Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Definisi Pengobatan Rasional


Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai
dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode
waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan
masyarakat (WHO). Pengobatan yang pada umumnya ialah untuk mencapai suatu
pengobatan yang efektif, tentu saja mendorong penggunaan obat rasional digalakkan
dimana-mana. Berdasarkan definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa prinsip
penggunaan obat yang dilakukan secara rasional memiliki kriteria, sebagai berikut:
1. Sesuai dengan kebutuhan klinis pasien obat diberikan berdasarkan ketepatan menilai
kondisi pasien, misalnya penyakit yang menyertainya, kondisi khusus (hamil,
menyusui, lanjut usia dll) dan riwayat pasien. Obat dapat diberikan sesuai indikasi dan
diagnosa yang tepat dengan pemilihan obat yang mempertimbangkan efek klinis yang
diharapkan.
2. Tepat dosis, cara interval dan lama pemberian untuk mendapatkan diperlukan
ketepatan dalam menentukan dosis, cara pemberian, interval pemberian dan lama
pemberian obat.
3. Biaya terapi yang terdiri dari biaya pengobatan dan harga obat itu sendri harus dipilih
yang paling terjangkau bagi pasien, dengan tetap memperhatikan kebutuhan klinis
pasien.
Penggunaan obar sendiri juga dilandasi oleh beberapa indikator lainnya. Indikator
tersebut berupa :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Tepat diagnosis,
Tepat Pemilihan Obat,
Tepat Indikasi,
Tepat Pasien,
Tepat Dosis,
Tepat cara dan lama pemberian,
Tepat harga,
Tepat Informasi dan
Waspada terhadap Efek Samping Obat.

Yang dimaksud dengan tepat diagnosis ialah penggunaan obat yang didasarkan
pada tata cara penggunaan obat yang benar. Ini akan menjadi sebuah langkah awal

penyembuhan. misalnya saja pasien yang terserang penyakit diare tentu saja ia akan
menggunakan obat semacam metronidazol sebagai pengobatan yang efisien.
Selain itu tepat pemeilihan indikasi ialah ketepatan yang sesuai dengan diagnosa
oleh dokter. Misalnya saja seseorang yang terseranag bakteri akan diberikan antibiotik
saja. Oleh sebab itu bagi anda yang sedang dalam tahap pengobatan sebagiknya
memahami dengan benar apa yang dimaksud dengan penggunaan obet rasional itu
sendiri.
II.2 Tahapan dalam Pengobatan Rasional
Di kalangan kedokteran istilah terapi rasional seringkali ditanggapi secara
sinis, karena terapi yang rasional seakan-akan susah diterapkan dalam praktek, karena
meskipun telah begitu banyak upaya dilakukan diberbagai bidang, baik pendidikan
dokter dan spesialis, hukum dan etika kedokteran (mediko-legal), sistem asuransi, namun
tetap saja angka kesalahan medis (medical error) tetap tinggi, bahkan semakin
meningkat.

Seperti

dijelaskan

oleh

(http://www.iwandarmansjah.web.id,

2010)

Prof.
sedikitnya

dr.
ada

Iwan
enam

Darmansyah
faktor

yang

mempengaruhi pola penggunaan obat atau terapi yang rasional yaitu, (1). Pengaturan
obat (regulasi, law enforcement), (2). Pendidikan (formal dan informal), (3). Pengaruh
industri obat (iklan, insentif, dll.), (4). Informasi/prescribing information, (5). Sistem
pelayanan kesehatan (asuransi, jaminan kesehatan, dll.), (6). Sosio-kultural (hubungan
dokter-pasien yang cenderung patrilinia, tidak kritis, dll.). Keenam faktor tersebut saling
terkait satu sama lain, shingga tidak mudah membuat praktik terapi dan pengobatan yang
irasional menjadi rasional. Makalah ini khusus membahas faktor yang terkait dengan
pendidikan formal, terutama melalui pendekatan yang dianjurkan oleh WHO lewat buku
pedoman terapi (Guide to good prescribing).9
II.2.1 Menetapkan Masalah Pasien
Keluhan yang disampaikan pasien harus digali lebih dalam saat anamnesis.
Anamnesis yang baik sangat membantu penegakan diagnosis yang tepat setelah
ditambah data pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lain. Bila masalah jelas maka diagnosis (kerja) menjadi lebih mudah, karena
bila diagnosis sudah ditegakkan, maka tujuan terapi lebih mudah ditetapkan. Data
anamnesis dan pemeriksaan yang lengkap akan membantu membangun hipotesis
berdasarkan patofisiologi penyakit. Dengan mengenal patofisiologi dapat diusahakan
untuk mengembalikan ke keadaan fisiologis melalui pilihan terapi yang sesuai.

