Anda di halaman 1dari 39

f BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhuk hidup sangat tergantung pada lingkungan

untuk kelangsungan hidupnya. Contoh mudahnya, makhluk hidup

membutuhkan lingkungan untuk tinggal dan memenuhi kebutuhan

metabolisme tubuhnya. Oleh karena itu, makhluk hidup memiliki keterkaitan

yang sangat erat dengan alam. Sekarang ini alam kita sedang dilanda dengan

ketidakmenentuan cuaca dan iklim atau yang disebut perubahan iklim

(Soemirat, 2011 & Kemenkes RI, 2011).


Perubahan iklim atau yang lebih dikenal dengan pemanasan global.

Istilah tersebut sering dianggap sama, namun memiliki arti yang berbeda.

Karena parameter iklim tidak panas saja, melainkan ada parameter lain seperti

curah hujan, kondisi awan, angin, dan radiasi sinar matahari (Kemenkes RI,

2011). Terjadinya perubahan iklim tersebut tidak terlepas dari faktor alam dan

akibat dari aktivitas manusia. Perubahan iklim terjadi akibat peningkatan gas

rumah kaca. Meningkatnya gas rumah kaca dominan ditimbulkan oleh

industri, pembangunan terutama di bidang kehutanan, lahan gambut, limbah,

pertanian, transportasi, dan energi. Gas rumah kaca yang meningkat

menimbulkan efek yang akan mempercepat proses pemanasan global dan

meningkatkan frekuensi peristiwa cuaca ekstrim (Pabalik dkk, 2015).

1
2

Permasalahan lingkungan global saat ini adalah terjadinya

peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) khususnya karbon dioksida (CO 2),

methane (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Perubahan komposisi beberapa gas

tersebut akan menggiring kepada terjadinya perubahan iklim. Hal ini

mengakibatkan kondisi di permukaan bumi menjadi tidak stabil. Suhu di

permukaan bumi semakin meningkat dan diperkirakan pada tahun 2020

kenaikan suhu bumi bisa menjadi 2oC (BLHD, 2012).


Efek rumah kaca terjadi karena sinar matahari di atmosfer

menggetarkan molekul gas-gas rumah kaca sehingga energi radiasi matahari

terserap oleh molekul tersebut. Energi radiasi matahari tersebut yang

seharusnya dipantulkan kembali ke ruang angkasa. Adanya gas-gas rumah

kaca, maka energi radiasi matahari tertahan di lapisan atmosfer dan

menyebabkan peningkatan suhu bumi (Ratri, 2011).


Berdasarkan data BMKG suhu rata-rata bulanan kota Makassar

mengalami perubahan. Suhu bulanan serlama 20 tahun mempunyai 2 puncak

suhu paling tinggi yaitu pada bulan Mei (28,10oC) dan Oktober (28,39oC).

Sedangkan suhu paling rendah terjadi pada bulan Januari, Februari, Juli,

Agustus, dan Desember. Perubahan curah hujan selama 20 tahun

mengakibatkan terjadinya fenomena banjir bandang pada tahun 2000 dimana

curah hujan mencapai 4722 mm (Pabalik dkk, 2015). Perubahan

suhu/temperatur dan curah hujan akan merubah sistem hidrologi yang secara

langsung berdampak pada stok air yang dapat dimanfaatkan (Rachmawati,

2015).
3

Perubahan iklim diperkirakan membuat ancaman terhadap keamanan

sumber daya air Indonesia menjadi semakin parah. Proyeksi perubahan yang

mungkin terjadi di masa mendatang yang selanjutnya akan membahayakan

keamanan sumber daya air (DAI, 2012). Iklim dan variasi musim dapat

memengaruhi kehidupan agen penyakit, reservoir, dan vektor. Agen penyakit

ditemukan pada daerah geografis tertentu karena mereka membutuhkan

reservoir dan vektor untuk kelangsungan hidupnya (Sumantri, 2010).


Perubahan iklim global mempengaruhi kesehatan manusia melalui

jalur yang bervariasi dan komplek, dalam skala dan rentang waktu yang

berbeda (WHO, 2003). Beberapa penyakit yang kejadiannya meningkat akibat

perubahan iklim antara lain penyakit yang disebarkan oleh nyamuk yang

dapat mengakibatkan demam berdarah, malaria, chikungunya, dan lain-lain.

Penyakit akibat peningkatan suhu lingkungan dan polutan berakibat infeksi

saluran pernapasan akut, malnutrisi sampai gizi buruk, penyakit jantung,

penyakit pernapasan asma, alergi, serta penyakit paru kronik lain. Kemudian

kurangnya ketersediaan air bersih berakibat diare dan penyakit kulit

(Kemenkes RI, 2013).


Beberapa penelitian yang dilakukan di daerah tropis ditemukan pola

kejadian penyakit diare mengikuti pola musim. Dalam tipe diare tropik

kejadian puncak terjadi pada musim penghujan. Banjir dan kemarau

berhubungan dengan peningkatan resiko kejadian diare. Hal tersebut dapat

terjadi karena hujan lebat dapat menyebabkan masuknya agen

mengkontaminasi ke dalam persediaan air. Kondisi kemarau dapat


4

mempengaruhi ketersediaan air bersih sehingga meningkatkan resiko penyakit

yang berhubungan dengan higiene (WHO, 2003).


Air merupakan salah satu komponen yang paling penting dalam

kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Air mempunyai

kemampuan atau pengaruh langsung dalam terhadap manusia, khususnya

kesehatan manusia. Pengaruh kesehatan tersebut bergantung sekali pada

kualitas air yang digunakan dan air pun dapat berfungsi sebagai penyalur

ataupun penyebar penyakit (Slamet, 2009). Penyakit yang ditularkan melalui

air disebut waterborne disease. Terjadinya suatu penyakit tentu memerlukan

adanya agen dan terkadang vektor (Chandra, 2014).


Penyebab penyakit diare bermacam-macam, bisa disebabkan oleh

virus, dimana virus melekat pada permukaan sel mukosa usus dan

menyebabkan kerusakan pada sel-sel usus. Penyerapan pada usus menjadi

menurun dan pengeluaran air dan elektrolit meningkat. Diare juga disebabkan

oleh elektroksin atau racun yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium dan

endotoksin yang dihasilkan Staphylococcus. Tetapi penyebab utamanya

disebabkan oleh Escherichia coli (Mangunjaya, 2008).


Berdasarkan hasil penelitian Suriani dkk tahun 2013, menunjukkan

bahwa laju pertumbuhan isolat bakteri mempunyai variasi yang nyata. Ada

pengaruh interaksi antara isolat bakteri dan suhu terhadap laju pertumbuhan.

