Anda di halaman 1dari 7

Hubungan Konsep Homi Bhabha Dengan Biografi Mahatma Ghandi

Yoga Febrian Sugeng / Psikologi 2009 A / 091664060


Hubungan Konsep Homi Bhabha Dengan Biografi Mahatma Ghandi
Konsep ini digagas oleh Franz Fanon dalam Black Skin, White Mask bahwa orang yang
di jajah, yang awalnya dipaksa untuk meninggalkan tradisional tentang jati diri dan identitas
nasional, kemudian belajar untuk mengadaptasi identitas mereka dengan kaum penjajah. Homi
Bhabha, dalam bukunya the Location of Culture, menggunakan istilah mimicry untuk
melukiskan wacana dan strategi kolonial. Bhabha mengatakan bahwa wacana atau strategi
mimicry kolonial bisa ditengarai dari sifat ambivalen dari wacana-wacana atau strategi-strategi
tersebut. Ketika berada di kereta seorang kulit putih telah membantah kehadiran seorang
berwarna di kelas pertama dan mengarah beliau untuk berpindah ke kelas ketiga. Beliau
enggan menurut kemauannya karena punya tiket kelas pertama. Akhirnya beliau dikeluarkan dari
kereta api. Peristiwa ini adalah tamparan hebat kepada Ghandi. Mahatma Ghandi merasa bahwa
kaumnya terjajah. Ia menjadi aktivis untuk membela kaumnya.
Manusia kulit putih memandang manusia kulit hitam dipandang sebagai kanibalisme,
memiliki ras yang parah/rusak, Dengan sendirinya manusia kulit hitam merasa dirinya tidak
hanya ditelanjangi, tetapi menjauhkan diri dari eksistensinya.
Di India Ghandi berjuang melawan Inggris dan menerapkan Satyagraha (kebenaran dan
keteguan) lewat perjuangan-perjuangan yang di lakukannya. Ghandi menganngap bahwa inggris
akar kemiskinan dan kemelaratan dan kesengsaraan.
Fandy P.W/ 2009A/ 091664048
Of mimicry and Man: The ambivalence of colonial discourse
Konsep dasar yang digagas dalam artikel Of mimicry and Man: The ambivalence of
colonial discourse oleh Homi Baba yang juga menjadi konsep dasar dalam Mahatma Gandhi
memerdekakan rakyat india dengan cara damai dalam mengahadapi pemerintahan kolonial saat
itu adalah dengan cara mimikri yaitu dengan peniruan yang dilakukan masyarakat terjajah
terhadap model kehidupan yang ditawarkan wacana kolonial dan identifikasi pribumi atas Barat
tidak harus berarti kepatuhan, tetapi juga ejekan karena tidak melakukan peniruan yang
sepenuhnya patuh pada model-model yang ditawarkan pemerintah kolonial (Homi K Bhaba,
1994 dalam Faruk, 2007:6).

Peniruan yang dilakukan masyarakat terjajah dari penjajahnya merupakan konsekuensi


dari proses asimilasitranskultural. Proses asimilasi tersebut melahirkan suatu identitas baru dari
masyarakat pribumi utamanya pribumi terpelajar. Masyarakat pribumi terpelajar hasil didikan
politik etis Belanda melakukan peniruan kebudayaan dari kearifan kolonial yang menegaskan
ambivalensi dan polisemiknya wacana kolonial. Dengan begitu mimikri bisa dipandang sebagai
strategi menghadapi dominasi. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi
sekaligus menegasikan dominasinya. Inilah dasar sebuah identitas hibrida (Antariksa, 2000).

