Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

UVEITIS

Melisa Ramadhani

2012730139

Pembimbing : dr. Riana Azmi, Sp.M

KEPANITERAAN BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA RUMAH SAKIT

UMUM DAERAH SEKARWANGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN

KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2016
PENDAHULUAN

Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus uvealis yang
meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid yang disebabkan oleh infeksi, trauma,
neoplasia, atau proses autoimun. Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang
mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi. Peradangan pada uvea dapat
hanya mengenai bagian depan jaringan uvea atau iris yang disebut iritis. Bila mengenai badan
tengah disebut siklitis. Iritis dengan siklitis disebut iridosiklitis atau disebut juga dengan uveitis
anterior dan merupakan bentuk uveitis tersering. Dan bila mengenai lapisan koroid disebut
uveitis posterior atau koroiditis. Uveitis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada dewasa muda
dan usia pertengahan. Ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan yang kabur,
mata merah tanpa sekret mata purulen dan pupil kecil atau ireguler. Insiden uveitis di Amerika
Serikat dan di seluruh dunia diperkirakan sebesar 15 kasus/100.000 penduduk dengan
perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Uveitis merupakan salah satu penyebab
kebutaan. Morbiditas akibat uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga
menimbulkan peningkatan tekanan intraokuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain itu,
dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu, diperlukan penanganan uveitis
yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang
menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat.
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI UVEA

Uvea atau traktus uvealis merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang terdiri
atas iris, badan siliar, dan koroid.

Iris merupakan suatu membran datar sebagai lanjutan dari badan siliar ke depan
(anterior). Di bagian tengah iris terdapat lubang yang disebut pupil yang berfungsi untuk
mengatur besarnya sinar yang masuk mata. Pada iris terdapat 2 macam otot yang mengatur
besarnya pupil, yaitu :
1. Musculus dilatator yang melebarkan pupil
2. Musculus sfingter yang mengecilkan pupil
Kedua otot tersebut memelihara ketegangan iris sehingga tetap tergelar datar. Dalam
keadaan normal, pupil kanan dan kiri kira-kira sama besarnya, keadaan ini disebut isokoria.
Apabila ukuran pupil kanan dan kiri tidak sama besar, keadaan ini disebut anisokoria.
Badan siliar berbentuk cincin yang terdapat di sebelah dalam dari tempat tepi kornea
melekat di sklera. Badan siliar merupakan bagian uvea yang terletak antara iris dan koroid.
Badan siliar menghasilkan humor akuos. Humor akuos ini sangat menentukan tekanan bola mata
(tekanan intraokular = TIO). Humor akuos mengalir melalui kamera okuli posterior ke kamera
okuli anterior, kemudian lewat trabekulum meshwork menuju canalis Schlemm, selanjutnya
menuju kanalis kolektor masuk ke dalam vena episklera untuk kembali ke jantung.
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak antara retina (di sebelah dalam) dan
sklera (di sebelah luar). Koroid berbentuk mangkuk yang tepi depannya berada di cincin badan
siliar. Koroid adalah jaringan vascular yang terdiri atas anyaman pembuluh darah. Retina tidak
menimpali (overlapping) seluruh koroid, tetapi berhenti beberapa millimeter sebelum badan
siliar. Bagian koroid yang tidak terselubungi retina disebut pars plana.

