguan waham karena ganja beri Diazepam 20-40 mg IM
5. Pada delirium putus sedativa/hipnotika atau alkohol beri Diazepam seperti
pada terapi intoksikasi sedative/hipnotika atau alkohol.
5.3

Rehabilitasi
Setelah selesai detoksifikasi, penyalahguna NAPZA perlu menjalani

rehabilitasi. Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani


detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA,
oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi.
Dengan Rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat :

Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi ;

Mampu menolak tawaran penyalahgunakan NAPZA;

Pulih kepercayaan dirinya,hilang rasa rendah dirinya;

Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik;

Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja;

Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di
lingkungannya.

Beberapa Bentuk Program/Pendekatan Rehabilitasi yang ada,antara lain :


a. Program Antagonis Opiat (Naltrexon)
Setelah detoksifikasi (dilepaskan dari ketergantungan fisik) terhadap opioid
(heroin/putauw/PT) penderita sering mengalami keadaan rindu yang sangat
kuat (craving, kangen, sugesti) terhadap efek heroin. Antagonis opiat
(Naltrexon HCl) dapat mengurangi kuatnya dan frekuensi datangnya perasaan

33

rindu itu. Apabila pasien menggunakan opat lagi, ia tidak merasakan efek
euforiknya sehingga dapat terjadi overdosis. Oleh karena itu perlu seleksi dan
psikoterapi untuk membangun motivasi pasien yang kuat sebelum
memutuskan pemberian antagonis. Antagonis opiat diberikan dalam dosis
tunggal 50 mg sekali sehari secara oral, selama 3- 6 bulan. Karena
hepatotoksik, perlu tes fungsi hati secara berkala.
b. Program Metadon
Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk menggantikan heroin
yang dapat diberikan secara oral sehingga mengurangi komplikasi medik.
Program ini masih kontroversial, di Indonesia program ini masih berupa uji
coba di RSKO
c. Program yang berorientasi psikososial
Program

ini

menitik

beratkan

berbagai

kegiatannya

pada

terapi

psikologik(kognitif, perilaku, suportif, asertif, dinamika kelompok, psikoterapi


individu, desensitisasi dan lain-lain) dan keterampilan sosial yang bertujuan
mengembangkan keperibadian dan sikap mental yang dewasa, serta
meningkatkan mutu dan kemampuan komunikasi interpersonal. Berbagai
variasi psikoterapi sering digunakan dalam setting rehabilitasi. Tergantung
pada sasaran terapi yang digunakan.
- Psikoterapi

yang

berorientasi

analitik

mengambil

keberhasilan

mendatangkan insight sebagai parameter keberhasilan.


- Psikoterapi yang menggunakan sasaran pencegahan relaps seperti :
Cognitive Behaviour Therapy dan Relaps Prevention Training
-

Supportive Expressive Psychotherapy

- Psychodrama, art-therapy adalah psikoterapi yang dijalankan secara


individual
d. Therapeutic Community berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka
yang tinggal dalam sutu tempet. Dipimpin oleh bekas penyalahguna yang
dinyatakan memenuhi syarat sebagai konselor, setelah melalui pendidikan dan
latihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Disini penderita
dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif serta

34

kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan memakai


NAPZA atau sugesti (craving) dan mencegah relap. Dalam komonitas ini semua
ikut aktif dalam proses terapi. Ciri perbedaan anggota dihilangkan. Mereka
bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang
lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya,ganjaran bagi yang
berbuat positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka
sendiri.
e. Program yang berorientasi Sosial
Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga mereka
dapat kembali kedalam kehidupan masyarakat yang normal, termasuk mampu
bekerja.
f. Program yang berorientasi kedisiplinan
Program ini menerapkan modifikasi behavioral atau perilaku dengan cara
melatih hidup menurut aturan disiplin yang telah ditetapkan.
g. Program dengan Pendekatan Religi atau Spiritual
Pesantren dan beberapa pendekatan agama lain melakukan trial and error untuk
menyelenggarakan rehabilitasi ketergantungan NAPZA
h. Lain-lain
Beberapa profesional bidang kedokteran mencoba menggabungkan berbagai
modalitas terapi dan rehabilitasi. Hasil keberhasilan secara ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan masih ditunggu. Beberapa bentuk terapi lainnya yang
saat ini dikembangkan di Indonesia adalah penggunaan tenaga dalam prana dan
meditasi Terapi yang mengandalkan adanya kekuatan spiritual baik dalam arti
kata kekuatan diri maupun
5.4

Program Pasca Rawat (After Care)


Setelah selesai mengikuti suatu program rehabilitasi, penyalahguna

NAPZA masih harus mengikuti program pasca rawat (after care) untuk
memperkecil kemungkinan relaps (kambuh). Setiap tempat/panti rehabilitasi yang
baik mempunyai program pasca rawat ini.

35

5.5

Narcotics Anonymous (Na)


NA adalah kumpulan orang, baik laki-laki maupun perempuan yang saling

berbagi rasa tentang pengalaman, kekuatan, dan harapan untuk menyelesaikan


masalah dan saling menolong untuk lepas dari NAPZA (khususnya Narkotika).
Satu-satunya syarat untuk menjadi anggota NA adalah keinginan untuk berhenti
memakai Narkotika. NA tidak terikat pada agama tertentu,pahak politik tertentu
maupun institusi tertentu. Mereka mengadakan pertemuan seminggu sekali.
Pertemuan ini biasanya tertutup,hanya bagi anggota saja atau terbuka dengan
mengundang pembicara dari luar. Mereka menggunakan beberapa prinsip yang
terhimpun dalam 12 langkah (the twelve steps).
5.6

Rujukan
Karena keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan petugas puskesmas,atau
karena fasilitas yang tersedia terbatas, pasien yang tak dapat diatasi, sebaiknya
dirujuk ke dokter ahli yang sesuai atau dirujuk untuk rawat inap di rumah
sakit (misalnya : RS Umum/Swasta,RS Jiwa,RSKO).

Pasien juga dapat dirujuk hanya untuk konsultasi atau meminta pemeriksaan
penunjang saja, seperti pemeriksaan laboratorium (tes urine), pemeriksaan
radio-diagnostik,

elektro

diagnostik,

maupun

test

psikologik

(IQ,

keperibadian, bakat, minat).


VI.

PROGNOSA
Kesuksesan 1 tahun setelah terapi 40-80% (WHO). Menurut Allgulander

ketergantungan padaa sedativa-hipnotika 84% kembali memakai dalam 4-6 tahun


setelah perawatan. Menurut Cassiman (Belgia) hasil positif dalam 2 tahun setelah
perawatan pertama 10-30% (stabilisasi sampai 80% pada kasus-kasus yang punya
kontak dengan program terapi selama 2 tahun).

36

DAFTAR PUSTAKA
1.

Kaplan,H., Sadock, BJ., Greb, JA. 1997. Sinopsis


Psikiatri. Jilid 1. Edisi 7. Jakarta : Bina Rupa Aksara. P : 571-684.

2.

Sadock, BJ., Sadock, Virginia A. Pocket Handbook


of Clinical Psychiatry. 3rd edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia. 2001. page 79-99.

3.

DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder. 4th edition.

4.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders, IV, TR ed. 2001. Washington, DC: American Psychiatric
Association (APA). Used with permission.

5.

www.asiamaya.com/undangundang/uu_psikotropika
/uu_psikotropikababI.htm

6.

www.depkes.go.id/downloads/napza.pdf

7.

www.narcotics.com

37

Anda mungkin juga menyukai