Anda di halaman 1dari 4

Edward Said menegaskan bahwa perlu adanya kesadaran baru.

Kesadaran ini
merupakan kesadaran kritis yang diperlukan untuk menelusuri aspek-aspek
tersembunyi atau dengan sengaja disembunyikan. Dengan demikian dapat
diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja, dipihak lain membongkar apakah ada
ideologi yang mendasarinya. Objek wisata yang ada di kota batu merupakan
merupakan suatu bertuk hibriditas dari
Kota Batu merupakan bagian dari Dataran Tinggi Malang yang terbentuk dari
endapan lava yang menjadi danau. Daerah Batu hingga Malang merupakan suatu
cekungan dalam yang terbentuk oleh apitan gunung dan pegunungan

Kota yang berjuluk Swiss di Pulau Jawa memiliki bebrapa asset wisata seperti Jawa
Timur Park I dan Batu Night Spectacular (BNS), barubaru ini dibuka wahana baru
Museum Satwa. Harapannya, ini bisa lebih mendongkrak lagi jumlah kunjungan
wisatawan di Kota Batu. Memasuki tahun kelima sejak resmi menjadi daerah
otonom baru, kondisi ekonomi makro Kota Batu stabil dan cenderung membaik
sebagaimana tercermin pada laju inflasi, serta pertumbuhan ekonomi yang
meningkat. Pelaksanaan pembangunan oleh pemerintah kota dan sector swasta
yang saling bersinergi telah memberikan dukungan terhadap stabilitas ekonomi
makro dengan tetap menjaga peningkatan pendapatan penduduk.

Mimikri dan Hibriditas: Relasi antar Dua Budaya


Dalam konteks dualisme itulah, muncullah konsep mimikri. Bhaba menjelaskan
bahwa mimikri adalah upaya masyarakat/kelompok lokal yang meniru/mengimitasi
kebudayaan modern yang ditampilkan dalam gaya berbicara, berpakaian, bersikap,
dan citra budaya lainya. Upaya ini dilakukan oleh kelompok lokal/sublaltern agar
mendapatkan akses yang sama dengan kelompok yang memiliki kekuasaan, dalam
hal ini penjajah. Hal ini dipahami karena adanya ketimpangan dan ketidakadilan
dalam relasi orang lokal dan penjajah. Tentunya sebagaimana diketahui, kelompok
kolanial akan selalu mempertahankan dominasinya secara ekonomi dan politik dari
para kelompok jajahan untuk tetap dapat mengeksploitasi mereka.
Dalam banyak kasus, kelompok mimik, merupakan mereka yang telah melakukan
kontak dengan kelompok dominan secara intens atau juga telah melakukan
perjalanan ke negeri-negeri Barat. Tentunya, jika ditilik lebih jauh kelompok mimik
adalah mereka yang memiliki status sosial tinggi di kelompok lokal atau elit.
Sebagaimana di Indonesia, kelompok elit inilah yang pada akhirnya menjadi
kepanjangtanganan penjajah di negeri jajahan. Namun, dalah hal ini Bhaba tidak
memandang negatif kelompok mimik, karena sejarah membuktikan di negeri-negri
jajahan kelompok inilah yang memunculkan pergerakan-pergerakan subversif
terhadap negeri jajahan. Dengan kekampuan mereka berbahasa seperti penjajah,
mereka tentunya mampu menyerap informasi mengenai ide-ide yang berkembang
terutama terkait politik. Mereka inilah yang menjadi intelektual organik yang
menggerakan massa lokal untuk melakukan perlawanan dan merdeka dari penjajah.
Konsep mimikri ini cukup memberikan kontribusi bagi perkembangan studi
poskolonialisme, karena kecenderungannya di negeri-negeri jajahan akan muncul
kelompok tersebut.