Laju pertumbuhan isolat bakteri dipengaruhi oleh suhu dan isolat yang

berbeda. Suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata pada isolat ini.

Pertumbuhan mikroba terjadi pada suhu dengan kisaran kira-kira 30oC.


5

Meningkatnya suhu mengakibatkan semakin tingginya penguapan dan

prevalensi penyakit-penyakit yang menyebar melalui air (DAI, 2012).


Pada tahun 1993, penyakit diare karena Cryptosporidium di Miwaukee

terjadi setelah hujan turun yang terus menerus. Curah hujan yang terjadi

dengan sangat luar biasa menyebabkan banjir dimana-mana dan

mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran berbagai spesies mikroba dan

parasit. Hal ini terjadi akibat dampak dari perubahan iklim (Achmadi, 2007).
Berdasarkan pengamatan BMKG pada bulan januari 2017, terjadi

peluang hujan lebat disertai petir yang terjadi di sejumlah wilayah Sulsel dari

pagi hari pukul 06.25 wita hingga malam hari. Hujan lebat yang disertai petir

di wilayah Makassar, Maros, Pangkep, Takalar dan Sungguminasa dengan

Suhu Udara 17 sampai 31C, Kelembaban udara 75 hingga 95%. Cuaca

ektrim ini berpotensi terhadap terjadinya genangan, banjir, dan angin kencang.
Cuaca ektrim dapat mempengaruhi kesehatan. Laporan WHO

mengestimasikan berbagai penyakit dari perubahan iklim antara lain diare

yang diprediksikan pada tahun 2030 lebih dari 10% diderita oleh anak-anak

(Shuman, 2010). Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan di

negara berkembang seperti di Indonesia karena morbiditas dan mortalitasnya

masih tinggi. Pada tahun 2015 terjadi 18 kali KLB Diare yang tersebar di 11

provinsi, 18 kabupaten/kota, dengan jumlah penderita 1.213 orang dan

kematian 30 orang (CFR 2,47%) (Kemenkes RI, 2016).


Berdasarkan data penyakit diare Dinas kesehatan Kota Makassar tahun

2015, melalui pencatatan dan pelaporan terhadap angka kesakitan dari tahun

ketahun diketahui bahwa diare termasuk dalam sepuluh penyakit tertinggi di


6

Kota Makassar pada tahun 2011 sebanyak 37.940 kasus, di tahun 2012

menurun menjadi 29.265 kasus, di tahun 2013 sebanyak 28.908 kasus, tahun

2014 tercatat sebanyak 26,485 kasus dan meningkat kembali di tahun 2015

sebanyak 28,257 kasus menurut jenis kelamin.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran iklim (suhu udara, kelembaban, dan curah hujan) di

Kota Makassar tahun 2011 - 2015?


2. Bagaimana gambaran angka kejadian kasus diare di Kota Makassar tahun

2011 - 2015?
3. Apakah ada hubungan antara suhu udara dengan angka kejadian diare di

Kota Makassar tahun 2011 - 2015?


4. Apakah ada hubungan antara kelembaban dengan angka kejadian diare di

Kota Makassar tahun 2011-2015?


5. Apakah ada hubungan antara curah hujan dengan angka kejadian diare di

Kota Makassar tahun 2011 - 2015?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan faktor iklim (suhu udara, kelembaban, dan curah

hujan) dengan angka kejadian diare di Kota Makassar tahun 2011 - 2015.

2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran ikim (suhu udara, kelembaban, curah hujan) di

Kota Makassar tahun 2011 - 2015.


7

2. Mengetahui gambaran angka kejadian diare di Kota Makassar tahun

2011 - 2015.
3. Mengetahui hubungan antara suhu udara dengan angka kejadian diare

di Kota Makassar tahun 2011 - 2015.


4. Mengetahui hubungan antara kelembaban dengan angka kejadian

diare di Kota Makassar tahun 2011-2015.


5. Mengetahui hubungan antara curah hujan dengan angka kejadian

diare di Kota Makassar tahun 2011 - 2015.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pemerintah

a. Sebagai bahan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan, BMKG, maupun

pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam membuat kebijakan

terkait perubahan iklim yang berpotensi menjadi penyebab diare

dengan melibatkan berbagai pihak atau sektor.


b. Sebagai bahan rekomendasi dalam perencanaan pengelolaan program

pemberantasan penyakit diare.

2. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Penelitian ini diperoleh dari penelitian ini menjadi bahan tambahan ilmu

untuk pengembangan kompetensi mahasiswa, khususnya mahasiswa

kesehatan lingkungan.
8

3. Bagi Penulis

Penelitian ini dapat menambah dan memperluas wawasan serta

pengetahuan tentang hubungan antara iklim dengan kasus diare di Kota

Makassar tahun 2011 - 2015. Selain itu juga dapat menyajikan suatu studi

di bidang kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan lingkungan dengan

kaidah ilmiah sebagai latihan untuk menerapkan disiplin ilmu yang sudah

dipelajari dalam bentuk tulisan ilmiah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Diare

1. Defenisi Diare

Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek sampai

cair tiga kali atau lebih dalam sehari atau lebih dari normal yang biasanya

diikuti gejala infeksi gastrointestinal (WHO, 2003). Sedangkan menurut

Kementerian Kesehatan tahun 2011, diare sebagai penyakit yang terjadi

ketika terjadi perubahan konsistensi feses dari frekuensi buang air besar.

Seseorang dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari biasanya,
10

atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar yang

berair tapi juga tidak berdarah dalam waktu 24 jam.

2. Klasifikasi Diare

Diare dibedakan menjadi dua berdasarkan waktu serangan, yaitu

(Widoyono, 2008):
a. Diare akut (< 2 minggu)
b. Diare kronik (> 2 minggu)
Penyakit diare dapat diklasifikasikan atas beberapa jenis

(Suharyono, 2008) :

a. Klasifikasi berdasarkan pada ada atau tidaknya infeksi


1) Diare infeksi spesifik: tifus abomen dan paratifus, disentri basil

(shigella), enterokolis stafilokok.


2) Diare non-spefisik: diare dietetik.
b. Berdasarkan organ yang terkena infkesi
1) Diare infeksi enternal atau diare karena infeksi diusus (bakteri,

virus, dan parasit).


2) Diare parenteral atau diare karen infeksi diluar usus (otitis

media, infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin dan

lainnya).
c. Ellis dan Mitchell tahun 1973 dalam Suharyono tahun 2008 juga

membagi diare berdasarkan lamanya penyakit diare yang diderita.


1) Diare akut atau diare karen infeksi usus yang bersifat mendadak.

