Awan Santosa1
1) Golongan Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang menguasai
dan menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di negeri jajahan
mereka.
2) Golongan menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya
dari etnis Tionghoa (China), yang mendistrubsikan hasil-hasil produksi masyarakat
jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini terdapat 10%
bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil perekonomian karena
mempunyai kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada di posisi paling bawah
pada lapisan ini.
3) Golongan bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada
perekonomian rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil
produksi mereka karena berada dalam sistem ekonomi kolonialis.
Hatta memandang bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya
disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat
harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi
1
Dosen Negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta dan Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM email:
satriaegalita@yahoo.com, web: www.ekonomikerakyatan.com, hp. 0816-169-1650
1
nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi
nasional adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat
Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air.
Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah
demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum
merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa
ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib
manusia (Hatta, 1960).
Pasca krisis moneter 1997/1998 konsep demokrasi ekonomi dijadikan sebagai alternatif
solusi melalui pembuatan TAP MPR No. VI/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi
Ekonomi. Pada saat ini pun, seiring pelaksanaan otonomi daerah (Otda) banyak daerah secara
eksplisit menyatakan demokrasi ekonomi sebagai bagian dalam visi, misi, dan strategi
pembangunannya. Kenyataan ini menunjukkan makin pentingnya orientasi pembangunan pada
kemakmuran masyarakat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi tujuan
demokrasi ekonomi (Mubyarto, 1997).
Namun perkembangan pemikiran ke arah demokrasi ekonomi ini tidak diikuti perkembangan
bangunan konsep, teori, dan operasionalisasi demokrasi ekonomi. Sampai saat ini belum ada suatu
indikator yang menjadi ukuran penyelenggaraan demokrasi ekonomi baik di dalam maupun luar
negeri. Demokrasi ekonomi masih sebatas konsep yang besifat filosofis, normatif, dan politis. Belum
tersedianya model dan alat ukur ini menjadikan agenda-agenda pembangunan daerah yang berbasis
demokrasi ekonomi terlalu abstrak dan tidak memiliki arah yang jelas.
Kondisi ini tidak terlepas dari bias konseptual di mana pemahaman publik terhadap
demokrasi terdistorsi hanya sebatas demokrasi pada dimensi politik (demokrasi politik). Kondisi yang
merupakan fenomena global ini mendorong ketimpangan perkembangan konsepsi demokrasi di
dunia, terutama di negara-negara bekas jajahan seperti halnya Indonesia. Saat ini terdapat setidaknya
delapan Indeks Demokrasi Politik yang mengukur kebebasan politik, pemilu, partisipasi rakyat, dan
fungsi lembaga negara (Ericcson & Lane, 2002). Baru tataran demokrasi politik inilah yang
dikorelasikan dengan indikator sosial-ekonomi seperti pertumbuhan dan pembangunan manusia.
Korelasi tersebut dapat ditemukan pada berbagai model yang dikembangkan berdasar studi
empiris di negara-negara tertentu. Model Virtuous Triangle melihat bahwa pembangunan manusia
akan menjadi jalan bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi dan demokrasi yang selanjutnya akan
berkorelasi positif satu sama lain (UNSFIR dalam Kuncoro, 2004). Selain itu terdapat model Cruel
Choice plus Trickle Down yang meletakkan pertumbuhan ekonomi sebagai prasyarat munculnya
demokrasi dan pembangunan manusia.
Adapun model pertumbuhan endogen dan demokrasi versi Balla melihat posisi pembangunan
manusia sebagai variabel paling penting dalam menunjang terjadinya pertumbuhan ekonomi yang
akan menjadi prasyarat bagi berkembangnya demokrasi. Model yang agak berbeda dikembangkan
oleh Balla, di mana demokrasi justru menjadi pilar kunci bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi
yang pada akhirnya akan menghasilkan perbaikan kualitas pembangunan manusia di suatu negara.
