menjadi konsern studinya tentang poskolonialisme yang tentunya sebagai orang sastra
pemikirannya dipengaruhi oleh poststukturalism dan juga posmodernisme; khususnya Derrida,
Foucault, dan Said. Analisa Bhaba tentang kondisi poskolonial dititikberatkan pada ranah
budaya, karena menurutnya budaya merupakan representasi dari kondisi sosial dan politik yang
berkembang.
Dari sekian banyak karyanya, setidak-tidaknya akan kita bahas dua pemikiran utamanya, yaitu
tentang mimikri dan hibriditi. Dua istilah tersebut sesunggunya merupakan upaya Bhaba untuk
menggambarkan kondisi masyarakat subaltern pasca kolonialisasi, terutama pada tekanan
budaya. Dalam bukunya, nation and naration Bhaba memotret kondisi bangsa pasca
kolonialisme, sehingga munculah definisi bangsa sebagai berikut: coming into being a system
of cultural signification, as the representation of social life rather than the dicipline of polity,
emphasize this instability of knowledge. (1990: 1-2).
Dengan demikian, Bhaba melihat ikatan kebangsaan sesungguhnya adalah budaya, yang mana
budaya tersebut juga sekaligus merupakan representasi dari kehidupan sosial kelompok tersebut.
Selanjutnya, dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap bangsa memiliki batasbatas kebudayaan dengan bangsa yang lain. Sehingga ada produksi dan reproduksi tentang
kebudayaan yang melekat dalam kelompok tersebut secara internal. Namun, dalam dunia
modern, Bhaba melihat adanya kelompok bangsa yang dominan yang dapat menyeruak masuk
kedalam kebudayaan bangsa-bangsa yang lain. Dalam hal inilah, Bahaba mengandaikan bangsa
seperti dewa Janus yang memiliki dua wajah; memiliki relasi intra dan ekstra/ lokal dan
modernitas.
Dalam kata narasi dapat dimaknai Bhaba juga berpendapat bahwa proses terbentuknya bangsa
tak dapat dipisahkan dari konteks sosial politiknya. Karena, setiap perubahan dalam suatu
komunitas lokal tentunya dapat diamati dan diteliti secara detail. Sehingga definisi ini menghalau
definisi bangsa sebagai sesuatu yang sudah dari sananya, atau karena kesamaan rasial atau
kesukuan semata. Bhaba sepakat dengan definisi bangsa sebagai imagine communities yang
diintrodusir oleh Ben Anderson. Karena, situasilah yang membentuk suatu kelompok untuk
menjadi kesatuan entitas budaya, yang didalamnya tak lepas dari representasi sosial dan politik.
lingusitik, literatur, budaya, dan keagamaan. Menurutnya, dari kelima kategori yang ada 3 hal
utama yang signifikan dalam kajian poskolonial adalah lingusitik, literatur, dan budaya.
Hibriditas linguistik dimaksudkan oleh Bhaba adalah fenomena dimana penduduk pribumi dapat
menggunakan bahasa penjajah, dalam hal ini banyak difasilitasi oleh pendidikan formal.
Dampaknya bagi negara-negara bekas jajahan antara lain masuknya kata-kata serapan dari
bahasa penjajah ke bahasa pribumi. Atau malah, negeri jajahan secara penuh menganggap bahasa
penjajah sebagai bahasa resmi negara, seperi terlihat dibanyak negara jajahan Inggris.
Kemudian adalah hibriditas literatur, tentunya fenomena ini muncul setalah hibriditas lingustik
tercipta. Menurut Bhaba, hibriditas literatur adalah fernomena kaum pribumi mulai memahami
cerita-cerita, informasi, dan gaya penulisan dari literatur yang ada di negeri jajahan terutama
lewat karya novel. Dengan demikian, tentunya tidak dibanyak orang, akan muncul imagi-imagi
tentang kondisi dunia Barat, khususnya negeri penjajah, yang tergambar lewat literatur-literatur
yang dibacanya. Selanjunya, mereka menggunakan literatur-literatur tersebut sebagai bahan
inspirasi untuk mereka menciptakan literatur-literatur yang menggambarkan kondisi sosial,
budaya, dan politik masyarakat pribumi yang pada akhirnya literatur lokal ini menginspirasi bagi
banyak pihak untuk melakukan perubahan dan kemerdekaan.
Selanjutnya adalah hibriditas budaya. Budaya sebagaimana dimaknai sekarang yang mencakup
seni, cara berpakaian, lagu, makanan, cara bersikap, dan masih banyak lagi. Dalam hal ini pun,
hibriditas budaya dimaknai sebagai percampuran budaya antara entitas lokal dengan yang dari
Barat. Sehingga, sesungguhnya hibriditas budaya tidak jauh berbeda dengan fenomena mimikri.
Hal ini dipahami karena adanya anggapan umum di era kolonial, bahwa budaya Barat yang
dibawa oleh para penjajah lebih unggul dan lebih tinggi dibandingkan dengan budaya pribumi
yang dilekatkan stigma tradisional dan ketinggalan zaman.
Melampaui Poskolonialisme
Kontribusi Bhaba dalam ranah poskolonialisme adalah perspektif baru dalam melihat hubungan
antara penjajah (colonizer) dan yang dijajah (colonialized). Jika Said dan Spivak cenderung
melihat relasi itu dalam dikotomis yang terpolarisasi, Bhaba memberikan kontribusi dengan
memberikan tekanan pada agen (agency). Bhaba melihat sesungguhnya kaum subaltern-
meminjam istilah Spivak- tidak serta merta menerima kondisi penjajahan dengan pasrah dan
tidak melakukan perlawanan. Konsep mimikri dan hibriditas sesungguhnya merupakan alat
untuk melihat aktifnya agen dalam melihat situasi yang berkembang, dalam konteks penjajahan.
Pun Bhaba memperlihatkan fenomena dominasi penjajah sesungguhnya bukan hanya karena
besarnya power yang dimiliki, namun juga karena ketakutan yang melihat kondisi yang
berlangsung. Di sisi lain, para kaum pribumi sesungguhnya memiliki potensi melawan, walaupun
dengan bentuk-bentuk yang sederhana. Hal inilah yang dapat memberikan penjelasan terhadap
munculnya gerakan-gerakan perlawanan/nasionalisme yang marak di Asia-Afrika menjelang
berakhirnya perang dunia ke-2.