Diare ini dapat terjadi pada setiap umur.


2) Diare kronik, diare yang umumnya bersifat menahun.

3. Analisis Faktor Resiko

Menurut WHO tahun 2009, faktor yang mempengaruhi diare adalah :

a. Lingkungan fisik yang tidak saniter.


b. Gizi kependudukan yang rendah/buruk.
11

c. Pendidikan, sosial ekonomi dan perilaku masyarakat yang kurang

partisipatif.

Diare dapat disebabkan antara lain (WHO, 2009) :

a. Peradangan usus karena agen penyebab :


1) Bakteri : vibrio cholera, shigella, salmonella sp, Escherichia

coli , Basillus cereus, Clostridium perfringens, Staphylococcus sp.


2) Virus : rotavirus dan adenovirus.
3) Parasit : protozoa, (entamoeba histolytica), Giardia lamdia,

Balantidium coli, Crystosporodium.


4) Cacing perut : Ascaris, Trichiuris, Strongyloides.
5) Jamur : candida sp.
b. Keracunan makanan atau minuman yang disebabkan oleh bakteri

maupun bahan kimia.


c. Kurang gizi (malabsorbsi) yaitu kekurangan energi protein sehingga

ada gangguan penyerapan makanan pada saluran cerna.


d. Tidak tahan makan tertentu, seperti terhadap laktosa susu yang

dijumpai pada susu kaleng atau dapat juga karena alergi terhadap

susu sapi.
e. Immune defisiensi dan faktor-faktor lain seperti kurangnya persediaan

air bersih, kurangnya fasilitas sanitasi dan hygiene perorangan serta

pemberian makanan pendamping ASI.


f. Sebab-sebab lain seperti sedang terapi obat antibiotik.
12

4. Epidemiologi

Menurut John Gordon, manusia dalam kehidupannya secara alamiah

berinteraksi dengan lingkungannya serta penyebab penyakit. Pola

kejadian penyakit digambarkan melalui keseimbangan segitiga antara

penjamu (manusia), agen (faktor penyebab) dan environment

(lingkungan). Hubungan antara penjamu, agen dan lingkungan ini

merupakan suatu kesatuan yang dinamis yang berada dalam

keseimbangan pada seseorang sehat. Misalnya saat kualitas lingkungan

hidup menurun sampai tingkat tertentu, agen penyakit dapat dengan

mudah masuk kedalam tubuh manusia dan menimbulkan sakit (Chandra,

2014).
Masalah kesehatan yang dapat timbul antara lain diare, hal ini dapat

dihat pada ketiga faktor tersebut yaitu :


a. (Agen) Penyebaran kuman yang menyebabkan diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara

lain melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja atau kontak

langsung dengan tinja penderita. Penyebaran tidak langsung terjadi

melalui perantara yaitu vektor binatang seperti lalat, tikus, kecoa dan

lain-lain. Binatang tersebut dapat menjadi penyebaran kuman tidak

langsung karena kontak langsung dengan feses yang mengandung

kuman penyebab diare lalu mengkontaminasi makanan dan minuman

(Depkes, 2010).
b. Faktor penjamu
13

Faktor manusia sangat kompleks dalam proses terjadinya penyakit.

Faktor tersebut bergantung pada karakteristik yng dimiliki masing-

masing individu seperti usia, jenis kelamin ras, genetik, pekerjaan

nutrisi, status kekebalan, adat, gaya hidup, dan psikis (Chandra,

2014).
c. Faktor lingkungan (Maryani & Muliani, 2010).
1) Lingkungan biologis seperti vektor penyakit tertentu terutama

penyakit menular.
2) Keadaan iklim yang dapat mempengaruhi diare seperti curah

hujan yang tinggi dapat menimbulkan sumber air dapat tercemar.


3) Diare biasanya terjadi pada daerah dengan sanitasi lingkungan

yang buruk (Depkes, 2010).

5. Gejala dan Tanda Diare

Beberapa gejala dan tanda diare yaitu (Widoyono, 2008):

a. Gejala umum
1) Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare.
2) Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroentritis akut.
3) Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare.
4) Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun,

apatis, dan bahkan gelisah.


b. Gejala spesifik
1) Vibrio cholera: diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan

berbau amis.
2) Disenteriform: tinja berlendir dan berdarah.

Menurut Widoyono tahun 2008, diare yang berkepanjangan dapat

menyebabkan:

a. Dehidrasi (kekurangan cairan)


14

Tergantung dari persentase cairan tubuh yang hilang, dehidrasi dapat

terjadi ringan, sedang, atau berat.


b. Gangguan sirkulasi
Pada diare akut, kehilangan cairan dapat terjadi dalam waktu yang

singkat. Bila kehilangan cairn lebih dari 10% berat badan, pasien

dapat mengalami syok atau presyok yang disebabkan berkurangnya

volume darah.
c. Gangguan asam-basa (asisdosis)
Hal ini terjadi akibat kehilangan elektrolit (bikarbonat) dari dalam

tubuh. Sebagai konpensasinya tubuh akan bernafas cepat untuk

membantu meningkatkan pH arteri.


d. Hipoglikemia (kadar gula darah rendah)
Hipoglikemia sering terjadi pada anak seelumnya mengalami

malnutrisi (kurang gizi). Hipoglikemia dapat mengakibatkan koma.

Penyebab yang pasti belum diketahui, kemungkinan karena cairan

ekstraseluler menjadi hipotonik dan air masuk ke dalam cairan

intraseluler sehingga terjadi edema otak yang mengakibatkan koma.


e. Gangguan gizi
Gangguan ini terjadi karena asupan makanan yang kurang dan output

yang berlebihan. Hal ini akan bertambah berat bila pemberian

makanan dihentikan serta sebelumnya penderita sudah mengalami

kekurangan gizi.

6. Pencegahan dan Penanganan diare

World Health Orgnanization (WHO) tahun 2005, menyebutkan

dalam penanganan penyakit diare terdapat beberapa cara penanganan


15

yang spesifik sesuai dengan tipe penyakit diare yang diderita. Namun,

secara umum terdapat beberapa penanganan yang sama. Penurunan kasus

diare membutuhkan interevensi untuk membuat anak tetap dan lebih sehat

sehingga terhindar kasus risiko penyakit diare. Intervensi yang dimaksud

seperti kebersihan lingkungan untuk menghindari penularan penyakit dan

berperilaku sehat setiap saat (WHO, 2009).


Banyak kasus kematian akibat penyakit diare dikarenakan

terjadinya dehidrasi yang berat. Sebuah pengetahuan penting telah

ditemukan bahwa menghindari kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi

pada penyakit diare pada tipe apapun, pada usia berapapun, kecuali diare

yang parah, bisa diselamatkan secara efektif lebih dari 90% kasus.