2
Sementara itu, indikator spesifik yang sudah ada justru tersedia untuk mengukur liberalisasi
ekonomi dunia, yaitu Index of Economic Freedom (The Heritage Foundation, 1980). Indeks ini
mengukur derajat kebebasan ekonomi yang berorientasi pada kemakmuran individual melalui
kebebasan dalam bisnis, fiskal, moneter, perdagangan, investasi, keuangan, pemerintahan, korupsi,
HAKI, dan kebebasan buruh. Indeks ini sudah menjadi variabel bebas yang dikorelasikan dengan
GDP perkapita, pengangguran, dan inflasi.
Dalam konteks Indonesia, bagaimana rumusan (konsepsi) dasar penyelenggaran ekonomi
kerakyatan?
3
Peranan anggota-anggota masyarakat dalam penguasaan dan kontrol perekonomian hanya
dimungkinkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat didorong melalui
pendidikan. Pasal 31 yang berbunyi setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan
mengindikasikan pentingnya akses pendidikan, yang juga perlu didukung akses terhadap kesehatan,
yang wajib disediakan oleh negara dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Angota-
anggota masyarakat yang terdidik dan sehat akan mampu berpengaruh besar dalam perekonomian
nasional.
Penguasaan dan kontrol anggota-anggota masyarakat terhadap faktor produksi
diformulasikan melalui peranan negara yang vital dalam perekonomian, yang tercantum dalam ayat 2
dan 3 pasal 33 UUD 1945. Dalam rangka demokrasi ekonomi maka negara yang merupakan
perwujudan anggota-anggota masyarakat menguasai dan memegang kontrol pengelolaan atas cabang-
cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
Literatur legal lain yang berisi muatan spesifik perihal demokrasi ekonomi adalah Ketetapan
MPR No XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Dalam TAP
MPR ini disebutkan bahwa demokrasi ekonomi diselenggarakan melalui dukungan pengembangan
(keberpihakan) yang jelas dan tegas pemerintah kepada pelaku ekonomi rakyat (usaha kecil,
menengah, dan koperasi) tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan BUMN. Wujud dukungan
(keberpihakan) tersebut adalah peningkatan akses mereka terhadap SDA, tanah (lahan), dan sumber
dana (modal). Di samping itu, demokrasi ekonomi bagi pekerja diselenggarakan melalui kesempatan
pekerja untuk memiliki saham perusahaan.
Bagaimana realita dari cita-cita konstitusional ekonomi kerakyatan tersebut?
4
Hal ini aneh mengingat tersedianya banyak modal domestik di Indonesia. Pada tahun 2006
total dana simpanan seluruh Bank Umum di Indonesia sebesar Rp. 1.199 trilyun. Sementara yang
disalurkan sebagai kredit baru sebesar Rp. 723,72 trilyun (60,3%). Jumlah simpanan bentuk SBI bank
umum. per Desember 2006 sebesar Rp 343,455 triliun, meningkat pada Februari 2007 menjadi Rp.
364,11 triliun (28,6% dari total simpanan).
Jumlah simpanan BPD se-Indonesia pada tahun 2007 sebesar Rp. 129,63 trlyun, yang sebesar
34,52 trilyun disimpan dalam SBI Bank Indonesia (26,6%) (Koran Sindo, 2007). Dana murni Pemda
di instrumen Bank Indonesia sendiri sekitar Rp. 43 trilyun (ibid).
Di tengah jalan, stabilitas ekonomi makro kiranya belum mewujud pada kemandirian dan
kedaulatan ekonomi nasional. Alih-alih itu, jalan ekonomi neoliberal yang ditempuh melalui
deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi selama ini kian mengarahkan kondisi (struktur) perekonomian
Indonesia ke dalam proses asingisasi.