II. ETIOLOGI
Penyebab spesifik infeksi
a. Uveitis tuberkulosis
Tuberkulosis dapat menyebabkan berbagai jenis uveitis, tetapi memerlukan
perhatian khusus bila terdapat keratic precipitate granulomatosa atau granuloma
koroid atau granuloma iris. Granuloma-granuloma atau tuberkel, tersebut
mengandung sel epithelial dan sel raksasa. Nekrosis perkijuan yang khas ditemukan
pada pemeriksaan histopatologik. Walaupun infeksi berasal dari suatu focus primer
di suatu tempat di dalam tubuh, uveitis tuberkulosis jarang ditemukan pada pasien-
pasien tuberkulosis paru aktif. Temuan yang khas pada pasien ini adanya mutton fat
keratic precipitate, nodul busacca dan posterior sinekia.
b. Iridosiklitis heterokromik fuchs (Sindrom Uveitis Fuchs)
Iridosiklitis heterokromik fuchs adalah suatu kelainan yang jarang, tidak
sampai 5% dari semua kasus uveitis. Basanya mengenai dewasa muda, khususnya
perempuan. Penyakit ini awalnya samar dan muncul pada decade ketiga atau
keempat. Kemerahan, nyeri, dan fotofobia hanya minimal. Pasien biasanya
mengeluhkan penglihatan kabur, yang disebabkan oleh katarak. Iris heterokromia,
tampak jelas pada cahaya alami, dapat tersembunyi dan sering kali paling jelas
terlihat di atas muskulus spinhcter pupil. Keratic precipitate pada penyakit ini
bentuknya stelata, kecil, dan tersebar di seluruh endotel. Pada pemeriksaan akan
idapatkan 1+ - 2+ sel flare. Pembuluh darah teleangiektatik terlihat di sudut bilik
mata pada gonioskopi. Sinekia posterior jarang terjadi, tetapi bisa timbul pada
beberapa pasien pascaoperasi katarak. Suatu reaksi vitreus bisa ditemukan pada 10-
20% pasien. Hilangnya pigmen stroma cenderung menjadikan mata yang
berpigmentasi padat tampak hipokromik; sebaliknya, atrofi stroma pada iris
berpigmen-sedikit dapat menampakkan epitel berpigmen di baliknya, di permukaan
posterior iris, dan menyebabkan hiperkromia paradoksikal. Secara patologis, iris dan
korps silairis menunjukkan atrofi sedang dengan depigmentasi berbentuk bercak dan
infiltrasi difus sel-sel plasma dan limfosit.
Akhirnya, katarak akan timbul pada sebagian besar pasien; glaukoma lebih
jarang, tetapi bisa terjadi pada 10-15% kasus. Prognosisnya baik.
c. Sarkoidosis
Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa kronik yang belum diketahui
penyebabnya; biasanya terjadi pada decade keempat atau kelima kehidupan.
Kelainan paru ditemukan pada lebih dari 90% pasien. Nyatanya, hamper seluruh
system organ tubuh dapat terlibat, termasuk kulit, tulang, hati, limpa, system saraf
pusat, dan mata. Reaksi jaringan yang terjadi jauh lebih ringan daripada uveitis
tuberkulosis dan jarang disertai perkijaun. Rekasi alergi pada uji kulit menukung
diagnosis sarkoidosis. Bila kelenjar parotis terkena, penyakit ini disebut demam
uveoparotis (Heerfordt), bila kelenjar lakrimal terkena disebut sindrom Mikulicz.
Uveitis terjadi pada sekitar 25% pasien sarkoidosis sistemik. Sama halnya
dengan tuberkulosis, setiap jenis uveitis bisa ditemukan, tetapi sarkoid memerlukan
perhatian khusus bila uveitisnya granulomatosa atau terdapat flebitis retina, terutama
pada pasien-pasien ras kulit hitam.
d. Toksoplasmosis okular
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, suatu protozoa intrasel
obligat. Lesi ocular mungkin didapat in utero atau muncul sesudah infeksi sistemik.
Gejala-gejala konstitusional mungkin ringan dan mudah terlewatkan. Kucing
peliharaan dan spesies kucing lainnya berperan sebagai hospes definitive parasite ini.
Wanita-rentan yang terkena selama kehamilan dapat menularkan penyakit ke
janinnya, yang bisa berakibat fatal. Sumber infeksi pada manusia adalah ookista di
tanah atau debu di udara, daging kurang matang yang mengadnugn bradiozit
(parasite bentuk kista), dan takizoit (bentuk proliferative) yang ditularkan melalui
plasenta. Pasien retinokoroiditis mengelihkan floaters dan penglihatan kabur. Pada
kasus-kasus yang berat, dapat pula disertai nyeri dan fotofobia. Lesi okularnya
terdiri atas sejumlah daerah putih halus retinokoroiditis nekrotik fokal yang bisa
kecil atau besar, tungga atau multiple. Lesi edema yang aktif sering didapatkan
bersebelahan dengan parut retina yang telah sembuh. Pada retina dapat terjadi
vaskulitis dan perdarahan. Edema macula kistoid bisa menyertai lesi pada macula
atau didekatnya. Iridosiklitis sering terlihat pada pasien-pasien dengan infeksi berat
dan tekanan intraokularnya bisa meningkat.
e. Sifilis
Sifilis merupakan penyebab uveitis yang jrang, tetapi dapat disembuhkan.
Peradangan intraocular hamper seluruhnya terjadi pada infeksi stadium kedua dan
ketiga, dan semua jenis uveits bisa terjadi. Retinitis atau neuritis optic sering
menyertai. Atrofi luas dan hyperplasia epiel pigmen retina dapat terjadi pada stadium
lanjut jika peradangan dibiarkan tanpa diobati.
f. Herpes virus
Uveitis yang disebabkan oleh virus herpes, biasanya penyebabnya ada dua
yaitu virus herpes simpleks dan virus varicella zoster. Biasanya untuk mengetahui
penyebab pasti di antara kedua virus tersebut agak sulit. Namun biasanya virus
herpes simpleks mengenai anak-anak dan dewasa muda, sedangkan virus varicella
zoster mengenai orang lanjut usia atau orang yang immunocompromised. Selain itu,
virus herpes simpleks menimbulkan vesikel-vesikel bergerombol di kulit penderita
dan terdapat edema, sedangkan vesikel yang ditimbulkan oleh virus varicella zoster
terpisah-pisah. Manifestasi klinis yang timbul biasanya hanya pada satu mata
(unilateral), penglihatan kabur, mata sakit dan merah, fotofobia. Pada pemeriksaan
akan didapatkan hipopion, hifema, tekanan intraocular meningkat, iris atrofi
sektoral, edema kornea.
g. Reiter Syndrome
Biasanya mengenai dewasa muda laki-laki, di antara umur 15-25 tahun. Trias
dari penyakit ini adalah artritis, urethritis, dan konjungtivitis. Pada pemeriksaan mata
akan didapatkan mukopurulen konjungtivitis, subepitelial keratitis.
Gambar 3. Ulkus oral pada penyakit Sindrom Reiters
Sumber : Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19
h. AIDS
Uveitis sering ditemukan pada pasien terinfeksi human immunodeficiency
virus (HIV) khususnya pada stadium penyakit lanjut saat AIDS timbul. Jumlah
limfosit T CD4 merupakan predictor yang baik untuk risiko infeksi oprtunistik yang
kebanyakan terjadi pada jumlah kurang dari 100 sel/L. Uveitis paling sering terjadi
pada infeksi di segmen posterior mata. Retinitis sitomegalovirus-retinitis geografik
yang sering disertai perdarahan, mengenai 30-40% pasien HIV-positif pada suatu
waktu selama perjalanan penyakitnya sebelum dimulainya terapi antiretroviral
kombinasi. Virus herpes lain, seperti aricella-zoster dan herpes simpleks juga bisa
menimbulkan retinitis yang tampilannya sangat mirip, tetapi biasanya dapat
dibedakan karena progresifitasnya yang sangat cepat. Organisme lain, misalnya t
gondii, Treponema pallidum, Cryptococcus neoformans, mycobacterium
tuberculosis, dan Mycobacterium avium-intracellulare menginfeksi kurang dari 5%
pasien HIV-positif; namun, tetap harus dipertimbangkan, terutama bila terdapat
riwayat terinfeksi atau terpajan, ada koroiditis, atau bila retinitisnya tidak khas ata
tidak berespons terhadap terapi antiviral. Limfoma intraocular terjadi pada kurang
dari 1% pasien hiv-positif, tetapi harus dipikirkan pada retinitis yang tidak khas atau
tidak responsive dengan terapi antiviral, khususnya bila ditemukan gejala-gejala
neurologis.
i. Histoplasmosis
Di beberapa derah di Amerika serikat yang endemis histoplasmosis (derah
ohio dan lembah sungai Mississipi) sering didapatkan diagnosis koroiditis yang
diduga disebabkan oleh histoplasmosis. Lesi di macula bisa menimbulkan
neovaskularisasi subretina, suatu komplikasi yang harus diwaspadai pada setiap
pasien dengan dugaan histoplasmosis ocular yang mengalami penurunan penglihatan
atau disertai tanda-tanda adanya cairan atau perdarahan subretina.
j. Toksokariasis okular
Toksokariasis terjadi akibat infeksi Toxocara cati (parasite di usus kucing)
atau toxocara canis (parasite di usus anjing). Larva migrane visceral adalah infeksi
sistemik diseminata pada anak kecil. Larva migrans visceral jarang mengenai mata.
Toksokariasis ocular dapat terjadi tanpa manifestasi sistemik. Anak-anak bisa
terkena penyakit ini karena berhubungan erat dengan binatang peliharaan dank arena
memakan tanah (pica) yang terkontaminasi dengan ovum Toxocara. Telur yang
termakan akan membentuk larva yang menembus mukosa usus dan masuk ke dalam
sirkulasi sistemik dan akhirnya sampai di mata. Parasit ini tidak menginfeksi saluran
cerna manusia
Penyakit ini biasanya unilateral. Larva Toxocara tinggal di retina dan mati,
menimbulkan reaksi radang hebat dan pembentukan antibody toxocara setempat.
Umumnya anak-anak dibawa ke dokter mata karena mata merah, penglihatan kabur,
pupil keputihan (leukokoria).
Terdapat tiga gambaran klinis (1) granuloma posterior setempat, biasanya di
dekat caput nervi optici atau fovea; (2) granuloma perifer yang mengenai pars plana,
sering kali menimbulkan massa yang menonjol yang menyerupai gundukan salju
uveitis intermediet, (3) endoftlmitis kronik.
k. Leptospirosis
Uveitis terjadi pada 10% pasien yang terinfeksi spirochaeta leptospira.
Manusia adalah pejamu aksidental, yan paling sering terinfeksi akibat berkontak
dengan atau menelan air yang terinfeksi. Binatang liar dan peliharaan-pengerat,
anjing, babi, dan sapi adalah pejamu alam dan mengeluarkan sejumlah besar
organisme infeksius melalui urinenya. Petani, dokter hewan, dan orang-orang yang
bekerja atau berenang di air yang berasal dari daerah pertanian memiliki risiko yang
tinggi untuk terkena penyakit ini. Gejala-gejala konstitusional yang sering timbul
adalah demam, malaise, dan sakit kepala. Pda pasien-pasien yang tidak diobati,
insiden gagal ginjal dan kematian dapat mencapai 30%. Uveitis bisa timbul dalam
bentuk apapun tetapi khasnya difus dan sering disertai hipopion serta vaskulitis
retina.Organisme hidup hanya dapat dibiakkan pada awal infeksi.
l. Onkosersiasis
Onkosersiasis disebabkan oleh Onchocerca volvuls. Penyakit ini diderita
sekitar 15 juta orang di Afrika dan amerika Tengah dan merupakan penyebab
utama kebutaan. Onkosersiasis ditularkan oleh Simulim damnosum, lalat hitam
yang berkembang biak di daerah-daerah berarus deras sehingga terdapat istilah
buta sungai. Mikrofilaria yang dibawa lalat dari kulit, berkembang menjadi
larva dan menjadi cacing dewasa dalam 1 tahun. Parasit dwasa membentuk nodul-
nodul kulit dengan diameter 5-25 mm di badan, paha, lengan, kepala an bahu.
Mikrofilaria menyebabkan rasa gatal, dan penyembuhan lesi kulit dapat
menimbulkan hilangnya elastisitas kulit serta depigmentasi kulit.
Kornea menampakkan keratitis numularis dan keratitis sclerosis. Mikrofilaria
yang berenang aktif di bilik mata depan tmpak seperti benang-benang perak.
Mikrofilaria yag mati menimbulkan reaksi radang hebat seperti uveitis, vitritis,
dan retinitis yang berat. Mungkin terlihat retinokoroiditis folk. Atrofi optic dapat
terjadi sekunder akibat glaukoma.