Muhammad Farid 091 664 006 psikologi 2009 A


Of mimicry and Man: The ambivalence of colonial discourse
Mimicry mengungkapkan sesuatu sejauh itu berbeda dari apa yang mungkin disebut itu
sendiri yang berada di belakang. Efeknya mimikri adalah kamuflase. Ini bukan pertanyaan
tentang harmonisasi dengan latar belakang, tetapi terhadap burik latar belakang, menjadi belangbelang-persis seperti teknik kamuflase dipraktekkan dalam perang manusia. Itulah konsep yang
di ungkapkan oleh Bhabha (1994: 121)
Konsep ini yang ahirnya di jadikan dasar oleh Mahatma Gandhi untuk melawan penjajah
dengan dengan peniruan yang dilakukan masyarakat terjajah terhadap model kehidupan yang
ditawarkan wacana kolonial dan identifikasi pribumi atas Barat tidak harus berarti kepatuhan,
tetapi juga ejekan karena tidak melakukan peniruan yang sepenuhnya patuh pada model-model
yang ditawarkan pemerintah colonial salah satunya adalah dengan cara masyarakat pribumi
terpelajar hasil didikan politik etis Belanda melakukan peniruan kebudayaan dari kearifan
kolonial yang menegaskan ambivalensi dan polisemiknya wacana kolonial. Dengan begitu
mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi. Seperti penyamaran, ia bersifat
ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Inilah dasar sebuah
identitas hibrida

Septiyan Nugroho 091664022 psikologi 2009 A

Mimikri Dalam Kisah Mahatma Gandhi


Yang dimaksud dengan mimikri disini adalah suatu bentuk pertahanan diri yang dilakukan
oleh mahluk hidup untuk bertahan hidup dengan menyatu atau bisa disebut menjadi sama dengan
lingkungan sekitarnya.
Disini konsep mimikri bila dihubungkan dengan kisah perjuangan Mahatma Gandhi, bisa
dihubungkan pada saat dia pergi ke Afrika Selatan, sebuah koloni Inggris, di mana dia
mengalami diskriminasi ras yang dinamakan apartheid. Dia kemudian memutuskan untuk
menjadi seorang aktivis politik agar dapat mengubah hukum-hukum yang diskriminatif tersebut.
Gandhi pun membentuk sebuah gerakan non-kekerasan. Ketika kembali ke India, dia membantu
dalam proses kemerdekaan India dari jajahan Inggris; hal ini memberikan inspirasi bagi rakyat di
koloni-koloni lainnya agar berjuang mendapatkan kemerdekaannya dan memecah Kemaharajaan
Britania untuk kemudian membentuk Persemakmuran. Rakyat dari agama dan suku yang
berbeda yang hidup di India kala itu yakin bahwa India perlu dipecah menjadi beberapa negara
agar kelompok yang berbeda dapat mempunyai negara mereka sendiri. Banyak yang ingin agar
para pemeluk agama Hindu dan Islam mempunyai negara sendiri. Gandhi adalah seorang Hindu
namun dia menyukai pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain termasuk Islam dan Kristen.
Dia percaya bahwa manusia dari segala agama harus mempunyai hak yang sama dan hidup
bersama secara damai di dalam satu negara. Jadi hubungan mimikri dengan kisah disini adalah
menjadi sama tanpa adanya diskriminnasi ras.

Homi Bhaba; Dekonstruksi Poskolonialisme


May 22
Posted by yudomahendro
Setelah sebelumnya mambahas Said dan Spivak, pada pembahasan ini akan dibahas tokoh yang
juga diasosiasikan dengan poskolonialisme. Homi Bhaba, orang India yang mendapatkan
fasilitas untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus ternama Inggris dalam bidang sastra
Inggris. Sebagai orang India yang hidup pasca perang dunia kedua, ia melihat adanya benturan
budaya antara budaya lokal dengan budaya Inggris (Barat) pasca kolonialisme. Hal inilah yang