Demikian kegelisahan bersama kita. Jalan ekonomi neoliberal yang diterapkkan hingga rezim
SBY-JK saat ini telah tidak dapat dibedakan secara jelas dengan jalan ekonomi kolonial
(neokolonialisme). Jalan ekonomi neoliberal yang senantiasa ditempuh pemerintah telah
mengembalikan hegemoni modal internasional yang telah coba dirubuhkan oleh Bapak Pendiri
Bangsa.
Di sisi lain, jalan ekonomi neoliberal SBY-JK telah kian menjauh dari perwujudan demokrasi
ekonomi. Ketimpangan struktural ekonomi Indonesia justru kian melebar.
Apakah hasil pilihan jalan tersebut membawa kesejahteraan dan kedaulatan rakyat Indonesia?
Bukankah tidak maju sebuah bangsa sebelum menghapus betul sifat kolonial yang ada dalam tubuh
ekonomi-politiknya?
Di ujung jalan, telah terjadi kemerosotan kesejahteraan rakyat, meluasnya ketimpangan,
kehancuran lingkungan, dan degradasi moral (nilai sosial) yang menunjukkan kepada kita bagaimana
dahsyatnya daya rusak ekonomi neoliberal yang telah menguras kekayaan SDA yang melimpah ruah
di Indonesia. Hingga akhir 2008, jumlah pengangguran pun masih sekitar 9 juta jiwa atau 9,75%,
sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 15,4%, jauh dari target
yang ditetapkan pemerintah (8%). Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang
diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun
2005.
Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun
2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari
44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Hingga akhir 2007 ini, jumlah pengangguran pun masih
sekitar 10,55 juta jiwa atau 9,75%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta
orang atau 17,3%, jauh dari target yang ditetapkan SBY-JK. Sebuah paradoks di negeri yang sangat
kaya SDA!
Sementara itu, Nilai Tukar Petani sekarang merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir.
Pada saat yang sama kesejahteraan buruh industri juga merosot, di mana upah riel buruh industri juga
tumbuh negatif selama satu tahun terakhir. Kemerosotan sektor riil nampak pada merosotnya Indek
Produksi Padat Karya, seperti tekstil sebesar 11%, pakaian jadi sebesar 13%, dan barang dari logam
sebesar 10% (Forum Rektor Indonesia, 2007).
Kehancuran lingkungan hidup yang memakan korban jiwa terus berlansung akibat over-
eksploitasi terindikasikan dengan berbagai bencana (seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran
hutan), pencemaran air, sungai, dan udara. Ketidakberdayaan pemerintahan SBY-JK untuk mengelola
lingkungan terkait dengan liberalisasi SDA di mana banyak aset-aset SDA yang dikuasai oleh modal
asing dan domestik melalui kontrak-kontrak karya.
Hal ini belum termasuk kehancuran moral, akhlak, dan kohesi sosial bangsa Indonesia karena
ketertundukan pada spirit materialisme dan individualisme yang diusung ekonomi neoliberal. Mal-
mal dan tempat hiburan malam berkembang sebagai upaya untuk menguasai pasar (konsumen) yang
harus dilucuti atribut kearifan lokal, nasionalisme, dan keber-agamaan-nya
5
Angka-angka statistik kiranya tidak akan menggambarkan kepedihan nasib rakyat miskin
yang merasakan kian susahnya hidup saat ini. Visualisasi kepedihan ini berupa busung lapar, gizi
buruk, kaum miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosial
ekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 63 tahun merdeka.
Sebuah paradoks luar biasa di negeri kaya SDA ini yang (masih) harus mengalami nasib
yang menyedihkan berupa krisis minyak tanah, krisis listrik, krisis pangan, krisis modal, dan
berbagai harga kebutuhan pokok (migor, susu, dan kedelai) yang makin membumbung tinggi. Biaya
hidup terus meningkat dan untuk banyak rumah tangga (miskin) menjadi makin tak terjangkau lagi.
Bagaimana keluar dari jalan buntu selama ini?
6
7