Penyebab non spesifik atau reaksi hipersensitivitas


Juvenille Rheumatoid Arthritis
Anterior uveitis terjadi pada penderita JRA yang mengenai beberapa
persendian. Sekitar 20% anak penderita arthritis idiopatik juvenillis (JIA) disertai
dengan iridosiklitis non-granulomatosa bilateral kronik. JRA lebih banyak
mengenai anak perempuan 4-5 kali lebih sering dibanding anak lelaki. Uveitis
pada JIA biasanya terdeteksi pada usia 5-6 tahun setelah timbulnya katarak
(leukokoria), perbedaan warna kedua mata (heterokromia), perbedaan ukuran atau
bentuk pupil (anisokor), atau gangguan penjajaran mata (strabismus). Kelainan-
kelainan ini sering kali baru ditemukan pada uji penyaringan penglihatan di
sekolah. Tidak ada korelasi antara onset arthritis dan uveitis; uveitis dapat muncul
lebih dulu hingga 10 tahun sebelum arthritis. Lutut adalah sendi yang paling
sering terkena. Tanda utama penyakit ini adalah sel dan flare dalam bilik mata
depan, keratic precipitate putih berukuran kecil sampai sedang dengan atau tanpa
bintik-bintik fibrin pada endotel, sinekia posterior-yang sering menimbulkan
seclusion pupil, dan katarak. Keratopati pita, glaukoma sekunder, edema macula
kistoid juga bisa ditemukan dan menimbulkan penurunan penglihatan. Merupakan
suatu anjuran pada semua anak yang menderita JRA untuk diperiksa kemungkinan
terdapatnya uveitis anterior.(3,11)

