Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Diare

1. Defenisi Diare

Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek sampai

cair tiga kali atau lebih dalam sehari atau lebih dari normal yang biasanya

diikuti gejala infeksi gastrointestinal (WHO, 2003). Sedangkan menurut

Kemenkes tahun 2011, diare sebagai penyakit yang terjadi ketika terjadi

perubahan konsistensi feses dari frekuensi buang air besar. Seseorang

dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau bila

buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi

juga tidak berdarah dalam waktu 24 jam.


2. Klasifikasi Diare
Diare dibedakan menjadi dua berdasarkan waktu serangan, yaitu

(Widoyono, 2008):
a. Diare akut (< 2 minggu)
b. Diare kronik (> 2 minggu)
Penyakit diare dapat diklasifikasikan atas beberapa jenis

(Suharyono, 2008) :

a. Klasifikasi berdasarkan pada ada atau tidaknya infeksi


1) Diare infeksi spesifik; tifus abomen dan paratifus, disentri basil

(shigella), enterokolis stafilokok.


2) Diare non-spefisik; diare dietetik.
b. Berdasarkan organ yang terkena infkesi
1) Diare infeksi enternal atau diare karena infeksi diusus (bakteri,

virus, dan parasit)


2) Diare parenteral atau diare karen infeksi diluar usus (otitis

media, infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin dan

lainnya)
c. Ellis dan Mitchell tahun 1973 dalam Suharyono tahun 2008 juga

membagi diare berdasarkan lamanya penyakit diare yang diderita


1) Diare akut atau diare karen infeksi usus yang bersifat mendadak.

Diare ini dapat terjadi pada setiap umur.


2) Diare kronik, diare yang umumnya bersifat menahun.

3. Etiologi Penyakit Diare

Menurut WHO 2009, faktor yang mempengaruhi diare adalah :

a. Lingkungan fisik yang tidak saniter


b. Gizi kependudukan yang rendah/buruk
c. Pendidikan, sosial ekonomi dan perilaku masyarakat yang kurang

partisipatif.

Diare dapat disebabkan antara lain (WHO, 2009) :

a. Peradangan usus karena agent penyebab :


1) Bakteri : vibrio cholera, shigella, salmonella sp, E. Coli, Basillus

cereus, Clostridium perfringens, Staphylococcus sp.


2) Virus : rotavirus dan adenovirus
3) Parasit : protozoa, (entamoeba histolytica), Giardia lamdia,

Balantidium coli, Crystosporodium. Cacing perut : Ascaris,

Trichiuris, Strongyloides. Jamur : candida sp.


b. Keracunan makanan atau minuman yang disebabkan oleh bakteri

maupun bahan kimia.


c. Kurang gizi (malabsorbsi) yaitu kekurangan energi protein sehingga

ada gangguan penyerapan makanan pada saluran cerna.


d. Tidak tahan makan tertentu, seperti terhadap laktosa susu yang

dijumpai pada susu kaleng atau dapat juga karena alergi terhadap

susu sapi.
e. Immune defisiesi dan faktor-faktor lain seperti kurangnya persediaan

air bersih, kurangnya fasilitas sanitasi dan hygiene perorangan dan

pemberian makanan pendamping ASI


f. Sebab-sebab lain seperti sedang terapi obat antibiotik.

4. Epedemiologi
Manusia dalam kehidupannya secara alamiah berinteraksi dengan

lingkungannya serta penyebab penyakit. Pola kejadian penyakit menurut

John Gordon digambarkan melalui keseimbangan segitiga antara penjamu

(manusia), agent (faktor penyebab) dan environment (lingkungan).

Hubungan antara penjamu, agent dan lingkungan ini merupakan suatu

kesatuan yang dinamis yang berada dalam keseimbangan pada seseorang

sehat dan bila terjadi gangguan terhadap keseimbangan hubungan segitiga

akan menimbulkan sakit atau masalah kesehatan (Maryani & Muliani,

2010). Masalah kesehatan yang dapat timbul antara lain diare, hal ini dapat

dihat pada ketiga faktor tersebut yaitu :


a. (Agent) Penyebaran kuman yang menyebabkan diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral

antara lain melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja atau

kontak langsung dengan tinja penderita. Penyebaran tidak langsung

terjadi melalui perantara yaitu vektor binatang seperti lalat, tikus,

kecoa dan lainlain. Binatang tersebut dapat menjadi penyebaran

kuman tidak langsung karena kontak langsung dengan feses yang

mengandung kuman penyebab diare lalu mengkontaminasi makanan

dan minuman (Depkes, 2010).