menjadi konsern studinya tentang poskolonialisme yang tentunya sebagai orang sastra
pemikirannya dipengaruhi oleh poststukturalism dan juga posmodernisme; khususnya Derrida,
Foucault, dan Said. Analisa Bhaba tentang kondisi poskolonial dititikberatkan pada ranah
budaya, karena menurutnya budaya merupakan representasi dari kondisi sosial dan politik yang
berkembang.
Dari sekian banyak karyanya, setidak-tidaknya akan kita bahas dua pemikiran utamanya, yaitu
tentang mimikri dan hibriditi. Dua istilah tersebut sesunggunya merupakan upaya Bhaba untuk
menggambarkan kondisi masyarakat subaltern pasca kolonialisasi, terutama pada tekanan
budaya. Dalam bukunya, nation and naration Bhaba memotret kondisi bangsa pasca
kolonialisme, sehingga munculah definisi bangsa sebagai berikut: coming into being a system
of cultural signification, as the representation of social life rather than the dicipline of polity,
emphasize this instability of knowledge. (1990: 1-2).
Dengan demikian, Bhaba melihat ikatan kebangsaan sesungguhnya adalah budaya, yang mana
budaya tersebut juga sekaligus merupakan representasi dari kehidupan sosial kelompok tersebut.
Selanjutnya, dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap bangsa memiliki batasbatas kebudayaan dengan bangsa yang lain. Sehingga ada produksi dan reproduksi tentang
kebudayaan yang melekat dalam kelompok tersebut secara internal. Namun, dalam dunia
modern, Bhaba melihat adanya kelompok bangsa yang dominan yang dapat menyeruak masuk
kedalam kebudayaan bangsa-bangsa yang lain. Dalam hal inilah, Bahaba mengandaikan bangsa
seperti dewa Janus yang memiliki dua wajah; memiliki relasi intra dan ekstra/ lokal dan
modernitas.
Dalam kata narasi dapat dimaknai Bhaba juga berpendapat bahwa proses terbentuknya bangsa
tak dapat dipisahkan dari konteks sosial politiknya. Karena, setiap perubahan dalam suatu
komunitas lokal tentunya dapat diamati dan diteliti secara detail. Sehingga definisi ini menghalau
definisi bangsa sebagai sesuatu yang sudah dari sananya, atau karena kesamaan rasial atau
kesukuan semata. Bhaba sepakat dengan definisi bangsa sebagai imagine communities yang
diintrodusir oleh Ben Anderson. Karena, situasilah yang membentuk suatu kelompok untuk
menjadi kesatuan entitas budaya, yang didalamnya tak lepas dari representasi sosial dan politik.

Mimikri dan Hibriditas: Relasi antar Dua Budaya


Dalam konteks dualisme itulah, muncullah konsep mimikri. Bhaba menjelaskan bahwa mimikri
adalah upaya masyarakat/kelompok lokal yang meniru/mengimitasi kebudayaan modern yang
ditampilkan dalam gaya berbicara, berpakaian, bersikap, dan citra budaya lainya. Upaya ini
dilakukan oleh kelompok lokal/sublaltern agar mendapatkan akses yang sama dengan kelompok
yang memiliki kekuasaan, dalam hal ini penjajah. Hal ini dipahami karena adanya ketimpangan
dan ketidakadilan dalam relasi orang lokal dan penjajah. Tentunya sebagaimana diketahui,
kelompok kolanial akan selalu mempertahankan dominasinya secara ekonomi dan politik dari
para kelompok jajahan untuk tetap dapat mengeksploitasi mereka.
Dalam banyak kasus, kelompok mimik, merupakan mereka yang telah melakukan kontak dengan
kelompok dominan secara intens atau juga telah melakukan perjalanan ke negeri-negeri Barat.
Tentunya, jika ditilik lebih jauh kelompok mimik adalah mereka yang memiliki status sosial
tinggi di kelompok lokal atau elit. Sebagaimana di Indonesia, kelompok elit inilah yang pada
akhirnya menjadi kepanjangtanganan penjajah di negeri jajahan. Namun, dalah hal ini Bhaba
tidak memandang negatif kelompok mimik, karena sejarah membuktikan di negeri-negri jajahan
kelompok inilah yang memunculkan pergerakan-pergerakan subversif terhadap negeri jajahan.
Dengan kekampuan mereka berbahasa seperti penjajah, mereka tentunya mampu menyerap
informasi mengenai ide-ide yang berkembang terutama terkait politik. Mereka inilah yang
menjadi intelektual organik yang menggerakan massa lokal untuk melakukan perlawanan dan
merdeka dari penjajah. Konsep mimikri ini cukup memberikan kontribusi bagi perkembangan
studi poskolonialisme, karena kecenderungannya di negeri-negeri jajahan akan muncul
kelompok tersebut.
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, selain mimikri konsep penting lainya adalah
hibriditas. Agak berbeda dengan mimikri, yang sudah memiliki kejelasan objek yang fix,
hibriditas mencakup hal-hal yang lebih luas lagi. Secara sederhana hibriditas dapat diartikan
sebagai suatu percampuran budaya antara Barat dan Timur, dalam hal ini antara pribumi dan
jajahan. Bhaba secara spesifik menjelaskan hibriditas kepada suatu kelompok pribumi yang
memiliki keseimbangan atribut budaya antara lokal dan Barat. Dalam upaya memihat
percampuran tersebut, Bhaba membagi ranah hibriditas menjadi lima bagian, yaitu; rasial,