Gambar 4 : Deformitas sendi pada RA

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis


and management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

Uveitis Terinduksi Lensa


Uveitis terinduksi lensa (uveitis fakogenik) adalah suatu penyakit
autoimun terhadap antigen lensa. Hingga kini belum ada data yang mendukung
bahwa materi lensa iu sendirilah yang toksik. Jadi, istilah uveitis fakotoksik
sebaiknya dihindari. Kasus klasik terjadi bila lensa mengalami katarak
hipermatur; kapsul lensa bocor dan materi lensa masuk ke bilik mata depan dan
belakang. Materi ini menimbulkan reaksi radang yang ditandai dengan
pengumpulan sel plasma, fagosit mononukear dan sedikit sel polimorfonuklear.
Gejala khas uveitis anterior, seperti nyeri, fotofobia, dan penglihatan kabur sering
ditemukan. Uveitis teinduksi lensa dapat pula terjadi paska trauma pada lensa atau
paskaoperasi katarak dengan sisa materi lensa yang tertinggal. Glaukma fakolitik
adalah kompliksi umum pada uveitis terinduksi lensa.
Oftalmia simpatika
Oftalmia simpatika adalah uveitis granulomatosa bilateral yang jarang,
tetapi menghancurkan, timbul 10 hari sampai beberapa tahu setelah trauma
tembus mata. Sembilan puluh persen kasus terjadi dalam 1 tahun setelah trauma.
Penyebabnya tidak diketahui, tetapi penyakit ini agaknya berkaitan dengan
hipersensitivitas terhadap beberapa unsur dari sel-sel berpigmen di uvea. Kondisi
ini sangat jarang terjadi setelah bedah intraocular yang tanpa komplikasi dan
bahkan lebih jarang lagi pascaendoftalmitis.
Mata yang cedera mula-mula meradang dan mata sebelahnya (mata
simpatik) meradang kemudian. Pasien biasanya mengeluhkan fotofobia,
kemerahan dan penglihatan kabur; namun, adanya floaters bisa juga menjadi
keluhan di awal. Uveitis umumnya difus. Eksudat halus putih-kekuningan di
lapisan dalam retina (nodul dalen-Fuchs) kadang-kadang tampak di segmen
posterior. Juga ditemukan adanya ablasio retina serosa.
Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada
Terdiri dari peradangan uvea pada satu atau kdua mata yang ditandai oleh
iridosiklitis akut, koroiditis bercak dan pelepasan serosa retina. Penyakit ini
biasanya diawali oleh suatu episode demam akut disertai nyeri kepala dan
kadang-kadang vertigo.
Pada beberapa bulan pertama penyakit dilaporkan terjadi kerusakan
rambut atau timbul uban. Walaupun iridosiklitis awal mungkin membaik dengan
cepat, perjalanan penyakit di bagian posterior sering indolen dengan efek jangka
anjang berupa pelepasan serosa retina dan gangguan penglihatan. Pada sindrom
Vogt-Koyanagi-Harada diperkiraka terjadi hipersensitivitas tipe lambat terhadap
struktur-struktu yang mengandung melanin. Tetapi virus sebagai penyebab belum
dapat disingkirkan. Diperkirakan bahwa suatu gangguan atau cedera, infeksi atau
yang lain, menubah struktur berpigmen di mata, kulit, dan rambut sedemikian
rupa sehingga tercetus hipersensitivtas tipe lamabat terhadap struktur-struktur
tersebut. Barubaru ini diperlihatkan adanya bahan larut dari segmen luar lapisan
fotoreseptor retina (antigen-s retina) yang mungkin menjadi autoantigennya.
Pasien sindrom Vogt-Koyanagi-Harada biasanya adalah orang-orang oriental yang
mengisyaratkan adanya disposisi imunogenetik.

Berdasarkan asalnya
Eksogen
o Traumatik uveitis
Trauma merupakan salah satu penyebab uveitis anterior, biasanya terdapat
riwayat trauma tumpul mata atau adneksa mata. Luka lain seperti luka bakar pada
mata, benda asing, atau abrasi kornea dapat menyebabkan terjadinya uveitis
anterior. Visual aquity dan tekanan intraocular mungkin terpengaruh dan mungkin
juga terdapat darah pada anterior chamber.
o Uveitis terinduksi IOL
Hal ini mungkin disebabkan karena adanya iritasi pada iris karena
terdapatnya manipulasi berlebihan saat operasi katarak. Tetapi hal ini juga bisa
disebabkan karena adanya reaksi hipersensitivitas terhadap IOL sehingga sel-sel
radang menyerang IOL dan akhirnya berkumpullah sel radang dan menyebabkan
uveitis.
Endogen
Idiopathic Anterior Uveitis
Istilah idiopatik dipergunakan pada uveitis anterior dengan etiologi yang
tidak diketahui apakah merupakan kelainan sistemik atau traumatic. Diagnosis ini
ditegakkan sesudah menyingkirkan penyebab lain dengan anamnesis dan
pemeriksaan.

Masquerade Syndrome
Merupakan keadaan yang mengancam seperti limfoma, leukemia,
retinoblastoma dan melanoma malignant dari koroid, dapat menimbulkan uveitis
anterior.

Berdasarkan perjalanan penyakitnya


Akut: Apabila serangan timbulnya mendadak, sembuh dalam waktu kurang
dari 3 bulan dan penderita sembuh sempurna di luar serangan itu.
Residif: Apabila terjadi serangan berulang disertai dengan penyembuhan yang
sempurna di antara serangan-serangan tersebut. Biasanya penyembuhan sudah
berlangsung tiga bulan atau lebih.
Kronis: Apabila terjadi serangan berulang tanpa pernah sembuh di antara
serangan tersebut dan biasanya menetap.
Berdasarkan patologi
non-granulomatosa (lebih umum)
granulomatosa
Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada
oreng dewasa dan usia pertengahan. Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di
bagian anterior traktus uvealis ini, yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang,
dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak
dan sedikit mononuklear. Uveitis granulomatosa yaitu adanya invasi mikroba aktif ke
jaringan oleh bakteri. Dapat mengenai uvea bagian anterior maupun posterior. Infiltrat
dominan sel limfosit, adanya aggregasi makrofag dan sel-sel raksasa multinukleus. Pada
kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior.