b. Faktor penjamu
Faktor manusia sangat kopleks dalam proses terjadinya

penyakit. Faktor tersebut bergantung pada karakteristik yng dimiliki

masing-masing individu seperti usia, jenis kelamin ras, genetik,

pekerjaan nutrisi, status kekebalan, adat, gaya hidup, dan psikis

(Chandra, 2014).
c. Faktor lingkungan (Maryani & Muliani, 2010).
1) Lingkungan biologis seperti vektor penyakit tertentu terutama

penyakit menular
2) Keadaan iklim yang dapat mempengaruhi diare seperti curah

hujan yang tinggi dapat menimbulkan sumber air dapat tercemar.


3) Diare biasanya terjadi pada daerah dengan sanitasi lingkungan

yang buruk (Depkes, 2010)

5. Gejala dan Tanda Diare

Beberapa gejala dan tanda diare yaitu (Widoyono, 2008):


a. Gejala umum
1) Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare.
2) Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroentritis akut.
3) Demam, dapat mendahuluiatau tidak mendahului gejala diare.
4) Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun,

apatis dan bahkan gelisah.


b. Gejala spesifik
1) Vibrio cholera: diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan

berbau amis.
2) Disenteriform: tinja berlendir dan berdarah.

Menurut Widoyono tahun 2008, Diare yang berkepanjangan dapat

menyebabkan:

a. Dehidrasi (kekurangan cairan)


Tergantung dari persentase cairan tubuh yang hilang, dehidrasi dapat

terjadi ringan, sedang, atau berat.


b. Gangguan sirkulasi
Pada diare akut, kehilangan cairan dapat terjadi dalam waktu yang

singkat. Bila kehilangan caira lebih dari 10% berat badan, pasien

dapat mengalami syok atau presyok yang disebabkan berkurangnya

volume darah.
c. Gangguan asam-basa (asisdosis)
Hal ini terjadi akibat kehilangan elektrolit (bikarbonat) dari dalam

tubuh. Sebagai konpensasinya tubuh akan bernafas cepat untuk

membantu meningkatkan pH arteri.


d. Hipoglikemia (kadar gula darah rendah)
Hipoglikemia sering terjadi pada anak seelumnya mengalami

malnutrisi (kurang gizi). Hipoglikemia dapat mengakibatkan koma.

Penyebab yang pasti belum diketahui, kemungkinan karena cairan


ekstraseluler menjadi hipotonik dan air masuk ke dalam cairan

intraseluler sehingga terjadi edema otak yang mengakibatkan koma.


e. Gangguan gizi
Gangguan ini terjadi karena asupan makanan yang kurang dan output

yang berlebihan. Hal ini akan bertambah berat bila pemberian

makanan dihentikan serta sebelumnya penderita sudah mengalami

kekurangan gizi.

6. Pencegahan dan Penanganan diare

World Health Orgnanization (WHO) tahun 2005, menyebutkan

dalam penanganan penyakit diare terdapat beberapa cara penanganan

yang spesifik sesuai dengan tipe penyakit diare yang diderita. Namun,

secara umum terdapat beberapa penanganan yang sama. Penurunan kasus

diare membutuhkan interevensi untuk membuat anak tetap dan lebih sehat

sehingga terhindar kasus risiko penyakit diare. Intervensi yang dimaksud

seperti kebersihan lingkungan untuk menghindari penularan penyakit dan

berperilaku sehat setiap saat (WHO, 2009).


Banyak kasus kematian akibat penyakit diare dikarenakan

terjadinya dehidrasi yang berat. Sebuah pengetahuan penting telah

ditemukan bahwa menghindari kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi

pada penyakit diare pada tipe apapun, pada usia berapapun, kecuali diare

yang parah, bisa diselamatkan secara efektif lebih dari 90% kasus.

