OLEH:
PUTU WIWIK WIJAYANTI
(NIM:
15.901.1326)
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid.Polikistik berarti banyak kista.Pada keadaan ini dapat ditemukan kistakista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medulla.
4. PATOFISIOLOGI
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun
penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol.Hal ini menunjukkan adanya
mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang
berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya
mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit
ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi
nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan
jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih lanjut (Noer, 2006).
Adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi
dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal, terjadi peningkatan
percepatan filtrasi, beban solute, dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron yang
terdapat dalam ginjal turun di bawah normal.Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil
dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi
ginjal yang rendah.Namun akhirnya bila 75% massa nefron telah hancur, maka
kecepatan filtrasi dan beban solute bagi tiap nefron sedemikian tinggi, sehingga
keseimbangan glomerolus-tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada
proses ekskresi maupun konsentrasi solute dan air menjadi berkurang.
Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik melibatkan dua mekanisme kerusakan yang
merupakan mekanisme pencetus yang spesifik sebagai penyakit yang mendasari
kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada
glomerulonephritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan
interstitium. Mekanisme selanjutnya berupa kerusakan progresif, ditandai adanya
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa yang diikuti dengan penurunan massa
ginjal terlepas dari penyebab yang mendasarinya. Respon dari pengurangan jumlah
nefron diikuti dengan vasoaktif hormon, sitokin dan faktor pertumbuhan.Akhirnya,
adaptasi jangka pendek dari hipertropi dan hiperfiltrasi menjadi maladaptasi berupa
5
peningkatan tekanan dan aliran pada nefron sehingga sebagai predisposis munculnya
sklerosis dan pengurangan jumlah nefron yang tersisa.Peningkatan aktivitas dasar reninangiotensin-aldosteron di intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Selanjutnya aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian menstimulasi perubahan growth factor . Proses ini menjelaskan
tentang penurunan massa ginjal dari penyakit di tempat yang kecil di dalam tubuh yang
dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara progresif selama bertahun-tahun
(Skorecki & Bargman, 2010 dalam Jameson dan Loscalzo, 2010).
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal, sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh, sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring.Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai dari nefron-nefron rusak.Beban bahan
yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi, yang berakibat
diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.Selanjutnya, karena jumlah nefron yang rusak
bertambah banyak, oliguri timbul disertai retensi produk sisa.Titik dimana timbulnya
gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan
ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80-90%.Fungsi renal menurun, produk
akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun
dalam darah.Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis (Smeltzer, 2002).
Dalam perjalanan klinis CKD, dapat terjadi:
a.
Penurunan GFR
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk
pemeriksaan klirens kreatinin. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens kretinin
akan menurun, kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan
meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi
renal karena substansi ini diproduksi secara konsisten oleh tubuh. BUN tidak hanya
dipengaruhi oleh penyakit renal tetapi juga oleh masukan protein dalam diet dan
medikasi seperti steroid.
b.
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glumeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens (substansi darah
yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal).Produk akhir metabolisme protein yang
normalnya dieksresikan ke dalam urine tertimbun dalam darah,sehingga terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
c.
d.
Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
terjadi perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran GI.
e.
f.
5. KLASIFIKASI
Klasifikasi CKD menurut NKF (National Kidney Foundation) adalah sebagai berikut:
1. Stadium I: Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (90
mL/menit/1,73 m2)
2. Stadium II: Kerusakan ginjal dengan GFR menurun ringan (60-89 mL/menit/1,73
m2)
3. Stadium III: GFR menurun sedang (30-59 mL/menit/1,73 m2)
7
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal
kronik.Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg%
atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal.Patogenesis mual dan muntah masih belum
jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga
terbentuk amonia.Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa
lambung dan usus halus.Gejala gastrointestinal lain yang timbul diantaranya:
perdarahan saluran GI, ulserasi dan perdarahan mulut, serta nafas berbau amonia.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
penyakit ginjal kronik.Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan penyakit ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.Kelainan
saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris.Kelainan
retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering
dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien penyakit
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak
jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost,
warna kulit abu-abu mengkilat, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan
kasar.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Kelainan selaput serosa
merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik.Kelainan mental berat seperti
konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada
pasien CKD.Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis Gagal Jantung Kongestif (GJK) pada penyakit ginjal kronik sangat
kompleks.Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung. Pada sistem
kardiovaskuler sering ditemukan hipertensi, pitting edema, edema periorbital,
pembesaran vena jugularis, danfriction rub pericardial.
h. Kelainan sistem pulmoner: krekels, nafas dangkal, kusmaull, sputum kental dan liat.
i. Kelainan sistem muskuloskeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur
tulang.
j. Kelainan sistem reproduksi: amenore, atrofi testis.