II.2.2 Menetapkan Tujuan Terapi


Bila diagnosis (kerja) dapat ditegakkan maka tujuan terapi pun dapat dibuat
dengan tegas, karena dari sinilah ditentukan apa yang diharapkan bila terapi diberikan
pada pasien. Contoh di bawah ini memberikan gambaran tentang tujuan terapi.
Pasien 1
Anak usia 4 tahun dan agak kurang gizi menderita diare encer tanpa muntah selama
tiga hari. Ia tidak kencing selama 24 jam. Pada pemeriksaan tidak ditemukan demam
(suhu 36,8 oC), nadi teraba cepat dan turgor rendah.
Tujuan terapi: rehidrasi untuk mencegah semakin parahnya dehidrasi
Pasien 2.
Mahasiswi 19 th mengeluh nyeri tenggorok. Selain tenggorok yang agak merah, tidak
ditemukan kelainan lain. Setelah sedikit ragu, ia memberitahukan sudah terlambat
haid selama 3 bulan. Pemeriksaan fisik menunjukkan ia hamil tiga bulan.
Tujuan terapi: Konseling kehamilan
Catatan: (mungkin) vitamin untuk kehamilan, antibiotik dan obat-obat lain tidak
dianjurkan bila tidak perlu (trimester kehamilan!).
Pasien 3
Tuan P umur 40 tahun, mengeluh sering pusing dan berkunang-kunang. Tekanan
darah: 140/95 mmHg, Nadi: 80 x/menit. Paru, jantung, hati dan ginjaldalam batas
normal, dan Body Mass Index (BMI): 27
Diagnosis kerja: hipertensi (esensial) grade 1.
Tujuan terapi: Mencegah end-organ failure dengan menurunkan tekanan darah
mendekati optimal
II.2.3 Meneliti Kecocokan Terapi-Pribadi (personal therapy)
Dari keadaan pasien dipilih (rangkaian) terapi-P yang paling cocok agar tujuan
terapi tercapai dengan mempertimbangkan efektifitas, keamanan, kecocokan dan
biaya. Bila Pasien-3 diambil sebagai contoh, maka pengaturan diet dan upaya
penurunan berat badan bisa dianjurkan meskipun tetap diperlukan terapi dengan obat
anti hipertensi yang tersedia saat ini.

A. Dasar Pemilihan Terapi-P


Dalam pemilihan dan pengambilan keputusan tentang terapi non-obat maupun
obat harus dipertimbangkan faktor kemanjuran (efficacy), keamanan (safety),

kecocokan (suitability) dan biaya (cost). Terapi non-obat yang biasanya dipikirkan
dan dianjurkan kepada pasien menyangkut perubahan gaya hidup (life style) termasuk
perubahan pola makan (mengurangi asupan karbohidrat, lemak atau protein),
perubahan pola minum (mengurangi konsumsi alkohol), berhenti merokok,
meningkatkan kegiatan olahraga, dst). Upaya terapi terhadap berbagai kondisi
penyakit dapat dilihat dari sumber yang menyajikan hasil penelitian meta-analisis atau
systematic-reviews (evidence-based medicine/EBM).10,11
Langkah pemilihan Obat-Pribadi (personal drugs)

Tuan P umur 60 tahun, beberapa bulan ini mengeluh nyeri dada yang disertai
sesak nafas yang timbul bila melakukan kegiatan fisik dan hilang bila berhenti.
Sejak 4 tahun berhenti merokok. Ayah dan saudara lelaki meninggal karena

serangan jantung. Tidak pernah minum aspirin selain untuk nyeri.