Menghindari kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi tersebut dapat

dilakukan secara mudah dengan menggunakan cairan pengganti seperti

pencampuran gula dan garam atau yang dikenal dengan nama Oral

Rehydration Salts (ORS) atau ORALIT (WHO, 2005)


Peningkatan dan perbaikan akses air bersih dan sanitasi yang

cukup, disertai promosi perilaku sehat dan bersih bisa membantu

mencegah anak dari risiko terkena penyakit diare. Fakta di lapangan

menemukan sekitar 88% kematian penyakit diare dikarenakan oleh

penggunaan air minum yang tidak aman, kurangnya sanitasi, dan masih

buruknya perilaku bersih (WHO, 2009).


Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010,

pencegahan diare dapat dilakukan antara lain :


a. Perilaku sehat
16

1) Menggunakan air bersih yang cukup.


2) Mencuci tangan.
3) Menggunakan jamban.
4) Membuang tinja bayi yang benar.
5) Pemberian imunisasi campak.
b. Penyehatan lingkungan
1) Penyediaan air bersih.
2) Pengelolaan sampah.
3) Sarana pembuangan air limbah.

B. Tinjauan Umum tentang Faktor iklim

1. Iklim dan Perubahan Iklim

Iklim merupakan kondisi cuaca dalam suatu periode yang panjang.

Iklim adalah nama yang kita berikan untuk menyebut pola-pola cuaca

dalam satu periode waktu (Kodoatie & Sjarief, 2010). Sedangkan cuaca

adalah keadaan atmosfer pada suatu saat. Iklim tidak sama dengan cuaca,

tapi lebih merupakan pola rata-rata dari keadaan cuaca untuk suatu daerah

tertentu. Cuaca menggambarkan keadaan atmosfer dalam jangka waktu

pendek (Achmadi, 2005).

Menurut Miller dan Spoolman tahun 2010, poin penting yang sering

diteliti sekarang terkait masalah perubahan ilkim baik itu secara global,

regional maupun lokal adalah mengenai curah hujan dan suhu rata-rata.

Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam menyebabkan perubahan

iklim. Faktor-faktor tersebut antara lain terdapatnya variasi radiasi yang

dilepaskan matahari, perubahan orbit bumi, perubahan bentang alam, dan

perubahan konsentrasi beberapa gas di atmosfer bumi (Aquado & Burt,

2001).
17

Perubahan iklim akan sangat bervariasi. Hampir semua tempat akan

menjadi panas, namun beberapa tempat akan menjadi lebih dingin.

Hampir semua wilayah di daratan dari daerah terpanas sampai daerah

terdingin, diperkirakan akan mengalami pemanasan melebihi dari rata-rata

pemanasan bumi. Pemanasan akan terjadi paling kuat pada daerah bagian

dalam benua karena sirkulasi lautan akan mengurangi pengaruh

pemanasan di daerah pantai (Kodoatie & Sjarief, 2010).

Perubahan iklim dipengaruhi oleh unsur-unsur sebagai berikut :

a. Suhu atau temperatur udara

Suhu atau temperatur udara adalah derajat panas dari aktivitas

molekul dalam atmosfer. Suhu dikatakan sebagai derajat panas atau

dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan

thermometer (Ance, 1986). Biasanya pengukuran suhu atau

temperatur udara dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R)

dan Fahrenheit (F) (Ernyasih, 2012).

Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata setiap periode 24

jam. Fluktuasi itu berkaitan erat dengan proses pertukaran energi

yang berlangsung di atmosfer. Fluktuasi suhu akan terganggu jika

turbulensi udara atau pergerakkan massa udara menjadi sangat aktif,

misalnya pada kondisi kecepatan angin tinggi. Jika pergerakkan

massa udara tersebut melibatkan seluruh lapisan udara dekat


18

permukaan, maka suhu udara pada lapisan tersebut relative homogen

(Ernyasih, 2012).

Suhu udara merupakan unsur iklim yang sangat penting. Suhu

udara berubah sesuai dengan tempat dan waktu (Tjasyono, 1992).

Tempat yang terbuka, suhunya berbeda dengan tempat yang di

gedung, demikian juga suhu diladang yang berumput berbeda dengan

ladang yang dibajak. Pegukuran suhu udara hanya memperoleh satu

nilai yang menyatakan nilai rata-rata suhu atmosfir. Dua skala yang

sering dipakai dalam pengukuran suhu udara adalah skala Fahrenheit

yang dipakai di Negara Inggris dan skala Celcius yang dipakai oleh

sebagian besar Negara dunia. Pada umumnya suhu maksimum terjadi

sesudah tengah hari, biasanya antara jam 12.00 sampai jam 14.00 dan

suhu minimum terjadi pada jam 06.00 waktu lokal dan sekitar

matahari terbit.

Suhu udara harian rata-rata didefinisikan sebagai rata-rata

pengamatan selama 4 jam (satu hari) yang dilakukan tiap jam. Secara

kasar, suhu udara harian rata-rata dapat dihitung dengan menjumlah

suhu maksimum dan suhu minimum lalu dibagi dua. Suhu bulanan

rata-rata adalah jumlah dari suhu harian dalam satu bulan dibagi

dengan jumlah hari dalam bulan tersebut (Tjasyono, 2004).

b. Kelembaban
19

Istilah kelembaban udara dapat diartikan sebagai banyaknya

jumlah kandungan uap air yang berada didalam udara. Menurut

Ahrens tahun 2009, didalam atmosfer terdapat sebuah proses

sirkulasi yang tidak pernah berakhir. Kita mengetahui bahwa 70%

permukaan bumi ini adalah air atau lautan, dan dapat ditarik sebuah

pemikiran bahwa sirkulasi yang tidak terputus tadi berawal dari

lautan.

Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung

dalam massa udara pada saat dan tempat tertentu. Menurut Lakitan

tahun 2002, kelembaban udara mempunyai beberapa istilah yaitu :

1) Kelembaban mutlak atau kelembaban absolut, yaitu total massa.


2) Kelembaban spesifik yaitu perbandingan antara massa uap air

uap air persatuan volume udara dinyatakan dalam satuan kg/m

dengan massa udara lembab dalam satuan volume udara tertentu,

dinyatakan dalam g/kg.


3) Kelembaban nisbi atau kelembaban relatif, yaitu perbandingan

antara tekanan uap air actual (yang terukur) dengan tekanan uap

air pada kondisi jenuh, dinyatakan dalam persen.