Perbedaan Uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa


Non- Granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Nyeri Nyata Tidak ada atau ringan
Fotofobia Nyata Ringan
Penglihatan Kabur Sedang Nyata
Merah Sirkumneal Nyata Ringan
Keratic precipitates Putih halus Kelabu besar (mutton fat)
Pupil Kecil dan tak teratur Kecil dan tak teratur
Sinekia posterior Kadang-kadang Kadang-kadang
Noduli iris Tidak ada Kadang-kadang
Lokasi Uvea anterior Uvea anterior, posterior,difus
Perjalanan penyakit Akut Kronik
Kekambuhan Sering Kadang-kadang
III. KLASIFIKASI UVEITIS

1. Klasifikasi Anatomis
a) Uveitis anterior
Merupakan inflamasi yang terjadi terutama pada iris dan korpus siliaris atau disebut
juga dengan iridosiklitis.
b) Uveitis intermediet
Merupakan inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer yang disertai dengan
peradangan vitreous.
c) Uveitis posterior
Merupakan inflamasi yang mengenai retina atau koroid.
d) Panuveitis
Merupakan inflamasi yang mengenai seluruh lapisan uvea.

2. Klasifikasi Klinis
a) Uveitis akut
Uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu, onsetnya cepat dan bersifat
simptomatik.
b) Uveitis kronik
Uveitis yang berlangsung selama > 6 minggu bahkan sampai berbulan-bulan
atau bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik.
3. Klasifikasi Etiologis
a) Uveitis infeksius
Uveitis yang disebabkan oleh infeksi virus, parasit, dan bakteri
b) Uveitis non-infeksius
Uveitis yang disebabkan oleh kelainan imunologi atau autoimun.
4. Klasifikasi patologis
a) Uveitis non-granulomatosa
Infiltrat dominan limfosit pada koroid
b) Uveitis granulomatosa

Infiltrat dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa multinukleus

IV. FAKTOR RISIKO


Toksoplasmosis pada hewan peliharaan
Riwayat penyakit autoimun
Perokok

Berdasarkan penelitian dari University California San Francisco menyatakan bahwa


di dalam rokok ditemukan senyawa-senyawa tertentu yang ditemukan dalam bagian air yang
larut dalam asap rokok meliputi oksigen radikal bebas, yang dapat menyebabkan
peradangan pembuluh darah. Mengingat bahwa uveitis adalah hasil dari kekebalan
dysregulation, maka masuk akal bahwa rokok dapat berkontribusi pada pathogenesis uveitis.

Radang sendi
Sarkoidosis
HIV
Ankylosing spondylitis
Penyakit radang usus.

Uveitis dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Orang-orang, yang
mengembangkan uveitis dan ankylosing spondylitis sering memiliki gen tertentu yaitu
HLA-B27.

V. PATOFISIOLOGI

Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus) yang
memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris dan badan siliar,
maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah,
sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding
pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan
mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan
glaukoma.
Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris, dan
pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak mengandung
pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan
akan bergerak ke atas.
Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat
jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel
radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea, membentuk keratik presipitat yang dari
depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut
kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju
ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan
mata akan berada pada batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat
sudut kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder.
Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit (Wijana,1993)
Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anterior dan timbullah hifema (bila
banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul banyak mengandung sel
darah putihnya). Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang menempel pada pupil
dapat juga mengalami organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlekatan ini
disebut sinekia posterior. Bila seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil sehingga
cairan yang dari kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke kamera okuli
anterior, iris terdorong ke depan, disebut iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli
anterior menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder.
Perlekatan-perlekatan iris pada lensa menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat
pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil.
Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak
seperti kekeruhan karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa
terganggu dan dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan
kaca pun dapat mengakibatkan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang terdiri
dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada
kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina.

VI. GEJALA KLINIS dan PEMERIKSAAN FISIK

a. UVEITIS ANTERIOR
Keluhan pasien dengan uveitis anterior adalah mata sakit, mata merah, fotofobia,
penglihatan turun ringan dengan mata berair. Keluhan sukar melihat dekat pada pasien
uveitis dapat terjadi akibat ikut meradangnya otot-otot akomodasi. Pupil kecil akibat
peradangan otot sfingter pupil dan terdapatnya edema iris. Pada proses akut dapat terjadi
miopisi akibat rangsangan badan siliar dan edema lensa. Pada pemeriksaan slit lamp
dapat terlihat flare di bilik mata depan dan bila terjadi inflamasi berat dapat terlihat
hifema atau hipopion. Pada uveitis non-granulomatosa dapat terlihat presipitat halus pada
dataran belakang kornea. Pada uveitis granulomatosa dapat terlihat presipitat besar atau
mutton fat noduli Koeppe (penimbunan sel pada tepi pupil) atau noduli Busacca
(penimbunan sel pada permukaan iris).
b. UVEITIS INTERMEDIATE
Uveitis intermediate disebut juga siklitis, uveitis perifer atau pars planitis adalah
peradangan intraokular terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet yang terpenting yaitu
adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet biasanya bilateral dan cenderung
mengenai pasien remaja akhir atau dewasa muda. Pria lebih banyak yang terkena
dibandingkan wanita. Gejala- gejala yang khas meliputi floaters dan penglihatan kabur.
Nyeri, fotofobia dan mata merah biasanya tidak ada atau hanya sedikit. Temuan
pemeriksaan yang menyolok adalah vitritis seringkali disertai dengan kondensat vitreus
yang melayang bebas seperti bola salju (snowballs) atau menyelimuti pars plana dan
corpus ciliare seperti gundukan salju (snow-banking). Peradangan bilik mata depan
minimal tetapi jika sangat jelas peradangan ini lebih tepat disebut panuveitis. Penyebab
uveitis intermediate tidak diketahui pada sebagian besar pasien, tetapi sarkoidosis dan
multipel sklerosis berperan pada 10-20% kasus. Komplikasi uveitis intermediate yang
tersering adalah edema makula kistoid, vaskulitis retina dan neovaskularisasi pada diskus
optikus.

c. UVEITIS POSTERIOR

Uveitis posterior adalah peradangan yang mengenai uvea bagian posterior yang
meliputi retinitis, koroiditis, vaskulitis retina dan papilitis yang bisa terjadi sendiri-sendiri
atau secara bersamaan. Gejala yang timbul adalah floaters, kehilangan lapang pandang
atau scotoma, penurunan tajam penglihatan. Sedangkan pada koroiditis aktif pada makula
atau papillomacular bundle menyebabkan kehilangan penglihatan sentral dan dapat
terjadi ablasio retina.

VII. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

Pemeriksaan fisik tidak jauh berbeda dengan gejala yang dapat timbul pada uveitis, hasil
pemeriksaan yang didapat bervariasi tergantung dari lokasi, penyebab dan patogenesis dari
proses inflamasi yang terjadi. Pemeriksaan jaringan mata yang menyeluruh dapat memberikan
hasil yang sangat membantu dalam penentuan diagnosis.

Konjungtiva
Didapatkan injeksi siliar (injeksi perilimbal, kemerahan sirkumkorneal akibat dilatasi
pembuluh-pembuluh darah limbus, merupakan karakteristik dari uveitis anterior) atau nodul
(pada sarkoidosis).

Kornea
Ditemukan adanya presipitat keratik, merupakan kumpulan sel-sel mediator inflamasi pada
permukaan endotel kornea. Presipitat tersebut tampak berupa deposit putih halus. Presipitat
keratik berukuran kecil umumnya ditemukan pada uveitis non-granulomatosa, sedangkan
presipitat berukuran besar biasanya ditemukan pada uveitis granulomatosa, yang dikenal dengan
mutton fat.

Presipitat Keratik

Presipitat keratik awal biasanya berwarna putih dan akan menjadi lebih berpigmen dan
mengkerut seiring dengan berjalannya waktu. Selain itu, pada kornea dapat timbul gambaran
dendrit epitel, geographic ulcers atau terdapat skar pada stroma pada kasus keratouveitis pada
herpes.

Mekanisme inflamasi yang terjadi pada tingkat seluler akan menimbulkan gambaran cells
dan flare pada aqueous humor.
Cells and Flare
Pada kasus-kasus uveitis anterior yang berat, dapat terjadi penimbunan fibrin dan/atau
pembentukan hipopion.

Hipopion

Iris
Ditemukan sinekia anterior yaitu iris melekat pada kornea maupun sinekia posterior yaitu
iris melekat pada lensa. Bila proses berlanjut terus maka akan timbul pupillary block, iris
bomb dan/atau glaukoma sudut tertutup.

Iris Bomb

Terdapat nodul yang terdiri atas kelompok sel-sel putih tampak di tepian pupil iris (Nodul
Koeppe bila timbul pada batas pupil, dan Nodul Bussaca bila timbul pada stroma iris) atau
terdapat granuloma yang nyata.hal ini terhadi pada uveitis granulomatosa. Adanya atrofi iris pada
beberapa bagian saja merupakan ciri khas pada penyakit herpes. Pada pemeriksaan pupil, akan
didapatkan pupil yang miosis.

Bussacas Koeppes
Nodules Nodules
Lensa
Pemeriksaan yang mungkin didapat adalah adanya katarak. Katarak merupakan komplikasi
yang sering timbul dalam klinis pasien uveitis. Katarak biasanya terjadi pada uveitis yang telah
berlangsung lama atau pada uveitis dengan pemakaian kortikosteroid jangka panjang. Pada
vitreous humor, akan tampak gambaran snowball opacities, berupa infiltrasi sel-sel, yang pada
umumnya terlihat pada uveitis intermediate dan sarkoidosis. Selain itu, juga tampak adanya
traksi pada retina, atau pembentukan membran siklitik dibelakang lensa.

Manifestasi uveitis posterior yang dapat ditemukan pada pemeriksaan, antara lain :

Disc eccema
Edema makula
Vaskulitis retina
Eksudat perivaskular
Retinitis atau koroiditis fokal atau difus
Eksudat pars plana (snowbanking)
Pelepasan retina
Atrofi retinokoroidal
Neovaskularisasi retina dan koroid.

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memastikan etiologi , sehingga, sebelum
dilakukan pemeriksaan laboratorium, sebaiknya dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
baik agar dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yang terarah. Pemeriksaan laboratorium pada
umumnya tidak diperlukan untuk uveitis anterior, terutama jika jenisnya non-granulomatosa dan
jelas sensitif terhadap terapi non-spesifik.

Pada uveitis anterior maupun posterior yang tidak responsif terhadap terapi, atau bila uveitis
yang terjadi bilateral atau granulomatosa atau rekuren, maka harus ditentukan diagnosis
etiologinya. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :

LED
Foto Rontgen Thorax
Titer Lyme
Tes Mantoux
ANA (Antinuclear Antibody)
RPR (Rapid Plasma Reagin)
VDRL (Venereal Disease Research Laboratory)
PPD (Purified Protein Derivative)
ELISA
HLA B27
Fluorescein angiography
Lumbal Pungsi
Kultur vitreous
CT-scan dan MRI otak

Hampir semua pemeriksaan penunjang pada uveitis merupakan pemeriksaan laboratorium


khusus yang akan dilakukan hanya dengan alasan dan indikasi yang jelas. Dengan indikasi yang
jelas, maka pemeriksaan tersebut baru akan bernilai diagnostik. Tidak ada aturan pasti yang
menentukan pemakaian pemeriksaan-pemeriksaan tersebut. Kuncinya adalah dengan
memaksimalkan kemampuan anamnesis, penilaian keseluruhan sistem tubuh dan pemeriksaan
fisik secara umum dan oftalmologik sehingga dapat ditentukan indikasi pemeriksaan penunjang
yang diperlukan.

IX. DIAGNOSIS

Uveitis sering berhubungan dengan penyakit sistemik lainnya, oleh sebab itu, ada baiknya
dilakukan anamnesis yang komprehensif serta pemeriksaan fisik yang menyeluruh pada setiap
pasien dengan inflamasi intraokuler. Pemeriksaan yang menyeluruh tersebut dapat membantu
dalam penentuan diagnosis yang tepat sehingga faktor penyebab dapat ditangani dengan baik.

Anamnesis

Riwayat penyakit sekarang; meliputi onset, gejala yang timbul, perjalanan penyakit dan
gejalanya serta perawatan yang telah didapat.
Riwayat penyakit mata sebelumnya; apakah ada episode penyakit dengan gejala yang sama
sebelumnya, terapi dan respon terapi yang telah didapat, riwayat trauma atau operasi pada
mata sebelumnya.
Riwayat penyakit lain sebelumnya; riwayat penyakit-penyakit sistemik (terutama
sarkoidosis, juvenile rhematoid arthritis, AIDS, tuberkulosis, dan sifilis), riwayat
penggunaan obat-obatan (terutama obat-obatan imunosupresif).
Riwayat sosial; meliputi pola diet sehari-hari, pola seksual dan penggunaan obat-obatan
terlarang.
Data demografik; seperti: usia, ras dan jenis kelamin.
Riwayat geograf; seperti: tempat lahir, lingkungan tempat tinggal, dan apakah sehabis
melakukan perjalanan ke luar kota atau luar negeri.
Riwayat penyakit keluarga; penyakit-penyakit sistemik yang menular dalam keluarga
(seperti: tuberkulosis), riwayat menderita uveitis dalam keluarga.
Tinjauan sistemik :
- Umum : demam, berat badan, malaise, keringat malam
- Rheumatologi : arthralgia, low back pain, joint stiffness
- Dermatologi : rash, alpecia, vitiligo, gigitan serangga
- Neurologi : tinitus, sakit kepala, meningismus, parestesia, paralisis
- Respiratori : sesak nafas, batuk, dan produksi sputum
- Gastrointstinal : diare, melena
- Genitourinaria : disuria, ulkus genitalia, balanitis
Pemeriksaan Fisik
Evaluasi tanda-tanda vital, periksa ketajaman penglihatan, periksa gerakan bola mata, periksa
setiap jaringan bola mata dengan slit lamp, lakukan pemeriksaan funduskopi, dan ukur tekanan
bola mata.
X. DIAGNOSA BANDING

NO TANDA KONJUNGTIVITIS IRIDOSKLITIS GLAUKOMA KERATITIS


AKUT AKUT AKUT

1. Sakit Tidak atau hanya Sedang, trauma Hebat, diseluruh Sedikit


sedikit mengenai mata bulbus okuli dan
dan yang diurus yang diurus oleh
oleh N.II N.V, injeksi
konjungtiva dan
episklera

2. Injeksi Injeksi konjungtiva Terutama injeksi Injeksi Injeksi


perikornea konjungtiva, perikornea
perikornea dan
episklera

3. Pupil Normal Miosis irreguler Lebar,lonjong Normal,


miosis

4. Reflek Normal Berkurang Berkurang sampai Kuat


cahaya tidak ada

5. Media Jernih Kornea keruh Kornea keruh Kornea keruh


refraksi (kreatik prespitat karena oedema, karena adanya
dan edema), lensa:katarak infiltrat, COA
COA:sel radang, stadium lanjut, normal
pupil:oklusio, COA dangkal
lensa:katarak,
badan kaca:sel
radang

6. Visus Baik Sedang Buruk Berkurang


7. Timbulnya Perlahan Perlahan Tiba-tiba Perlahan

8. Gejala Tidak ada Sedikit Muntah-muntah -


sistemik

9. Pemeriksaan Ditemukan kuman Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak


sekret penyebab kuman penyebab kuman penyebab ditemukan
kuman
penyebab

10. TIO Normal N,tinggi,turun Tinggi sekali Normal

XI. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama penatalaksanaan uveitis adalah mengobati proses inflamasi pada mata secara
efektif serta meminimalkan komplikasi yang mungkin timbul baik dari penyakitnya itu sendiri
maupun dari terapi yang diberikan. Agar tujuan pengobatan dapat dicapai, maka diperlukan
pemeriksaan yang baik, karena, beberapa kondisi memerlukan tindakan tertentu seperti
pemberian obat kortikosteroid, sedangkan pada kondisi lain tidak dianjurkan karena penggunaan
kortikosteroid jangka panjang akan menyebabkan pembentukan katarak dan meningkatkan
tekanan intraokuler.

Mydriatic dan Cycloplegic

Pengobatan topikal ini digunakan untuk mengatasi spasme siliare yang biasanya muncul
pada uveitis anterior akut dan untuk melepaskan sinekia posterior yang terbentuk dan/atau
mencegah perkembangan sinekia baru.

Obat-obatan yang bersifat long acting seperti homatropine, scopolamine atau atropine,
digunakan untuk mengatasi spasme siliare; sedangkan obat-obatan yang durasi kerjanya lebih
singkat seperti tropicamide atau cyclopentolate digunakan untuk mencegah pembentukan sinekia
posterior pada pasien yang memnderita iridocyclitis kronik serta mengurangi gejala fotofobia.

Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan terapi primer pada pasien uveitis. Kortikosteroid menekan kerja
sistem imun serta memiliki efek anti-inflamasi melalui beberapa mekanisme. Kortikosteroid
dapat diberikan secara topikal, melalui injeksi periokular atau intravitreal atau diberikan secara
sistemik.

Pemberian secara topikal diutamakan pada pasien dengan uveitis anterior. Penetrasi menuju
segmen posterior pada pemberian topikal sangat buruk, kecuali bila pasien tersebut pseudofakia
atau afakia. Secara umum, kortikosteroid yang dianjurkan pada pemberian topikal adalah
prednisolon asetat.

Pemberian kortikosteroid melalui periokular paling baik digunakan untuk pasien dengan
uveitis intermediate, uveitits posterior atau terdapat edema makula, terutama bila unilateral.
Terapi ini juga dapat digunakan pada pasien dengan uveitis anterior berat yang tidak responsif
terhadap pengobatan topikal. penyuntikan biasanya dilakukan melalui kapsul sub-Tenon atau
secara trans-septal dengan anestesi lokal. Obat yang diberikan biasanya yang kerja panjang
seperti methylprednisolone asetat setiap 3-4 minggu hingga efek yang diinginkan tercapai.
Tindakan ini tidak boleh dilakukan pada uveitis akibat infeksi dan harus berhati-hati pada pasien
dengan riwayat peningkatan tekanan intraokular.

Jalur sistemik digunakan pada pasien dengan uveitis posterior berat atau panuveitis,
terutama jika bilateral, atau pada kasus-kasus uveitis anterior berat yang tidak responsif terhadap
pengibatan topikal maupun injeksi periokular. Diawali dengan dosis besar (1-2mg/kgBB/hari)
dan kemudian diturunkan secara bertahap setelah 2-3 minggu.

Imunomodulator

Terapi imunomodulator digunakan pada pasien uveitis berat yang mengancam


penglihatan yang sudah tidak beresponsif terhadap kortikosteroid. Imunomodulator
bekerja dengan cara membunuh sel limfoid yang membelah dengan cepat akibat reaksi
inflamasi. Indikasi digunakannya imunomodulator adalah
1. Inflamasi Kntraocular yang mengancam penglihatan pasien
2. Gagal dengan terapi kortikosteroid
3. Kontra indikasi terhadap kortikosteroid
Sebelum diberikan imunomodulator, harus benar-benar dipastikan bahwa uveitis pasien
tidak disebabkan infeksi, atau infeksi di tempat lain, atau kelainan hepar atau kelainan darah.
Dan, sebelum dilakukan informed concent.

XII. KOMPLIKASI

Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior perifer, yang menghalangi aqueous
humor keluar di sudut kamera anterior sehingga timbul glaukoma. Sinekia posterior dapat
menimbulkan glaukoma dengan memungkinkan berkumpulnya aqueous humor dibelakang iris,
sehingga menonjol iris ke depan. Pelebaran pupil sejak dini dan terus menerus dapat mengurangi
kemungkinan timbulnya sinekia posterior. Beta blocker topikal dapat digunakan pada glaukoma
akibat uveitis. Pada kasus berat, inhibitor anhidrase karbonik sistemik sangat membantu. Obat ini
juga bekerja mengurangi produksi aqueous humor.

Sinekia Anterior Sinekia Posterior

Uveitis yang kronis dapat mengakibatkan hiposekresi dari aqueous humor, yang berakibat
menurunnya suplai nutrisi ke struktur segmen anterior, terjadu formasi membran siklitik, dan
pelepasan korpus siliaris.

Gangguan metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak. Katarak sering timbul pada
uveitis menahun. Operasi katarak sebaiknya dilakukan 3-4 bulan setelah uveitis tenang.
Prognosis operasi katarak pada kasus demikian tergantung pada penyebab uveitis.

Ablasio retina dapat timbul akibat traksi atau tarikan pada retina oleh benang-benang
vitreus. Edema kistoid makula dan degenerasi makula dapat terjadi pada uveitis anterior yang
beepanjangan. Kortikosteroid sistemik atau periokular dapat digunakan untuk terapi edema
makular, jika tidak berhasil, maka dapat digunakan terapi imunosupresif. Berkurangnya
penglihatan hingga kebutaan juga merupakan salah satu komplikasi dari uveitis.
XIII. PROGNOSIS

Uveitis merupakan kondisi penyakit yang berpotensi dalam menimbulkan kebutaan. Uveitis
juga dapat berakhir dengan komplikasi yang serius pada mata. Dengan pengobatan yang adekuat,
serangan uveitis non-granulomatosa umumnya berlangsung beberapa hari sampai minggu,
namun, pasien akan sering mengalami kekambuhan. Uveitis granulomatosa berlangsung
berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat
menimbulkan kerusakan permanen dengan penurunan penglihatan yang nyata walau dengan
pengobatan yang terbaik sekali.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas. S., Ilmu Penyakit Mata, edisi 3, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

2004, hal 172 175.

2. Vaughan .D.G., Asbury. T., Riordan-Eva. P., Oftalmologi Umum, edisi 14, Widya Medika,

Jakarta, 2000, hal 155-166.

3. Ilyas. S., Mailangkay. H. H. B., Taim. H.,dkk.,Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan

Mahasiswa Kedokteran, edisi 2, Sagung Seto, Jakarta, 2002, hal 1-12.

4. Allen. J. H., Mays manual of the disease of the eye, Robert E. Kriger Pubhlising Company

New York 1968, hal 124-149.

5. William. T., Jaeger. E. A., Duanes Clinical Ophthalmology, vol. 4, J.B Lippincott,

Philadelphia, 1992, 40:1-11; 42:1-12.

6. http://www.emedicine.com/oph/topic581.htm,Author: Robert H Janigian, Jr, MD,Last

Updated: February 15, 2012

7. http://www.stlukeseye.com/conditions/uveitis.asp

8. http://www.merck.com/mrkshared/mmanual/section8/chapter98/98b.jsp

9. http://content.nejm.org/cgi/content/full/346/3/189 (The NEW ENGLAND JOURNAL of

MEDICINE)

10. http://www.merck.com/mrkshared/mmanual/section8/chapter98/uveitis

11. http://www.atlas-of-ophthalmology.com (2012)

Anda mungkin juga menyukai