7. PEMERIKSAAN FISIK
a. Inspeksi
10
Konjungtiva anemis
Edema tungkai
Edema periorbital
Nafas dangkal
b. Palpasi
-
Pitting edema
c. Auskultasi
-
Disritmia jantung
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Urin
-
Warna: secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat, atau uratsedimen. Warna urine kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.
Volume urine: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine
(anuria).
11
Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
b. Darah
-
Kalium: meningkat.
Magnesium: meningkat.
Kalsium: menurun.
c. Osmolalitas serum
Lebih dari 285 mOsm/kg.
d. Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi.
e. Pielografi Intravena
Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.Pielografi retrograde dilakukan
bila dicurigai ada obstruksi yang reversible.
f. Ultrasonografi Ginjal
Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
g. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria, dan pengangkatan tumor
selektif.
h. Arteriogram Ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
i. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis
histologis.
12
j. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa,
aritmia, hipertrofi ventrikel, dan tanda-tanda perikarditis.
(Doenges, 2000: 628- 629)
9. KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit ginjal kronik dapat ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya gejala-gejala sistemik seperti gangguan
pada sistem gastrointestinal, kulit, hematologi, saraf dan otot, endokrin, dan sistem
lainnya.Pada anamnesis diperlukan data tentang riwayat penyakit pasien, juga data yang
menunjukkan penurunan faal ginjal yang bertahap.
Pendekatan diagnosis penyakit ginjal kronik (CKD) mempunyai sasaran sebagai berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (GFR)
b. Mengejar etiologi CKD yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).
10. PENATALAKSANAAN
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal, dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala
anoreksia
dan
nausea
dari
uremia,
menyebabkan
penurunan
uremia,
13
complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang
adekuat,
medikamentosa
atau
operasi
subtotal
15
ini
sudah
populer
Continuous
Ambulatory
Peritoneal
16
Gambar 4. CAPD
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah.
b. Kualitas hidup normal kembali.
c. Masa hidup (survival rate) lebih lama.
d. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
e. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
11. PENCEGAHAN
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang
telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu
pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi
ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok,
peningkatan aktivitas fisik, dan pengendalian berat badan (National Kidney Foundation,
2009).
17
18
sebelumnya
apakah
klien
pernah
gangguan
ginjal
seperti
glomerulonefritis atau ginjal polikistik, diabetes mellitus, atau hipertensi yang dapat
menjadi faktor predisposisi dari CKD.
4) Anamnesa dan observasi
Pola Pengkajian Gordon
1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pengkajian meliputi penjelasan status kesehatan, perlindungan kesehatan,
pemeriksaan diri sendiri, pengetahuan tentang pemeriksaan diri sendiri, riwayat
medis, riwayat perawatan di rumah sakit dan operasi, riwayat medis keluarga,
prilaku untuk mengatasi masalah kesehatan, factor-faktor risiko sehubungan
19
haus,
(tipe,
frekuensi,
lama
waktu
latihan,
intensitas),
aktivitas
20
21
5) Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
-
Konjungtiva anemis
Edema tungkai
Edema periorbital
Nafas dangkal
b. Palpasi
-
Pitting edema
c. Auskultasi
-
Disritmia jantung
6) Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Urin
-
Warna: secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat, atau urat sedimen. Warna urine kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.
Volume urine: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine
(anuria).
Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
b. Darah
-
Kalium: meningkat.
Magnesium: meningkat.
Kalsium: menurun.
c. Osmolalitas serum
Lebih dari 285 mOsm/kg.
d. Sistouretrogram berkemih
23
ginjal,
ditandai
dengan
klien
mengalami
edema,
terjadi
Hematokrit normal
b. Cardiopulmonary status
-
Intervensi:
1) Fluid management
a. Timbang berat badan setiap hari.
Rasional: peningkatan berat badan dapat mengindikasikan terjadinya
edema.
b. Pertahankan keakuratan intake dan output.
Rasional : untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh.
c. Monitor hasil lab yang berhubungan dengan retensi cairan (peningkatan
BUN, peningkatan hematokrit, peningkatan osmolaritas urine)
Rasional : menunjukkan adanya retensi cairan dan dapat menunjukkan
derajat edema sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya.
d. Monitor tanda-tanda vital
Rasional : kelebihan volume cairan dapat menyebabkan perubahan tandatanda vital seperti peningkatan TD, nadi, dan respirasi rate.
e. Monitor indikasi dari kelebihan volume cairan/retensi seperti peningkatan
CVP, edema, distensi vena jugularis.
Rasional : tanda-tanda seperti peningkatan CVP, edema, distensi vena
jugularis dapat mengindikasikan terjadinya kelebihan volume cairan.
f. Kaji lokasi dan faktor pemicu edema.
Rasional: untuk mengetahui kondisi edema dan factor pemicunya
sehingga dapat memberikan intervensi selanjutnya.
2) Fluid monitoring
a. Monitor intake dan output tiap hari.
Rasional : untuk memantau cairan masuk dan keluar klien agar seimbang.
b. Monitor serum albumin dan total protein level.
Rasional : penurunan serum albumin dan level protein dapat
menyebabkan retensi cairan sehingga menimbulkan edema.
c. Monitor serum dan osmolalitas urine.
Rasional :retensi cairan dapat menyebabkan peningkatan osmolalitas
serum dan osmolaritas urine.
3) Hypervolemia management
a. Monitor perubahan pada edema perifer
26
b. Appetite
-
Intervensi :
Nausea management
a.
27
c.
d.
e.
manajemen
mual
nonfarmakologi
dapat
membantu
g.
h.
i.
kalori
perlu
dipertimbangkan
untuk
tetap
b. Pain control
-
Intervensi:
Pain management
29
30
mengeluh mual muntah, penurunan BB >20%, kadar albumin serum < 3,4 g/dl,
terjadi penurunan intake makanan, nafsu makan menurun, kelemahan.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan x jam diharapkan pemenuhan nutrisi
adekuat, dengan kriteria hasil:
a. Nutritional Status: food intake
-
Intervensi:
1) Nutrition therapy
a. Kaji status nutrisi klien
Rasional: pengkajian penting untuk mengetahui status nutrisi klien dapat
menentukan intervensi yang tepat.
b. Monitor masukan makanan atau cairan dan hitung kebutuhan kalori harian.
Rasional: dengan mengetahui masukan makanan atau cairan dapat
mengetahui apakah kebutuhan kalori harian sudah terpenuhi atau belum.
c. Tentukan jenis makanan yang cocok dengan tetap mempertimbangkan aspek
agama dan budaya klien.
Rasional: memenuhi kebutuhan nutrisi klien dengan tetap memperhatikan
aspek agama dan budaya klien sehingga klien bersedia mengikuti diet yang
ditentukan.
d. Anjurkan untuk menggunakan suplemen nutrisi sesuai indikasi.
Rasional: dapat membantu meningkatkan status nutrisi selain dari diet yang
ditentukan.
e. Jaga kebersihan mulut, ajarkan oral higiene pada klien/keluarga.
Rasional: menjaga kebersihan mulut dapat meningkatkan nafsu makan.
31
f. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
Rasional: untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang sesuai
dengan kebutuhan klien.
5) PK: Anemia
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selamax jam, perawat dapat
meminimalkan komplikasi anemia yang terjadi, dengan kriteria hasil:
-
TTV dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, nadi: 60-100 x/menit, suhu:
36-37,5C, RR: 16-20 x/menit).
Intervensi:
Mandiri:
a. Pantau tanda dan gejala anemia yang terjadi.
Rasional:memantau gejala anemia klien penting dilakukan agar tidak terjadi
komplikasi yang lebih lanjut.
b. Pantau tanda-tanda vital klien.
Rasional: perubahan tanda vital menunujukkan perubahan pada kondisi
klien.
c. Anjurkan klien mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak zat besi
dan vit B12.
Rasional:konsumsi makanan yang mengandung vitamin B12 dan asam volat
dapat menstimulasi pemebntukan Hemoglobin.
d. Minimalkan prosedur yg bisa menyebabkan perdarahan.
Rasional:prosedur yang menyebabkan perdarahan dapat memperparah
kondisi klien yang mengalami anemia.
Kolaborasi:
a. Kolaborasi pemberian tranfusi darah sesuai indikasi.
32
TTV dalam batas normal (TD= 120/80 mmHg, suhu 36-37,5oC, nadi = 60100 kali/menit, RR= 12-20 x/menit)
Intervensi:
a. Monitor tanda-tanda vital klien meliputi: TD, nadi, RR dan suhu.
Rasional : untuk mengetahui keadaan umum klien khususnya tekanan darah.
Pemantauan tekanan darah penting untuk deteksi dini komplikasi dari
hipertensi.
b. Anjurkan klien diet rendah natrium.
Rasional : kadar natrium yang tinggi akan menyebabkan terjadinya retensi air
sehingga meningkatkan osmolalitas darah yang pada akhirnya akan semakin
meningkatkan tekanan darah.
c. Anjurkan klien mengonsumsi makanan yang dapat menurunkan tekanan
darah, seperti melon, mentimun, terong, kangkung.
Rasional: untuk menurunkan tekanan darah secara nonfarmakologik.
d. Kolaborasi obat-obat antihipertensi sesuai indikasi.
Rasional : membantu vasodilatasi pembuluh darah sehingga menurunkan
tekanan darah.
b. Fatigue Level
-
Intervensi :
1) Activity therapy
a. Bantu klien dalam memilih aktivitas yang sesuai dengan keemampuan fisik,
psikologi, dan sosial yang dimiliki.
Rasional : aktivitas yang sesuai dengan kemampuan dapat lebih mudah
dilakukan oleh klien.
b. Bantu klien untuk fokus terhadap satu aktivitas yang bisa dilakukan.
Rasional :
kemampuan beraktivitas.
d. Instuksikan klien dan keluarga dalam membuat aturan aktivitas fisik, sosial,
spiritual, dan kognitif dalam menyeimbangkan fungsi kesehatan.
34
Rasional :
dalam beraktivitas.
2) Energy Management
a. Kaji keterbatasan fisik klien.
Rasional :
beraktivitas.
b. Kaji penyebab kelemahan.
Rasional : untuk memudahkan mengetahui intervensi yang tepat.
c. Berikan intake makanan yang adekuat.
Rasional : intake makanan yang cukup memberikan energi yang cukup bagi
klien.
d. Awasi adanya perubahan TTV dan saturasi oksigen.
Rasional :
Intervensi :
1) Skin surveillance
a. Pantau kulit terhadap warna, kehangatan, kemerahan, tekstur, edema, dan
laserasi.
Rasional:untuk mengetahui keadaan kulit secara umum serta tanda-tanda
kerusakan integritas kulit.
37
c. Monitoring
kemampuan
klien
Untuk
memotong
siklus
gatal
dan
5. EVALUASI
No.
1
Diagnosa Keperawatan
Kelebihan volume cairan
Evaluasi
Tercapai keseimbangan antara asupan dan haluaran cairan,
berhubungan dengan
melemahnya mekanisme
jugularis, oliguria.
Hematokrit normal
hasil:
meningkat
habis)
Nyeri berkurang atau terkontrol, dengan kriteria hasil:
meringis kesakitan, TD
PK Anemia
PK Hipertensi
TTV dalam batas normal (TD= 120/80 mmHg, suhu 3637,5oC, nadi = 60-100 kali/menit, RR= 12-20 x/menit)
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan penurunan
beraktivitas.
DAFTAR PUSTAKA
Dochterman, Joanne M., Gloria N. Bulecheck. 2004. Nursing Interventions Classifications
(NIC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier
Doengoes, M, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
41
Eknoyan MD, Garabed. 2006. The Global Burden of Chronic Kidney DiseaseChallenges,
Opportunities, and Solutions to Improve Patient Care and Outcomes. Texas : Baylor
Jameson, J.L. & Loscalzo, J. (Eds). 2010. Harrisons : Nephrology and Acid-Base
Disorders. US : The McGraw-Hill Companies.Kader et al. 2009.Symptom Burden,
Depression, and Quality of Life in Chronic and End-Stage Kidney Disease, (online),
(http://cjasn.asnjournals.org/content/4/6/1057.short, diakses 29Desember 2013)
Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson. 2008. Nursing
Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier
NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
National Kidney Foundation. 2009. Association of Level of GFR with Indices ofFunctioning
and Well-being. New York: National Kidney Foundation,
(online),
(http://www.kidney.org/professionals/Kdoqi/guidelines_ckd/p6_comp_g12.htm,
diakses 29Desember 2013).
Situmorang, EY. 2010. Gambaran Pola Makan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang
Menjalani.Hemodialisa Rawat Jalan Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun
2009.Medan : Universitas Sumatera Selatan
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC
Sudoyo, A.W. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam.Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
Sukandar, E. 2006.Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Fakultas Kedokteran UNPAD.
Sylvia & Price.2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Widiana,
R.
2007.
Jurnal
Gagal
Ginjal
Kronis,
(online),
(http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/2_edited.pdf, diakses 29Desember 2013).
42