Besarnya kelembaban suatu daerah merupakan faktor yang dapat

menstimulasi hujan. Data klimatologi untuk kelembaban udara yang

umum dilaporkan adalah kelembaban relatif yang diukur dengan

psikometer atau higrometer. Kelembaban relative berubah sesuai

dengan tempat dan waktu. Menjelang tengah hari, kelembaban relatif


20

berangsur-angsur turun kemudian bertambah besar pada sore hari

sampai menjelang pagi (Tjasyono, 2004).

c. Curah hujan
Hujan merupakan salah satu fenomena alam yang terdapat

dalam siklus hidrologi dan sangat dipengaruhi iklim. Keberadaan

hujan sangat penting dalam kehidupan, karena hujan dapat

mencukupi kebutuhan air yang sangat dibutuhkan oleh semua

makhluk hidup. Hujan yang sampai ke permukaan tanah dapat diukur

dengan jalan mengukur tinggi air hujan tersebut dengan berdasarkan

volume air hujan per satuan luas. Hasil dari pengukuran tersebut

dinamakan dengan curah hujan. Curah hujan merupakan salah satu

unsur cuaca yang datanya diperoleh dengan cara mengukurnya

dengan menggunakan alat penakar hujan, sehingga dapat diketahui

jumlahnya dalam satuan millimeter (mm) (Manullang, 2014).


Tujuan pengukuran curah hujan adalah memperoleh keterangan

sebanyak mungkin tentang jumlah curah hujan yang jatuh pada

periode tertentu. Berdasarkan intensitasnya tingkatan hujan dapat

dibagi beberapa, yaitu sangat lemah (kurang dari 0,02 mm/menit),

lemah (0,02 0,05 mm/menit), sedang (0,05 0,25 mm/menit), deras

(0,25 1,00 mm/menit) dan sangat deras (lebih dari 1,00 mm/menit).

Pola curah hujan di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh keberadaan

Samudra Pasifik di sebelah timur laut dan Indonesia di sebelah barat


21

daya. Kedua samudra ini merupakan sumber udara lembab yang akan

mendatangkan hujan di Wilayah Indonesia (Lakitan, 2002).

2. Penyebab Perubahan iklim

Menurut Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan

tahun 2014, bahwa penyebab perubahan ikilm atau pemanasan global

adalah gas rumah kaca. Gas rumah kaca (GRK) merupakan gas di

atmosfer yang berfungsi menyerap radiasi infra merah dan ikut

menentukan suhu atmosfer. Adanya berbagai aktivitas manusia, khususnya

sejak era pra-industri emisi gas rumah kaca ke atmosfer mengalami

peningkatan yang sangat tinggi sehingga meningkatkan konsentrasi gas

rumah kaca di atmosfer.

Emisi gas rumah kaca dihasilkan dari berbagai aktivitas industri.

Sumber-sumber emisi utama adalah dilepaskannya gas rumah kaca dari

proses-proses industri yang secara kimiawi atau fisik melakukan

transformasi suatu bahan/material menjadi bahan lain (misal blast furnace

di industri besi dan baja, produksi amonia dan produk-produk kimia

lainnya dari bahan baku berupa bahan bakar fosil, serta proses produksi

semen). Proses-proses tersebut dapat menghasilkan berbagai gas rumah

kaca diantaranya Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrous Oksida

(N2O), Hidrofluorokarbon (HFC) dan Perfluorokarbon (PFC) (BLHD,

2013).
22

Ada beberapa gas rumah kaca yang lain. Salah satunya adalah metan

yang dapat dihasilkan dari lahan rawa dan sawah serta dari tumpukkan

sampah dan kotoran ternak. Gas-gas rumah kaca lainnya, meski jumlahnya

lebih sedikit antara lain nitrogen oksida dan sulfur heksaflorida yang

umumnya digunakan pada lemari pendingin. Negara-negara di seluruh

dunia tanpa henti membuang gas-gas ini dalam jumlah besar ke atmosfer.

Negara-negara maju mengeluarkan emisi lebih banyak perkapita, terutama

karena mereka memiliki lebih banyak kendaraan atau secara umum

membakar lebih banyak bahan bakar fosil, tapi begitu negara-negara

berkembang mulai membangun, mereka juga menyusul dalam sumbangan

emisi gas-gas ini (BLHD, 2013).

3. Dampak Perubahan Iklim bagi Kesehatan

Menurut Thabrany tahun 2007, perubahan iklim akan menimbulkan

efek terhadap kesehatan manusia secara langsung maupun tidak langsung :

a. Efek langsung

Efek yang paling langsung terhadap kesehatan manusia adalah

efek ekstrim dingin dan ekstrim panas. Suhu tinggi yang disertai

kelembaban rendah menyebabkan tubuh mudah terjadi dehidrasi.

Suhu ekstrim panas dan ekstrim dingin menyebabkan morbiditas dan

mortalitas tinggi. Jika disuhu panas terjadi heat stroke sedangkan

disuhu dingin terjadi frozen bite.


23

b. Efek tidak langsung

Efek yang timbul adalah berkaitan dengan penyakit menular,

seperti diare yang disebabkan karena transmisi makanan dan air yang

terkontaminasi. Kekeringan mengurangi persediaan air dan hygiene

yang dapat menimbulkan masalah kesehatan.

Perubahan iklim di Indonesia kedepan ditandai dengan (ICCSR,

2010):

a. Peningkatan curah hujan yang cukup signifikan pada bulan-bulan

tertentu dengan peningkatan variabilitas di daerah tertentu.


b. Penurunan curah hujan di bulan-bulan kering, sementara pada bulan-

bulan musim basah curah hujan meningkat.


c. Kenaikan temperature permukaan rata-rata

Perubahan iklim yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara

langsung berupa paparan langsung dari perubahan pola cuaca yang dapat

menimbulkan dampak kesehatan dan lebih parah lagi adalah adalah

menimbulkan kematian. Sedangkan yang mempengaruhi kesehatan

manusia secara tidak langsung adalah mempengaruhi faktor lingkungan

berupa perubahan kualitas lingkungan (air, udara, dan makanan) yang

nantinya akan memberikan dampak kesehatan berupa penyakit bawaan

makanan dan air seperti diare (ICCSR, 2010).

Bahaya perubahan iklim yang berkaitan dengan kesehatan

diantaranya adalah temperatur dan curah hujan yang ekstrim, peningkatan

banjir dan kekeringan, perubahan distribusi vektor penyakit, (water borne


24

diseases), peningkatan kasus malnutrisi, peningkatan bencana terkait

iklim. Di Indonesia terdapat 3 penyakit penting yang perlu dikaji terkait

dengan perubahan iklim yaitu malaria, demam berdarah dengue dan diare

karena penyebarannya yang luas dan banyak di Indonesia. Dampak

negatif terhadap variabilitas perubahan iklim akan menekan lebih kuat

terhadap populasi yang berpendapatan rendah dengan sarana kesehatan

yang terbatas (Bappenas, 2010).