Menghindari kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi tersebut dapat

dilakukan secara mudah dengan menggunakan cairan pengganti seperti


pencampuran glukosa dan garam atau yang dikenal dengan nama Oral

Rehydration Salts (ORS) atau ORALIT (WHO, 2005)


Peningkatan dan perbaikan akses air bersih dan sanitasi yang

cukup, disertai promosi perilaku sehat dan bersih bisa membantu

mencegah anak dari risiko terkena penyakit diare. Fakta dilapangan

menemukan sekitar 88% kematian penyakit diare dikarenakan oleh

penggunaan air minum yang tidak aman, kurangnya sanitasi, dan masih

buruknya perilaku bersih (WHO, 2009).


Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010,

pencegahan diare dapat dilakukan antara lain :


a. Perilaku sehat
1) Menggunakan air bersih yang cukup
2) Mencuci tangan
3) Menggunakan jamban
4) Membuang tinja bayi yang benar
5) Pemberian imunisasi campak
b. Penyehatan lingkungan
1) Penyediaan air bersih
2) Pengelolaan sampah
3) Sarana pembuangan air limbah

B. Tinjauan Umum tentang Faktor iklim

1. Iklim dan Perubahan Iklim

Iklim merupakan kondisi cuaca dalam suatu periode yang panjang.

Iklim adalah nama yang kita berikan untuk menyebut pola-pola cuaca

dalam satu periode waktu (kodoatie & sjarief, 2010). Sedangkan cuaca

adalah keadaan atmosfer pada suatu saat. Iklim tidak sama dengan cuaca,

tapi lebih merupakan pola rata-rata dari keadaan cuaca untuk suatu daerah
tertentu. Cuaca menggambarkan keadaan atmosfer dalam jangka waktu

pendek (Achmadi, 2005).

Menurut Miller dan Spoolman (2010) poin penting yang sering diteliti

sekarang terkait masalah perubahan ilkim baik itu secara global, regional

maupun lokal adalah mengenai curah hujan dan suhu rata-rata. Terdapat

beberapa faktor yang berperan dalam menyebabkan perubahan iklim.

Faktor-faktor tersebut antara lain terdapatnya variasi radiasi yang

dilepaskan matahari, perubahan orbit bumi, perubahan bentang alam, dan

perubahan konsentrasi beberapa gas di atmosfer bumi (Aquado & Burt,

2001).

Perubahan iklim akan sangat bervariasi. Hampir semua tempat akan

menjadi panas, namun beberapa tempat akan menjadi lebih dingin.

Hampir semua wilayah di daratan dari daerah terpanas sampai daerah

terdingin, diperkirakan akan mengalami pemanasan melebihi dari rata-rata

pemanasan bumi. Pemanasan akan terjadi paling kuat pada daerah bagian

dalam benua karena sirkulasi lautan akan mengurangi pengaruh

pemanasan di daerah pantai (Pearce, 2003 dalam kodoatie & sjarief,

2010).

Perubahan iklim dipengaruhi oleh unsur-unsur sebagai berikut :

a. Suhu atau temperatur udara

Suhu atau temperatur udara adalah derajat panas dari aktivitas

molekul dalam atmosfer. Suhu dikatakan sebagai derajat panas atau


dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan

thermometer (Ance, 1986). Biasanya pengukuran suhu atau

temperatur udara dinyatakan dalam skala celcius (C), Reamur (R)

dan Fahrenheit (F) (Ernyasih, 2012).

Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata setiap periode 24

jam. Fluktuasi itu berkaitan erat dengan proses pertukaran energi

yang berlangsung di atmosfer. Fluktuasi suhu akan terganggu jika

turbulensi udara atau pergerakkan massa udara menjadi sangat aktif,

misalnya pada kondisi kecepatan angin tinggi. Jika pergerakkan

massa udara tersebut melibatkan seluruh lapisan udara dekat

permukaan, maka suhu udara pada lapisan tersebut relative homogen

(Ernyasih, 2012).

Suhu udara merupakan unsur iklim yang sangat penting. Suhu

udara berubah sesuai dengan tempat dan waktu (Tjasyono, 1992).