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, selain mimikri konsep penting lainya


adalah hibriditas. Agak berbeda dengan mimikri, yang sudah memiliki kejelasan
objek yang fix, hibriditas mencakup hal-hal yang lebih luas lagi. Secara sederhana
hibriditas dapat diartikan sebagai suatu percampuran budaya antara Barat dan
Timur, dalam hal ini antara pribumi dan jajahan. Bhaba secara spesifik menjelaskan
hibriditas kepada suatu kelompok pribumi yang memiliki keseimbangan atribut
budaya antara lokal dan Barat. Dalam upaya memihat percampuran tersebut,
Bhaba membagi ranah hibriditas menjadi lima bagian, yaitu; rasial, lingusitik,
literatur, budaya, dan keagamaan. Menurutnya, dari kelima kategori yang ada 3 hal
utama yang signifikan dalam kajian poskolonial adalah lingusitik, literatur, dan
budaya.
Hibriditas linguistik dimaksudkan oleh Bhaba adalah fenomena dimana penduduk
pribumi dapat menggunakan bahasa penjajah, dalam hal ini banyak difasilitasi oleh
pendidikan formal. Dampaknya bagi negara-negara bekas jajahan antara lain
masuknya kata-kata serapan dari bahasa penjajah ke bahasa pribumi. Atau malah,
negeri jajahan secara penuh menganggap bahasa penjajah sebagai bahasa resmi
negara, seperi terlihat dibanyak negara jajahan Inggris.
Kemudian adalah hibriditas literatur, tentunya fenomena ini muncul setalah
hibriditas lingustik tercipta. Menurut Bhaba, hibriditas literatur adalah fernomena
kaum pribumi mulai memahami cerita-cerita, informasi, dan gaya penulisan dari
literatur yang ada di negeri jajahan terutama lewat karya novel. Dengan demikian,
tentunya tidak dibanyak orang, akan muncul imagi-imagi tentang kondisi dunia
Barat, khususnya negeri penjajah, yang tergambar lewat literatur-literatur yang
dibacanya. Selanjunya, mereka menggunakan literatur-literatur tersebut sebagai
bahan inspirasi untuk mereka menciptakan literatur-literatur yang menggambarkan
kondisi sosial, budaya, dan politik masyarakat pribumi yang pada akhirnya literatur
lokal ini menginspirasi bagi banyak pihak untuk melakukan perubahan dan
kemerdekaan.
Selanjutnya adalah hibriditas budaya. Budaya sebagaimana dimaknai sekarang
yang mencakup seni, cara berpakaian, lagu, makanan, cara bersikap, dan masih
banyak lagi. Dalam hal ini pun, hibriditas budaya dimaknai sebagai percampuran
budaya antara entitas lokal dengan yang dari Barat. Sehingga, sesungguhnya
hibriditas budaya tidak jauh berbeda dengan fenomena mimikri. Hal ini dipahami
karena adanya anggapan umum di era kolonial, bahwa budaya Barat yang dibawa
oleh para penjajah lebih unggul dan lebih tinggi dibandingkan dengan budaya
pribumi yang dilekatkan stigma tradisional dan ketinggalan zaman.
Melampaui Poskolonialisme
Kontribusi Bhaba dalam ranah poskolonialisme adalah perspektif baru dalam
melihat hubungan antara penjajah (colonizer) dan yang dijajah (colonialized). Jika
Said dan Spivak cenderung melihat relasi itu dalam dikotomis yang terpolarisasi,

Bhaba memberikan kontribusi dengan memberikan tekanan pada agen (agency).


Bhaba melihat sesungguhnya kaum subaltern-meminjam istilah Spivak- tidak serta
merta menerima kondisi penjajahan dengan pasrah dan tidak melakukan
perlawanan. Konsep mimikri dan hibriditas sesungguhnya merupakan alat untuk
melihat aktifnya agen dalam melihat situasi yang berkembang, dalam konteks
penjajahan. Pun Bhaba memperlihatkan fenomena dominasi penjajah
sesungguhnya bukan hanya karena besarnya power yang dimiliki, namun juga
karena ketakutan yang melihat kondisi yang berlangsung. Di sisi lain, para kaum
pribumi sesungguhnya memiliki potensi melawan, walaupun dengan bentuk-bentuk
yang sederhana. Hal inilah yang dapat memberikan penjelasan terhadap munculnya
gerakan-gerakan perlawanan/nasionalisme yang marak di Asia-Afrika menjelang
berakhirnya perang dunia ke-2.

Anda mungkin juga menyukai