Suhu yang tinggi, kelangkaan air bersih, dan curah hujan yang

ekstrim yang dapat menyebabkan banjir telah menunjukkan hubungan

dengan kejadian penyakit diare dibeberapa wilayah di bumi. Terjadinya

fenomena ekstrim yang terjadi sebagai akibat dari perubahan iklim telah

memberikan dampak negatif terhadap kesehatan manusia terlebih lagi

pada orang yang rentan dengan kondisi tertentu. Pada kasus-kasus yang

tercatat, dibeberapa wilayah yang sering dilanda banjir, angka kejadian

kasus diare termasuk kolera menunjukkan peningkatan setelah banjir

(Kurniawan, 2012).

C. Tinjauan Umum tentang Perubahan Iklim dan Diare

1. Pengaruh Suhu Udara terhadap Penyakit Diare

Penularan penyakit saluran cerna seperti diare bukan hanya melalui

kontaminasi air, tapi juga dapat meningkat karena suhu tinggi melalui efek

langsung pada pertumbuhan organisme di lingkungan (Lapan, 2009 dalam


25

Oktavia dkk, 2015). Suhu sangat memengaruhi kecepatan pertumbuhan

mikroba. Laju pertumbuhan mikroba meningkat seiring dengan

peningkatan suhu. Setiap mikroba termasuk bakteri mempunyai suhu

optimum, maksimum dan minimum untuk pertumbuhannya. Jika suhu

lingkungan lebih kecil dari suhu minimum atau lebih besar dari suhu

maksimum pertumbuhannya maka aktivitas enzim akan terhenti bahkan

pada suhu yang terlalu tinggi akan terjadi denaturasi enzim (Sari, 2012

dalam Suriani dkk, 2013).


Peningkatan suhu yang tinggi merupakan salah satu faktor risiko

yang independen yang dapat menyebabkan rate atau angka kejadian diare

termasuk salmonela dan kolera. Kasus kejadian luar biasa penyakit kolera

yang terjadi di Bangladesh lebih lanjut memiliki keterkaitan dengan suhu

permukaan air laut dan banyaknya plankton yang diduga menjadi reservoir

bagi bakteri patogen penyakit kolera (Kurniawan, 2012).

Perubahan suhu berhubungan dengan perubahan dinamika siklus

terhadap spesies vektor dan organisme pathogen seperti protozoa, bakteri

dan virus sehingga akan meningkatkan potensi transmisi penyebab

penyakit. Pemanasan global merupakan petunjuk penting untuk perubahan

dilautan karena dapat merubah resiko biotoksin yang dapat meracuni

manusia dari konsumsi ikan dan kerang-kerangan, kenaikan temperatur air

permukaan laut akan meningkatkan kejadian ledakan perkembangan


26

ganggang yang mungkin mempengaruhi kesehatan manusia seperti kolera

dan juga kerusakan ekologi dan ekonomi (WHO, 2003).

Berdasarkan penelitian Rejendran tahun 2011, menyebutkan bahwa

ada hubungan linear antara infeksi yang disebabkan oleh V. Cholerae

selama musim hujan kaitannya dengan suhu dan curah hujan (p=0,001).

Disamping itu juga termukan hubungan korelasi yang kuat dengan

kelembaban (>85%) dan suhu 29oC dengan penyakit kolera. Pada tahun

1997 ketika suhu lebih tinggi dari suhu normal selama kejadian El Nino,

banyak pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan diare dan dehidrasi

di Peru. Analisis time series data harian Rumah Sakit menguatkan efek

suhu pada kunjungan Rumah Sakit karena diare dengan estimasi

peningkatan 8% setiap peningkatan suhu 1oC (WHO, 2003).

Penelitian ini juga dilakukan Kolstad & Johansoon tahun 2011 dalam

Kurniawan 2012, peningkatan suhu 1oC akan menyebabkan peningkatan

kasus diare sebsar 5% dan diestimasikan perubahan suhu sebesar 1C

menyebabkan peningkatan kasus diare sebesar 0-10%. Lebih dari 90%

kasus kematian karena penyakit diare terjadi di Afrika, Eastern

Mediterania, dan Asia Tenggara dan sekitar 17% dari kematian tersebut

terjadi pada anak-anak.


27

2. Pengaruh Kelembaban terhadap Penyakit Diare

Unsur iklim yang lain yang juga menjadi faktor penentu sebuah iklim

adalah kelembaban relatif. Kelembaban relatif merupakan sebuah ukuran

jumlah kandungan uap air yang berada di dalam udara. Kelembaban

berkaitan dengan penyakit diare (Kurniawan, 2012). Pada musim hujan,

kelembaban tinggi serta intensitas sinar matahari yang kurang dapat

menyebabkan mikroorganisme penyebab diare berkembang biak dengan

baik dan membuat perkembangan lebih cepat untuk vektor seperti tikus,

kecoa dan lalat (WHO, 2003).

Di Indonesia perubahan iklim yang paling turut andil yaitu curah

hujan. Curah hujan yang tinggi di wilayah tropik pada umumnya

dihasilkan dari proses konveksi dan pembentukan awan hujan panas.

Kondisi tidak stabil terjadi jika udara yang naik lembab dan lapse rate

udara lingkungannya berada antara lapse rate adiabatik kering dan lapse

rate adiabatik jenuh. Jadi kestabilan udara ditentukan oleh kondisi

kelembaban. Kelembaban yang tinggi menyebabkan terdjadinya penyakit

(Pabalik dkk, 2015).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hashizume et al., tahun 2007

dalam Utina dkk tahun 2014, secara garis besar kelembaban relatif tidak

menujukkan adanya hubungan yang berarti dengan kejadian kasus diare

yang terjadi, namun setelah dilakukan pengujian kembali dengan

penyesuaian terhadap beberapa variabel lain, seperti suhu, pola musim,


28

dan faktor pendukung lainya, kelembaban relatif menunjukkan hubungan

yang negatif. Setiap penurunan kelembaban relatif 1%, kejadian kasus

diare akan meningkat sampai 2,6%.

3. Pengaruh Curah Hujan terhadap Penyakit Diare

Perubahan iklim diprediksi berdampak terhadap penyakit seperti diare

dan kolera, karena perubahan curah hujan menyebabkan banjir di musim

penghujan yang berakibat epidemi dan sebaliknya terjadi kekeringan di

musim kemarau. Perubahan ini juga berdampak terhadap penyediaan air

bersih dan sanitasi yang adekuat, serta juga tersedianya makanan yang

higienis dan kemampuan menerapkan praktek higiene yang baik pada

tempatnya (Keman, 2007).