Tempat yang terbuka, suhunya berbeda dengan tempat yang di

gedung, demikian juga suhu diladang yang berumput berbeda dengan

ladang yang dibajak. Pegukuran suhu udara hanya memperoleh satu

nilai yang menyatakan nilai rata-rata suhu atmosfir. Dua skala yang

sering dipakai dalam pengukuran suhu udara adalah skala Fahrenheit

yang dipakai di Negara Inggris dan skala Celcius yang dipakai oleh

sebagian besar Negara dunia. Pada umumnya suhu maksimum terjadi

sesudah tengah hari, biasanya antara jam 12.00 sampai jam 14.00 dan
suhu minimum terjadi pada jam 06.00 waktu lokal dan sekitar

matahari terbit.

Suhu udara harian rata-rata didefinisikan sebagai rata-rata

pengamatan selama 4 jam (satu hari) yang dilakukan tiap jam. Secara

kasar, suhu udara harian rata-rata dapat dihitung dengan menjumlah

suhu maksimum dan suhu minimum lalu dibagi dua. Suhu bulanan

rata-rata adalah jumlah dari suhu harian dalam satu bulan dibagi

dengan jumlah hari dalam bulan tersebut (Tjasyono, 2004).

b. Kelembaban

Istilah kelembaban udara dapat diartikan sebagai banyaknya

jumlah kandungan uap air yang berada didalam udara. Menurut

Ahrens tahun 2009, didalam atmosfer terdapat sebuah proses

sirkulasi yang tidak pernah berakhir. Kita mengetahui bahwa 70%

permukaan bumi ini adalah air atau lautan, dan dapat ditarik sebuah

pemikiran bahwa sirkulasi yang tidak terputus tadi berawal dari

lautan.

Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung

dalam massa udara pada saat dan tempat tertentu. Menurut Lakitan

tahun 2002, kelembaban udara mempunyai beberapa istilah yaitu :

1) Kelembaban mutlak atau kelembaban absolut, yaitu total massa.


2) Kelembaban spesifik yaitu perbandingan antara massa uap air

uap air persatuan volume udara dinyatakan dalam satuan kg/m


dengan massa udara lembab dalam satuan volume udara tertentu,

dinyatakan dalam g/kg.


3) Kelembaban nisbi atau kelembaban relatif, yaitu perbandingan

antara tekanan uap air actual (yang terukur) dengan tekanan uap

air pada kondisi jenuh, dinyatakan dalam persen.

Besarnya kelembaban suatu daerah merupakan faktor yang dapat

menstimulasi hujan. Data klimatologi untuk kelembaban udara yang

umum dilaporkan adalah kelembaban relatif yang diukur dengan

psikometer atau higrometer. Kelembaban relative berubah sesuai

dengan tempat dan waktu. Menjelang tengah hari, kelembaban relatif

berangsur-angsur turun kemudian bertambah besar pada sore hari

sampai menjelang pagi (Tjasyono, 2004).

2. Penyebab Perubahan iklim

Menurut Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan

(2014), bahawa penyebab perubahan ikilm atau pemanasan global adalah

gas rumah kaca. Gas rumah kaca (GRK) merupakan gas di atmosfer yang

berfungsi menyerap radiasi infra merah dan ikut menentukan suhu

atmosfer. Adanya berbagai aktivitas manusia, khususnya sejak era pra-

industri emisi gas rumah kaca ke atmosfer mengalami peningkatan yang

sangat tinggi sehingga meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca

diatmosfer.
Emisi gas rumah kaca dihasilkan dari berbagai aktivitas industri.

Sumber-sumber emisi utama adalah dilepaskannya gas rumah kaca dari

proses-proses industri yang secara kimiawi atau fisik melakukan

transformasi suatu bahan/material menjadi bahan lain (misal blast furnace

di industri besi dan baja, produksi amonia dan produk-produk kimia

lainnya dari bahan baku berupa bahan bakar fosil,serta proses produksi

semen). Proses-proses tersebut dapat menghasilkan berbagai gas rumah

kaca diantaranya karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida

(N2O), hidrofluorokarbon (HFC) dan perfluorokarbon (PFC) (BLHD

Provinsi SulSel, 2013).

Ada beberapa gas rumah kaca yang lain. salah satunya adalah metan

yang dapat dihasilkan dari lahan rawa dan sawah serta dari tumpukkan

sampah dan kotoran ternak. Gas-gas rumah kaca lainnya, meski jumlahnya

lebih sedikit antara lain nitrogen oksida dan sulfur heksaflorida yang

umumnya digunakan pada lemari pendingin. Negara-negara di seluruh

dunia tanpa henti membuang gas-gas ini dalam jumlah besar ke atmosfer.

Negara-negara maju mengeluarkan emisi lebih banyak per kapita,

terutama karena mereka memiliki lebih banyak kendaraan atau secara

umum membakar lebih banyak bahan bakar fosil, tapi begitu

Negaranegara berkembang mulai membangun, mereka juga menyusul

dalam sumbangan emisi gas-gas ini (BLHD Provinsi Sul-Sel, 2013).


3. Dampak Perubahan Iklim bagi Kesehatan

Perubahan iklim di Indonesia kedepan ditandai dengan (ICCSR,

2010):

a. Peningkatan curah hujan yang cukup signifikan pada bulan-bulan

tertentu dengan peningkatan variabilitas di daerah tertentu


b. Penurunan curah hujan di bulan-bulan kering, sementara pada

bulanbulan. Musim basah curah hujan meningkat.


c. Kenaikan temperature permukaan rata-rata

Bahaya perubahan iklim mempengaruhi kesehatan melalui jalur

kontaminasi mikroba dan transmisi dinamis, selain itu juga perubahan

iklim mempengaruhi agroekosistem dan hidrologi serta sosial ekonomi,

demografi. Proses tersebut dipengaruhi juga oleh modulasi berupa

kondidi sosial, ekonomi dan pembangunan.

Bahaya perubahan iklim dapat mempengaruhi manusia dengan dua

cara, yaitu secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan iklim yang

dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara langsungberupa paparan

langsung dari perubahan pola cuaca (temperature, curah hujan,

kelembaban, kecepatan angin, kenaikan muka air laut dan peningkatan

cuaca ekstrim) yang dapat menimbulkan dampak kesehatan dan lebih

parah lagi adalah adalah menimbulkan kematian sedangkan yang

mempengaruhi kesehatan manusia secara tidak langsung adalah

mempengaruhi faktor lingkungan berupa perubahan kualitas lingkungan

(air, udara dan makanan) yang nantinya akan memberikan dampak


kesehatan berupa penyakit bawaan makanan dan air seperti diare. Selain

itu perubahan iklim dapat memengaruhi perubahan social dan ekonomi

yang akan memberikan dampak juga terhadap kesehatan (ICCSR, 2010).

C. Tinjauan Umum tentang Perubahan Iklim dan Diare

1. Pengaruh Suhu Udara terhadap Penyakit Diare

Perubahan suhu berhubungan berhubungan dengan perubahan

dinamika siklus terhadap spesies vektor dan organisme pathogen seperti

protozoa, bakteri dan virus sehingga akan meningkatkan potensi transmisi

penyebab penyakit. Pemanasan global merupakan petunjuk penting untuk

perubahan dilautan karena dapat merubah resiko biotoksin yang dapat

meracuni manusia dari konsumsi ikan dan kerang-kerangan, kenaikan

temperatur air permukaan laut akan meningkatkan kejadian ledakan

perkembangan ganggang yang mungkin mempengaruhi kesehatan

manusia seperti kolera dan juga kerusakan ekologi dan ekonomi (WHO,

2003).

Pada tahun 1997 ketika suhu lebih tinggi dari suhu normal selama

kejadian El Nino, banyak pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan

diare dan dehidrasi di Lima, Peru. Analisis time series data harian Rumah

Sakit menguatkan efek suhu pada kunjungan Rumah Sakit karena diare

dengan estimasi peningkatan 8% setiap peningkatan suhu 1 (WHO, 2003).

Penelitian ini juga dilakukan Kolstad & Johansoon tahun 2011 dalam
Kurniawan 2012, peningkatan suhu 1C akan menyebabkan peningkatan

kasus diare sebsar 5% dan diestimasikan perubahan suhu sebesar 1C

menyebabkan peningkatan kasus diare sebesar 0-10%. Lebih dari 90%

kasus kematian karena penyakit diare terjadi di Afrika, Eastern

Mediterania, dan Asia Tenggara dan sekitar 17% dari kematian tersebut

terjadi pada anak-anak.

Penularan penyakit saluran cerna seperti diare bukan hanya melalui

kontaminasi air, tapi juga dapat meningkat karena suhu tinggi melalui efek

langsung pada pertumbuhan organisme di lingkungan (Lapan, 2009 dalam

Oktavia dkk, 2015). Peningkatan suhu yang tinggi merupakan salah satu

faktor risiko yang independen yang dapat menyebabkan rate atau angka

kejadian diare termasuk salmonela dan kolera. Kasus kejadian luar biasa

penyakit kolera yang terjadi di Bangladesh lebih lanjut memiliki

keterkaitan dengan suhu permukaan air laut dan banyaknya plankton yang

diduga menjadi reservoir bagi bakteri patogen penyakit kolera (Nerlander,

2009 dalam Kurniawan 2012).

2. Pengaruh Kelembaban terhadap Penyakit Diare

Unsur iklim yang lain yang juga menjadi faktor penentu sebuah iklim

adalah kelembaban relatif. Kelembaban relatif merupakan sebuah ukuran

jumlah kandungan uap air yang berada di dalam udara. Kelembaban

berkaitan dengan penyakit diare (Kurniawan, 2012). Pada musim hujan,


kelembaban tinggi serta intensitas sinar matahari yang kurang dapat

menyebabkan mikroorganisme penyebab diare berkembang biak dengan

baik dan membuat perkembangan lebih cepat untuk vektor seperti tikus,

kecoa dan lalat (WHO, 2003).

Di Indonesia perubahan iklim yang paling turut andil yaitu curah

hujan. Curah hujan yang tinggi di wilayah tropik pada umumnya

dihasilkan dari proses konveksi dan pembentukan awan hujan panas.

Kondisi tidak stabil terjadi jika udara yang naik lembab dan lapse rate

udara lingkungannya berada antara lapse rate adiabatik kering dan lapse

rate adiabatik jenuh. Jadi kestabilan udara ditentukan oleh kondisi

kelembaban. Kelembaban yang tinggi menyebabkan terdjadinya penyakit

(Pabalik dkk, 2015).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hashizume et al., tahun 2007

dalam Utina dkk tahun 2014, secara garis besar kelembaban relatif tidak

menujukkan adanya hubungan yang berarti dengan kejadian kasus diare

yang terjadi, namun setelah dilakukan pengujian kembali dengan

penyesuaian terhadap beberapa variabel lain, seperti suhu, pola musim,

dan faktor pendukung lainya, kelembaban relatif menunjukkan hubungan

yang negatif. Untuk penurunan kelembaban relatif 1%, kejadian kasus

diare akan meningkat sampai 2,6% (95% CI 0,0-5,3).


3. Pengaruh Curah Hujan terhadap Penyakit Diare

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup tahun 2004 dalam Ernayasih

tahun 2012, pada tipe penyakit diare tropik, kejadian puncak terjadi pada

musim penghujan. Banjir dan kemarau berhubungan dengan peningkatan

risiko kejadian diare. Hal tersebut dapat terjadi karena curah hujan yang

tinggi dapat menyebabkan banjir sehingga menyebabkan

terkontaminasinya persediaan air bersih dan menimbulkan wabah penyakit

diare dan leptospirosis, pada saat kondisi kemarau panjang dapat

mengurangi persediaan air bersih sehingga meningkatkan risiko penyakit

yang berhubungan dengan hygiene seperti diare.

Kelangkaan air bersih dan curah hujan yang ekstrim yang dapat

menyebabkan banjir telah menunjukkan hubungan dengan kejadian

penyakit diare dibeberapa wilayah di bumi. Pada kasus-kasus yang

tercatat, dibeberapa wilayah yang sering dilanda banjir, angka kejadian

kasus diare termasuk kolera menunjukkan peningkatan setelah banjir

(Nerlander, 2009 dalam Kurniawan, 2012). Curah hujan yang tinggi dapat

membawa agent mikrobiologi ke dalam sumber air minum menyebabkan

kejadian giardiasis, amoebiasis, typoid dan lain-lain (WHO, 2003).

Pola hujan dapat mempengaruhi penyebaran berbagai organisme

yang dapat menyebarkan penyakit, hujan dapat mencemari air dengan cara

memindahkan kotoran manusia dan hewan ke air tanah. Organisme yang


ditemukan antara lain kriptosporodium, giardia dan E. Coli yang dapat

menimbulkan penyakit seperti diare (Lapan, 2009 dalam Oktavia 2015).

Anda mungkin juga menyukai