Pada auskultasi: bising di atas a. karotis kanan dan a. femoralis kanan. Tekanan

darah: 130/86 mmHg, Nadi: 78/mnt, teratur, berat badan normal.


Diagnosis: angina pektoris
Patofisiologi!
Tujuan pengobatan

Tujuan pengobatan:
Obatnya apa?
Dalam menentukan tujuan pengobatan patofisiologi penyakit perlu diketahui
dan menjadi dasar untuk pengobatan non-farmakologik maupun farmakologik.
Sebagai contoh dari kasus di atas dengan diagnosis kerja angina pektoris maka bisa di
telusuri hal sebagai berikut misalnya etiologi angina pektoris yaitu arteriosklerosis
parsial pembuluh koroner, tujuan mengatasi serangan secepatnya dan hal itu
merupakan strategi untuk meningkatkan pasokan O2, menurunkan kebutuhan O2
miokard sebagai akibat dari penurunan beban hulu (preload), kontraktilitas, frekuensi
deyut jantung, atau beban hilir (afterload). Maka senyawa farmakologis yang bisa
memenuhi tujuan tersebut adalah: (1) Nitrat organik, (2) Penghambat reseptor beta,
(3)Penyekat kanal kalsium

Tabel 1. Tempat kerja obat anti angina pektoris

Selanjutnya dibandingkan ketiga kelompok obat tersebut dalam hal kemanjuran,


keamanan, kecocokan dan biaya (Lihat Tabel 2).
Tabel 2. Perbandingan ketiga kelompok obat anti angina pektoris

Dari perbandingan di atas disepakati bahwa kelompok obat yang terpilih adalah
golongan nitrat organik, dan selanjutnya kita perbandingkan masing-masing obat di
golongan ini (dapat dilihat dari DOEN, ISO, MIMS atau Formularium yang tersedia)
(Lihat Tabel 3.)
Tabel 3. Perbandingan antar Obat dalam Kelompok Nitrat Organik

Dari Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa untuk kondisi pasien itu tampaknya isosorbid
dinitrat yang paling cocok, maka akhirnya pilihan obat-P jatuh pada isosorbid dinitrat.
Proses pemilihan obat-P dapat dirangkum sebagai berikut:

Tabel 4. Rangkuman Pemilihan Obat-P (kasus pasien dengan angina pektoris)

Tampaknya langkah yang ditempuh cukup lama, namun bila hal ini dibiasakan ketika
sedang kepaniteraan atau pun residensi/internship maka kita pun akan terbiasa
melakukan proses di atas dengan mudah dan cepat. Sehingga setiap saat daftar obat-P
kita akan semakin bertambah sejalan dengan kasus-kasus yang semakin sering kita
tangani.
II.2.4 Mulai Pengobatan
Setelah sampai pada kesimpulan dan keputusan tentang obat yang paling
cocok untuk pasien dan kasus yang kita hadapi, maka langkah berikut adalah memulai
pengobatan dengan menuliskan resep yang merupakan suatu instruksi kepada
apoteker untuk menyediakan/menyiapkan obat yang dibutuhkan tadi. Dalam mata
rantai pengobatan rasional, pasien pun berhak mendapatkan informasi dari apoteker
dan perawat (atau petugas kesehatan yang bertanggung-jawab untuk hal itu) tentang
obat, dosis, cara penggunaan, efek samping, dll.

Gambar 2. Contoh penulisan resep. Bandingkan antara Resep A dan Resep B


II.2.5 Penjelasan Tentang Obat, Cara Pakai, Peringatan
Setelah resep ditulis, kita harus menjelaskan tentang berbagai hal kepada pasien yaitu:
1. Efek obat: Efek utama obat yang menjadi dasar pilihan kita untuk mengatasi
permasalahan/diagnosis perlu dijelaskan kepada pasien, misalnya gejala demam dan
pusing akan berkurang atau hilang.
2. Efek samping: Demikian pula efek samping yang mungkin muncul akibat
menggunakan obat. Namun perlu bijaksana, agar pasien tidak justru menjadi takut
karenanya, yang penting pasien tahu dan bisa mengantisipasi bila efek samping itu
muncul, misalnya hipoglikemia akibat obat anti diabetes, mengantuk akibat antihistamin, dll
3. Instruksi: Pasien harus jelas tentang saat minum obat, cara minum obat, misalnya obat
diminum 3 kali (pagi, siang dan malam, sesudah/sebelum makan, dengan cukup air,
dst.), cara menyimpannya, apa yang harus dilakukan bila ada masalah dst. Antibiotika

misalnya harus diminum sampai habis sesuai dengan jumlah yang diresepkan,
sedangkan beberapa obat digunakan hanya bila diperlukan saja. Ada obat yang
diminum secara bertahap dengan dosis berangsur-angsur naik dan setelah itu
berangsur-angsur turun (kortikosteroid).
4. Peringatan: terkait dengan efek samping, misalnya tidak boleh mengemudi dan
menjalankan mesin karena efek kantuk obat.
5. Kunjungan berikutnya: jadwal kunjungan berikutnya ke dokter (untuk evaluasi dan
monitor terapi).
6. Sudah jelaskah semuanya?: Pasien perlu ditanya apakah semua informasi yang
diberikan telah dimengerti dengan baik. Pasien bisa diminta untuk mengulan segenap
informasi yang telah disampaikan.
Pantau (hentikan) pengobatan
Manjurkah pengobatan Anda?
a. Ya, dan pasien sembuh: Hentikan pengobatan
b. Ya, tapi belum selesai: Adakah efek samping serius?
Tidak: pengobatan dapat dilanjutkan
Ya: Pertimbangkan kembali dosis atau pilihan obat
c. Tidak dan pasien belum sembuh: Teliti ulang semua langkah:
Diagnosis tepat?

Tujuan pengobatan benar?


Obat-P cocok untuk pasien ini?
Obat diresepkan dengan benar?
Instruksi kepada pasien benar?
Apakah efek dipantau dengan benar?

II.3 UPAYA DAN INTERVENSI UNTUK MENGATASI MASALAH PENGGUNAAN


OBAT YANG TIDAK RASIONAL
Secara garis besar upaya perbaikan dan intervensi ini dapat dikelompokkan dalam
beberapa hal:

a. Upaya Pendidikan (educational strategies)

Upaya pendidikan dapat mencakup pendidikan selama masa kuliah (pre service)
maupun sesudah menjalankan praktek keprofesian (post service). Upaya tersebut
mutlak harus diikuti dengan pendidikan kepada pasien/masyarakat secara simultan.
Upaya peningkatan mutu calon dokter selama dalam masa pendidikan dapat dilakukan
dengan pendekatan berdasar masalah (problem-based approach), memperbaiki isi (content)
maupun metode pengajaran (teaching method) agar lebih diarahkan pada pengobatan yang
rasional. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan farmakologi lebih banyak
berorientasi pada aspek obat, bukannya penerapan pengobatan pada kondisi-kondisi tertentu
(terapi), sehingga tidak jarang muncul kesenjangan antara pengetahuan tentang obat dengan
pelaksanaan pengobatan dalam klinik. Salah satu upaya pendidikan pre service ini antara lain
dengan membiasakan mahasiswa memecahkan masalah klinik dalam bentuk pembahasan
kasus. Upaya pendidikan yang lebih mendasar adalah dengan menambahkan Kurikulum
Farmakologi Klinik ke dalam Kurikulum Fakultas Kedokteran.
Pendidikan post service antara lain dapat berupa:

Hal ini selain dimaksudkan untuk memelihara pengetahuan dan ketrampilan mengenai
terapi yang mutakhir, juga untuk meluruskan informasi obat yang sebagian besar berasal dari
industri farmasi, agar tidak "bias" terhadap jenis/produk-produk tertentu. Adapun sarana
pendidikan yang dapat digunakan untuk intervensi antara lain:
- Media cetak: buletin, pedoman pengobatan.
- Pendidikan tatap muka (face to face education): kuliah penyegaran, seminar.
- Media elektronik: radio, televisi, video.
- Media lain.

b. Upaya manajerial (managerial strategies)


Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki praktek penggunaan obat yang
tidak rasional adalah dari segi manajerial, yang umumnya meliputi:
1. Pengendalian kecukupan obat
Melalui sistem informasi manajemen obat. Dengan sistem ini setiap penggunaan
dan permintaan obat oleh unit pelayanan kesehatan dapat terpantau, sehingga kecukupan
obat dapat dikendalikan dengan baik. LPLPO merupakan sistem informasi manajemen
obat yang saat ini digunakan di Puskesmas-Puskesmas di Indonesia.
2. Perbaikan sistem suplai
Melalui penerapan konsep obat esensial nasional. Disini mengandung arti bahwa di
tingkat pelayanan kesehatan tertentu hanya tersedia obat yang paling dibutuhkan oleh
sebagian besar masyarakat dan tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Untuk
Rumah Sakit, konsep obat esensial ini diaplikasikan dalam bentuk Formularium Rumah
Sakit.
3. Pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat.
Untuk itu perlu disediakan buku pedoman pengobatan di masing-masing pusat
pelayanan kesehatan, formulirformulir resep dengan jumlah R/ yang terbatas, dan sebagainya.
4. Pembentukan dan pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi (KFT) di Rumahrumah Sakit.
Komite

Farmasi

dan

Terapi

mempunyai

tugas

dan

fungsi

untuk

meningkatkan/menerapkan Penggunaan Obat secara Rasional di Rumah Sakit.


5. Informasi Harga
Akan memberi dampak sadar biaya bagi para provider serta pasien/masyarakat.
6. Pengaturan pembiayaan.
Bentuk pengaturan ini dapat merupakan pembiayaan berbasis kapitasi dan costsharing.

c. Intervensi regulasi (regulatory strategies)


Intervensi regulasi umumnya paling mudah ditaati, mengingat sifatnya yang mengikat
secara formal serta memiliki kekuatan hukum. Dengan cara ini setiap penyimpangan terhadap
pelaksanaannya akan mempunyai akibat hukum. Namun demikian, pendekatan ini sering
dirasa kaku dan dianggap membatasi kebebasan profesi. Padahal jika kita simak, misalnya
konsep obat esensial, maka kesan membatasi kebebasan tersebut tidaklah benar. Di negara
maju pun sistem pengendalian kebutuhan obat melalui regulasi juga dilakukan. Hal ini antara
lain didasarkan pada kenyataan bahwa biaya obat secara nasional merupakan komponen
terbesar dari anggaran pelayanan kesehatan. Strategi regulasi dilakukan dalam bentuk
kewajiban registrasi obat bagi obat jadi yang beredar, peraturan keharusan peresepan generik,
pelabelan generik, dan lain-lain.
1. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
DOEN adalah buku yang memuat daftar obat esensial (obat esensial adalah obat
terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profi
laksis, terapi dan rehabilitasi) yang diupayakan tersedia di fasilitas kesehatan sesuai dengan
fungsi dan tingkatnya.
Peran dan Fungsi Daftar Obat Esensial Nasional
- Ketentuan perundang-undangan : UU kesehatan no 36 tahun 2009, SK Menkes
tentang DOEN
-

Website

Kemkes

tentang

DOEN

(www.depkes.go.id)

atau

(www.binfar.depkes.go.id)
- Ketentuan umum DOEN
2. Formularium Obat
Formularium Obat adalah buku yang memuat daftar obat terpilih yang paling
dibutuhkan dan harus tersedia di RS dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
Peran dan Fungsi Formularium Obat

Salah satu tahap penting dalam proses pengobatan adalah seleksi obat. Dalam tahap
ini seorang praktisi medik harus menetapkan jenis obat yang benar benar diperlukan bagi
pasien. Obat yang diresepkan haruslah yang paling efficacious dan aman bagi pasien.
Sayangnya proses pengambilan keputusan untuk memilih obat ini acap kali tidak didasarkan
pada bukti-bukti ilmiah yang terkini dan valid. Gencarnya promosi obat oleh duta-duta
farmasi menjadi salah satu faktor penentu proses pengambilan keputusan ini, meskipun dalam
kenyataannya tidak semua obat yang dipromosikan memiliki bukti manfaat dan keamanan
yang dapat diandalkan.
3. Upaya Informasi
Upaya informasi secara ringkas dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Intervensi informasi bagi provider, yaitu dokter sebaga peresep (prescriber) dan
apoteker/asisten apoteker sebagai dispenser.
b. Intervensi informasi bagi pasien/masyarakat.
Bagi dokter, intervensi informasi bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam
memperoleh informasiinformasi ilmiah yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan
praktek keprofesiannya. Mutu informasi yang tersedia hendaknya tetap dipelihara dengan
cara menyeleksi secara ketat sumber informasi yang handal, tidak memihak/seimbang dan
bebas dari pengaruh promosi industri farmasi.
Bagi apoteker, sebagai dispenser (penyerah obat), intervensi informasi bertujuan untuk
memberi kemudahan dalam memperoleh informasi ilmiah yang diperlukan dalam menunjang
pelaksanaan praktek keprofesiannya. Dengan informasi tersebut, dispenser dapat menjelaskan
cara menyimpan dan minum obat secara tepat, serta hal-hal lain yang perlu diperhatikan.
Bagi pasien/masyarakat, intervensi informasi lebih ditujukan untuk mendidik agar
memahami dengan benar setiap upaya pengobatan yang diberikan, karena keberhasilan terapi
sangat ditentukan oleh ketaatan pasien untuk menjalankan setiap upaya pengobatan yang
diberikan oleh dokter. Masih kurang tertatanya sistem informasi pengobatan dari dokter ke
pasien menjadi salah satu masalah dalam proses terapi. Di satu sisi salah satu alasan dokter
mengapa tidak rasional adalah akibat tekanan dan permintaan pasien terhadap obat tertentu
(misalnya penggunaan injeksi). Sementara itu di pihak pasien sebenarnya tidak pernah ada
keberatan terhadap setiap proses pengobatan yang dilakukan oleh dokter. Dengan demikian,
selama dokter dapat memberikan informasi yang benar kepada pasien, maka tidak mungkin
pasien berniat mendikte dokter, apalagi memaksakan kehendak untuk mendapatkan jenis
terapi tertentu. Informasi yang disampaikan ke pasien antara lain:

a. Informasi mengenai penyakit yang diderita.


b. Jenis dan peran obat yang diberikan dalam proses penyembuhan.
c. Informasi mengenai cara, frekuensi dan lama penggunaan obat.
d. Kemungkinan resiko efek samping obat.
e. Cara penanggulangan efek samping.
f. Apa yang harus dilakukan jika dalam periode waktu tertentu obat belum memberikan hasil
seperti yang diharapkan.
g. Informasi mengenai hal-hal yang harus dilakukan selain pengobatan yang diberikan,
seperti misalnya diet karbohidrat dan olahraga untuk penderita diabetes, anjuran untuk
banyak minum bagi penderita demam, istirahat dan makan minum secukupnya untuk
penderita common cold.

DAFTAR PUSTAKA
Abraham Simatupang Pedoman WHO Tentang Penulisan Resep Yang Baik Sebagai Bagian
Penggunaan Obat Yang Rasional
Kementerian Kesehatan RI 2011 Modul Penggunaan Obat Rasional

Anda mungkin juga menyukai