Kelangkaan air bersih dan curah hujan yang ekstrim yang dapat

menyebabkan banjir telah menunjukkan hubungan dengan kejadian

penyakit diare dibeberapa wilayah di bumi. Pada kasus-kasus yang

tercatat, dibeberapa wilayah yang sering dilanda banjir, angka kejadian

kasus diare termasuk kolera menunjukkan peningkatan setelah banjir.

Curah hujan yang tinggi dapat membawa agen mikrobiologi ke dalam

sumber air minum menyebabkan kejadian giardiasis, amoebiasis, typoid

dan lain-lain (Nerlander, 2009 dalam Kurniawan, 2012).

Pola hujan dapat mempengaruhi penyebaran berbagai organisme

yang dapat menyebarkan penyakit, hujan dapat mencemari air dengan cara

memindahkan kotoran manusia dan hewan ke air tanah. Organisme yang


29

ditemukan antara lain kriptosporodium, giardia dan Escherichia coli yang

dapat menimbulkan penyakit seperti diare (Lapan, 2009 dalam Oktavia

2015).

D. Studi Ekologis
Studi ekologis atau studi korelasi merupakan rancangan studi yang

digunakan untuk melihat hubungan frekuensi angka kesakitan atau kematian

karena suatu penyakit yang terjadi di masyarakat dari waktu ke waktu.

Keuntungan penggunaan studi ekologis yaitu hanya memerlukan waktu yang

pendek dan mudah dilakukan (Chandra, 2009).


Studi ekologi atau studi korelasi menggunakan teknik analisis karena

untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan variabel dependen.

Unit analisis studi korelasi adalah kelompok individu. Tujuan dari strudi

korelasi adalah untuk mengetahui hubungan antara karakteristik penduduk

dengan prekuesi masalah kesehatan dalam periode waktu yang sama,

popualasi beda atau populasi sama, periode waktu beda (Lapau, 2012).
Ada dua jenis desain studi ekologi atau korelasi yaitu (Lapau, 2012):
1. Desain korelasi ekologi
Korelasi ekologi menggunakan periode waktu yang sama tetapi dengan

populasi berbeda. Misalnya, alasis negara (X,Y,Z) dan kelompok

konsumsi daging (tinggi, sedang, rendah) dari periode waktu yang sama

yaitu tahun 1970-1990.


2. Desain analisis seri waktu
Analisis seri waktu menggunakan periode waktu yang berbeda tetapi

dengan populasi yang sama. Misalnya, pada tahun- tahun 1995, 1996,

1997, 1998. Sedangkan populasi yang sama yaitu pada Kabupaten X.


30

Menunjukkan bila cakupan imunisasi meningkat setiap tahunnya, maka

angka insidensi campak menurun dari tahun 1995-1998.


Pada studi ekologi tidak ditemukan kelompok studi dengan kelompok

kontrol. Penting untuk diketahui adalah faktor resiko atau karakteristik yang

ingin diselidiki dan berada dalam keadaan konstan di masyarakat. Adapun

desain studi ekologi yaitu (Chandra, 2009):

Faktor resiko (+) Sakit (+)


Sampel Sakit (-)
Sakit (+)
Faktor resiko (+)
Sakit (+)

Gambar 1. Desain Ekologi

Ada tiga jenis hasil dalam rancangan korelasi yaitu (Djiwandono, 2015):

1. Pada studi yang menemukan tidak ada korelasi antara variabel-

variabelnya, data akan menunjukkan bahwa naik turunnya sebuah

variabel tidak diikuti secara sistematik oleh naik turunnya variabel yang

lain.
2. Pada korelasi poostif, naiknya suatu variabel diikuti pula dengan kenaikan

variabel lainnya.
3. Pada korelasi negatif, naiknya suatu variabel akan diikuti oleh turunnya

variabel satunya.

E. Kerangka Teori

Faktor Agen Faktor Penjamu Faktor Lingkungan

Bakteri Imunitas Biologis


Virus Kebiasaan hidup Fisik : Iklim (suhu
parasit tidak sehat udara, kelembaban,
dan curah hujan)
31

Perantara : Kontak langsung


Air dengan penderita
Udara
Makanan

Dampak
kesehatan:
diare

Sumber : Modifikasi John Gordon; Chandra, 2014


Gambar 2. Kerangka Teori
33

BAB III

KERANGKA KONSEP

B. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian

Manusia dalam kehidupannya secara alamiah berinteraksi dengan

lingkungan dan penyebab penyakit. Kondisi lingkungan yang kondusif dapat

meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan manusia. Sebaliknya bila kondisi

lingkungan buruk akan menurunkan kondisi kesehatan manusia sehingga

menjadi sakit. Hubungan antara penjamu, agen dan lingkungan ini merupakan

suatu kesatuan yang dinamis yang berada dalam keseimbangan pada

seseorang sehat. Misalnya saat kualitas lingkungan hidup menurun sampai

tingkat tertentu, agen penyakit dapat dengan mudah masuk kedalam tubuh

manusia dan menimbulkan sakit (Chandra, 2014).


Ketiga faktor tersebut yaitu faktor agen seperti bakteri, virus ataupun

parasit dan faktor penjamu antara lain imunitas yang rendah, kebiasaan hidup

tidak sehat, gizi yang kurang, dan faktor lingkungan antara lain lingkungan

biologis seperti lalat ataupun vektor lain dan perubahan iklim (suhu udara,

kelembaban, dan curah hujan) dapat menimbulkan dampak kesehatan seperti

diare melalui berbagai macam cara, yang pertama dapat melalui kontak

langsung dengan faeces penderita dan yang kedua melalui perantara yaitu

makanan atau sumber air yang tercemar. Faktor penjamu antara lain jika

imunitas seseorang terhadap sesuatu makanan yang sensitif juga dapat


34

menimbulkan mal absorbsi ataupun alergi sehingga terjadi diare, kebiasaan

hidup tidak sehat seperti tidak mencuci tangan sebelum makan dapat juga

menimbulkan diare karena kuman yang ikut masuk pada saat makan.

C. Kerangka Konsep

Penelitian ini dilakukan berdasarkan gambar, seperti yang digambarkan di

bawah ini :

Suhu Udara

Agen Kelembaban Kejadian diare


Penjamu
Curah Hujan
Lingkungan
Gambar 2. Kerangka Konsep

Keterangan :

------ : Tidak diteliti

: Variabel Independen

: Variabel Dependen
35

D. Defenisi Operasional

1. Angka Kejadian Diare


Angka kejadian diare yang dimaksud dalam penelitian ini adalah prevalensi

kejadian diare setiap bulan di Kota Makassar 2011 - 2015.