lingusitik, literatur, budaya, dan keagamaan. Menurutnya, dari kelima kategori yang ada 3 hal
utama yang signifikan dalam kajian poskolonial adalah lingusitik, literatur, dan budaya.
Hibriditas linguistik dimaksudkan oleh Bhaba adalah fenomena dimana penduduk pribumi dapat
menggunakan bahasa penjajah, dalam hal ini banyak difasilitasi oleh pendidikan formal.
Dampaknya bagi negara-negara bekas jajahan antara lain masuknya kata-kata serapan dari
bahasa penjajah ke bahasa pribumi. Atau malah, negeri jajahan secara penuh menganggap bahasa
penjajah sebagai bahasa resmi negara, seperi terlihat dibanyak negara jajahan Inggris.
Kemudian adalah hibriditas literatur, tentunya fenomena ini muncul setalah hibriditas lingustik
tercipta. Menurut Bhaba, hibriditas literatur adalah fernomena kaum pribumi mulai memahami
cerita-cerita, informasi, dan gaya penulisan dari literatur yang ada di negeri jajahan terutama
lewat karya novel. Dengan demikian, tentunya tidak dibanyak orang, akan muncul imagi-imagi
tentang kondisi dunia Barat, khususnya negeri penjajah, yang tergambar lewat literatur-literatur
yang dibacanya. Selanjunya, mereka menggunakan literatur-literatur tersebut sebagai bahan
inspirasi untuk mereka menciptakan literatur-literatur yang menggambarkan kondisi sosial,
budaya, dan politik masyarakat pribumi yang pada akhirnya literatur lokal ini menginspirasi bagi
banyak pihak untuk melakukan perubahan dan kemerdekaan.
Selanjutnya adalah hibriditas budaya. Budaya sebagaimana dimaknai sekarang yang mencakup
seni, cara berpakaian, lagu, makanan, cara bersikap, dan masih banyak lagi. Dalam hal ini pun,
hibriditas budaya dimaknai sebagai percampuran budaya antara entitas lokal dengan yang dari
Barat. Sehingga, sesungguhnya hibriditas budaya tidak jauh berbeda dengan fenomena mimikri.
Hal ini dipahami karena adanya anggapan umum di era kolonial, bahwa budaya Barat yang
dibawa oleh para penjajah lebih unggul dan lebih tinggi dibandingkan dengan budaya pribumi
yang dilekatkan stigma tradisional dan ketinggalan zaman.
Melampaui Poskolonialisme
Kontribusi Bhaba dalam ranah poskolonialisme adalah perspektif baru dalam melihat hubungan
antara penjajah (colonizer) dan yang dijajah (colonialized). Jika Said dan Spivak cenderung
melihat relasi itu dalam dikotomis yang terpolarisasi, Bhaba memberikan kontribusi dengan
memberikan tekanan pada agen (agency). Bhaba melihat sesungguhnya kaum subaltern-

meminjam istilah Spivak- tidak serta merta menerima kondisi penjajahan dengan pasrah dan
tidak melakukan perlawanan. Konsep mimikri dan hibriditas sesungguhnya merupakan alat
untuk melihat aktifnya agen dalam melihat situasi yang berkembang, dalam konteks penjajahan.
Pun Bhaba memperlihatkan fenomena dominasi penjajah sesungguhnya bukan hanya karena
besarnya power yang dimiliki, namun juga karena ketakutan yang melihat kondisi yang
berlangsung. Di sisi lain, para kaum pribumi sesungguhnya memiliki potensi melawan, walaupun
dengan bentuk-bentuk yang sederhana. Hal inilah yang dapat memberikan penjelasan terhadap
munculnya gerakan-gerakan perlawanan/nasionalisme yang marak di Asia-Afrika menjelang
berakhirnya perang dunia ke-2.

Anda mungkin juga menyukai