2. Suhu Udara
Suhu udara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kondisi temperatur

udara rata-rata Kota Makassar setiap bulannya pada tahun 2011 - 2015.
3. Kelembaban
Kelembaban udara yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu banyaknya

uap air yang terkandung dalam udara di Kota Makassar setiap bulannya

pada tahun 2011 - 2015.


4. Curah hujan
Curah hujan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rata-rata curah

hujan setiap bulannya di Kota Makassar pada tahun 2011 - 2015.

E. Hipotesis

1. Hipotesis Nol

a. Tidak Ada hubungan antara suhu udara dengan angka kejadian diare di

Kota Makassar tahun 2011 - 2015.

b. Tidak Ada hubungan antara curah hujan dengan angka kejadian diare

di Kota Makassar tahun 2011 - 2015.


36

c. Tidak Ada hubungan antara kelembaban dengan angka kejadian diare

di Kota Makassar tahun 2011 - 2015.

2. Hipotesis Alternatif

a. Ada hubungan antara suhu udara dengan angka kejadian diare di Kota

Makassar tahun 2011 - 2015.

b. Ada hubungan antara curah hujan dengan angka kejadian diare di Kota

Makassar tahun 2011 - 2015.

c. Ada hubungan antara kelembaban dengan angka kejadian diare di

Kota Makassar tahun 2011 - 2015.

BAB VI

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi ekologi menurut waktu adalah rancangan

studi yang digunakan untuk melihat hubungan frekuensi angka kesakitan atau
38

kematian karena suatu penyakit yang terjadi di masyarakat dari waktu ke

waktu. Kelebihan studi ini yaitu hanya memerlukan waktu yang pendek,

murah dan mudah dilakukan (Chandra, 2009). Sedangkan berdasarkan tingkat

analisis penelitian ini menggunakan metode analisis korelasi

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di wilayah Kota Makassar, dengan 14

kecamatan. Lokasi tersebut dijadikan lokasi penelitian dengan pertimbangan

kasus diare masuk dalam 10 penyakit tertinggi di Kota Makassar. Waktu

pelaksanaan pengambilan dan pengolahan data akan dilakukan salama bulan

Januari-Februari 2017.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah bulan dalam kurun waktu

2011 - 2015 dari data yang akan digunakan yaitu data suhu udara, curah

hujan, kelemaban udara, dan angka kejadian diare. Sampel dalam penelitian

ini adalah jumlah bulan dalam kurun waktu lima tahun yaitu tahun 2011 -

2015 sebanyak 12 bulan 5 tahun yaitu 60 bulan. Pada penelitian ini

dilakukan total sampling karena populasi diambil semua untuk analisis.

D. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Pengumpulan data penyakit diare dilakukan dengan mengambil data sekunder


39

dari Dinas Kesehatan Kota Makassar. Data diare memuat keseluruhan

kecamatan yang ada di Kota Makassar. Sedangkan data faktor iklim (suhu

udara, kelembaban, dan curah hujan,) di peroleh dari Balai Besar Badan

Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah IV Makassar berupa laporan

bulanan selama tahun 2011 - 2015.

E. Pengolahan dan Analisis Data

Data iklim berbentuk data bulanan dan data kasus diare didapatkan dalam

bentuk data bulanan yang diolah. Selanjutnya data dianalisis dengan metode

statistik program SPSS meliputi :

1. Analisis univariat
Analisis univariat secara statistik digunakan untuk mengetahui distribusi

frekuensi dari masing-masing variabel dalam penelitian ini meliputi

faktor iklim (suhu udara, kelembaban, dan curah hujan) dan kejadian

kasus diare di wilayah Kota Makassar.

2. Analisis bivariat
Analisis bivariat secara statistik dengan menggunakan korelasi untuk

menganalisis derajat atau keeratan hubungan antara faktor iklim yang

meliputi suhu udara, kelembaban, dan curah hujan denga kasus diare di

Kota Makassar serta mengetahui bentuk hubungan antara dua variabel. Uji

korelasi untuk menentukan koefisien korelasi (r), kuat hubungan dapat

diperoleh dengan rumus berikut :


40

XY
Y
X



n X2

Y 2


Y 2
n


n
r=

Keterangan :
r = koefisien korelasi
n = jumlah sampel
X = variabel independen
Y = variabel dependen
Nilai korelasi (r) berkisar 0 s.d 1 atau bila dengan disertai arahnya

nilainya -1 s.d +1.


r = 0, tidak ada hubungan linier
r = -1, hubungan linier negatif sempurna
r = +1, hubungan linier positif sempurna
Selain untuk mengetahui derajat/keeratan hubungan, korelasi dapat

juga untuk mengetahu i arah hubungan dua variabel. Hubungan dua

variabel dapat berpola positif maupun negatif. Hubungan positif terjadi

bila kenaikan suatu variabel independen diikuti kenaikan variabel

dependen yang lain, sedangkan hubungan negatif dapat terjadi bila

kenaikan suatu variabel independen diikuti penurunan variabel dependen

yang lain.
41

Koefisien korelasi yang telah dihasilkan merupakan langkah pertama

untuk menjelaskan derajat hubungan linier antara dua variabel. Kemudian

dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui apakah hubungan antara dua

variabel tersebut secara signifikan, dimana uji hipotesis ini dilakukan

dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel.

F. Penyajian Data

Data yang telah diolah dan dianalisis akan disajikan dalam bentuk grafik

dan tabel.

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................1
42

B. Rumusan Masalah..............................................................................................6
C. Tujuan Penelitian...............................................................................................7
D. Manfaat Penelitian.............................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................7
A. Tinjauan Umum tentang Diare...........................................................................7
B. Tinjauan Umum tentang Faktor iklim................................................................7
C. Tinjauan Umum tentang Perubahan Iklim dan Diare........................................7
D. Kerangka Teori...................................................................................................7
BAB III KERANGKA KONSEP..................................................................................7
A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian.................................................................7
B. Kerangka Konsep...............................................................................................7
C. Defenisi Operasional.........................................................................................7
D. Hipotesis............................................................................................................7
BAB VI METODE PENELITIAN................................................................................7
A. Jenis Penelitian..................................................................................................7
B. Waktu dan Lokasi Penelitian.............................................................................7
C. Populasi dan Sampel..........................................................................................7
D. Pengumpulan Data.............................................................................................7
E. Pengolahan dan Analisis Data............................................................................7
F. Penyajian Data...................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai